Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi Gurutta Harun sudah berdiri di tengah lapangan kecil di tepi hutan. Ia menunggu dengan sabar sambil menyaksikan burung-burung berkicau di kejauhan. Di hadapannya, Mukhayyam Hafiz berusaha keras menyelesaikan perintah gurunya: berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima puluh putaran.
“Cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun dengan suara lantang. “Kau pikir musuhmu akan menunggumu istirahat? Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu!”
Mukhayyam mengatur napasnya yang terengah-engah. Tubuhnya sudah mulai terasa lelah, tetapi tekad di dalam hatinya membuatnya terus berlari. Kakinya hampir menyerah, tetapi ia tahu bahwa ia tidak boleh menunjukkan kelemahan di hadapan gurunya.
“Gurutta,” katanya dengan nada terbata-bata, “bukankah kita bisa memulai dengan sesuatu yang lebih ringan? Mungkin latihan konsentrasi seperti kemarin?”
Gurutta Harun tertawa kecil, tetapi ada nada tegas dalam tawanya. “Kau menginginkan kekuatan, bukan? Maka kau harus siap untuk merasakan penderitaan. Jika kau tidak bisa mengatasi rasa lelah ini, bagaimana kau bisa melawan rasa takut saat berada di medan perang?”
---
Latihan Fisik yang Intens
Setelah menyelesaikan putaran kelima puluh, Mukhayyam akhirnya berhenti di hadapan Gurutta Harun. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, tetapi ia berdiri tegak, mencoba menunjukkan bahwa ia masih sanggup melanjutkan.
“Bagus,” kata Gurutta Harun sambil mengangguk. “Sekarang, mari kita lihat sejauh mana kau bisa bertahan.”
Gurutta Harun menunjuk sebuah batang kayu panjang yang tergeletak di tanah. “Angkat itu dan bawa ke puncak bukit di sana.”
Mukhayyam menatap bukit yang dimaksud. Bukit itu tidak terlalu tinggi, tetapi cukup curam untuk membuat tugas ini menjadi sangat berat.
“Sendirian?” tanya Mukhayyam, berharap bahwa ia salah dengar.
“Apakah kau melihat orang lain di sini?” jawab Gurutta Harun dengan nada datar. “Ya, sendirian. Dan kau tidak boleh berhenti sampai kau mencapai puncak.”
Mukhayyam menghela napas panjang, lalu mengangkat batang kayu itu dengan kedua tangannya. Bebannya jauh lebih berat daripada yang ia perkirakan, tetapi ia memaksakan dirinya untuk melangkah.
Sepanjang perjalanan menuju puncak, ia merasakan tubuhnya semakin lemah. Otot-ototnya terasa terbakar, dan kakinya hampir menyerah. Namun, di kepalanya, ia terus mengingat kata-kata gurunya: “Jangan biarkan kelemahanmu menguasaimu.”
Saat ia hampir mencapai puncak, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ketika ia menoleh, ia melihat Gurutta Harun berjalan santai, memperhatikannya dengan tatapan tajam.
“Jangan pikir aku akan membantumu,” kata Gurutta Harun. “Ini adalah ujianmu sendiri.”
“Gurutta,” kata Mukhayyam dengan suara lemah, “apa tujuan dari latihan ini? Apakah ini hanya untuk membuat saya menderita?”
Gurutta Harun berhenti sejenak, lalu menjawab dengan nada serius. “Tujuan dari latihan ini adalah untuk membuatmu sadar bahwa kekuatan sejati tidak berasal dari tubuhmu, tetapi dari hatimu. Jika hatimu kuat, tubuhmu akan mengikuti.”
---
Percakapan Panjang di Puncak Bukit
Setelah perjuangan panjang, Mukhayyam akhirnya mencapai puncak bukit. Ia meletakkan batang kayu itu di tanah dengan napas terengah-engah. Gurutta Harun berdiri di sampingnya, mengamati pemandangan desa Cindua yang terbentang di kejauhan.
“Kau tahu, Mukhayyam,” kata Gurutta Harun sambil melipat tangannya, “desa ini terlihat damai dari sini, tetapi sebenarnya ada banyak rahasia yang tersembunyi di balik kedamaiannya.”
“Apa maksud Anda, Gurutta?” tanya Mukhayyam, penasaran.
“Setiap tempat memiliki sejarahnya sendiri,” jawab Gurutta Harun. “Dan desa ini tidak terkecuali. Ada legenda tentang seorang pemimpin besar yang pernah tinggal di sini, seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa tetapi memilih untuk hidup dalam bayang-bayang demi melindungi rakyatnya.”
“Apakah itu terkait dengan kitab kuno yang diberikan oleh Pak Bilal?”
Gurutta Harun mengangguk. “Kitab itu adalah kunci dari banyak misteri di desa ini. Tetapi untuk memahaminya, kau harus memiliki kekuatan dan kebijaksanaan. Dan itulah sebabnya aku melatihmu.”
Mukhayyam terdiam sejenak, merenungkan kata-kata gurunya. Ia merasa bahwa tanggung jawab yang diembannya semakin besar, tetapi ia juga merasa lebih termotivasi untuk terus belajar.
“Gurutta,” katanya akhirnya, “saya berjanji bahwa saya akan melakukan yang terbaik untuk memahami semua ini. Tetapi saya membutuhkan bimbingan Anda.”
Gurutta Harun tersenyum tipis. “Aku akan membimbingmu sejauh aku bisa, tetapi pada akhirnya, perjalanan ini adalah milikmu sendiri.”
---
Latihan Mental
Setelah beristirahat sejenak di puncak bukit, Gurutta Harun membawa Mukhayyam kembali ke lapangan di tepi hutan. Kali ini, ia memberikan sebuah kantong kecil yang berisi batu-batu kecil.
“Apa ini?” tanya Mukhayyam sambil membuka kantong itu.
“Setiap batu di dalam kantong ini mewakili satu masalah yang akan kau hadapi dalam hidupmu,” jawab Gurutta Harun. “Tugasmu adalah melemparkan batu-batu ini ke sungai dan mengamati riaknya. Tetapi kau harus melakukannya dengan pikiran yang tenang.”
Mukhayyam mengerutkan kening, tidak sepenuhnya memahami maksud latihan ini. Namun, ia mengikuti perintah gurunya. Ia mengambil sebuah batu dari kantong itu, melemparkannya ke sungai, dan menyaksikan riak yang muncul.
“Apa yang kau lihat?” tanya Gurutta Harun.
“Saya melihat riak yang menyebar ke seluruh permukaan air,” jawab Mukhayyam.
“Itulah yang terjadi ketika kau menghadapi masalah,” kata Gurutta Harun. “Setiap tindakan yang kau ambil akan menciptakan riak yang memengaruhi orang-orang di sekitarmu. Itulah sebabnya kau harus berpikir matang sebelum bertindak.”
Mukhayyam mengangguk, mulai memahami maksud gurunya. Ia terus melemparkan batu-batu itu satu per satu, merenungkan setiap riak yang muncul.
---
Malam yang Penuh Refleksi
Malam itu, di depan api unggun, Mukhayyam menceritakan pengalamannya kepada Gurutta Harun. Ia berbicara tentang bagaimana latihan-latihan itu telah membantunya melihat dirinya sendiri dengan cara yang baru.
“Gurutta,” katanya, “saya mulai mengerti apa yang Anda maksud tentang kekuatan sejati. Tetapi saya merasa bahwa perjalanan ini masih sangat panjang.”
“Dan kau benar,” jawab Gurutta Harun dengan nada lembut. “Tetapi setiap langkah yang kau ambil, betapapun kecilnya, adalah bagian dari perjalanan itu. Jangan pernah meremehkan pentingnya langkah pertama.”
Mukhayyam menatap api yang berkobar di depannya, merasa lebih percaya diri daripada sebelumnya. Ia tahu bahwa ia masih memiliki banyak hal untuk dipelajari, tetapi ia juga tahu bahwa ia berada di jalan yang benar. Bersama Gurutta Harun, ia siap menghadapi tantangan apa pun yang menanti di depan.
Mukhayyam Hafiz duduk di atas batu besar di tepi lapangan, mencoba mengatur napas yang masih tersengal-sengal. Tubuhnya dipenuhi keringat, dan kakinya bergetar karena kelelahan. Meski begitu, ada secercah kepuasan dalam hatinya karena berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan Gurutta Harun.
Namun, istirahatnya tak berlangsung lama. Gurutta Harun berjalan mendekatinya dengan tongkat kayu di tangan, ekspresinya masih serius.
“Bangkit, Mukhayyam,” perintahnya. “Latihan belum selesai. Kau hanya memulai. Masih ada banyak pelajaran yang harus kau lalui.”
Mukhayyam mengangkat kepalanya, menatap gurunya dengan pandangan tak percaya. “Masih ada lagi, Gurutta? Tubuh saya sudah hampir menyerah.”
Gurutta Harun tersenyum samar. “Itu yang kau pikirkan. Tetapi pikiranmu sering kali membatasi apa yang sebenarnya mampu dilakukan oleh tubuhmu. Kau ingin menjadi lebih kuat? Maka kau harus melampaui batas-batas itu.”
Mukhayyam menarik napas panjang, lalu berdiri perlahan. “Baiklah, Gurutta. Apa lagi yang harus saya lakukan?”
---
Latihan Keseimbangan dan Konsentrasi
Gurutta Harun membawa Mukhayyam ke sebuah jembatan kayu kecil yang melintasi sungai. Aliran air di bawahnya tenang, tetapi di kejauhan terdengar suara gemuruh air terjun yang menandakan kedalaman hutan di sekitarnya.
“Kau lihat jembatan ini?” tanya Gurutta Harun.
Mukhayyam mengangguk.
“Sekarang, kau akan berjalan di atasnya dengan mata tertutup.”
“Mata tertutup?” Mukhayyam memandang jembatan itu dengan cemas. “Bagaimana saya bisa menjaga keseimbangan tanpa melihat?”
“Dengan mempercayai dirimu sendiri,” jawab Gurutta Harun. “Keseimbangan bukan hanya tentang fisik. Ini tentang keyakinan. Kau harus belajar mendengarkan tubuhmu, bukan hanya mengandalkan matamu.”
Mukhayyam tampak ragu, tetapi ia tahu bahwa menolak perintah gurunya bukanlah pilihan. Dengan enggan, ia menutup matanya, merasakan papan kayu di bawah kakinya. Langkah pertama terasa goyah, tetapi ia memusatkan pikirannya pada suara air dan arah angin.
“Fokus,” kata Gurutta Harun dari kejauhan. “Bayangkan bahwa setiap langkahmu adalah keputusan penting dalam hidup. Jika kau terlalu terburu-buru, kau akan jatuh. Jika kau terlalu ragu, kau juga akan jatuh. Temukan keseimbangan itu.”
Langkah demi langkah, Mukhayyam perlahan bergerak maju. Hatinya berdegup kencang setiap kali papan kayu itu berderit di bawah berat tubuhnya, tetapi ia terus berjalan. Akhirnya, ia sampai di ujung jembatan dengan selamat.
Ketika ia membuka matanya, ia melihat Gurutta Harun tersenyum lebar. “Bagus,” katanya. “Kau sudah mulai memahami inti dari latihan ini.”
---
Percakapan di Tengah Hutan
Setelah menyelesaikan latihan keseimbangan, Gurutta Harun membawa Mukhayyam lebih dalam ke dalam hutan. Mereka berjalan dalam diam, hanya diiringi oleh suara alam yang mengelilingi mereka.
“Gurutta,” kata Mukhayyam akhirnya, memecah keheningan. “Mengapa Anda begitu keras terhadap saya? Bukankah ada cara lain untuk melatih kekuatan tanpa harus melewati semua ini?”
Gurutta Harun berhenti sejenak, menatap pemuda itu dengan tajam. “Mukhayyam, kau harus memahami sesuatu. Dunia ini tidak akan bersikap lembut padamu. Jika kau ingin menjadi seseorang yang bisa melindungi orang lain, kau harus menjadi lebih kuat dari rasa sakit dan ketakutanmu sendiri.”
“Tetapi mengapa harus saya? Mengapa bukan orang lain yang menjalani semua ini?”
“Karena kau memiliki potensi yang tidak dimiliki oleh orang lain,” jawab Gurutta Harun tegas. “Aku melihat itu dalam dirimu sejak pertama kali kita bertemu. Kau mungkin belum menyadarinya, tetapi suatu hari kau akan mengerti.”
Percakapan itu membuat Mukhayyam terdiam. Ia merasa beban tanggung jawab yang begitu besar mulai menghimpit hatinya, tetapi ia juga merasa bahwa ia tidak sendirian. Dengan Gurutta Harun di sisinya, ia yakin bahwa ia bisa melewati semua ini.
---
Latihan Pertarungan Pertama
Ketika mereka kembali ke lapangan, Gurutta Harun memberikan sebatang tongkat kayu kepada Mukhayyam. “Sekarang, kita akan melihat sejauh mana refleksmu berkembang,” katanya.
“Apa yang harus saya lakukan dengan ini?” tanya Mukhayyam, memegang tongkat itu dengan canggung.
“Kau akan bertahan,” jawab Gurutta Harun sambil mengambil tongkat lain. “Aku akan menyerangmu, dan tugasmu adalah menghindar atau menangkis.”
Mukhayyam menelan ludah, merasa gugup. Gurutta Harun mungkin sudah tua, tetapi gerakannya begitu cepat dan tajam. Ketika serangan pertama datang, Mukhayyam hampir tidak sempat mengangkat tongkatnya untuk menangkisnya.
“Lebih cepat, Mukhayyam!” seru Gurutta Harun. “Jangan berpikir terlalu lama. Percayai instingmu!”
Serangan demi serangan datang, dan Mukhayyam mulai menemukan irama dalam gerakannya. Meski masih sering terkena pukulan, ia merasa bahwa tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan pola serangan gurunya.
Setelah beberapa waktu, Gurutta Harun menghentikan latihan. “Cukup untuk hari ini,” katanya. “Kau masih memiliki banyak hal untuk dipelajari, tetapi aku melihat kemajuan.”
---
Refleksi Malam Hari
Malam itu, setelah makan malam sederhana di pondok Gurutta Harun, Mukhayyam duduk sendirian di luar, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang. Ia merenungkan semua yang telah ia pelajari hari itu, dari latihan fisik yang melelahkan hingga pelajaran tentang keseimbangan dan refleks.
Pikirannya melayang ke keluarganya, terutama kedua orang tuanya, Rasyid Ghazali dan Syarifah Azurah. Ia bertanya-tanya apakah mereka menyadari betapa berat perjalanan yang sedang ia lalui.
Ketika Gurutta Harun bergabung dengannya, Mukhayyam memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya. “Gurutta, apakah menurut Anda saya benar-benar memiliki apa yang diperlukan untuk menjadi seseorang yang kuat?”
Gurutta Harun menatap pemuda itu dengan lembut. “Kau memiliki segalanya, Mukhayyam. Tetapi ingatlah, kekuatan sejati bukan hanya tentang kemampuan fisik. Ini tentang keberanian untuk terus maju meskipun kau merasa takut atau lemah. Dan aku melihat keberanian itu dalam dirimu.”
Kata-kata itu memberikan semangat baru bagi Mukhayyam. Ia tahu bahwa jalan di depannya masih panjang dan penuh rintangan, tetapi ia juga tahu bahwa ia memiliki potensi untuk menghadapinya.
Dengan tekad yang semakin kuat, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menyerah, apa pun yang terjadi. Perjalanan ini adalah miliknya, dan ia akan melaluinya dengan kepala tegak.