Pagi itu, suasana di Desa Cindua terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan aroma tanah yang baru saja diguyur hujan semalam, memberikan kedamaian yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Namun, hati Mukhayyam Hafiz tidak sepenuhnya tenang. Latihan-latihan berat yang diberikan Gurutta Harun mulai membuka matanya akan kerasnya kehidupan, tetapi ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang—jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar dalam benaknya.
Gurutta Harun tampaknya memahami keresahan itu. Setelah menyelesaikan sarapan sederhana mereka, ia memandang Mukhayyam dengan tatapan penuh arti.
“Mukhayyam,” katanya perlahan. “Hari ini, aku ingin kau bertemu dengan seseorang.”
Mukhayyam menghentikan kunyahannya dan menatap gurunya dengan rasa ingin tahu. “Siapa, Gurutta?”
“Seorang lelaki tua yang tinggal di pinggir hutan,” jawab Gurutta Harun. “Orang-orang di desa sering memanggilnya dengan sebutan Si Tua Bijak. Dia bukan sembarang orang, Mukhayyam. Dia memiliki pengetahuan dan pengalaman yang bisa membantumu memahami tujuan perjalananmu.”
“Apakah dia seperti Anda, Gurutta?” tanya Mukhayyam dengan nada kagum.
Gurutta Harun tersenyum tipis. “Dia jauh lebih bijaksana daripada aku. Tetapi ingat, dia juga sangat selektif. Jika dia tidak melihat ketulusan dalam dirimu, dia mungkin tidak akan membantumu.”
---
Perjalanan ke Pinggir Hutan
Setelah berpamitan, Mukhayyam mengikuti Gurutta Harun menuju pinggir hutan. Jalanan setapak yang mereka lalui dipenuhi dengan pepohonan besar yang seolah menjadi penjaga alam sekitarnya. Kicauan burung dan suara dedaunan yang bergesekan tertiup angin menjadi latar suara perjalanan mereka.
“Gurutta, mengapa Si Tua Bijak memilih hidup jauh dari desa?” tanya Mukhayyam di tengah perjalanan.
“Dia pernah hidup di tengah masyarakat, tetapi memilih menyendiri untuk mencari ketenangan,” jawab Gurutta Harun. “Dia percaya bahwa kebijaksanaan sejati hanya bisa ditemukan dalam keheningan dan introspeksi.”
Mukhayyam mengangguk, meski masih belum sepenuhnya memahami alasan itu.
---
Pertemuan Pertama
Mereka tiba di sebuah pondok kecil yang hampir tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Pondok itu tampak sederhana, terbuat dari kayu tua yang sudah mulai lapuk, tetapi ada aura kehangatan yang memancar darinya.
Seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang duduk di depan pondok itu, memegang sebuah tongkat. Matanya yang tajam dan dalam menatap langsung ke arah Mukhayyam, seolah-olah membaca seluruh isi hatinya.
“Harun,” kata lelaki itu dengan suara serak tetapi penuh wibawa. “Siapa anak muda yang kau bawa ke sini?”
Gurutta Harun memberi isyarat pada Mukhayyam untuk mendekat. “Ini Mukhayyam Hafiz, seorang pemuda yang sedang mencari jati dirinya. Dia ingin belajar lebih banyak tentang kehidupan dan kekuatan.”
Lelaki tua itu tertawa kecil, tetapi ada kebijaksanaan dalam tawanya. “Semua pemuda selalu mencari sesuatu. Tapi pertanyaannya adalah, apakah dia benar-benar tahu apa yang dia cari?”
Mukhayyam maju selangkah, meskipun gugup. “Saya mungkin belum sepenuhnya tahu, Tuan,” katanya dengan suara gemetar. “Tapi saya ingin menjadi lebih kuat, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang yang saya cintai.”
Lelaki tua itu mengangguk perlahan. “Keinginan yang mulia. Tetapi kekuatan tanpa pemahaman hanya akan membawa kehancuran. Apa yang kau pikirkan tentang kekuatan, anak muda?”
---
Percakapan Intens
Mukhayyam terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata. “Saya pikir kekuatan adalah kemampuan untuk melindungi orang lain, untuk melawan ketidakadilan, dan untuk membawa kedamaian.”
Lelaki tua itu tersenyum tipis. “Jawaban yang baik, tetapi terlalu sederhana. Kekuatan adalah pedang bermata dua. Ia bisa melindungi, tetapi juga bisa melukai. Ia bisa membawa kedamaian, tetapi juga bisa menimbulkan perang. Apa yang akan kau lakukan jika kekuatan yang kau miliki justru menjadi alasan orang lain menderita?”
Pertanyaan itu menusuk hati Mukhayyam. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Melihat kebingungan di wajah pemuda itu, lelaki tua itu melanjutkan. “Itulah sebabnya kekuatan harus diimbangi dengan kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan, kau hanya akan menjadi alat, bukan pemimpin.”
Mukhayyam menunduk, merenungkan kata-kata itu. “Bagaimana saya bisa memperoleh kebijaksanaan itu?”
“Kebijaksanaan tidak datang dalam semalam,” jawab lelaki tua itu. “Ia tumbuh dari pengalaman, kesalahan, dan refleksi. Tapi kau bisa mulai dengan mendengarkan, belajar, dan membuka hatimu pada kebenaran, bahkan jika itu menyakitkan.”
---
Ujian Pertama
Setelah percakapan itu, Si Tua Bijak meminta Mukhayyam untuk mengikuti sebuah ujian. Dia membawa Mukhayyam ke sebuah batu besar yang berdiri di tengah hutan. Batu itu penuh dengan ukiran-ukiran kuno yang tampaknya memiliki makna mendalam.
“Lihat batu ini,” katanya. “Ukiran-ukiran ini menceritakan kisah tentang seorang pemimpin besar yang pernah hidup di daerah ini. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi akhirnya kehilangan segalanya karena tidak memahami batas-batas kekuatannya. Apa yang kau pelajari dari cerita ini?”
Mukhayyam memandang batu itu dengan serius. “Saya pikir... seorang pemimpin harus tahu kapan harus menggunakan kekuatannya dan kapan harus menahannya.”
“Benar,” kata Si Tua Bijak. “Tapi lebih dari itu, seorang pemimpin harus tahu bahwa kekuatan sejati tidak selalu terlihat dari apa yang dia lakukan, tetapi juga dari apa yang dia pilih untuk tidak lakukan.”
---
Kesan Mendalam
Hari itu memberikan banyak pelajaran berharga bagi Mukhayyam. Si Tua Bijak bukan hanya seseorang yang penuh dengan pengetahuan, tetapi juga seorang pembimbing yang mampu membuka pandangan seseorang terhadap dunia.
Ketika mereka kembali ke desa, Mukhayyam merasa bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Ia tahu bahwa pelajaran-pelajaran dari Si Tua Bijak akan menjadi fondasi penting dalam perjalanannya menuju kekuatan sejati.
“Gurutta,” katanya ketika mereka hampir sampai di pondok. “Apakah menurut Anda, saya bisa menjadi pemimpin seperti yang dikatakan oleh Si Tua Bijak?”
Gurutta Harun tersenyum. “Jika kau terus belajar, mendengarkan, dan menjaga hatimu tetap tulus, aku percaya kau bisa, Mukhayyam.”
Kata-kata itu memberikan semangat baru bagi Mukhayyam. Ia bertekad untuk tidak hanya menjadi kuat, tetapi juga menjadi bijaksana, seperti yang diajarkan oleh Si Tua Bijak.
Mukhayyam Hafiz merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda saat kembali dari pondok kecil Si Tua Bijak. Bayangan percakapan mereka masih membekas di benaknya. Namun, sesuatu yang dikatakan lelaki tua itu membuatnya terusik.
“Kekuatan sejati tidak selalu berasal dari otot dan senjata. Terkadang, kekuatan itu ada dalam cara seseorang mengendalikan dirinya sendiri,” ucap Si Tua Bijak sebelum mereka berpisah.
Gurutta Harun memperhatikan ekspresi muridnya yang sedang berpikir keras saat mereka berjalan di tengah hutan. Ia memutuskan untuk memberinya waktu, tidak ingin mengganggu proses refleksi Mukhayyam. Tapi Mukhayyam sendiri tidak bisa menyimpan kegelisahannya lebih lama lagi.
“Gurutta,” panggil Mukhayyam dengan nada hati-hati. “Apa yang sebenarnya dimaksud oleh Si Tua Bijak? Mengapa ia berbicara tentang kekuatan sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, bukan digunakan?”
Harun menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan memandang muridnya dengan tatapan lembut.
“Mukhayyam,” katanya perlahan, “apa kau pernah melihat seseorang yang memiliki segalanya tetapi kehilangan semuanya hanya karena tidak tahu batasan?”
Mukhayyam berpikir sejenak. Ia mengingat seorang pedagang kaya di desa yang bangkrut karena kerakusannya sendiri, tetapi ia tidak yakin bagaimana hal itu berkaitan dengan dirinya. “Mungkin... tetapi bagaimana itu terkait dengan perjalanan saya?”
Harun tersenyum. “Ketika kau semakin kuat, kau juga akan memiliki lebih banyak tanggung jawab. Semakin banyak orang akan bergantung padamu, dan semakin besar pula kemungkinan kau membuat keputusan yang salah. Itulah sebabnya kau harus belajar untuk mengendalikan dirimu sendiri sebelum mencoba mengendalikan orang lain.”
---
Pondok Si Tua Bijak yang Misterius
Setibanya mereka kembali di desa, Mukhayyam tidak bisa menghilangkan keinginan untuk kembali ke pondok Si Tua Bijak. Ada sesuatu tentang lelaki tua itu yang membuatnya penasaran. Selain itu, ia merasa bahwa percakapan mereka belum selesai.
“Gurutta,” kata Mukhayyam keesokan harinya, “bolehkah saya pergi sendiri ke pondok Si Tua Bijak? Saya ingin berbicara lagi dengannya.”
Harun memandang muridnya dengan penuh pertimbangan. “Kau boleh pergi, tetapi ingat, Si Tua Bijak tidak menyukai kunjungan tanpa alasan. Jika kau kembali, pastikan kau memiliki pertanyaan yang benar-benar ingin kau jawab.”
Mukhayyam mengangguk dengan serius. Ia tahu bahwa perjalanan ke hutan itu tidak mudah, tetapi hatinya sudah mantap.
Setibanya di pondok, Si Tua Bijak sudah menunggunya. “Aku tahu kau akan kembali,” katanya tanpa menoleh. Ia sedang mengaduk cairan dalam sebuah panci besar di depan pondoknya.
Mukhayyam mendekat dengan hati-hati. “Bagaimana Anda tahu saya akan kembali?” tanyanya.
Si Tua Bijak tersenyum kecil. “Pemuda yang gelisah selalu kembali ke tempat di mana mereka bisa menemukan jawaban. Jadi, apa yang membuatmu datang ke sini, anak muda?”
Mukhayyam duduk di atas sebuah batu besar, menghadap Si Tua Bijak. “Saya ingin tahu lebih banyak tentang apa yang Anda katakan kemarin. Tentang kekuatan dan pengendalian diri. Mengapa itu begitu penting?”
---
Pelajaran Baru
Si Tua Bijak menghentikan kegiatannya dan menatap Mukhayyam dengan serius. “Baiklah, mari kita mulai dari hal sederhana. Apa menurutmu perbedaan antara kekuatan dan kebijaksanaan?”
Mukhayyam berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kekuatan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu, sedangkan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk mengetahui kapan harus melakukannya.”
Si Tua Bijak mengangguk. “Jawaban yang bagus. Tapi mari kita perjelas. Kekuatan tanpa kebijaksanaan adalah seperti sungai tanpa tepi—ia akan meluap dan menghancurkan segala yang ada di sekitarnya. Kebijaksanaan tanpa kekuatan, di sisi lain, adalah seperti tepi sungai tanpa air—ia tidak memiliki tujuan.”
Mukhayyam terdiam, mencoba mencerna metafora itu.
“Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku,” kata Si Tua Bijak tiba-tiba. Ia mengambil sebuah panci kecil berisi air dan memberikannya kepada Mukhayyam. “Bawa air ini ke atas bukit di belakang pondokku, tetapi jangan tumpahkan setetes pun.”
Mukhayyam mengerutkan dahi, merasa bingung, tetapi ia tidak ingin mengecewakan lelaki tua itu. Ia mengambil panci itu dengan hati-hati dan mulai mendaki bukit. Jalannya curam dan berbatu, dan ia harus berhati-hati agar tidak terpeleset.
Ketika ia akhirnya tiba di puncak, ia merasa lega. Ia menatap panci itu dan melihat bahwa airnya masih penuh. Ia tersenyum, merasa bangga pada dirinya sendiri.
Namun, saat ia kembali ke pondok, Si Tua Bijak menyambutnya dengan pertanyaan yang tak terduga. “Kau berhasil menjaga air itu tetap utuh, tetapi apa yang kau lihat di sepanjang perjalananmu?”
Mukhayyam terdiam. Ia terlalu fokus pada panci air sehingga tidak memperhatikan apa pun di sekitarnya. “Saya tidak melihat apa-apa,” jawabnya dengan jujur.
Si Tua Bijak tersenyum penuh arti. “Itulah pelajaran pertama, anak muda. Dalam perjalanan hidupmu, jangan terlalu fokus pada satu tujuan hingga kau melupakan hal-hal penting di sekitarmu. Seorang pemimpin harus bisa melihat gambaran besar, bukan hanya satu titik.”
---
Persahabatan yang Tak Terduga
Hari itu, Mukhayyam tidak hanya belajar pelajaran berharga, tetapi juga merasa lebih dekat dengan Si Tua Bijak. Meski lelaki tua itu sering berbicara dengan teka-teki, ia mulai memahami bahwa setiap kata memiliki makna yang dalam.
Saat Mukhayyam berpamitan, Si Tua Bijak memberikan sebuah pesan terakhir. “Kembali ke sini kapan pun kau merasa siap untuk pelajaran berikutnya. Tapi ingat, setiap jawaban yang kau cari akan selalu mengarah pada pertanyaan baru.”
Mukhayyam tersenyum, meski tidak sepenuhnya memahami maksud ucapan itu. Ia tahu bahwa perjalanan ini baru permulaan, tetapi ia merasa lebih percaya diri untuk melangkah maju.
Di tengah perjalanan pulang, ia memikirkan bagaimana ia bisa menerapkan pelajaran dari Si Tua Bijak ke dalam latihan dan kehidupannya. Gurutta Harun selalu berkata bahwa belajar tidak hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang membentuk karakter. Dan kini, ia mulai melihat kebenaran dari kata-kata itu.
Mukhayyam Hafiz, pemuda Desa Cindua yang sederhana, kini mulai menapaki jalan panjang menuju kebijaksanaan dan kekuatan sejati.
---
Persiapan untuk Langkah Selanjutnya
Setibanya di pondok Gurutta Harun, ia menceritakan semua yang telah terjadi. Gurutta Harun mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu berkata, “Kau telah mengambil langkah pertama menuju pemahaman yang lebih besar, Mukhayyam. Tapi ingat, pelajaran yang paling berharga adalah yang kau temukan sendiri.”
Malam itu, Mukhayyam tidak bisa tidur. Ia merenungkan semua yang telah ia pelajari dari Si Tua Bijak. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan bimbingan Gurutta Harun dan Si Tua Bijak, serta tekadnya sendiri, ia yakin bisa mengatasi semua rintangan yang ada di depannya.
Di bawah langit malam Desa Cindua yang dipenuhi bintang, Mukhayyam Hafiz berjanji pada dirinya sendiri: ia akan menjadi pemimpin yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana.