PART 4. RUSAKNYA MAHKOTA
Alifia terbangun oleh cahaya matahari yang mulai masuk merambati celah-celah lubang angin di kamar pengasingan. Raudah masih terlelap, kelelahan bercerita hingga hampir pagi menjelang.
Tak ada air di sana. Wudhulah ia dengan tayamun pada dinding bata. Alifia sholat dengan pakaian seadanya.
Tak lama kemudian pintu dibuka paksa. Berdebar dada Alifia karena tiba-tiba saja sosok tubuh yang menghampiri, mengunci pintu dan mencengkeram leher Alifia.
"Kau .... kau rupanya lebih suka aku main kasar! Kamu kira kau bisa lolos dariku begitu saja?"
"T ... Tuan Sadam ..." Alifia terperanjat.
Rupanya lelaki itu lolos dari jerat hukum karena kurangnya bukti-bukti dan bisa pula karena hartanya sanggup menyumpal keadilan.
Direnggutnya gaun Alifia sehingga dadanya telanjang. Buah dada ranum itu masih mendebarkan Sadam Bhisma untuk memuaskan nafsu birahinya.
"Jangan ... jangan Tuan. Jangan lakukan itu pada Nyonya Alifia." Raudah yang baru saja bangun dari lelapnya mencoba mencegah.
"Diam kamu, pelayan busuk. Pengkhianat kamu. Cuihhh!" Tuan Sadam meludahi Raudah.
Sadam Bhisma tak peduli lagi, Alifia didorong ke atas satu-satunya kasur di ruang itu. Raudah hanya bisa menjerit ketakutan. Alifia tak dapat berkata lagi, lelaki bertubuh gempal itu menindih tubuhnya dengan kasar. Pinggul Alifia membeku tak merespon tubuh lelaki itu. Tapi Tuan Sadam tak peduli, dijilatinya seluruh tubuh Alifia yang diam membeku tanpa busana, lalu digigitnya puting payudara wanita itu. Sambil menjejalkan diri masuk ke tubuh Alifia yang akhirnya menyerah dalam kesakitan yang luar biasa.
Diam-diam Raudah mencari cara menyudahi adegan perkosaan itu dengan mencari benda tajam. Ia hanya menemukan peniti bros, dan memakai peniti itu untuk menggoresi tubuh Sadam Bhisma sekaligus mencakari punggung yang sedang asyik masyuk tanpa malu itu.
Sadam yang sedang menjelajah tubuh Alifia mendadak meledak. Ia kini menyerang Raudah dan merobek gaun pelayannya itu. Rupamya nafsu Sadam tak terpuaskan dengan satu korban. Kini tubuh Raudahlah yang ditangkapnya. Maskipun wajah Raudah biasa saja, namun tubuh gadis perawan itu sintal dan padat. Sadam kembali bergairah pada Raudah. Ditariknya gaun Raudah hingga perempuan itu masuk ke dalam pelukan eratnya.
"Oh Tuan, jangan lakukan itu padaku!"
Tapi Sadam Bhisma menyumpal mulut Raudah dengan kaos dalamnya yang bekeringat. Sementara Alifia jatuh pingsan. Jiwa dan raganya tak sanggup melihat kenyataan.
Sadam Bhisma menjelajah tubuh perawan Raudah dan merenggut puting payudara wanita itu dengan kasar. Raudah cuma bisa mengaduh dan berurai air mata, ia tak menyangka akan menjadi korban selanjutnya. Kepada gadis itu ia mengeluarkan cemeti, entah kenapa lelaki itu suka sekali melihat perempuan yang berdarah-darah seolah gairahnya meningkat berkali-kali lipat demi melihat penderitaan lawan mainnya.
Raudah dicambuki berkali-kali hingga berdarah-darah. Lalu dengan rakusnya Sadam Bhisma menjilati leleran darah di tubuh Raudah dan meringseknya dengan paksa. Darah perawan mengalir. Bhisma memikmatiya sambil tertawa. Tubuh gempalnya berhasil merusak mahkota dua wanita sekaligus dalam satu tempo. Dua jam kemudian Raudah dan Alifia tak bekutik dan tak sadarkan diri.
Anak buahnya berjaga-jaga di depan kamar adegan jahanam itu. Mereka tahu apa yang dilakukan tuannya kepada dua perempuan malang itu. Kedua perempuan yang kini pingsan, tergeletak berdarah-darah dengan pakaian sobek di sana-sini. Tak ada yang mendengar jerit mereka. Tak ada yang peduli sakit hati mereka dan dendam yang membara kepada sang tuan yang tak tahu diri dan penuh angkara.
***
"Ini pakaian baru dan makanan buat kalian, para wanita jalang!"
Anak buah Sadam melemparkan ke dalam ruang pengap itu pakaian dan makanan untuk Alifia dan Raudah.
"Baiknya kalian jika bisa berhias sedikit ya ... Tuan Sadam akan mengunjungi kalian lagi jika kalian menggairahkan."
Terdengar riuh tawa para lelaki itu yang kembali mengunci pintu kamar pangasingan Alifia dan Raudah. Dua wanita yang kini saling memeluk dan mencoba mengobati luka batin yang lebih parah daripada luka di sekujur tubuh mereka.
"Aku bersumpah, akan membunuh Sadam suatu saat nanti!" ujar Alifia sambil menggigit bibirnya. Bibir itu berdarah. Pakaian yang sudah sobek dijadikan lap bekas-bekas darah dan lendir milik Sadam yang menjijikkan.
"Aku akan membantumu, Kak." sahut Raudah dengan pasti. Sebentuk seringai aneh menghiasi wajah Raudah, yang bercampur amarah, sedih dan dendam yang tak terperikan. Raudah tak habis pikir ada lelaki yang tak punya urat malu mempertontonkan nafsu di depan banyak orang. Kini ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena tak sanggup melawan kekuasaan sang tuan.
***
Sebentuk seringai aneh menghiasi wajah Raudah, yang bercampur amarah, sedih dan dendam yang tak terperikan. Raudah tak habis pikir ada lelaki yang tak punya urat malu mempertontonkan nafsu di depan banyak orang. Kini ia merasa jijik pada dirinya sendiri karena tak sanggup melawan kekuasaan sang tuan.
PART 12. KEMARAHAN SADAM BHISMA Betapa marahnya Sadam Bhisma atas keteledoran Ray yang sudah diberinya bayaran di muka untuk menjaga dua tawanannya. Ia tak menyangka lelaki itu bisa termakan umpan Raudah. Sadam Bhisma segera membereskan urusan bisnisnya dan bergegas mencari sendiri Ray, Raudah dan Alifia. Ia hanya ditemani Bram, kaki tangannya di kantor. Dengan mengendarai mobil ranger-nya mereka mengendus jejak pelarian di hutan pinus. "Untuk Ray, tak ada kata ampunan lagi." ujar Sadam Bhisma kepada Bram yang sedang menyetir. "Tentu." Bram menyetujui. "Cepatlah mengemudi, aku masih banyak urusan." Lantas ranger raptor merah itu mempercepat lajunya menembus hutan yang mulai pekat. Tak seberapa lama sampailah mereka ke kedalaman hutan pinus yang sudah tak dapat lagi ditembusi kendaraan mereka. "Di sini saja, Bos?" "Ya. Siapkan senjata dan senter!" "Baik!" "Hmmm ... sudah lama aku tidak berburu di hutan." Bram mengikuti Sadam Bhisma yang berjalan dengan langkah le
Langkah Raudah dan Alifia semakin berat seiring teriknya matahari yang memanggang ubun-ubun. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek misterius itu terasa semakin panjang dan tak berujung. Sesekali, Alifia meringis menahan sakit di kakinya yang terluka. "Bertahanlah, Lifia. Sebentar lagi kita sampai," hibur Raudah, meskipun dia sendiri juga dilanda kelelahan dan keraguan. "Aku... aku takut, Raudah," bisik Alifia, suaranya bergetar. "Bagaimana jika mereka menemukan kita? Aku tidak mau kembali ke sana. Aku tidak mau kembali pada Shadam." Raudah menggenggam tangan Alifia erat. "Tidak, Lifia. Kita tidak akan kembali ke sana. Aku janji. Kita akan cari bantuan dan keluar dari masalah ini bersama-sama." Tekad Raudah kembali menguat. Dia tidak akan membiarkan Alifia kembali jatuh ke tangan Shadam. Dia harus melindungi Alifia, meskipun nyawa taruhannya. Bagi Raudah, Alifia bukan hanya sekadar "majikan" yang harus dilindungi sesuai tugasnya sebagai pengawal. Lebih dari itu, Alifia adalah sahaba
Suara tembakan itu bergema di antara pepohonan pinus, membuat burung-burung berhamburan dari sarangnya. Shadam, pria berbadan tegap dengan rahang kokoh dan tatapan dingin, menyelipkan kembali pistolnya ke balik jas hitamnya. Wajahnya tanpa ekspresi menatap jasad Ray yang tergeletak di tanah bersimbah darah."Tak berguna!" desisnya, kemudian menoleh ke anak buahnya yang berdiri kaku di belakangnya. "Cari dua perempuan itu! Jangan sampai lolos!""Baik, Bos!" jawab anak buahnya serempak, lalu berpencar menyusuri hutan.Shadam mengusap dagunya, berpikir. Jejak Raudah dan Alifia masih segar. Mereka tak mungkin pergi terlalu jauh. Apalagi, salah satu dari mereka terluka. Pasti akan mudah menemukan mereka, pikir Shadam licik.***Sementara itu, di dalam gua yang gelap dan lembap, Raudah terbangun lebih dulu. Sinar matahari pagi yang menerobos celah-celah sempit gua menyilaukan matanya. Dia merasakan perih di lengan kanannya yang terluka akibat terjatuh saat melarikan diri dari Ray. Di sebelah
"Tunggu, aku mencium batu gamping yang lebih banyak di sana." Alifia menggamit lengan Raudah agar berhenti berlari. "Hahhh ... maksudmu?" "Raudah kita harus mencari tempat persembunyian. Bukannya terus berlari dan berlari tak tentu arah." "Ehhh, kita ini dalam pengejaran." "Ya tapi ... ada masanya kita lelah berlari." "Kaulelah, Kak Alifia. Astaga ... kakimu berdarah." Alifia mengangguk dan terus berjalan ke arah sumber bau gamping yang diindu olehnya. Semenjak mengalami kebutaan, indera penciuman dan mata batin Aliia semakin tajam. Gelapnya netra dibayar tundai dengan terangnya mata batin dan indera. Dirabainya dahan-dahan kayu pinus dan pohon ek yang dilewatinya, sengaja berjalan di depan dan ganti memimpin langkah Raudah yang kebingungan dengan tingkah Alifia. Dengung serangga dan kunang-kunang didengarnya makin tajam menggema di daun telinga, merasai cahaya kunang-kunang itu sebagai tuntunan jalan hidup menuju t
Part 11. TRAGEDI DALAM RIMBA Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi di dalam hutan? Sebab rimba raya yang pekat membuat suasana macam labirin yang tak berbentuk. Belum lagi hawa dingin menusuk-nusuk dan tumpukan ranting serta dedaunan tajam, bayangan ular melata di bawahnya atau yang bergantungan di pohon serta binatang buas lain yang siap menerkam. Raudah dan Alifia saling bersedekap mengusir dingin dan rasa takut, sementara kegelapan semakin pekat. Mereka saling membisikkan penghiburan satu sama lain, sesekali bercanda dan berkali-kali menitikkan air mata. Sementara seseorang sedang menyalakan api unggu di tengah hutan dengan bekal korek api yang dimilikinya. Ia menyalakan puntung rokok yang masih terselip di saku celana. Asap api unggun itu membumbung dan membuat Alifia dan Raudah tersedak, karena ternyata mereka berada dalam jarak yang sangat dekat. "Siapa itu?" Ray menyadari ada suara manusia di dekatnya, kemudian meny
BAB 10. INTUISI Dering handphone milik Yusuf membunyikan nada panggil keluarga bilik-bilik sunyi. Yusuf mengangkat handphone-nya terdengar suara Sarah di ujung sana. "Yusuf ... kau di mana? Mampir ke rumahku cepat, aku menemukan petunjuk yang berharga." "Sungguh? Oke aku putar balik." Yusuf memutar balik motornya menuju perumahan tempat Sarah tinggal bersama suami dan dua anaknya. *** "Ya Allah ... semoga ini benar milik Kak Alifia!" Yusuf meraih anting-anting yang hanya sebelah itu dan mengamatinya lekat-lekat. Anting itu meskipun sederhana tetapi memiliki bentuk unik yang tak banyak diproduksi lagi. Bandul bintang kecil pada bagian bawah anting-anting mengingatkan pada cahaya di masa kecilnya yang mulai dinyalakan Alifia dalam dada. Cahaya yang begitu indah melengkapi sinar purnama, saat di mana pesta pora para cendekia kecil berlomba-lomba membaca cerita atau pun dibacakan dengan suara keras