PART 3. JEJAK ALIFIA
Yusuf Anshori sengaja tak memberi tahu ibu dan kakak-kakaknya perihal hilangnya jejak Alifia Falasifa. Polisi sudah menyusuri jejak kepergian kakak perempuannya itu semenjak menghilang bersama pelayan rumah, Raudah dua hari lalu dan sampai kini hasilnya nihil. Namun akhirnya Awaliyah mengetahui hilangnya sang putri sulung dari salah seorang intel yang menyelidiki kasus ini
“Tuan Sadam Bhisma beserta para istrinya telah ditahan untuk kepentingan penyelidikan.”
Intel tersebut menjelaskan kronologi hilangnya Alifia.
Bulir-bulir bening menetes di kedua pipinya yang memucat dan semakin tirus. Kedua putrinya, Hanifa dan Sarah terduduk lemas dan hanya sanggup memijati bahu ibunya yang lelah, sementara batin mereka sama-sama patah.
“Alifia adalah Alif, awalan yang baik dan mulia. Ia tauladan iman dan ihsan bagi adik-adiknya, kenapa jadi tersia-sia?” ucap Sarah lirih yang disahut dengan peluk dan tangis Hanifa.
“Tenanglah. Ibu yakin Yusuf Anshori akan menemukannya!” tutur Alawiyah tiba-tiba.
Hanifa dan Sarah memeluk ibunya erat-erat, mencoba mengusir resah dan meredakan amarah.
“Ibu benar, Kak Alifia akan kembali pulang membawa lentera baru." hibur Sarah.
Lalu ketiga anak beranak itu bersujud, dalam hening dan bising di hati mereka, yang saling bertaut untuk meminta jawaban dan Sang Maha Kasih. Tapi apalah daya, ketenangan batin belum sanggup diraih. Kasur kapuk terasa batu, selimut tak sanggup menghalau gigil. Pada malam buta yang seharusnya purnama, awan hitam menyelimuti cahaya hingga petir menyambar-nyambar atap sirap. Deru gelegarnya membangunkan Alawiyah selain karena ia harus menyalakan pelita ketika listrik di depan jalan yang mati tiba-tiba.
“Ibuu, anting-antingku mana!”
“Jatuh di mana?”
“Entahlah, tapi aku harus menemukannya. Kasihan Ayah.”
“Kalau begitu kita cari bersama-sama ya, Nak”
Alawiyah mengenang Alifia kecil. Saat ia paham perjuangan ayahnya dulu menjadi penarik becak. Saat itu Alifia teramat ketakutan ketika salah satu anting-anting kesayangannya hilang. Padahal itu satu-satunya hadiah yang pernah diterimanya dengan rasa bangga dari suami Alawiyah yang berpulang setelah lahirnya Yusuf Anshori itu. Anting-anting itu pula yang masih dikenakannya di pelaminan saat bersanding dengan Tuan Sadam Bhisma.
Semenjak ia mempertahankan anting-anting itu pula Tuad Sadam Bhisma menghinanya.
"Kau tampak bodoh, kubelikan anting yang mahal malah kaupakai anting anak kampung. Ia bertengger di telingamu serupa bandul peniti. Pakai ini!'
Seru Tuan Sadam Bhisma sambil melemparkan anting-anting berliannya ke wajah Alifia. Semenjak itu Alifia yakin bahwa pernikahannya adalah pernikahan bencana. Dipakainya anting berlian dengan tetap tak melepaskan anting masa kecilnya. Air mata jatuh. Esok hari pasti akan lebih banyak lagi kesedihan dan derita. Alifia salah mengeja makna cinta Tuan kepada nona.
Kini anting-anting dan pemiliknya tak jua ditemukan. Tetapi Alawiyah menyediakan pelita di meja luar di atas kain sulam yang dikerjakan Alifia, agar ia tahu bahwa bilik-bilik sunyi selalu menunggu kedatangannya.
***
“Maafkan aku, aku belum menemukan Kak Alifia.”
“Yusuf Anshori, ibu yakin kamu bisa, Nak. Berusahalah terus sambil membuat reportase berita. Kau takkan kehilangan pekerjaan sambil terus mencari cahaya kebenaran.”
“Ya, aku takkan menyerah untuk terus mencarinya.”
“Apakah Bhisma dan para istri jahatnya yang menyiksa Alifia masih ditahan polisi?”
“Kuharap begitu Ibu. Tapi hartanya juga bisa menyumpal para penegak hukum jika mereka tak kuat iman.”
Mereka semua terdiam atas kenyataan pahit itu. Hukum bukan untuk melegalkan dendam, hukum juga tak jua punya efek menjerakan kebanyakan orang meski sanggup memenjarakan. Tapi setidaknya dengan menegakkan hukum akal budi negeri ini terasah untuk memahami benar dan salah, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke langit-langit para bangsawan.
***
Sementara di dalam mobil dengan kaca jendela serba hitam, Alifia dan Raudah tak berkutik ketika tangan dan kakinya diikat kuat-kuat dan mulut dan mata mereka dibebat kain hitam lalu diikat. Keringat mengucur deras pada tubuh kedua wanita itu di dalam mobil yang ber-AC.
Dalam gelap dan pekat, netra Alifia selalu berupaya menghadirkan cahaya, direkamnya baik-baik suara derum mobil, dihitungnya menit demi menit dan diindunya udara meski sesak terasa di dada. Sembari batinnya bermunajat pada Sang Rabb dan melantunkan zikir penenang hati.
Sampai mobil itu berhenti pada sebuah bangunan tua bertingkat, Alifia dan Raudah didorong dengan pucuk senapan agar patuh pada titah penculiknya. Kaki mereka terseret-seret, sesekali gaun Alifia dan Raudah direnggut paksa agar cepat menaiki anak tangga dalam keadaan mulut dan mata tertutup rapat sedangkan ikatan tangan belum juga dilepaskan. Kerudung mereka juga direnggut paksa oleh ke tiga lelaki biadab itu.
“Masuk!”
Suara lelaki yang sebelumnya berperan sebagai pengacara itu menghardik Alifia dan Raudah sembari mendorong tubuh ke dua perempuan itu ke dalam sebuah kamar yang penuh debu dan sarang laba-laba. Ada kasur tipis di sana dan dua bungkus makanan dilemparkan kepada mereka. Tak ada penjelasan sampai detik tiga pria itu berbalik keluar dan mengunci kamar empat kali empat meter persegi itu.
Sempat hampir putus asa, Alifia mulai mencari akal melepaskan diri dari ikatan dengan saling bertautan tangan dengan Raudah, mereka akhirnya bisa membuka jerat kain di pergelangan tangan mereka. Lalu membuka ikatan di mulut dan mata sehingga akhirnya mereka saling berangkulan melepas beban yang tertahan dalam dua belas jam perjalanan yang melelahkan jiwa dan raga.
“Jika lelaki mempunyai kuasa dan ia merasa pernah dihina, inilah yang terjadi.” Raudah mengambil kesimpulan.
“Jadi menurutmu ini ulah Tuan Sadam Bhisma?” Alifia mencoba menegaskan.
“Ya, siapa lagi? Tak ada yang membencimu kecuali orang yang merasa berkuasa namun kauabaikan permintaannya.”
Alifia berkaca-kaca, ia teringat ibu dan adik-adiknya. Yusuf Anshori dan ayahnya adalah dua lelaki yang tak pernah mengandalkan kuasanya sebagai lelaki kepala keluarga. Mereka para lelaki yang hebat, tak pernah sewenang-wenang dan mereka selalu menyediakan telinga dengan saksama untuk menyimak keluh kesah para perempuan dalam rumah tangga. Alifia yakin, kiranya tak akan lelaki menjadi seorang pembenci dan merobek-robek hati perempuan jika masa kecilnya penuh limpahan kasih sayang ibu dan ayah yang mengutamakan prinsip kemitraan dalam relasi gender.
"Jika kau mengenal adikku Yusuf Anshori, kau akan punya pendapat lain tentang laki-laki.” Alifia tersenyum rekah kepada Raudah yang sedang menyisiri rambut gelombang Alifia dengan jemari tangannya.
“Aku sempat melihat Yusuf pada hari pernikahanmu, Kak. Tapi memang tak pernah berbincang dengannya. Kurasa ia sangat cerdas dan tenang, teduh seperti dirimu. Lagipua ia sangat ... tampan. Ahhh seandainya ...”
"Seandainya apa?"
"Seandainya aku bisa menjadi kekasihnya. Tentu bahagia rasanya." ujar Raudah dengan kerjap panuh harap. "Tapi apalah daya aku hanya seorang pelayan buruk rupa."
Alifia tertawa dan lantas bercerita lebih banyak tentang adik-adiknya. Ia bercerita tentang masa kecil mereka berempat di rumah petak bilik sunyi yang bermandikan cahaya rembulan. Perihal mata Yusuf yang berbinar ketika dibacakan kisah-kisah nabi, Sarah yang usil tetapi kocak dan menghangatkan keluarga, Hanifa yang penurut dan Ibu mereka, Alawiyah yang tak kenal lelah menjaga empat buah hatinya agar tak kelaparan dan memiliki daya juang tinggi. Alifia juga menceritakan kepada Raudah perihal Hanifa yang sempat hendak dilamar pria tua seperti dirinya dulu tetapi urung karena Yusuf Anshori melarang kakaknya menikah hanya karena keterpaksaaan dan keterpurukan seperti yang dialami Alifia lebih dulu.
“Sebagai perempuan, kita tak akan menggantungkan kekuatan dan rejeki pada lelaki selamanya. Kita mesti berdaya. Sebab Allah menciptakan kita lengkap dengan talenta. Jika kau bisa menjahit, maka jahitlah sulaman terindah, jika kau bisa menulis maka tulislah sajak bertuah, jika kau bisa berbicara maka bicarakanlah hal-hal yang memberdayakan dan bukan memperdaya.”
“Kau benar, Kak. Tadinya aku terpesona pada pria-pria kaya. Namun begitu melihat perlakuan Tuan Sadam Bhisma terhadap para istrinya, aku sangat muak padanya!”
“Tapi dia baik pada istrinya yang lain.”
“Baik bagaimana? Aku pernah tak sengaja melihat Tuan Sadam Bhisma mencambuki Wina. Mereka bergumul sambil Tuan menjilati darah Wina. Tentu perih rasanya, tetapi entah Wina juga seorang yang masokis atau bagaimana. Ia hanya menangis tersedu dan esok harinya tertawa lebar demi meraup rakus hadiah dari Tuan Bhisma atas kesediaannya disiksa.”
Raudah membongkar rahasia. Wajahnya memerah karena marah teringat kejadian menjijikkan itu. Manusia menjadi bukan manusia ketika ia kehilangan kendali atas hawa nafsunya. Bahkan manusia lebih rendah derajarnya daripada hewan ketika menuruti nafsu birahi yang tak pernah cukup dengan satu variasi.
“Lihatlah kau hanya punya sepasang anting-anting kecil. Itu karena kau tidak mau melayani penyiksaaan dalam hubungan seksual yang menjijikkan.”
“Ahh ya … ini pun anting-anting pemberian ayahku dulu, Raudah.”
“Betapa berharganya pemberian ayah.”
“Tapi aku akan membuang salah satunya!”
Perkataan Alifia setelah beberapa saat terdiam itu membuat Raudah kaget bukan alang kepalang.
“Lha … kenapa?”
Mata Alifia berbinar.
“Aku yakin ini petunjuk Allah agar aku memberi jejak cahaya bagi keluargaku.”
Cepat-cepat dibukanya pengait anting-anting pada telinga sebelah kanan. Lalu dilemparkannya ke lubang angin kecil, satu-satunya saluran udara. Sepuluh tingkat ke bawah ada bak sampah yang cukup besar. Tak sempat lagi dicegah, anting-anting Alifia masuk ke bak sampah.
Raudah hanya dapat menggigit jari dan memandangi wajah Alifia lekat-lekat.
“Kau baik-baik saja ‘kan, Kak?”
“Aku sehat, meski kini tubuh kita penuh luka dan tak bebas. Pikiranku mengelana, mencari petunjuk dan mencoba menebar cahaya yang tersisa.”
Alifia yakin dengan tindakannya dan kemudian mengajak Raudah berisitirahat sambil mengisi tenaga dengan segenggam nasi liwet yang tersisa.
***
Di pagi buta, seorang lelaki pemungut sampah memilah-milah isi bak dan membawanya ke kota. Lelaki itu membawa kaleng-kaleng cat dan botol-botol plastik dari dalam bak sampah. Dikarunginya semua itu dengan goni lalu dipanggul dengan tubuh bungkuknya, menuju kota. Tempat ia dapat menukar seonggok barang-barang bekas dengan uang beberapa ribu rupiah. Agar dapat menyambung hidup hari ini saja.
Lalu bagaimana dengan Alifia dan Raudah? Mungkinkah mereka dapat meloloskan diri dari gedung tua tujuh tingkat itu? Alifia dan Raudah masih saling menghibur diri satu sama lain. Menceritakan masa lalu yang indah dan berupaya menjalin hikmah
***
Semenjak itu Alifia yakin bahwa pernikahannya adalah pernikahan bencana. Dipakainya anting berlian dengan tetap tak melepaskan anting masa kecilnya. Air mata jatuh. Esok hari pasti akan lebih banyak lagi kesedihan dan derita. Alifia salah mengeja makna cinta Tuan kepada nona.
Bulan-bulan berlalu di Desa Uluwatu, membawa perubahan signifikan pada Alifia. Rutinitas latihan bela diri di bawah bimbingan para tetua desa telah mengukir ulang tubuhnya. Dulu, ia adalah gadis kota yang anggun, lembut, dengan gerak-gerik halus. Kini, bahunya tampak lebih bidang, lengannya kokoh berotot, dan setiap gerakannya memancarkan kekuatan yang tersembunyi. Kekuatan fisik ini bukan hanya hasil dari latihan, tetapi juga cerminan dari tekad baja yang kini menguasai jiwanya. Ia adalah Alifia yang baru, jauh berbeda dari gadis penakut yang pertama kali tiba di Uluwatu beberapa bulan lalu. Namun, transformasi fisiknya tak sedikit pun mengikis kelembutan hatinya. Justru sebaliknya, kelembutan itu kini terwujud dalam cara yang berbeda, lebih mendalam. Di sela-sela latihannya, ia masih menghabiskan waktu berjam-jam di alat tenun. Jemarinya yang dulunya halus kini lebih kuat, namun tetap cekatan merangkai benang-benang hitam. Ia mulai bereksperimen dengan motif-motif baru yang lebih ru
Hari-hari berubah menjadi minggu, minggu menjadi bulan. Raudah dan Alifia semakin menyatu ke dalam kehidupan Desa Uluwatu. Pakaian hitam tenunan sendiri tak lagi terasa asing di kulit mereka; kini, itu adalah bagian dari identitas baru. Mereka fasih berbahasa daerah, memahami adat istiadat, dan bahkan ikut serta dalam upacara-upacara sederhana yang diselenggarakan di bawah naungan pohon beringin tua. Bisikan-bisikan tentang "orang luar" hampir lenyap, tergantikan oleh senyum dan sapaan akrab. Desa Uluwatu, dengan segala misteri dan ketenangannya, telah menjadi rumah bagi mereka.Alifia, setelah pulih sepenuhnya, menunjukkan bakat luar biasa dalam menenun. Jari-jarinya yang cekatan mampu menciptakan pola-pola rumit dengan benang hitam, bahkan mulai berani menambahkan sentuhan merah gelap seperti yang Rahajeng kenakan. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di bale-bale, di antara gemeretak alat tenun, seolah menemukan kedamaian dalam setiap helai benang yang ia rangkai. Namun, di balik
Hari-hari berlalu di Desa Uluwatu. Raudah dan Alifia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan sederhana di sana. Alifia perlahan pulih, kakinya sudah tidak lagi terpincang-pincang. Mereka berdua sering membantu pekerjaan desa, dari menumbuk padi dan jagung hingga mengangkut air dari sungai. Meskipun penduduk desa menerima mereka dengan tangan terbuka, Raudah tak bisa memungkiri bisikan-bisikan dan tatapan penuh kewaspadaan yang sesekali ia tangkap. Warna kulit mereka yang lebih terang dan pakaian yang tidak selaras dengan warga Uluwatu lainnya masih menjadi penanda mereka sebagai "orang luar".Suatu sore, ketika Raudah dan Alifia sedang menjemur hasil tenunan yang sudah jadi di depan rumah Mbah Surti, seorang gadis desa mendekati mereka. Gadis itu seumuran Alifia, dengan mata bulat yang cerah dan senyum yang tulus. Ia mengenakan pakaian hitam khas desa, namun ada sentuhan warna merah gelap pada motif tenunan di bagian pinggir kainnya, membuatnya tampak sedikit berbeda dari yang lain."Kal
Pagi di desa tersembunyi itu datang dengan kabut tipis dan udara dingin yang menusuk tulang. Raudah terbangun lebih dulu. Alifia masih terlelap pulas di sampingnya, napasnya lebih teratur setelah luka di kakinya diobati. Raudah keluar dari rumah kayu sederhana yang mereka tempati. Suasana desa masih sunyi, hanya suara ayam berkokok dan gemericik air sungai yang memecah keheningan.Dia mengamati sekeliling. Rumah-rumah kayu berjejer rapi, beberapa di antaranya tampak lebih tua dengan lumut menempel di dinding. Tidak ada suara mesin, hanya derit pintu dan langkah kaki penduduk yang mulai beraktivitas. Raudah melihat beberapa wanita paruh baya telah sibuk di luar rumah. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, kain dililitkan sebatas dada, dan kepala mereka terbalut kerudung hitam yang tampak tebal. Kerudung itu, Raudah perhatikan, terbuat dari kain tenunan kasar yang terlihat kokoh, seolah melindungi mereka dari sesuatu. Kerudung yang sama juga dipakai oleh Mbah Surti. Kaum pria pun mengen
Raudah dan Alifia berjalan terseok-seok menembus semak belukar yang lebat. Jalan setapak yang ditunjukkan kakek itu semakin menanjak dan licin. Hutan di sekitar mereka tampak semakin gelap dan sunyi, seolah menelan setiap suara. Alifia mengerang kesakitan, lukanya di kaki kembali terasa nyeri. Raudah mencoba memapahnya sekuat tenaga, tetapi dia sendiri mulai kelelahan."Kita hampir sampai, Lifia... Bertahanlah," bisik Raudah, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.Kaki mereka terasa pegal, napas memburu, dan rasa putus asa mulai menyelimuti. Mereka bertanya-tanya, apakah desa itu benar-benar ada atau hanya harapan kosong. Tiba-tiba, Alifia tersandung akar pohon yang menonjol dan jatuh berlutut."Raudah... aku tidak kuat lagi," rintih Alifia, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Raudah berlutut di sampingnya, memeluk erat bahu Alifia. "Tidak, Lifia, kita harus kuat! Kita sudah sejauh ini. Tuhan akan melindungi kita."Saat Raudah berusaha mengangkat Alifia, samar-samar terdenga
PART 12. KEMARAHAN SADAM BHISMA Betapa marahnya Sadam Bhisma atas keteledoran Ray yang sudah diberinya bayaran di muka untuk menjaga dua tawanannya. Ia tak menyangka lelaki itu bisa termakan umpan Raudah. Sadam Bhisma segera membereskan urusan bisnisnya dan bergegas mencari sendiri Ray, Raudah dan Alifia. Ia hanya ditemani Bram, kaki tangannya di kantor. Dengan mengendarai mobil ranger-nya mereka mengendus jejak pelarian di hutan pinus. "Untuk Ray, tak ada kata ampunan lagi." ujar Sadam Bhisma kepada Bram yang sedang menyetir. "Tentu." Bram menyetujui. "Cepatlah mengemudi, aku masih banyak urusan." Lantas ranger raptor merah itu mempercepat lajunya menembus hutan yang mulai pekat. Tak seberapa lama sampailah mereka ke kedalaman hutan pinus yang sudah tak dapat lagi ditembusi kendaraan mereka. "Di sini saja, Bos?" "Ya. Siapkan senjata dan senter!" "Baik!" "Hmmm ... sudah lama aku tidak berburu di hutan." Bram mengikuti Sadam Bhisma yang berjalan dengan langkah le