"Jangan bunuh saya!" jerit Anggini. Gadis cantik berusia 18 tahun itu tampak gemetar ketakutan saat melihat sosok pria di hadapannya berubah wujud menjadi sosok yang begitu mengerikan.
"Jangan takut,gadis manis. Sebentar lagi, aku akan membuat dirimu berguna untuk menjadi persembahanku."
"Tidak! Aku tidak mau!Lepaskan aku, aku mau pulang!" teriak Anggini.Namun pria di hadapannya itu hanya tertawa terbahak-bahak.
"Berteriaklah sekencang-kencangnya. Tidak akan ada yang mendengarkan tangisan dan jeritanmu. Tempat ini sudah terlindung oleh ajian halimunan milikku. Sehingga orang lain tidak akan dapat melihat kita sekalipun dia berdiri di depan mulut gua itu!"Anggini menangis tersedu,ia mengutuki kebodohannya sendiri. Mengapa ia begitu mudahnya tergoda bujuk rayu lelaki yang baru saja ia kenal.
"Aku mohon, lepaskanlah aku."
"Kau adalah gadis ke sembilan puluh delapan yang aku jadikan tumbal. Selama ini aku mencari 100 orang gadis yang lahir malam jumat legi dan yang masih perawan untuk aku jadikan tumbal sehingga aku akan memperoleh kehidupan yang abadi."
Anggini tersentak kaget, ia benar-benar merasa putus asa sekarang. Dan ia juga tidak melihat kemungkinan untuknya bisa kabur atau pergi dari tempat itu. Kalaupun ia bisa pergi, ia pasti akan kembali tertangkap.
Suasana hening, pria itu berjalan perlahan keluar ke mulut gua dan mendongak menatap ke langit. Selama beberapa saat pria itu tampak menunggu sesuatu. Hingga akhirnya ia menyeringai dan langsung berjalan menghampiri Anggini.
Ia mengulurkan tangannya dan menotok jalan darah Anggini sehingga gadis itu sama sekali tidak bisa bergerak bahkan bicara.
"Tenanglah sayang, sebentar lagi kau akan menjerit merasakan indahnya bercinta di bawah sinar bulan purnama sebelum kau menemui kematianmu."
Anggini hanya dapat menjeri dalam hati ketika tubuhnya dibawa keluar gua itu lalu di letakkan di atas sebuah batu besat yang ada di luar gua.
Perlahan, lelaki itu membaringkan tubuh Anggini di atas batu itu lalu mengikat kedua tangannya ke pohon yang ada di kanan dan kirinya. Kemudian, dengan kasar pria itu merobek pakaian Anggini sehingga dalam sekali sentak gadis itu sudah dalam keadaan tubuh polos tidak mengenakan apapun lagi.
Lalu pria itu kembali mengulurkan tangan dan melepaskan totokan di tubuh Anggini. Anggini menjerit seketika meminta pertolongan sekalipun ia merasa bahwa apa yang ia lakukan itu sia-sia,namun ia tidak peduli. Sementara pria itu duduk bersila di samping tubuh Anggini. Dengan mata terpejam pria itu mulai merapal mantra.
Dan tepat saat cahaya bulan purnama bersinar penuh,pria itu membuka matanya. Tanpa ragu ia langsung membuka pakaiannya dan menyetubuhi Anggini. Gadis itu memekik kesakitan dan terus menjerit, namun semakin lama jeritannya semakin tak terdengar. Dan setelah selesai menuntaskan hasratnya pria itu menggigit leher Anggini dan mengisap darah Anggini hinga benar-benar kering tak bersisa.
Anehnya, setelah tubuh di hadapannya itu kehabisan darah,wajah pria yang tadinya tampak menyeramkan itu berubah seketika menjadi seorang pemuda yang tampan.
"Hanya tinggal dua lagi, dan aku akan mendapatkan keabadian. Seorang Fajar Kelana tidak akan pernah mati,hahaha!"
***
"Ini adalah gadis ke delapan yang kita temukan dalam kondisi tidak bernyawa lagi,paduka yang mulia," ujar Patih Benggala kepada Prabu Bratanaya.
"Apakah telik sandi yang kalian kirim sudah kembali dari Majapahit?" tanya Prabu Bratanaya.
"Ampun,paduka yang mulia. Telik sandi yang dikirimkan oleh senopati Sangkar sudah kembali kemarin. Dan menurut keterangan yang didapat, bukan hanya di wilayah kerajaan kita saja tetapi di beberapa wilayah kerajaan-kerajaan kecil ditemukan gadis-gadis yang masih muda dalam kondisi tidak bernyawa dan darah mereka seperti diisap habis," jawab Patih Benggala.
Prabu Bratanaya menghela napas panjang. Ia tidak dapat membiarkan semua ini terjadi begitu saja di kerajaannya.
"Satu hal lagi,yang mulia. Semua gadis itu lahir di malam jumat legi dan masih perawan," tukas senopati Sangkar menambahkan informasi
Prabu Bratanaya tersentak kaget. Bagaimana tidak,Putri bungsunya Gayatri lahir di malam jumat legi. Bukan tidak mungkin jika putrinya yang akan menjadi korban selanjutnya.
"Periksa apakah ada penduduk di kerajaan kita yang lahir di malam jumat legi. Jika ada, lindungi gadis itu dan keluarganya. Bawa ke istana supaya dapat kita lindungi!" titah Prabu Bratanaya.
"Baik,paduka yang mulia. Kami akan melaksanakan titah paduka."
"Perketat penjagaan di kaputren tempat tinggal putri Gayatri. Dan kirim utusan ke padepokan segara geni untuk meminta raden Kamandraka menghadapku!"
Di tempat lain, seorang pemuda berwajah tampan bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal tengah bersemedi di sebuah gua di kaki gunung Ciremai. Anehnya,pemuda itu duduk tidak menyentuh tanah. Berkat ilmu kanuragan dan tenaga dalam yang tinggi pemuda itu melayang setengah depa di atas tanah.
Tiba-tiba seorang lelaki tua dengan jenggot putih memasuki gua dan menatap pemuda itu.
"Raden Kamandraka, bangunlah. Ada sesuatu yang harus kau kerjakan untuk menghentikan angkara murka," ujarnya. Seketika mata pemuda itu terbuka dan tubuhnya pun turun ke atas tanah. Pemuda itu langsung bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Ampun guru, apakah yang harus murid lakukan? Apakah semediku telah selesai?" tanya pemuda yang bernama Kamandraka itu.
"Utusan dari kerajaan Kahuripan sedang menuju ke padepokan. Kau harus segera kembali dan melindungi kerajaan khususnya calon istrimu Gayatri dari marabahaya."
Kamandraka mengerutkan dahinya dan menatap gurunya itu dengan penuh tanda tanya. Namun, pemuda itu sungkan untuk bertanya lebih lanjut.Ia sangat percaya pada perkataan gurunya itu.
Mereka berdua pun segera kembali ke padepokan untuk menyambut utusan kerajaan.
Tepat saat keduanya tiba di padepokan seorang prajurit kerajaan Kahuripan baru saja turun dari kudanya dan ia langsung bergegas memberikan salam.
"Ampun yang mulia Raden Kamandraka, Raden dipanggil menghadap oleh paduka Baginda Prabu Bratanaya."
"Ada apakah gerangan sehingga yang mulia Prabu Bratanaya memanggilku?" tanya Kamandraka dengan tenang.
"Gusti Prabu hanya mengatakan bahwa ini berkaitan dengan keselamatan gusti ayu yang mulia putri Gayatri."
Empu Supa Mandrageni menatap Kamandraka.
"Musuh yang akan kau hadapi bukanlah musuh sembarangan. Ia adalah titisan iblis yang berusaha untuk hidup abadi. Kau harus mencegahnya untuk mendapatkan tumbal gadis perawan yang ke seratus. Dan gadis itu adalah calon istrimu Gayatri."
Sontak Kamandraka tercengang,"Guru, apa yang harus aku lakukan untuk mengalahkannya? Mohon berikan petunjukmu,guru," kata Kamandraka. Empu Supa tersenyum, "Ajian braja musti dan waringin sungsang milikmu sudah lebih dari cukup untuk mengalahkannya. Ingat satu hal yang ia cari adalah tumbal gadis perawan yang lahir di malam jumat legi. Jika ia gagal untuk mendapatkan tumbal yang terakhir maka ia akan dapat kau kalahkan dengan mudah."
Dewi Sekar Arimbi hanya bisa kebingungan saat pasukan dari istana datang ke rumahnya dan meminta agar ia dan ayahnya pindah ke kaputren istana."Ampun paduka yang mulia Patih, tapi hamba hanyalah gadis biasa. Buat apa hamba diboyong ke istana?" tanya Sekar Arimbi."Ini adalah perintah dari yang mulia langsung. Saat ini telah terjadi kekacauan, banyak gadis-gadis yang ditemukan meninggal dalam kondisi tidak bernyawa lagi.Dan mereka semua lahir di malam jumat legi. Apakah nisanak mau jika menjadi tumbal selanjutnya?" tanya Patih Benggala dengan tegas. "Ampun yang mulia, kami menurut saja kalau begitu," kata Cokro Suta ayah Dewi Sekar Arimbi. Cokro Suta adalah bawahan dari adipati Sangkar. Ia hanya memiliki Dewi Sekar Arimbi sebagai keluarganya. Istrinya sudah lama meninggal dunia. Tentu saja ia tidak ingin jika ia kehilangan putri satu-satunya yang sangat ia cintai itu. Pasukan istana pun s
Pagi itu Dewi Sekar Arimbi berjalan-jalan di taman dan tanpa sengaja ia melihat pemuda yang sejak kemarin sudah membuat hatinya berdebar dan jantungnya berhenti berdetak."Pagi Raden," sapanya. Pemuda itu tersenyum ramah, "Ah, kau Sekar Arimbi,bukan? Gadis yang dibawa oleh yang mulia Prabu Bratanaya untuk mendapatkn perlindungan." Bukan main gembiranya hati Dewi Sekar Arimbi saat mengetahui bahwa Kamandraka ternyata mengenal dan mengetahui namanya. Dewi Sekar pun dengan semangat langsung mengajak bicara Raden Kamandraka. Namun, Dewi Sekar Arimbi tidak mengetahui bahwa yang saat ini ada di hadapannya adalah Fajar Kelana titisan iblis yang sedang menyamar menjadi Raden Kamandraka. Sementara Raden Kamandraka sendiri saat ini sedang beraada di ruang pribadi Prabu Bratanaya bersama patih Benggala. "Hamba sudah merasakan kehadirannya saat pertama kali hamba sampai di istana ini yang
Hari demi hari berlalu tanpa terasa, malam bulan purnama pun tiba. Dan seluruh pengawal istana kebingungan mencari Dewi Sekar Arimbi. Gadis cantik itu hilang sejak siang tadi. Dan yang aneh menurut pengakuan mbok pengasuhnya Sekar Arimbi pergi bersama Raden Kamandraka."Raden Kamandraka berada di ruang semedi sejak tiga malam yang lalu,Mbok.""Tapi, hamba berani bersumpah bahwa Raden Kamandraka menjemput Dewi Sekar,yang mulia Patih." Patih Benggala terhenyak, ia sadar bahwa mereka sudah kecolongan. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa iblis itu akan menyamar manjadi Raden Kamandraka. Patih Benggala pun segera melaporkan hal ini kepada Prabu Bratanaya."Bagaimana dengan Gayatri. Kita harus membawa Gayatri pergi dari istana dan menyembunyikannya kalau begitu," kata Prabu Bratanaya."Kemanapun, ia akan mencari Putri Gayatri. Jika memang kita mau menyembunyikannya, kita sembunyikan saja di tempat Ey
Jenazah Dewi Sekar Arimbi dibawa ke Kahuripan dan segera dikremasikan."Semoga Dewa memberkati Dewi Sekar dan kelak bisa reinkarnasi di kehidupan yang lebih baik," kata Prabu Bratanaya. Hari ketiga setelah upacara kremasi Raden Kamandraka dan beberapa prajurit pilihan juga Patih Benggala berangkat ke kaki gunung Ciremai. Tujuan mereka adalah padepokan Segara Geni. Melalui telepati, Empu Supa meminta agar Raden Ayu Putri Gayatri dibawa ke Padepokan."Maafkan murid yang lalai,Eyang guru," ujar Kamandraka saat menghadap Empu Supa Mandrageni."Tidak ada yang bisa menolak takdir, cucuku," ujar Empu Supa."Putri Gayatri akan aku sembunyikan di tempat yang paling aman," kata Empu Supa."Di mana,Eyang Guru?" tanya Patih Benggala. Padepokan milik Empu Supa bukanlah padepokan yang besar dan memiliki banyak murid. Empu Supa tidak sembarangan menerima seseoran
Dewi Gayatri hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Awalnya dia berpikir bahwa di dalam guci akan gelap gulita. Namun, ternyata tidak. Ia berada di sebuah kamar tidur yang tidak terlalu besar namun sangat rapi dan bersih. Di atas meja terdapat buah-buahan yang dapat ia makan. Dewi Gayatri membuka pintu,ia terbelalak melihat aliran air sungai yang begitu jernih. "Ini seperti di surga, bahkan di istana saja aku tidak dapat melihat yang seperti ini," gumam Gayatri.Perlahan ia melangkah mendekati sungai dan membuka pakaiannya. Melihat air yang begitu jernih ia merasa ingin mandi. Putri Prabu Bratanaya itupun mulai mandi dan menikmati segarnya air sungai. "Ah, seandainya saja kakang Kamandraka ada di sini bersamaku, tentu aku akan merasa senang sekali," katanya lagi.Dewi Gayatri dan Raden Kamandraka sudah dijodohkan sejak kecil. Namun, keduanya tidak ada yang merasa te
Empu Supa yang tidak menyangka bahwa Patih Benggala akan menghabisi nyawa Senopati Sangkar langsung mendekat."Seharusnya kita tidak langsung membunuhnya," ujar Empu Supa. Patih Benggala menarik napas panjang dan mengembuskannya lalu berlutut menghaturkan hormat."Ampun, Eyang guru. Murid terbawa emosi, jujur saja di antara yang lainya hamba paling percaya kepada Senopati Sangkar, karena dia sudah hamba rawat sejak kecil. Bahkan hamba sudah menganggap adik hamba sendiri." Empu Supa menepuk bahu Patih Benggala,ia melihat ada air mata yang menetes membasahi pipi patih yang biasanya selalu tegar itu."Kuburkanlah dia secara layak," kata Empu Supa."Laksanakan Eyang," jawab Patih Benggala. Dengan dibantu oleh beberapan orangb prajurit Patih Benggala menguburkan Senopati Sangkar. Ia merasa sangat sedih sekaligus juga merasa malu. Mengapa orang kepercayaannya bisa m
_Bandung 660 tahun kemudian_ "Kalau kamu nggak mau juga nggak masalah, aku masih bisa kok minta anter sama cowok lain!"Gadis cantik itu tampak mengentakkan kakinya dengan kesal sambil menatap kekasihnya itu dengan sebal."Aku bukan nggak mau antar kamu, tapi, Papamu sendiri yang melarang kamu untuk pergi ke sana. Giselle!" tegas Genta."Kamu kan, bisa bohong sama Papa, Mas. Dari pada aku pergi sama cowok lain," rayu Giselle lagi. Tapi, bukan Genta namanya jika menurut begitu saja pada gadis labil di hadapannya ini."Sekali tidak , ya tidak! Aku bisa mengatakan kepada Papamu semua jadwalmu dan dengan siapa kamu pergi. Jadi, jangan coba-coba kamu berbohong atau pergi dengan orang lain.""Jahat!" pekik Giselle nyaring. Namun, Genta tidak peduli. Ia bahkan dengan santai menarik tangan gadis itu untuk segera masuk ke dalam mobil."Kita pulang
Buana menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Ia merasa begitu damai setiap kali ia kembali ke sini. Buana lahir di Cirebon, tepatnya di Sindang Laut. Ia sempat menjadi santri di Buntet Pesantren Cirebon. Kedua orangtua Buana memberinya nama Buana Cakrawala. Entah mengapa sang ayah memberinya nama itu. Tapi, Buana sendiri menyukainya. Setiap kali ia kembali ke Cirebon untuk bertemu gurunya di pesantren dan ziarah ke makam kedua orangtuanya, Buana selalu menyempatkan diri ke gunung Ciremai. Rasanya seperti ada yang memanggilnya dari kejauhan. Memanggilnya untuk selalu pulang ke sana. Tidak perlu naik ke puncak, cukup di kaki gunung saja, begadang bersama para penjaga di pos pendakian. Itu saja sudah cukup untuk Buana. Seperti ponsel yang baru saja selesai dicharge maka semangat Buana untuk kembali bekerja akan kembali menyala setelah ia kembali dari Ciremai."Bang, k