RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM
Part 7Kambuh LagiPov Daniella Arnetta Vernandi----"Mbok pagi ini aku mau nelpon Papa! Feelingku nggak enak, Mbok. Aku nggak pengen Papa kenapa-napa." Aku melangkah mendekati Mbok yang masih fokus menghadap kompor, membolak-balik roti tawar yang sudah diolesi margarin, di atas teflon.Sepertinya si Mbok hendak membuatkanku sandwich Sosis."Pagi-pagi gini, Non?!" tanyanya keheranan. Sepasang alisnya terangkat sempurna.Kuanggukan kepala. Isyarat mengiyakan."Nggak papa kan, Mbok?!" pintaku penuh harap.Si Mbok sebenarnya bimbang. Namun, dia tak bisa menolak keinginanku yang kukuh."Tapi Non, Non pakai penutup kepala, sama masker ya Non. Biar orang-orang ndak neriaki Non kayak kemarin-kemarin.""Pakai topi, Mbok? Aku nggak bawa topi dari sana!""Ndak, Non! Bukan topi, tapi jilbab atau selendang biar Non ndak kelihatan welo-welo! Pakai masker juga Non. Biar wajah Non ndak kelihatan.""Ya udah deh, Mbok!"Seusai menyantap hidangan sarapan lezat yang disajikan si Mbok, aku pun berpamit hendak ke pohon jambu mencari sinyal, dan menelpon Papa.[Papa! Papa sehat kan? Apa Papa baik-baik aja! Aku kangennn banget sama Papa!][Iya, Sayang! Papa juga sama, Papa kangen banget sama kamu.][Papa cuma bilang kangen doang, tapi nggak pernah ngunjungin aku di sini! Sama aja bohong, Pa!][Sayang, Papa bilang, Papa akan sering berkunjung itu. Saat kamu mau Ke RSJ, Nak! Tapi sekarang. Jaraknya cukup jauh, tentu aja Papa nggak bisa ke sana, tanpa atur jadwal, Sayang!][Trus, Papa kapan ke sini?] tanyaku sembari memanyunkan bibir.[Nanti Papa akan atur Schedule nya ya, Sayang! Sekarang Papa masih di Bali. Kamu mau Papa bawain apa? Nanti Papa akan kirimkan oleh-oleh dari sini. ][Aku nggak mau apa-apa, aku cuma mau Papa sehat selalu. Cuma mau pastiin Papa baik-baik aja! Udah itu cukup, Pa!][Makasih, Sayang! Kamu yang berada di sana, tapi masih khawatirin Papa terus.][Papa, apa Papa ke Bali lagi liburan sama Tante Liana? Papa Honey moon, karena nggak ada aku 'kan?][Enggak Sayang! Bukan! Papa bukan lagi honey moon! Papa lagi ada urusan bisnis, Papa ke sini tanpa Mama Liana!][Owh ... gitu! Bagus deh kalau gitu, Pa.][Kalau kamu butuh apa-apa, bilang aja sama Papa. Nanti kebutuhan kamu bakal Papa penuhi. Di sana, jaga sikap ya, Sayang! Jangan nyusahin si Mbok.][Iya, Pa!][Apa masih sering kambuh, Nak, rasa sakitnya?][Beberapa hari ini udah jarang, Pa! Tapi kalau wajah, dan gatal-gatalnya, masih. Cuma agak mendingan aja abis dioles obat.][Obatnya jangan lupa diminum Sayang. Jaga pola makan. Papa kangen kamu, Nak! Semoga cepet kembali seperti sedia kala, Sayang.] Dari layar ponsel, Papa tampak mengusap linangan air matanya.[Papa, semoga Papa sehat selalu. Aku Sayang sama Papa. Kalau Papa nggak sibuk, Papa jenguk aku di sini. Aku kangen banget sama Papa! See you Papa! Miss you so Much! Bye ...][Iya, Sayang! Papa juga selalu sayang dan rindu kamu, Nak! Jaga diri ya!]Lega sekali rasanya, setelah menelpon Papa.Rinduku terguyur sudah dengan kabar Papa barusan. Kekhawatiranku akan mimpi buruk semalam pun tak terbukti, Papaku baik-baik saja. Saatnya aku pulang, dan kembali ke rumah si Mbok, rebahan di kamar nyamanku, sembari membaca novel yang belum tersentuh sejak aku ke mari."Assalamu'alaikum, Mbak." Terdengar suara salam dari bawah. Sepertinya suara laki-laki Pak Ustadz tadi sore.Dasar orang kepo. Tak cukup puas tadi sore banyak nanya, sekarang masih saja mencariku.***Aneh sekali Ustadz muda bernama Ashraf ini, baru saja kenal, sudah sok akrab mengajakku bercanda. Dia tak sedikitpun takut, curiga, atau berpikiran negatif tentangku. Sedari tadi, tampaknya dia kepo, dan keheranan melihatku dengan dandanan nyentrik pagi ini.Kurasa dia bukan orang jahat yang berbahaya. Dia pun berkata, ingin meluruskan anggapan masyarakat bahwasannya aku ini bukanlah kuntilanak seperti kata orang-orang.Namun, kubilang padanya hal itu tidak perlu. Sebab, nantinya jika orang-orang tahu identitasku, dan keadaanku seperti ini, sewaktu-waktu aku kambuhan tak terduga. Bisa runyam urusannya. Bisa -bisa aku dianggap orang tak waras yang layak dipasung. Tidak ... tidak! Mengerikan sekali hal itu!Pak Ustadz muda yang satu ini sepertinya perlu untuk kuajak ke rumah Si Mbok. Biar si Mbok saja yang menjelaskan padanya.Lekas kuseret lengan pria kulit eksotis berlesung pipit, dan berkumis tipis itu."Kita mau ke mana?!" tanyanya keheranan. Sepasang mata coklat itu, tegas membulat menatapku. Seolah kaget tangannya kutarik tiba-tiba."Biar Pak Ustadz nggak kepo! Ayo ikut ke rumah si Mbok!""Ta ... tapi, saya mau ambil sabit, dan mau ke ladang!""Ke ladangnya kan bisa nanti! Biar Pak Ustadz nggak bisulan, kepo mulu! Dahlah! Ikut aja, daripada udah ketahuan, sekalian biar tahu dan nggak menduga yang bukan-bukan!"*"Pak Ustadz kita udah sampai, ini rumah Si Mbok!" kataku setelah kami melewati jalanan setapak nan berliku, menanjak, hingga menyurusi kebun rimbun. Hanya ada beberapa rumah yang jaraknya cukup berjauhan kami lewati.Sepasang mata coklatnya terus memindai, dan celingak-celinguk memastikan adakah yang janggal dengan tempat ini."Ini rumah manusia, Pak Ustadz! Bukan rumah setan! Ayo masuk!" kutarik lagi dengan kasar lengan Pak Ustadz bernama Ashraf ini.Dia terpaksa mangangguk.Aku masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu, si Mbok tidak menguncinya."Assalamu'alaikum," ucapnya sopan, dan ramah begitu memasuki pintu.Ustadz ini ternyata sopan sekali."Mbok! Aku pulang, Mbok!" teriakku lantang di ruang tamu. Sepertinya Mbok lagi sibuk di dapur."Pak Ustadz duduk aja dulu ya. Aku panggilin si Mbok sebentar."Ustadz Ashraf hanya mengangguk. Sesekali mengamati ruangan rumah ini."Mbok!" panggilku, ternyata si Mbok tengah sibuk mencuci piring."Mbok! Ada orang datang.""Orang siapa, Non?""Orang kepo!""Maksudnya?!""Aku pas manjat, nyari sinyal ketemu orang. Keknya sih Ustadz, tapi dia kepo.""Kepo gimana, Non?!""Udah si Mbok lihat aja dulu orangnya, barangkali kenal. O iya, Mbok. Karena aku yang ngajak, jadi dia kan tamu. Mbok suguhin minum atau apa ya, Mbok!""Baik, Non."Sementara si Mbok menemui Ustadz Ashraf, aku menuju kamar hendak menaruh jilbab pasmina ini.Setelahnya aku kembali ke ruang tamu, dan ingin mendengar si Mbok menjelaskan tantang diriku pada Ustadz muda yang ramah itu.Di meja ruang tamu, sudah tersaji dua gelas teh hangat, dan aneka kudapan untuk suguhan."Masnya ini siapa ya?" tanya Si Mbok pada Ustadz Ashraf.Ustadz Ashraf pun lekas menyalami dan mengecup punggung tangan si Mbok, "Saya Ashraf Buk. Saya ngajar ngaji di surau. Tadi sore, saya ketemu Daniella, saya denger dia nangis, dan kebetulan tadi saya lewat sana, saya juga lihat dia lagi, Buk.""Oh, nggih Pak Ustadz.""Maaf sebelumnya, Buk. Awalnya saya sempat Su'udzon, dan mengira Daniella ini seperti anggapan orang-orang. Setelah tadi kenalan, setelah tahu, ternyata semua nggak bener, Buk." Dia berucap ragu bercampur malu, sembari menundukkan kepala.Rupanya benar, dia memang laki-laki baik.Aku turut asyik menyimak obrolan sembari meneguk teh dan menikmati stick kentang buatan Si Mbok.Namun ...Kepalaku tiba-tiba berat sekali, dan serasa berputar-putar. Kenapa ini?Rasa sakit di kepala beralih ke perutku. Seperti ada jarum yang menusuk-nusuk di dalamnya. Sontak aku meringis dan terus memegangi perutku. Sakit ini kembali muncul dan membuatku seketika lunglai tanpa daya."Mbok! Sakit, Mbok! Sakit! Perutku sakit! Kepalaku sakit banget, Mbok!""Buk ... Buk, Daniella kenapa, Buk?!" pekik Ustadz Ashraf, panik."Non! Sebentar Non, Non minun obat dulu ya! Mbok ambilin. Ayo ke kamar, Non!""Aaaaa!!! Sakit Mbok!" kali ini aku tak sanggup lagi menahan, hingga air mataku terus mengalir. Ustadz Ashraf pun kebingungan melihatku begini.Si Mbok berusaha memapahku menuju kamar. Namun, aku sudah tak sanggup lagi berdiri apalagi melangkah. Kugelengkan kepala sebagai isyarat tak sanggup lagi.Terpaksa, si Mbok membaringkanku di sofa. Dia mengambilkanku obat, lalu meminumkan obat berdosis tinggi itu untukku."Mbok, masih sakit, Mbok! Perutku sakit! Kepalaku sakit!" Kuhentak-hentakkan kakiku ke sofa panjang ini.Bersambung ...RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPart 8 Mimpi Buruk Setiap Malam Pov Ashrafil Ambiya'---"Mbok! Sakit, Mbok! Sakit! Perutku sakit! Kepalaku sakit banget, Mbok!" Di tengah obrolan antara aku, dan Si Mbok. Tiba-tiba Daniella berteriak histeris. Kuteguk ludah, tak tahu harus berbuat apa. Apa mungkin gadis ini sedang mengalami nyeri datang bulan? Aku sungguh tak paham. Apa yang harus kulakukan. "Buk ... Buk, Daniella kenapa, Buk?!" "Non! Sebentar Non, Non minun obat dulu ya! Mbok ambilin. Ayo ke kamar, Non!""Aaaaa!!! Sakit Mbok!" Dia masih terus berteriak tanpa henti, mengaduh dan memohon-mohon. Sepertinya dia menahan nyeri teramat sangat. Si Mbok berusaha memapahnya menuju kamar. Namun, dia menggeleng, isyarat sudah tak sanggup lagi berdiri apalagi melangkah. Dia berbaring di sofa dengan posisi lutut sedikit tertekuk karena panjang sofa lebih pendek dari tubuhnya. "Mbok, masih sakit, Mbok! Perutku sakit! Kepalaku sakit!" Dia menghentak-hentakkan kakinya di sofa. Si Mbok memb
Pov Ashrafil Ambiya'---"Tiap hari aku mimpi buruk, Pak Ustadz! Kadang itu jelas nyata. Ada bayangan hitam, tiap jelang malam mau nyekik leherku. Kadang rasanya seperti ada hewan melata, merayap di tubuhku, Pak Ustadz!" seru Daniella lantang, diikuti suara tangis dan isakan.Ya Allah, aku tak tega melihatnya seperti ini. Dia pasti merasakan sakit yang teramat sangat. Aku tak ingin Su'udzon dulu atas penyebab sakit yang diderita Daniella. Di sini, aku ingin sekali membantunya lepas dari rasa sakit itu. Nurani kemanusiaanku benar-benar tergerak melihat ini. "Pak Ustadz, saya ke dapur dulu, mau nyari obat penurun panas buat Non, sama kompresan!""Iya, Buk. Silakan." Si Mbok gegas ke dapur. Kini, di kamar indah ini hanya ada kami berdua. Ada aku yang cemas akan keadaan Daniella, dan dia yang kini terbaring lemah di kamarnya dengan tatap mata yang kosong. "Daniella, aku mungkin belum bisa mendapatkan solusi secepatnya atas penyakitmu. Hmm ... mohon maaf sebelumnya, kalau memang peny
"Pak Ustadz ...di sini aja, ya. Si Mbok masakin buat Pak Ustadz. Mbok minta tolong, pak Ustadz ngaji sebentar di sini, biar Non tenang." Wanita berumur lebih dari setengah abad itu menatapku penuh harap. Di matanya yang berkantung itu ada asa yang teramat dalam. Hanya ketulusan yang kujumpai di sana. Dia sangat berharap gadis yang diasuhnya itu baik-baik saja.Aku menganggukan kepalaku. Si Mbok pun lantas keluar kamar beberapa saat dia kembali, mengambilkan Kitab Suci Al-qur'an padaku. Lalu, dia kembali keluar dari kamar ini. Melangkah menuju dapur.Aku yang tadinya di ambang pintu, kembali melangkahkan kaki mendekat ke ranjang gadis angkuh itu. Kuletakkan perlahan kitab suci dari Si Mbok di dekat cawan berbahan logam stainless ini."Kenapa Pak Ustadz masih di sini? Apa Pak Ustadz benar-benar peduli sama gadis buruk rupa yang nggak jelas kayak aku ini?!" ucapnya, mungkin terdengar angkuh.Namun menyiratkan makna yang cukup dalam, dan memelas. Ingin dikasihi, namun tak sampai hati dia
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPov Daniella Arnetta Vernandi-------Laki-laki yang terhitung baru beberapa hari kukenal itu, kini melantunkan ayat-ayat Tuhan di sebelah ranjangku. Suaranya begitu merdu, tak pernah aku senyaman, dan semerinding ini mendengar orang mengaji. Dalam setiap ayatnya, seperti ada getaran dahsyat, yang menyentuh relung batinku. Di matanya tak tampak apapun selain ketulusan, dan kejujuran. Mengapa orang ini begitu peduli padaku, si gadis buruk rupa yang telah tak dianggap lagi sebagai manusia?Selama ini aku selalu skeptis memandang terhadap orang lain yang mendekatiku. Namun, kali ini tidak. Terus kupadangi wajahnya dengan seksama. Pemuda dengan kulit coklat nan eksotis, berkumis tipis, kutebak sekira usia kurang dari tiga puluh tahunan, yang berlesung pipit. Matanya coklat lebar, dan kontur wajah yang sedikit bulat. Hidungnya cukup mancung, meski tak setinggi hidungku. Saat dia memandang ke arahku, aku geragapan, dan berpura-pura menatap sekeliling, ber
Ustadz Ashraf yang Unik Pov Daniella Arnetta Vernandi ----Pertemuan dengan Ustadz Ashraf cukup berkesan. Bukan tanpa alasan. Dia pria yang tulus, bersedia menolong sekalipun belum terlalu kenal. Dia pria yang tidak berprasangka buruk kepada gadis yang identitasnya tidak jelas seperti diriku. Aku mengira di dunia ini seluruh dunia menolak keberadaanku, dan hanya si Mboklah yang menerima. Ternyata tidak. Ustadz muda itu benar-benar membuatku ingin berjumpa lagi dengannya esok hari. "Mbok, badanku udah enakan, abis minum obat tadi. Aku boleh nggak, nyari sinyal ke pohon sana!" ijinku pada Si Mbok yang masih asyik melipati pakaian. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku sudah cukup lelah berbaring terus seharian. "Non mau apa? Besok-besok kan bisa, Non?!" "Hmm ... ada keperluan urgent banget mbok! Aku udah nyiapin list hal yang aku butuhin ke Papa!""Tapi Non masih sakit!""Enggak, Mbok! Aku nggak sakit! Kemarin aku minum obat, hari juga udah!" Sejujurnya, aku ingin ke sana
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMMakanan dari Dedemit Pov Ashrafil Ambiya'----Bisakah ini kusebut pertama kali? Gadis itu, adalah yang pertama, meski banyak keraguan menggelayuti. Gadis yang belum kukenal identitasnya secara gamblang itu, adalah gadis yang pertama kali membuatku bersentuhan dengannya secara langsung, tanpa aling-aling. Bahkan aku membopong, dan membawanya masuk ke kamar. Gadis itu, gadis yang menjamuku makan di rumahnya, ditemani dengan senyum ramah si Mbok. Gadis itu yang pertama membuatku tak bisa tidur sepanjang malam hanya karena memikirkannya mengapa dia bisa menjadi sampai seperti itu. Perasaan macam apa ini? Bagaimana mungkin? Aku jatuh hati pada gadis jelita, yang wajahnya hanya ada di gambar yang terpampang. Namun, kenyataan ada di hadapanku adalah gadis yang ... kebalikan dari itu. Normalkah perasaanku ini?! Kurasa manusiawi jika hati merasa berdenyar waktu jumpa pertama karena terpesona oleh keindahan paras. Sedangkan yang kutemui justru sebaliknya
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAMPoV Ashrafil Ambiya'Senyuman Daniella ----"Owalah, ya sudah kalau gitu. Pakde panasin dulu ini sup dagingnya! Eman-eman. Ini hidangan mewah, Shraf!"Setelah memanaskan kuah sup, pakde kembali ke meja makan, dan kami pun melahap hidangan ini dengan penuh semangat. "Pakde! Gadis yang biasa main di pohon jambu itu, bukan demit! Tapi dia anak asuhnya Mbok Trami, yang dari Jakarta, Pakde!" kataku memulai kembali obrolan di tengah suapan yang telah terlahap. "Yang benar Shraf?!""Iya, Pakde!""Apa dia kena gangguan jiwa, Shraf?!""Bukan, Pakde! Dia sakit, tapi bukan gangguan jiwa!" "Yoweslah kalau gitu, yang penting dia ndak ngganggu! Kamu juga jangan dekat-dekat sama dia! Nanti menimbulkan prasangka orang-orang!" Bagaimana mungkin aku menuruti ucapan Pakde untuk menjauhinya, sedangkan setiap hari saja, aku ingin berjumpa, dan mengunjunginya! Ingin tahu bagaimana kabarnya, apakah dia baik-baik saja. Ataukah tidak. Daniella, semoga esok hari kita bisa
RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM Selalu Ingin Ke Pohon Jambu Pov Daniella Arnetta Vernandi----Sebelum Ustadz Ashraf mendekat dan mengajakku ngobrol, sengaja tadi kucuri fotonya. Kujepret asal tanpa sepengetahuannya sebagai kenang-kenanganku nanti, bilamana kelak aku meninggalkan kampung halaman si Mbok ini. Ustadz Ashraf menawariku sebuah salep pengobat gatal yang didapatnya dari sang guru. Baiklah. Akan kuterima esok. Semoga ini adalah jalan usaha yang bisa kutempuh supaya lekas terbebas dari penyakit ini. Perlahan-lahan. "Daniella, mohon maaf aku nanya kayak gini. Apa Daniella bisa mengaji, dan membaca al-qur'an?" tanyanya ragu, dengan penuh kehati-hatian. Sepertinya Pak Ustadz Ashraf ini tipikal orang tidak enakan alias people pleased, yang kerapkali minta maaf, meski dia tak bersalah. "Nggak perlu minta maaf, Pak Ustadz! Pak Ustadz nggak salah apa-apa, kok. Aku bisa ngaji, Pak Ustadz! Aku pernah ikut mengaji di masjid dekat rumah, sampai tuntas iqro' 6, si Mbok yang ngante