Share

Meluruskan Prasangka

RINTIHAN GADIS KORBAN ILMU HITAM

Part 6

Meluruskan Prasangka

Pov Ashrafil Ambiya'

---

"Tadi ... tadi rumputnya ketinggalan, Pakde! Sama sabitnya juga! Saya mau ambil sekarang!" kataku pada Pakde.

"Ndak usah, Shraf! Ini udah malam. Ndak bakal hilang itu sabit sama rumput di karung. La iya, apa tadi kamu buru-buru pulang gara-gara ketemu kuntilanak jambu? Dasar demit, sering gangguin perjaka!"

"Bu ... bukan Pakde! Tadi aku ketemu sama perempuan! Tapi bukan kuntilanak! Dia manusia, Pakde!"

"Manusia?! Wong jelas-jelas suara tangisannya itu bukan kayak orang kok, Shraf! Kalau ada dia, pasti baunya busuk. Bikin merinding! Makanya ndak ada orang berani lewat sana! Sejak lama, tanah kosong itu udah angker, Shraf! Kamu jangan ngambil rumput di sana. Cari di tempat lain!"

"Tapi, Pakde?!"

"Tapi apa, Le?!"

"Dia bukan kuntilanak, Pakde! Wanita itu manusia!"

"Wes, Shraf! Sekarang mandi sana!  Siap-siap ngimami sholat maghrib!"

Gegas aku pun mandi, dan bersiap ke Langgar terdekat, tempatku mengajar. Di daerah ini, saat senja memudar dan beralih malam, para warga hampir tak ada yang keluar rumah. Aku hanya menjadi imam para lansia saja. Sedang para pemuda dan anak-anak. Sudah jarang ke mesjid setelah adzan maghrib. Desa ini terletak di perbukitan nan dingin. Jelang malam, hawa dingin serasa menelusup pori-pori. Kabut tebal turun, hingga jelang pagi berangsur memudar. Dingin memang hawanya.

Saat malam terasa hening, ditambah lagi dengan para warga di sini yang masih sangat percaya dengan isu mistis.

***

Wanita pohon jambu itu hampir semalaman membuatku teringat. Entah kenapa aku merasa bersalah sekali menyebutnya dengan wanita tak waras, dan makhluk halus. Padahal tadi sore jelas kulihat dia menapak ke bumi, dengan alas kaki sepasang sandal jepit, dan tangannya pun bisa memukulku hingga memberi reaksi rasa sakit.

Semoga besok aku bisa berjumpa dengannya, dan aku bisa mengobrol. Ingin sekali meluruskan anggapan orang-orang yang keliru tentangnya selama ini. Itu adalah tugasku sebagai seorang pengajar agama, mematahkan anggapan yang tak sesuai dengan ajaran agamaku seperti tahayul yang dipercaya selama ini.

Makhluk ghaib memang ada. Namun, dimensinya memang berlainan dengan manusia. Mereka ada, yang terkadang sengaja muncul untuk menggoda, dan mengganggu manusia agar lalai dari Tuhannya. Sedangkan gadis tadi itu manusia, dan kami mengiranya makhluk halus. Bukankah itu hal yang dzolim. Tidak memanusiakan manusia.

Kuambil air wudhu jelang tidur, dan berdoa sebelum lelap.

***

"Pakde, aku berangkat ke sawah dulu ya, sambil sekalian, mau ngambil sabit tadi sore," pamitku sembari mengecup punggung tangan pria paruh baya yang sudah merawatku itu.

Setelah sarapan, aku biasa berangkat ke ladang, dan tambak untuk menggarap lahan milik Pak Lurah. Seharusnya, jalan menuju ke lahan tidak melewati semak pohon jambu itu. Jika lewat sana, akan memutar lebih jauh. Namun, entah kenapa pagi ini ingin sekali aku ke sana mengambil sabit dan karung. Barangkali aku bisa berjumpa lagi dengan gadis pohon jambu itu.

"Papa, semoga Papa sehat selalu. Aku Sayang sama Papa. Kalau Papa nggak sibuk, Papa jenguk aku di sini. Aku kangen banget sama Papa! See you Papa! Miss you so Much! Bye .... " Terdengar suara wanita dari pohon jambu. Jelas sekali itu suara wanita kemarin. Tapi kenapa dialognya seperti bahasa gaul anak ibukota,  sedikit ada campuran bahasa Inggrisnya?

Benarkah itu gadis jambu yang kemarin? Aku berjalan ke arah semakin dekat dengan pohon jambu itu. Memastikan. Rupanya benar, aroma busuk, dan dahan bergerak-gerak sendiri.

"Assalamu'alaikum, Mbak," salamku saat di bawah pohon.

Tiba-tiba gadis itu melompat.

"Eh kamu lagi! Ngagetin aja! Ngapain pagi-pagi ke sini?!" tanyanya padaku.

Kali ini, dia memakai masker dan berkacamata. Rambutnya pun tak terlihat awut-awutan karena ia mengenakan jilbab selendang pasmina yang asal dililitkan tanpa peniti. Jadi, rambut dan lehernya masih tampak.

Aneh sekali, jika dia berdandan seperti ini tadi sore. Aku tak akan mengiranya lelembut. Mana ada lelembut memakai masker, dan kacamata. Astaghfirullah!

Dia berdecak, seolah tak nyaman akan kehadiranku. Di tangan kanannya, sedang memegang telepon genggam bersimbol apel tergigit di belakang.

Bukankah itu ponsel mahal? Kenapa dia bisa memilikinya? Rasanya aneh sekali.

Mataku kini bukan menatap wajahnya yang tak tampak, melainkan terus menatap ponselnya.

"Ngapain ngelihatinnya kayak gitu?! Bukannya kamu kemarin bilang, aku gadis ga waras? Aku kuntilanak! Trus sekarang ngapain kepo, pagi-pagi ke sini?!" tanyanya sinis.

"Soal yang kemarin, saya minta maaf, Mbak. Saya nggak ada maksud nyangka Mbak yang gimana-gimana."

"Ya udah aku maafin."

"Makasih, Mbak. Tapi kenapa, Mbak sekarang berdandan seperti ini pagi-pagi, dan manjat pohon begini?!"

"Kepo amat jadi orang! Yang penting kan aku nggak ganggu kamu! Lagian, emangnya aku Mbakmu, apa? Dari tadi manggil Mbak mulu. Wajahmu kan lebih tua dari aku!"

Astaghfirullah! Kenapa wanita ini ketus sekali? Apa ada yang salah, dengan ucapanku. Kalau aku tak memanggilnya Mbak, dia harus kupanggil apa?

"Maaf Mbak, bukannya mau kepo atau gimana. Hmm ... keberadaan Mbak si sini itu bikin resah. Banyak yang ngira Mbak makhluk halus. Jadi kenapa Mbak nggak ungkapin aja identitas Mbak, biar orang-orang nggak salah paham."

"Dahlah! Nggak perlu deh! Aku lebih baik kayak gini, nggak dikenal orang, daripada dikenal nanti malah ribet! Panjang urusannya! Lebih baik, Pak Ustadz pulang aja! Aku juga mau pulang! O iya, jangan panggil Mbak lagi!"

Kenapa gadis ini labil sekali, sepertinya hidup gadis ini penuh teka-teki, hingga sudah pasrah dianggap sebagai lelembut di sini.

"Mbak, kalau nggak mau dipanggil Mbak, maunya dipanggil apa? Kita kenalan dulu ya. Saya ... Ashraf. Ashrafil Ambiya' nama lengkapnya. Saya belum lama tinggal, dan ngajar ngaji anak-anak di sini."

"Jadi beneran Pak Ustadz ternyata."

"Kalau Mbak, namanya siapa?!"

"Namaku Daniella."

"Kuda nila?!"

"Daniella!! Woy! Ngeselin amat ni orang! Baru aja kenal udah ngeledek nama!"

"Maaf, tadi siapa namanya?"

"Daniella! Nama aku, Daniella! Daniella Arnetta Vernandi!"

"Masya Allah, panjang banget namanya kayak kereta Argowilis!"

"Panggil aja Dan! Enak aja Kuda Nila! Itu nama pemberian Papa! Nama bagus-bagus dipanggil kudanila!"

"Oke, Dan! Aku manggilnya Dan. Nggak pake Mbak, ya!"

"Nggak usah!"

"Ngomong-ngomong, rumah Dan di mana?! Kenapa bisa sampai di sini manjat-manjat pohon?"

"Tempat tinggalku naik ke sana. Agak jauh! Aku di sini tuh lagi nyari sinyal. Lagi telponan sama Papaku di Jakarta."

"Dan tinggal sama siapa?"

"Sama Si Mbok. Dia itu Nanny, tukang pomongku sejak aku bayi."

"Oh, jadi si Mboknya Dan, namanya Bu Nanny?!"

"Bukan!!! Nanny itu pengasuh. Si Mbok itu ibu asuh aku. Mamaku meninggal pas aku masih bayi. Kalau si Mbok itu namanya Mbok Trami."

"Oh ..." Aku terpaksa mengangguk mengiyai meski tak paham. Apakah nama si mboknya Daniella itu namanya Nanny, ataukah Trami.

"Ngomong-ngomong, kenapa Pak Ustadz sampai berani ke sini berkali-kali? Apa Pak Ustadz mau uji nyali, memastikan sekalian mau tarung ngusir hantu kuntilanak?!" tanyanya serius. Seolah menyelidik.

"Enggak! Enggak seperti itu, Dan! Aku tadi malam kan sempat salah paham dan mengira kamu itu, makhluk halus dan ODGJ. Jadi, aku mau minta maaf, itu termasuk dzolim. Kan kalau sudah klarifikasi kenyataannya nggak seperti itu, aku juga mau meluruskan anggapan warga di sini yang salah, tentang kamu."

"Dahlah Pak Ustadz! Cukup Pak Ustadz aja yang tahu, kalau aku ini manusia! Biarin dah! Biarin aku dianggap hantu, sama orang nggak waras juga nggak masalah! Yang penting hidupku tenang. Daripada mereka tahu identitasku malah kacau," ucap gadis bernama Daniella itu.

"Kacau kenapa?!"

"Astagah, Pak Ustadz?! Kepo mulu ni orang! Kalau Pak Ustadz penasaran, ikut aja ke rumah Mbok! Nanti biar Mbok yang cerita!"

Gadis itu lantas menyeretku kasar menuju ke jalanan setapak dan naik beberapa tanjakan berliku.

"Kita mau ke mana?!"

"Biar Pak Ustadz nggak kepo! Ayo ikut ke rumah si Mbok!"

"Ta ... tapi, saya mau ambil sabit, dan mau ke ladang!"

"Ke ladangnya kan bisa nanti! Biar pak Ustadz nggak bisulan, kepo mulu! Dahlah! Ikut aja, daripada udah ketahuan, sekalian biar tahu dan nggak menduga yang bukan-bukan!"

Aku terpaksa mengikuti langkah Daniella.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status