Aku sendiri juga tidak melihat pak RT semenjak anaknya melahirkan tanpa bapak. Soalnya saat Husna mengaku sakit tumor ddari susu pindah ke perut beliau sibuk mencarikan obat ke alternative untuk putri kesanyangannya. Kenyataan itu sungguh pahit aku bisa membayangkan betapa kecewanya pak Rt saat ini.
“Tunggu sebentar ya bu Endang. Saya cari dulu suami saya. Bisa minta tolong gendong cucu saya sebentar?” pinta bu Rt.
“Sini bu RT saya gendong cucunya. Sudah lama ya kita tidak melihat bayi di desa ini,” ucap bu Arum.
Benar juga sih kata bu Arum sudah lama desa sukma jaya ini tidak kedatangan bayi. Kebanyakan anak muda di sini begitu hamil melahirkan di tempat suami. Ini bayi lelaki pertama yang datang setelah sekian purnama tapi dengan kondisi yang menghebohkan. Beberapa saat bu RT datang bersama suaminya.
“Bu Endang ada apa mencari saya?” tanya pak Komar dengan wajah yang sepertinya lelah sekali.
“Saya mau mem
Irma menggertakkan giginya menandakan dia sedang sangat kesal. dengan apa yang di hadapinya saat ini. Aku sangat senang melihat wajahnya yang merah padam itu. Dia saja meminta bukti masa iya aku tak meminta bukti."Beraninya kalian keroyokan menindasku!" seru Irma."Siapa yang menindasmu. Kamu duluan yang mencari gara-gara," balas Desi.Aku memperhatikan sekitar ternyata ada pelindungnya. trik licik dari perempuan jalang seperti Irma ini sudah banyak aku baca di novel favoritku."Ada apa ini. Kenapa ribut, Irma kenapa kamu menangis?" tanya pak Roni."Mereka menindasku pak. Mereka menuduhku mempunyai main dengan atasan sehingga tidak jadi dimutasi ke kantor cabang," ucap Irma sambil berpura-pura menangis.Dari cerita Irma pak Roni memarahi kami. Memangnya aku takit dengan dia apa. Aku menantang pak Roni memutar cctv di ruangan kami berada."Kalian ini jangan menuduh tanpa bukti. Kalian yang seharusnya di kirim ke kantor cabang, pembuat
Lama-lama aku jadi terbiasa dengan gosip dan kadang suka penasaran tentang gosip yang baru muncul di desaku. Bu Endang mengingatkanku dengan seorang warga yang terlihat lewat saat kami mengobrol malam tadi.“Kamu ingat nggak orang yang semalam lewat saat kita mengobrol. Itu orang belagu banget sombong sekali, dia pikir dia orang paling kaya apa ya,” jawab bu Endang sedikit sewot.“Oh yang semalam, emang kenapa sih bu. Apa dia itu pelakor yang tinggal di desa kita?” tanyaku penasaran.Bu Endang terlihat sewot saat aku tanya apakah dia pelakor atau tidak. Hanya saja dari raut wajahnya sudah memperlihatkan kalau tidak menyukai warga baru di desa kami.“Dia itu bukan pelakor Dara, tapi orang sok kaya di desa kita ini. lihat saja gayanya sok banget!” seru bu Endang.“Sok bagaimana sih bu. Aku melihatnya biasa saja,” ucapku masih belum paham apa yang dimaksud oleh bu Endang ini.Bu Endang menegaskan
Aku mencari sumber suara yang gaduh tersebut. ketika keluar kamar ternyata suara bapak yang membanting panci juga beberapa perabot yang dipukuli di depan rumah. "Bapak kenapa bu?""Nggak tahu Dar. Kenapa bisa sampai emosi seperti itu ya. Atau jangan-jangan bapakmu kesurupan Dar!" seru ibuku.Bapak membuka pagar lalu berteriak ke arah bale-bale yang tadi dipakai geng ibu-ibbu bergosip. Beliau kesal karena para ibu itu menyombongkan banda yang dimiliki."Pulang sana habis magrib bukannya diam di rumah suami pada pulang kerja capek. Ini malah ngerumpi mulu. Udah pada tua bukan bocah lagi main panas-panasan saja. Kalau orang kaya tuh nggak koar-koar dirinya kaya orang sudah pada tahu," teriak bapakku."Pak Harun ini kenapa ya. Orang kita ngobrol sendiri kenapa dia yang kepanasan sama seperti bu Endang," keluh bu Lastri.Ketiga ibu itu menertawakan bapakku. Entah apa yang ada dipikiran mereka ini. obrolan mereka sungguh tidak patut dicontoh selalu memba
“Eh Bu Lastri sudah seperti apa saja. Heboh sendiri pagi-pagi nganter sayur ke gengnya. Perkara makan sayur asem saja hebohnya minta ampun,” ucap bu Endang kesal melihat ada geng diantara warga desa Sukma Jaya.Bu Lastri memilih pergi meninggalkan bu Endang yang sudah sewot melihatnya. Pasti bakal ada gosip baru di desa ini. Sudahlah aku mau berangkat kerja dulu nanti sore juga mendengar gosip lagi yang lebih panas dari pagi ini.“Sudah bu Endang nggak usah peduliin bu Lastri. Sedang diatas angin dia sekarang lupa daratan. Nggak ingat dulu waktu susah sama kita. Orang kalau hidupnya sedang enak ya lupa sama teman yang dulu pernah menolong seperti kita ini,” ucap bu Sri.“Empet saya lihat kelakuan mereka yang tidak bermoral itu. Asal saya lewat ngomong mau makan ini makan anu. Memangnya saya minta makan sama mereka apa. Bikin sewot saja!” seru bu Endang.Masih kudengar gerutuan bu Endang di warung sayur. Mungkin akan sam
"Aku kok jadi merinding dan jantungku berdebar kencang banget!" seruku saat melihat detik-detik pak Maulana melangkahkan kakinya lebih dekat ke pintu gudang.Metta memintaku untuk diam dan memperhatikan saja apa yang akan terjadi."Astaga, apa yang kalian lakukan?!" bentak pak Maulana keras sekali sampai menganggetkan kami.Sesaat kemudian beberapa orang yang mendengar teriakan pak Maulana berhamburan datang mendekat."Ada apa pak Maulana?" tanya bu Lisa."Lisa suruh orang berhamburan ke sini untuk kembali bekerja!" seru pak Maulana.Bu Lisa meminta kami semua untuk kembali ke tempat kerja masing-masing sedangkan beliau membereskan masalah yang ada di depan mata.Plak!"Dasar sampah kamu Roni. Sudah punya istri masih saja main serong dengan seorang gadis!" gertak pak Maulana kasar sambil menampar pipi adiknya."Kak dengarkan aku dulu. Istriku jarang di rumah, kami jarang bersentuhan apa salah aku mencari kehangatan
Doni hanya berkata lihat saja nanti kalau sudah sampai lokasi akan tahu perkaranya apa. Setiap hari ribut sama tetangga apa nggak capek ya bu Endang itu. Aku teringat masalah tadi pagi soal bu Lastri yang mengantar sayur asem ke dua teman gengnya.“Sudah nanti juga tahu. Yuk segera saja ke lokasi,” jawab Doni.“Bikin aku penasaran saja dengan apa yang terjadi,” imbuhku yang semakin penasaran.Kami sudah sampai bale-bale ternyata benar Bu Endang sedang menyemprot bu Lastri dan gengnya. Sepertinya masalah makan-makan yang belum kunjung kelar. Atau yang masalah sindir-sindiran yang dilakukan oleh bu Farah sehingga memicu konflik yang ada.“Kalian itu jangan kekanak-kanakan. Nggak sopan sama yang lebih tua. Ini bukan masalah senioritas masalah sopan santun. Setiap mau makan-makan atau mau lewat sengaja kalian bicara lantang seolah menyindir saya. Siapa yang tidak berasa setiap saya lewat kalian sengaja ngomong yang menjurus ke sa
Bu Sri mendekat ke arah bu Endang terlihat mereka bisik-bisik entah apa yang dibicarakan. Aku tak bisa kepo karena banyak orang. Nanti dikira pengen tahu saja urusan orang."Bu Endang ini gimana sih. Mana ada budget saya beli kompor sampai jutaan di rumah saja kompor seharga tiga ratus ribuan awet banget saya pakai bertahun-tahun," jawab bu Sri."Iya sama perkara kompor saja sampai jutaan, bikin pusing saja kebanyakan utang!" seru bu Endang.Bu Endang dan bu Sri tidak mengambil kompor dan panci seharga fantastis itu. Mereka lebih memilih harga chas ketimbang kredit kompor sampai jutaan."Siapa tadi yang ambil kompor sama panci bu?" tanya bu Arum."Nggak tahu saya nggak sampai selesai bu, malas banget sama orang sok kaya," ucap bu Sri.Keesokan harinya seperti biasa ibu-ibu belanja di warung bu Sri. Dunia pergosipan tentu saja tetap berlanjut. Kebetulan aku di suruh ibu membeli bawang merah juga garam jadi sedikit mendengar gosip ibu-ibu.
Bu Endang memang selalu blak-blakan. Bukan bermaksud syirik dengan apa yang dimiliki oleh bu Lastri tapi cara berbicaranya yang kerap sekali mengundang kekesalan orang lain. Kalaupun kaya ya sudah tidak perlu koar-koar kalau dirinya kaya dan memiliki apa yang tidak memiliki orang lain.Takutnya ada yang tidak suka lalu berbuat kejahatan dengan orang yang asal bicara tersebut. Aku yang berada ditengah-tengah mereka ikut kesal dengan perilaku tetanggaku ini.“Bu Endang ini kenapa sih. Urusin saja urusan ibu sendiri, nggak usah urusin hidup kita, iya nggak jeng Farah!” seru bu Lastri.“He’em syirik saja, memang kita kaya kok. Buktinya mampu makan enak setiap hari. Emas punya, ini yang kita pakai itu asli, emangnya salah kita bilang orang kaya?” tanya bu Farah.Bu Sri yang dari tadi diam ikut menasehati bu Farah dan bu Lastri yang sudah mulai keterlaluan. Jangankan ibu-ibu aku yang anak kecil saja ikut jengkel melihat perilakunya