Menjadi dewasa adalah keputusan terbesar Rosea Damita. Memaafkan dan menerima trauma akan masa lalu menjadi awal mula hidup barunya. Di saat Rosea mampu melanjutkan hidupnya, rahasia yang ia tutup rapat malah terkuak. Stereotip yang Rosea takutkan, kini melekat pada dirinya. Rosea pun malu dan egonya sebagai perempuan terluka. Miko dan Julian sebagai laki-laki yang mencintai Rosea, bingung harus bersikap bagaimana menghadapi mental Rosea yang goyah. Mampukah Rosea mengobati 'lukanya' yang menguar tanpa harus membasuh dengan alkohol di atasnya?credit cover: canva
View MoreRosea berjalan menyusuri anak tangga dengan keyakinan yang tak utuh, langkahnya menggiring ke ruang keluarga Hendrawan. Di sana ada ibu dan adiknya, Aji, yang asik menonton serial drama Amerika. Keringat dingin membasahi tangan dan dahi Rosea. Debaran jantung semakin terasa saat duduk di sebelah Liliana, perempuan yang melahirkannya.
“Bunda…”
“Hm?”
“Rosea boleh ngekos endak? Biar lebih deket. Kalau berangkat dari rumah bakal ngabisin ongkos banyak buat transport ke kampus.” Rosea memainkan jari-jarinya mencoba menghilangkan rasa cemas.
Rosea melirik bundanya yang bergeming, seakan sengaja menulikan indra pendengarannya.
“Bun…”
Bukan balasan dari bunda yang Rosea dengar, namun Aji. “Udahlah kak, siapa coba yang mau biayain lu? Lu tuh kebiasaan banget deh sok ngide. Ujung-ujungnya ngerepotin bunda sama ayah.”
Nafas Rosea tercekat. Hatinya mencelos, ada amarah yang bercokol ingin ia muntahkan pada adik satu-satunya itu.
“Rosea bakal kerja sampingan, jadi bunda sama ayah endak usah bayarin kos Rose-“
“Gua enggak yakin lu bisa bertahan hidup sendirian. Lu tuh terlalu manja dan merepotkan tahu enggak?” Aji mencibir alasan Rosea, lalu pergi dari ruang keluarga dengan seriangaian yang sangat Rosea benci.
“Terserah kamu saja. Bunda capek sama kamu. Kamu enggak pernah bisa ngertiin bunda.”
Kepergian bunda dari ruang keluarga menyentak perasaannya. Rosea takut sekali jika Liliana tak memberi restu, hal buruk malah terjadi padanya. Rosea masih memercayai bahwa restu Tuhan berada di kedua orang tuanya. Sedangkan ayahnya, pria dewasa itu hanya mengangguk dalam diam saat Rosea mengutarakan keinginannya seminggu yang lalu.
Tangisan Rosea tak terbendung. Ia sudah sangat lelah menahan semuanya, lelah hidup dalam penuh amarah yang teredam dan lelah hidup dalam tekanan. Tangan Rosea mengepal menepuk-nepuk dadanya yang dialiri rasa nyeri. Menahan geram yang ia pendam bertahun-tahun lamanya.
Kenapa? Kenapa aku dilahirin sebagai anak perempuan bunda? Anak perempuan yang harus selalu mengerti bunda? Kenapa bunda endak pernah menuntut hal yang sama pada anak laki-laki bunda? Rosea anak bunda kan?
Bunda. Setiap kali anak laki-laki bunda nyakitin Rosea, kenapa bunda diem aja? Kenapa Bunda endak belain Rosea dan marahin anak laki-laki bunda seperti yang bunda lakukan ke Rosea?
Jiwanya menjerit. Isakan Rosea sungguh menyayat hati. Entah dosa siapa yang ia tanggung sampai hidupnya menjadi semenyedihkan ini. Hidup tanpa perlindungan dan belas kasih. Rosea lelah terus menerus dianaktirikan seperti ini.
Rosea menyayangi ayah dan bundanya. Teramat mencintai mereka. Namun, Rosea tidak merasa dianggap sebagai anak. Akhirnya ia mengambil sebuah keputusan yang menyiksa karena harus tinggal terpisah dengan ayah dan bundanya.
Setidaknya dua tahun yang lalu. Kini Rosea mampu bernapas lega bak mendapat kantung paru-paru tambahan. Tinggal sendirian membuat Rosea dapat hidup dengan nyaman tanpa ada rasa was-was dan tertekan. Akan tetapi, ternyata masih ada ketakutan yang memberatkan langkahnya.
Memang, menerima dan memaafkan adalah hal yang paling sulit dilakukan manusia, termasuk Rosea. Apalagi berhubungan dengan masa lalu yang kelam. Masa lalu yang hampir saja merenggut kewarasan dan nyawanya.
“Perihal menahan rasa yang bergemuruh pada dada, manusia perlu berguru pada kesabaran dan angkara murka, agar tahu bagaimana dampak keduanya.” “WOY BABI HUTAN!” “Ha? Mana? Mana?” Miko bangun dengan gelagapan. Mukanya masih kusut dengan bekas air liur di pipi kanannya. Bajunya juga terdapat bekas air liurnya. “Lu babi hutannya! Parah banget gila lu ngorok apa kesurupan?” Rachel benar-benar murka. Semalaman setelah adegan Miko yang mabuk setelah minum anggur merah, ia ingin sekali tidur karena lelah seharian ini. Tetapi keinginannya sirna setelah satu setengah jam kemudian. Miko mengorok dengan suara yang lumayan keras. “Ngorok apaan sih? Gua kalo tidur tuh cakep banget. Sangat tenang dan tidak mengeluarkan suara.” “Pret!” Rachel beranjak dari duduknya dan merapikan ruang tamu yang dipenuhi bungkus makanan dan botol anggur merah sisa semalam. Sedangkan Miko memilih melanjutkan tidurnya. Rachel memunguti bu
“Perihal menahan rasa yang bergemuruh pada dada, manusia perlu berguru pada kesabaran dan angkara murka, agar tahu bagaimana dampak keduanya.” “WOY BABI HUTAN!” “Ha? Mana? Mana?” Miko bangun dengan gelagapan. Mukanya masih kusut dengan bekas air liur di pipi kanannya. Bajunya juga terdapat bekas air liurnya. “Lu babi hutannya! Parah banget gila lu ngorok apa kesurupan?” Rachel benar-benar murka. Semalaman setelah adegan Miko yang mabuk setelah minum anggur merah, ia ingin sekali tidur karena lelah seharian ini. Tetapi keinginannya sirna setelah satu setengah jam kemudian. Miko mengorok dengan suara yang lumayan keras. “Ngorok apaan sih? Gua kalo tidur tuh cakep banget. Sangat tenang dan tidak mengeluarkan suara.” “Pret!” Rachel beranjak dari duduknya dan merapikan ruang tamu yang dipenuhi bungkus makanan dan botol anggur merah sisa semalam. Sedangkan Miko memilih melanjutkan tidurnya. Rachel memunguti bu
“Ketulusan tak pernah meminta balasan. Berbeda dengan dendam yang selalu ingin terbayarkan.” “Iya aku setuju sama kamu, Chel. Peluang terbesare ya anak HIMA lek enggak gitu ya anak BEM. Tapi sekarang ambil kunci mading dulu.” Susi dan Rachel berjalan beriringan menuju ruang sekretariat BEM. Susi terlihat mungil berada di sebelah Rachel yang bertubuh jenjang. Rachel tadi sempat mengganti alas kaki menjadi sandal setelah makan bebek bersama Miko. “Btw, sorry ya gua ganggu lu.” “Gapapa kok, Chel. Aku juga enggak tega sama orang yang jadi korban. Tapi waktu itu aku enggak tahu harus ngapain soalnya yang lain pada ikutan gosip.” Susi terus bercerita bagaimana teman-temannya menggunjing Rosea sembari membetulkan kacamatanya. “Kok tega gitu ya? Apa ya kan kita sama-sama cewe nih ya, amit-amit kalo kena kita kan enggak enak juga. Udah kena musibah, eh jadi bahan ghibahan. Emang bener mah
“Hidup ini memang penuh drama, jadi tidak usah terkejut atau sampai berlebihan dalam menyikapi perangai orang yang bermuka dua.” Dalam ruangan VIP sebuah klab malam eksklusif, suara ketukan gelas wine mengiringi pikiran-pikiran Miko yang berkeliaran. Sedari tadi matanya menerawang jauh, memikirkan bagaimana cara menemukan orang yang menyebarkan berita tentang Rosea. Sudah dua jam ia duduk sambil menghabiskan sebotol anggur, tetapi pikirannya semakin buntu. Tadi sore Miko sekongkol dengan Julian dan Hana untuk membohongi Rosea. Miko berkata bahwa latihan dance dibatalkan karena ada turnamen basket antar kampus. Rosea untungnya percaya-percaya saja. Hana pun menghapus room chat UKM dance yang sedang membahas jadwal latihan hari itu. Hana juga pura-pura sebagain bundanya Rosea, lalu menelpon Mas Begas dan mengatakan bahwa Rosea ada acara keluarga mendadak. Malangnya Miko harus pergi dan akhirnya mem
“Tiada manusia yang benar-benar kuat. Sekali pun dia terlihat tegar, salah satu bagian dirinya pasti menampakkan luka.” Miko gelagapan menjawab pertanyaan Rosea yang baru selesai mandi. Air mukanya berubah merah kala mencari-cari alasan. Hana dan Julian menatap menuntut jawab. Sedangkan Rosea santai dengan handuk di kepalanya. “Ah itu, dosennya ngeliburin. Iya, libur. Nih barusan dikabarin lewat grup.” Miko mengangkat gawainya canggung. Rosea mengangguk, lalu tersenyum. “Kalian mau makan bubur ndak? Pasti blom makan semua kan?” “Biar gua aja yang beliin!” Hana langsung melotot mendengar Miko dan Julian berseru bersamaan. Ia menatap Rosea yang mengedip-ngedipkan matanya cepat. Sahabatnya itu terkejut melihat dua orang laki-laki sangat semangat ingin membantunya. “Hm, oke, mending gua aja gimana yang beli?” tawar Hana dengan nada penuh penekanan. “JANGAN!” “Kalem! Kalem! Jangan pada ngegas
“Ketakutan akan kebagusan adalah usaha menutupi keburukan.”Lembabnya jalan setapak sehabis hujan menyapa kaki Hana kala berjalan memasuki taman rumah sakit. Langkahnya gontai. Banyak pikiran buruk datang silih berganti. Ia duduk di salah satu bangku dengan lampu taman bersinar kuning.“Nih!”Hana menerima segelas coklat hangat dari orang yang telah menantinya di bangku itu sedari tadi. “Makasih.” Hana paksakan senyum berterima kasih.“Hm, Luk, makasih udah mau mantau Rosea. Jadi gua enggak terlalu telat buat tahu keadaan Rosea tadi.”“Iya, sama-sama. Udahlah wak lu gausah sedih-sedih gitu, gua ikutan sedih.” Luki bersandar pada bangku dan menoleh pada Hana.“Gua enggak habis pikir gitu, lho. Maksud gua tuh gini. Orang baik pasti ada aja cobaannya. Coba para bajingan, bedebah, preman, kenapa hidupnya mujur? Akal gua enggak bisa nerima ini semua,&
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments