Sudah lebih dari satu bulan Arlan menghindari Shinta. Ia tidak ingin wanita yang menjadi menantunya itu benar-benar hamil. Benar saja, pagi ini pria mapan dan tampan itu harus menerima kenyataan atas perbuatan gilanya bersama sang menantu.
Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar kamar pribadinya dimansion mewah tersebut. Dengan tegas Arlan hanya bisa meminta seseorang yang mengetuk dari luar itu masuk, karena pintu kamar tidak di kunci. "Ya masuk!"Seperti biasa, Shinta langsung melongokkan kepalanya, mencari dimana keberadaan pria yang sangat ia rindukan beberapa waktu ini.Shinta bertanya dengan wajah serba salah, "Papi, bisakah Shinta masuk?"Arlan menoleh sedikit, namun tidak begitu banyak bicara. Ia tengah sibuk menyusun beberapa pakaiannya untuk melakukan perjalanan dinas bersama Seno serta dua wanita yang menjadi secretarisnya. "Hmm, masuklah! Hari ini aku ada kegiatan, mungkin kembali minggu depan. Aku harap kamu terus menjaga Leon untukku, karena aku peDi ruangan yang berbeda, Arlan justru tengah meluapkan rasa amarahnya karena perasaan cemburu melihat kemesraan anak menantunya. Bagaimana tidak, kini Shinta tengah mengandung benih kegilaan mereka, tapi dengan mudahnya wanita itu berciuman bibir dengan Leon yang tampak semakin segar walau masih terlihat kurus."Apa maksud kamu, Shinta? Kenapa kamu tidak pernah menghargai perasaan ku? Aku mencintai kamu! Bahkan saat ini kamu tengah mengandung anak ku! Kamu sadar enggak?" hardiknya berapi-api, membuat Shinta bergidik ngeri.Shinta menjawab pelan ucapan Arlan, agar tidak memperkeruh suasana hati mereka sebelum berangkat menuju Roma, "Pi, Shinta akan berusaha tidak bermesraan dengan Leon diluar rumah, tapi kalau dikamar bagaimana Shinta mau menolak? Leon suami Shinta, dan kami hanya berciuman. Kalau Shinta menolak semua perlakuan Leon, justru itu akan berdampak buruk pada kesehatan suami Shinta."Arlan menyela ucapan Shinta, "Alah, bilang saja kalau kamu juga menginginkan L
Sudah lebih dari dua jam Leon menunggu Shinta juga Arlan diruang keluarga, namun tidak ada tanda-tanda yang berarti bagi mereka untuk keluar dari ruangan laknat itu.Perlahan Leon berjalan pelan masuk kedalam kamar, sambil menikmati siaran telivisi yang selalu menemani kesepian harinya jika Shinta tidak ada.Selama ini Leon berpikir bahwa Shinta meninggalkannya jika cuci darah tengah berlangsung dengan pekerjaan, "Ternyata selama ini kamu menghabiskan waktu bersama Papi. Ternyata aku masih sangat polos untuk mengikuti permainan orang dewasa ...," senyumnya walau hati menangis karena pengkhianatan yang dilakukan oleh Arlan sebagai orang yang sangat dikaguminya selama ini.Sementara di ruang kerja Arlan, Shinta masih mendessah hebat, setelah pertempuran gila yang mereka lakukan selama berjam-jam, setelah pria dewasa itu memberitahu bahwa mereka akan menyusul besok pagi.Tentu saja, Shinta tersenyum sumringah menikmati keindahan surga dunia bersama pria yang ternya
Di apartemen mewah milik Arlan tengah terbaring Leon diranjang kamar utama dengan menggunakan alat bantu pernafasan yang diberikan dokter rumah sakit atas perintah Seno.Leon tidak banyak bicara, bibirnya hanya mengeluarkan suara yang tidak dapat dimengerti oleh Seno.Seno hanya bisa berkata, "Sabarlah Nak! Sebentar lagi Papi dan istri mu akan segera tiba," jelasnya dengan nada suara sangat lembut.Seno menautkan kedua alisnya, ia tidak menyangka bahwa Arlan membiarkan Leon mengemudikan kendaraan sendiri, tanpa memperdulikan keselamatan putra biologisnya."Ada apa dengan Arlan? Bukankah dia sangat peduli pada kesehatan Leon? Kenapa kali ini sama sekali Arlan tidak peduli dengan kondisi Leon ...!" geramnya mengepal kuat tangan sendiri.Tak selang berapa lama, setelah Dokter Iman, meyakinkan bahwa Leon hanya kelelahan, terdengar suara ketukan pintu kamar, yang Seno ketahui itu merupakan Arlan.Benar saja, saat pintu kamar dibuka oleh Dokter, Arlan langsung
Arlan masih meringis menahan sakit akibat pukulan Seno yang sangat menyesakkan dada. Kali ini ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Baginya kesehatan Leon paling utama, tanpa memikirkan Shinta.Arlan berusaha berdiri, berjalan tertatih menuju sofa tanpa bantuan Seno, hanya bisa bertanya, "Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika anak itu lahir?" geramnya.Seno menyunggingkan senyuman tipisnya, "Gampang ... kau menikah dengan Raline dan jika anak haram itu lahir ke dunia, kau bisa mengambil alih pengasuhan mereka. Menikah hanya untuk status!"Arlan menautkan kedua alisnya, menatap nanar kearah Seno, "Ide gila! Tidak mungkin aku menikahi Raline!" geramnya semakin berang."Oke, bagaimana Mila atau Mia! Tinggal pilih. Ingat Arlan, Leon membutuhkan Shinta! Wanita itu menantu mu! Jangan kau rebut dia dari Leon, karena semua akan mengutuk keras perbuatan mu! Kau menikah dengan salah satu secretaris pribadi kita dan kau katakan pada mereka, bahwa anak itu kau dapat
Melihat kejadian itu Arlan semakin terlihat panik. Bagaimana mungkin, Leon melepaskan selang berbahan silikon, berukuran tiga centimeter yang tertanam di kulit lengannya, sehingga menyemprotkan darah segar keberbagai arah, dan merobek kulit lengan putra kesayangannya.Ini kali pertama Leon melakukan hal itu seumur hidupnya, karena ingin menyusul Yasmin dan tidak ingin melanjutkan kehidupannya bersama Arlan didunia penuh pengkhianatan ini.Arlan berteriak keras, memanggil dokter pribadinya yang berada di ruang keluarga."Ogh tidak Leon! Dokter!" teriak Arlan histeris, dengan wajah merah padam dan air mata mengalir deras.Mendengar teriakkan Arlan dari dalam kamar, Shinta yang baru datang ke apartemen, berhambur lari menuju kamar utama milik Arlan, disusul Seno juga dokter yang menangani Leon selama ini.Dengan tergesa Shinta langsung melompat menuju ranjang kamar tersebut, disusul dokter yang meraih lengan Leon dengan kuat, melepas paksa tali bantal guling, k
Siapa sangka, ternyata sejak kejadian itu Arlan sudah tidak mau bertemu lagi dengan Seno. Ia membatalkan rencana pekerjaannya ke Roma, karena tidak ingin berdebat dengan pria yang merupakan sahabatnya sejak dulu.Arlan mengurung diri berhari-hari bahkan berminggu-minggu didalam apartemennya selama satu bulan, tanpa menghiraukan Leon yang terus menerus menanyakan keberadaannya dengan Shinta.Shinta terdiam sejenak, hanya bisa tersenyum tipis, menatap wajah suaminya dengan penuh perasaan iba. "Sudah lebih dari tiga minggu Papi tidak pernah kembali ke mansion, sayang. Sama sekali tidak pernah memberi kabar pada ku, ataupun pada para pelayan," jelasnya pelan, sambil mengusap lembut kepala Leon.Leon memiringkan tubuhnya, menatap lekat iris mata indah Shinta, sementara tangan kanannya menyematkan anak rambut di cuping istri tercinta, kemudian bertanya, "Biarkan saja. Oya benarkah kamu mengandung anak hmm?"Shinta yang tidak pernah mendapat pertanyaan seperti itu
Pagi menjelang matahari bersinar terang, menyinari kota metropolitan. Seperti biasa Shinta terjaga lebih. Ia melakukan ritualnya, dan sangat menikmati kehamilannya tanpa perasaan malu ataupun berdosa. Baginya, kini ia telah berhasil menaklukkan kedua hati pria itu, sehingga tidak ingin berpisah dari mereka karena kemewahan yang semakin membuat dirinya merasa nyaman. Satu keuntungan yang besar baginya, karena dapat menjadi Nyonya Leon juga simpanan Arlan untuk mesin uangnya yang semakin lama, semakin menggebu-gebu.Katakan Shinta dan Arlan gila, atau bahkan jahat pada Leon. Ya, kali ini mereka berdua tidak ingin berdebat dengan siapapun, karena mereka yang berbicara atau menjudge tidak pernah berada dalam posisi cinta terlarang, seperti kedua insan mertua dan menantu saat ini.Semakin Shinta menghindari Arlan, semakin besar rasa ingin memiliki pria duda beranak satu itu, sehingga membuat ia semakin sulit untuk menjelaskan pada orang lain tentang perasaan cintanya.Be
Mendengar ucapan Liberti, seketika dada Shinta seperti akan meledakan satu amarah, tapi pada siapa, "Tidak-tidak-tidak ... tidak mungkin papi akan menikahi wanita lain selain aku ...!"Leon tersenyum sumringah, menatap Liberti yang menyambut didepan pintu kamar pribadi, dengan memapah sebelah tangan kirinya. Sementara Raline berdiri di sisi lain menyambut tangan kanan sang keponakan.Shinta menatap kearah dua manusia yang selalu dikatakan Arlan sebagai keluarga tidak berarti apa-apa bagi kehidupan mereka. Namun semua kepura-puraan itu semakin terlihat jelas, bahkan Leon tampak berpihak pada kedua wanita yang memapahnya.Dengan tatapan lirih, Shinta berkata pelan, "Sa-sayang, sebentar lagi jadwal cuci darah. Jadi lebih baik aku mempersiapkan semua kebutuhan kamu, sebelum aku berangkat ke rumah sakit untuk mengurus pekerjaan ku."Leon mengangguk setuju, lagi-lagi Liberti lah yang memanjakan sang cucu tanpa memperdulikan Shinta yang dibuat seperti pembantu, seenakn