Share

Rahasia Gadis Biasa
Rahasia Gadis Biasa
Author: Aufa Hardy

Bab 1: Anak Terbuang

Suasana gedung sekolah SMA High Pros mendadak ramai kala deringan bel berbunyi menandakan waktu istirahat pertama. Tiga lantai keatas mulai dipadati anak-anak berseragam putih dengan vest marun melintasi lorong dan anakan tangga, berlomba-lomba menuju kantin. Ada juga yang masih di kelas, membuka bekal sambil mengobrol bersama.

Kelas 12-A mulai sepi. Bella memandangi langit sekilas dibalik kaca-kaca yang sejak tadi pagi diterpa angin kencang. Suasana dingin masih terasa sisa hujan gerimis tadi pagi. Tiga jam pertama dilewati dengan menahan lapar di depan Miss Vera, guru Bahasa Inggris yang banyak bercerita tentang masa mudanya-DALAM BAHASA INGGRIS! Otomatis membuat Bella harus pasang telinga baik-baik, mengentaskan rasa lapar bahkan haus dari dirinya.

Berbeda dengan Aiko, Nabilla, ataupun anak-anak peringkat kelas lainnya yang setiap hari mengikuti bimbingan belajar yang mahal diluar, dirinya harus belajar secara mandiri seserius mungkin. Tidak ada biaya yang cukup untuk membawanya ke tempat kursus semacam itu. Namun, ajaibnya, dia selalu masuk peringkat tiga besar di kelas. 

Mungkin tidak ada yang menyangka, tapi disaat yang bersamaan juga tidak ada yang peduli akan hal itu. Toh, semua anak menganggapnya aneh, pendiam, dan tidak asyik dijadikan teman alias membosankan. Bahkan dengan alasan dia tidak bisa ikut tur sekolah karena biaya, sekaligus dia harus membantu Ibunya berjualan di pasar selama liburan, teman-temannya lantas menjauhinya yang juga dicap miskin.

"Kamu berteman dengannya? Aku sih, tidak sudi. Hahaha!" Tawa-tawa cemoohan itu sering kali bergema di telinganya. Entah sudah berapa hari terlewati, tetap saja rasa sakitnya sama. Rasa sakit yang setiap kali dia coba untuk mengusirnya, semakin terpendam jauh di dalam hatinya.

Meski kata Ibu, rasa sakit yang dipendam itu seperti bom waktu yang akan meledak di saat dan dengan cara yang tidak diinginkan, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara memaafkan mereka yang tanpa hati menyakitinya.

"Heh, Bella!" Panggil salah seorang teman yang baru datang di jam istirahat. Aiko, anak Anggota Dewan dua priode, yang kabarnya begitu lulus akan dijodohkan dengan anak bos perusahaan telekomunikasi Nasional.

Baru saja yang dipanggil menaikkan wajahnya, Aiko sudah melemparkan sebuah buku yang langsung terbuka di atas mejanya. Kemudian cengiran lebarnya terulas miring,

"Kamu kerjakan, ya. Gampang, kan? Ini matematika, lho." Ujarnya, tanpa bisa Bella tolak. 

Bella memang dikenal lumayan jago dalam pelajaran ini, mungkin itulah sebabnya beberapa anak penggertak seperti Aiko dan gengnya suka sekali menyuruhnya untuk menyelesaikan soal-soal yang rumit (atau mereka memang malas melakukannya).

Bella sejenak ragu. Dia menarik tangannya dari atas buku.

"Kenapa, sih?" Luna, salah satu anak buah Aiko yang duduk di bangku belakang, ikut-ikutan menghampiri mejanya. 

"Lihat tuh, aku suruh kerjakan ini saja malah dilihat-lihat dulu! Lama tahu, gak!" Omel Aiko tiba-tiba, "Habis ini jam matematika, kan?"

"Nanti siang, Ai. Jam terakhir." Jelas Luna, namun malah lanjut mengompori, "Tapi kalau tidak dikerjakan sekarang takutnya tidak ada waktu, apalagi dia selalu menghilang entah kemana pas jam makan siang, kan? Haha."

Bella mulai memanas hatinya. Tidak tahan dengan segala bentuk sindiran, cemoohan, dan penindasan selama dua tahun terakhirnya di sekolah ini. Hampir semua anak tahu, dia selalu makan menyendiri di halaman belakang atau di dekat perpustakaan. Sejak anak-anak sering meledek makanan sederhana yang dibawanya.

"Heh, kamu bawa apa makan siang nanti?" Aiko berusaha mengambil alih tatapan ke arahnya yang terus dihindari Bella.

"Bekal." Jawab Bella sekenanya. Dia bersiap menolak 'perintah' Aiko dengan menggeser buku dari mejanya.

"Iya tahu, kamu bawa bekal. Ooh ... jangan-jangan telur goreng setengah matang lagi, ya?" Suara Aiko meninggi, seolah-olah ingin semua anak tahu apa yang dibicarakannya. "Hahaha, kamu tidak ada lauk lain, hah? Kalau begitu, aku traktir deh, nih."

"Tidak usah." Sahut Bella cepat dan hendak bangkit dari bangkunya, "Terima kasih."

Sebuah kalimat terakhir yang sangat terpaksa dia ucapkan jika tidak mengingat nasihat Ibu bahwa dia harus menjadi anak baik di sekolah. Apapun yang terjadi. Alasannya, karena dia masuk ke sekolah bergengsi itu melalui beasiswa untuk keluarga tidak mampu dan juga ada resikonya jika melawan anak-anak konglomerat di sini.

"Jangan banyak gaya kamu!" Cerca Aiko yang emosinya semakin meninggi padahal dia baru saja menginjakkan kaki di kelas. Anak-anak mulai memperhatikannya, kemudian berbisik-bisik tanpa ada yang berusaha melerainya.

"Huh, anak beasiswa saja belagu. Kamu bisa masuk ke sini juga karena kita-kita, sadar, gak?" Luna masih ikutan menyudutkannya meski dengan suara pelan di telinganya, "Kalau kamu tidak mau menerima traktirannya, ya sudah. Kerjakan saja tugasnya."

Dalam hati, Bella sudah mengumpat banyak sampai tidak tahan lagi. Kedua tangannya tergenggam erat sehingga buku-buku jemarinya memutih dibalik ujung lengan yang panjang. Perlahan dia mencoba menghela nafasnya.

"Sudahlah," Aiko menarik bukunya sendiri, "Kamu memang tidak berguna, anak miskin."

"Hah," Luna mengikutinya, berbalik arah ke bangkunya. Mereka sama-sama mengomel dan bergosip soal Bella di barisan belakang. 

Selang sepuluh menit sebelum jam istirahat berakhir, seorang lelaki memandangi seisi kelas dari luar pintu. Bola mata kehijauannya tampak mencari-cari seseorang dibawah bingkai buku mata lebatnya, "Ada Bella?" Dia bertanya ke orang terdekat.

Setelah ditunjuk, lelaki itu langsung berjalan ke bangku Bella yang hening. Beberapa pasang mata memperhatikannya. Teman-teman di sekeliling Aiko mencolek lengan anak itu yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Bell." Panggil lelaki itu. 

Begitu Bella mendongak pelan, dilihatnya pemandangan mengejutkan bahwa teman SD-nya yang sangat tampan dan menjadi idaman banyak perempuan di sekolah itu sedang berdiri sedikit grogi.

"Ya?" Suara Bella sedikit tersendat seperti dia baru saja menelan makanan kesukaannya.

"Aku tidak bisa hadir di acara peringatan Ayahmu. Maaf, ya." Ujar lelaki bernama Ilham itu, yang merupakan keturunan Persia. 

"O-oh." Bella tergagap, "Yah, tidak apa."

"Aku jadi tidak enak karena ada acara lain, salam untuk Ibumu, ya." Ilham kelihatan tidak ingin berlama-lama di sini. Cara bicaranya yang to-the-point, kedua tangannya yang tersimpan di saku jas, serta matanya yang enggan untuk menatap Bella sepenuhnya. Semua itu tampak jelas bagi Bella sendiri.

"Ya." Tidak tahu harus menjawab apa lagi, Bella mengangguk saja. Dalam hati, dia sudah cukup senang Ilham mau mampir ke kelasnya untuk mengatakan itu secara langsung. Apalagi dengan begitu anak-anak lain juga akan melihat bahwa dia setidaknya punya seorang teman baik di sini.

"Ilham!" Anak-anak lelaki lain memanggilnya. Namun, sebelum dia sempat menoleh, lengannya merasakan sentuhan ringan dari seorang perempuan yang tiba-tiba menghampiri. Aiko, berdiri di sampingnya seraya tersenyum.

"Eh, Ilham?" Suaranya merendah. Sangat berbeda dari cara bicaranya kepada Bella barusan.

"Oh, Aiko?" Ilham menjawab sama rendahnya.

"Tumben kamu ke sini." Aiko berbasa-basi, "Oh iya, acara kita besok sore jadi, kan?" 

Jdar!

Bagaikan disambar listrik siang bolong, Bella merasakan hatinya bergetar. Rasa sakit seketika menyengatnya yang langsung menatap Ilham dengan mata melebar. Dia tidak percaya teman baiknya itu mengabaikan acara pentingnya besok demi acaranya Aiko. Namun, lelaki itu sama sekali tidak peduli dan malah mengangguk kepada Aiko.

"Bagus." Aiko memberikan sebuah kedipan, sebelum melengang kembali ke bangkunya.

Tanpa berbasa-basi apalagi pamit pada Bella yang masih menatapnya, Ilham juga berjalan santai keluar kelas disaat anak-anak lain mulai masuk. Bell masuk kembali berbunyi. Beberapa saat kemudian guru pelajaran Sejarah memasuki kelas. 

Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya, Bella mendengarkan pemaparan guru di depan kelas sementara pikirannya melayang-layang. Perasaannya apalagi. Hancur berkeping-keping, meski dia selalu bisa menutupinya. Mengatakan pada diri sendiri "ah, begitu saja" untuk menguburnya. 

"Jadi, sejak tahun 1950 hingga tahun 1985 ini masa pemerintahan Raja Hassan, Raja pertama mengalami kemajuan pesat meski ditengah pertikaian dengan Negara-Negara kecil di sekitarnya. Dilanjutkan oleh Raja LĂ©once, sebagai Putera pertamanya yang naik tahta di usia yang cukup tua yaitu, enam puluh tujuh tahun."

Suara-suara guru Sejarah mengambang di sekitar telinga Bella, bagai arakan awan di langit luas tak berpenghuni yang terbang kesana kemari. Tubuhnya terasa sangat ringan sehingga nyaris saja dia kira akan menghilang dari sini sekarang juga. 

"Namun, anak semata wayangnya adalah Puteri Amara sehingga digantikan oleh keponakannya yaitu, Pangeran Girard yang naik tahta menjadi Raja ketiga. Beliau memerintah selama sepuluh tahun hingga anak lelaki Puteri Amara cukup umur untuk menjadi Raja menggantikannya yaitu, Pangeran Nazeh."

Siapalah itu nama-namanya. Pikiran Bella sedang tidak terpaut dengan pembicaraan apapun di dalam kelas. Dia ingin secepatnya pulang, menyendiri dengan kerumitannya sendiri, dan tenggelam dalam air matanya nanti. Tiba-tiba wajah mendiang Ayahnya bangkit dalam ingatan, tanpa terasa sudah tiga tahun sejak kepergiannya. 

"Bella?" Gurunya menegur. Spontan dia menegakkan punggung serta menatap sambil terkejut, menyembunyikan segala perasaan yang menghuni hati dan pikirannya.

"Kamu memperhatikan saya?" Guru itu membetulkan kaca mata, namun karena Bella dikenal sebagai anak baik dan berprestasi maka seringkali mendapat toleransi dari gurunya, "Jangan melamun ya, coba perhatikan ke depan."

"Baik, bu." Bella menjawab pelan sekali.

"Huh, mengganggu saja." Cibir beberapa mulut iseng di belakangnya, "Mending dia keluar saja dari sini!"

"Keluar dari kelas?" Yang lain menyahut sambil berbisik.

"Dari sekolah ini, hahaha."

Mendengar itu, Bella hanya bisa terdiam menahan emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Merasa tersinggung bukan lagi hal baru baginya, namun hari ini dirinya sedang sangat down untuk menahan itu semua. Untung saja guru Sejarah langsung mengalihkan perhatian sekelas.

"Nah, anak-anak, perhatikan! Mari kita lanjutkan, sampai pada masa pemerintahan Raja Nazeh yang berjalan tidak begitu baik karena banyak faktor diantara pemberontakan oleh beberapa kelompok yang didalangi oleh Raja Girard yang tersingkirkan. Namun, akhirnya semuanya berhasil ditumpas sehingga kekuasaannya bertahan hingga sekarang."

Jam pelajaran berakhir.

Setelah makan siang sendirian, seperti biasa, dan memasuki jam terakhir hingga selesai, Bella memutuskan untuk segera pulang. Tidak banyak menoleh kanan kiri, mengikuti arus langkah-langkah keluar kelas menuju tangga sambil menunduk saja. Kedua pundaknya terasa amat berat, entah karena buku-bukunya atau juga karena beban pikiran yang baru saja menimpanya. 

"Bella?" Suara yang asing menyapa di gerbang sekolah. Lantas dia menaikkan tatapan dengan malas, berharap itu bukan seorang yang akan merundungnya lagi. 

Di sampingnya berdiri seorang lelaki muda berseragam Pegawai Kerajaan lengkap dengan topi dan lencana khususnya, tersenyum ramah, "Akhirnya saya menemukan Anda,"

Kening Bella menyernyit penuh curiga. Bentuk penipuan atau perundungan apalagi ini? Setelah tahun lalu gerombolan cowok bertaruh untuk sesuatu dan yang kalah harus menembaknya. Dia tidak menyangka sama sekali. Untung saja Ilham memberitahunya, kalau tidak dia akan menjadi sangat hina. 

"Anda siapa, ya?" Bella bertanya tanpa berusaha menutupi tuduhan dari nada bicara dan tatapan tidak enaknya. Selain itu, anak-anak lain juga memperhatikan mereka. Dia paling tidak suka menjadi pusat perhatian seperti ini.

"Oh, maaf. Perkenalkan, saya Kazem, pengawal Raja Nazeh yang diutus menemui Anda."

APA?!

Ada apa pengawal Raja sampai ke sini mencariku? Pikir Bella, ini mulai tidak masuk akal. Gerakan kakinya mundur selangkah, bersiap kabur jika seandainya orang ini berani macam-macam dengannya. Mumpung masih ramai.

"Nak, mohon maaf, sebelumnya kami sudah dikonfirmasi akan ada utusan dari Istana Kerajaan untuk menemuimu." Seorang Security menyelanya. Anehnya, pria bernama Kazem itu sedikit memelototinya. 

"Tapi, Pak ..." Bella masih dalam keragu-raguan yang mulai menakutkan. Dia hanya rakyat jelata, seorang yang bahkan tidak mampu untuk bersekolah jika tanpa beasiswa, sehingga sepanjang hidupnya dipenuhi kerendahan dari lingkungan sosialnya. Wajar jika dia memikirkan sesuatu yang buruk terjadi, mungkin dia berbuat kesalahan meski tidak tahu apa itu.

"Saya mohon ikutlah dengan saya, Puteri Bella. Raja sedang menunggu Anda." Kazem menundukkan badan. 

Bella terdiam. Apa itu? Dia memanggilku apa?

Kazem tampak kehilangan kata-katanya untuk meyakinkan Bella, sehingga pria itu bertanya dengan suara yang lebih pelan, "Anda adalah puteri dari Pangeran Kahlil, putera pertama Raja Nazeh."

Jdar!

Sengatan listrik yang lebih besar menyambarnya siang ini. Menaikkan bulu-bulu roma dari tangan hingga ke kedua pundak dan naik ke lehernya. Nafasnya ikut tercekat beberapa lama. Orang ini, yang mengaku utusan dari Raja Nazeh yang berkuasa itu, baru saja menyebutkan nama Ayahnya dengan sebutan Pangeran?

"Pu-putera pertama?" Gumamnya sama sekali tidak percaya.

"Ya, benar." Rupanya Kazem mendengarnya. "Sebaiknya kita segera pergi sekarang sebelum suasana menjadi semakin ramai." Nadanya memohon begitu sekeliling mereka mulai banyak anak memperhatikan.

Sejenak Bella berpikir, namun dirinya sudah terlalu lelah dengan semua yang terjadi. Bukan hanya soal hari ini, tetapi sejak kepergian Ayahnya dan merasa sendirian di sekolah yang sering kali merundungnya.

Setelah menghela nafas pendek, diapun menjawab, "Baik."

Bella masih tidak yakin kemana Kazem dengan limosinnya akan membawanya. Di dalam, gadis itu duduk sambil memeluk kedua lengan, mengalihkan tatapan keluar jendela sambil berusaha menghentikan pikiran berlebihan. Berharap semuanya akan baik-baik saja.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Jully Lly
cerita yg bagus
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
opening yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status