Keesokan paginya, suasana masih sama; pagi yang dingin berembun disertai sisa-sisa gerimis semalaman, jalanan yang becek sebelum menginjak bagian berasapal di dekat sekolah, hingga tatapan tidak peduli anak-anak yang dijumpainya.
Bella, masih orang yang sama. Baik itu sikap diam yang ditunjukkannya, maupun sikap teman-teman kepadanya.
"Hei." Aiko, yagn tumben sudah datang pagi-pagi, lebih dulu berdiri di samping mejanya. Diikuti lirikan anak-anak gengnya.
Bella terkesiap. Seingatku semalam sudah bayar, pikirnya.
"Aku sudah mentransfer balik kelebihannya." Gadis berkuncir kuda itu berkata ambil menahan gengsi, namun raut wajahnya mengerut, "Kamu kok, bisa punya uang segitu banyak? Kelihatannya gak pantas banget deh, untuk kamu."
Melihat Bella masih belum memberikan reaksi apa-apa, Aiko tambah geram ingin sekali memancingnya. Anak super manja yang menjadi perhatian seisi sekolah itu, bergerak mendekati wajah Bella. Menatapnya dengan tajam,
"Jangan-jangan kamu habis mencuri, ya? Atau," Dia menarik nafasnya dengan dramatis, "Jangan-jangan kamu ... jual diri, ya?"
Mendengar kalimat terakhir yang kurang ajar itu, spontan Bella melotot sambil menggerakkan sebelah tangan dengan kencang ke arah pipi Aiko. Plak! Tamparan yang panas itu mendarat menciptakan bunyi yang mengejutkan semuanya.
Aiko yang shock, ditambah lagi dia sadar oleh mata-mata yang kini mengarah kepadanya, langsung tertunduk sambil menangis. Jemarinya yang gemetaran, entah benar-benar begitu atau dia berpura-pura saja, memegangi pipi yang merah.
"Apa-apaan ..." Luna berlari dari meja belakang menghampiri keduanya. "Bella! Apa yang kamu lakukan padanya, hah?!"
Sayangnya, ekspresi wajah Bella tidak seperti yang mereka harapkan. Wajah anak yang biasa dirundung itu tidak lagi menunjukkan rasa bersalah apalagi ketakutan, melainkan datar dan dingin.
"Jangan lagi mengatakan hal seperti itu." Suaranya yang dalam keluar seperti rambatan es yang siap membekukan sapapun di hadapannya.
Kedua anak yang sok berkuasa itu tiba-tiba terdiam. Mereka saling tatap. Namun, mereka malah tertawa seperti menyembunyikan rasa telah dikalahkan. "Ada apa sih, kenapa dia tiba-tiba begitu?" Kata mereka, kemudian kembali ke bangku belakang.
Sudah dapat ditebak, mereka akan membicarakan lebih banyak kejelekan tentang dirinya kepada yang lain. Anak-anak perempuan kebanyakan merupakan anak buah Aiko yang menurut saja untuk diam dikala melihat anak lain dirundung. Bagi mereka, yang penting itu tidak terjadi kepada mereka.
Jadi, mana pernah Bella mengharap empati ataupun pembelaan dari mereka? Itulah yang membuatnya selalu merasa sendirian.
"Huhu. Aku sudah bilang ke orang tuaku. Mungkin saja aku perlu ke dokter jika ada jerawatku yang luka akibat pukulannya tadi." Aiko berkata dengan sendu, namun dengan suara besar sehingga terdengar ke seisi kelas.
"Laporkan saja ke BK!" Usul sebuah suara di belakang.
"Iya, parah sekali kenapa dia memukulmu padahal kamu baik-baik saja dengannya!" Suara orang kedua menyahut. Merasa sangat benar sedangkan dia hanya mendengar cerita dari satu pihak saja.
"Pasti kali ini dia akan diskors, deh!" Perkataan lain menyambungnya, "Atau malah bisa dikeluarkan."
"Ya bagus, deh. Lagipula anak miskin beasiswa seperti dia tidak pantas berada di kelas ini. Lihat, dia cuma pembuat onar jika bukan karena nilai-nilainya yang cukup baik itu."
"Hah. Masih lebih pintar Nazar, si ranking satu kelas kita, cucunya Wali Kota! Seharusnya anak beasiswa seperti Bella tidak usah masuk ranking, dia lulus dari sini saja sudah bersyukur."
Tertawaan lantas terdengar menggema dari belakang. Bella merasakan hawa-hawa dingin dari belakang punggungnya. Tatapan-tatapan sinis, tajam, dan merendakan anak-anak itu sudah menjadi konsumsinya setiap hari selama dua tahun ini. Namun pagi ini, alih-alih merasa terancam, Bella justru mendengarnya sambil menahan senyum miring.
Teruslah, teruslah menumpuk penyesalan kalian nantinya, katanya dalam hati.
Benar saja apa yang dibicarakan anak-anak perempuan gengnya Aiko, pada jam istirahat pertama sebuah panggilan menggema ke seantero sekolah. Guru BK dengan tergesa-gesa menyebutkan nama Bella dari kelas dua belas untuk menemuinya segera.
"Kamu dipanggil, tuh!" Anak-anak mencemoohnya. 'Dipanggil' di sini sudah diartikan kamu dipanggil ke ruang Konseling sebagai anak yang bermasalah.
Berat langkah Bella berjalan keluar kelas, meski tidak lupa menggenggam ponsel di saku kirinya. Dia sedang sangat malas bergerak, malas bereaksi apapun, mungkin karena suasana dingin yang menyelimuti akhir-akhir ini. Badannya mulai terasa kurang sehat. Kepalanya pening begitu membuka pintu ruang Konseling.
Sudah ada Ibu BK yang menunggu dibalik lipatan tangannya diatas meja horor. Yaitu, meja yang sering menjadi tempat penghukuman anak-anak bermasalah. Apalagi kalau bukan menandatangani suatu perjanjian yang mengerikan.
Seperti saat ini, selembar kertas telah tersedia di depan Bella. Isinya tentang pencabutan beasiswa alias dikeluarkan dari sekolah jika anak yang bersangkutan tidak meminta maaf secara tertulis dan menerima hukuman yang pantas (baca: BERAT) atas perbuatannya.
"Kamu tahu salah kamu apa?" Mulai Bu Guru tanpa basa-basi. Sepertinya beliau sangat tidak suka jam istirahatnya diganggu oleh masalah seperti ini.
Bella menduga, mungkin orang tua Aiko yang seketika menghubunginya begitu anaknya mengadu tadi pagi. Dirinya yang sudah muak dengan semua perkara yang tidak adil ini, hanya membuka ponsel di tangannya.
"Hei! Kamu mendengarkan saya tidak, hah?!" Guru BK itu mendadak naik pitam. Digebraknya meja hingga bergeser kertas dan pulpen diatasnya.
BRAK!
Bella telah terbiasa menguasai dirinya untuk bersikap tenang. Diberikannya ponsel itu ke Bu Guru beraut wajah murka, yang langsung ditarik dengan kasar. Sebuah panggilan sedang berlangsung ke seseorang.
"Halo?" Suara berat Kazem terdengar.
"Ya, halo?! Siapa ini? Orang tuanya Bella, ya?" Guru itu langsung menyerocos, bersiap untuk mencacah siapapun orang di ujung teleponnya sekarang.
Namun, apa yang terjadi tiga menit kemudian langsung meruntuhkan semangatnya. Wajah Bu Guru secara spontan berubah drastis, dari kemarahan yang melonjak-lonjak dan rasa berkuasa yang amat sangat menjadi rasa keterkejutan disertai ketakutan yang mendalam.
"Katakan padanya, apa masalah yang telah kuperbuat." Bella berbicara seraya mengulum senyum. Meregangkan kaki-kakinya yang pegal di bawah meja.
"Ti-tidak, Tuan. Bella tidak berbuat salah apapun, pa-pasti ini ulah temannya! Ya, saya akan mengurus ini dengan sebaik-baiknya. Saya pastikan dia aman. Mohon maaf telah menganggu waktu Anda." Bu Guru menurunkan ponsel di tangannya.
"Bagaimana?" Tanya Bella dengan kalem.
Bu Guru tidak memberikan jawaban apapun saat mengembalikan ponsel ke tangannya. Gerakan tangan yang penuh kegugupan itupun jelas berbeda dengan kekasarannya barusan. Bella sepenuhnya telah mengerti apa yang sedang terjadi.
"Bella." Suaranya merendah. Secepat kilat diambilnya kertas putih itu dari hadapan Bella, kemudian meremas dan melemparnya ke belakang. "Pasti anak-anak ini yang telah mengganggumu ya, Sayang?"
Bella yang kini diam saja.
"Lihatlah dirimu, Nak. Kamu jadi pucat sekali karena ulah mereka." Bu Guru memperhatikan wajahnya dengan tatapan nanar yang dibuat-buat. Sungguh tidak dapat dipercaya. Tetapi, Bella menikmati pemandangan ini tanpa suara.
"Tapi tenang, Nak. Saya akan urus semuanya dengan baik, sehingga saya pastikan tidak akan ada lagi yang mengganggumu di sekolah ini."
Sebuah kalimat yang amat diharapkannya sejak dulu. Kalimat yang dia pikir tidak akan pernah bisa didengarnya karena hal seperti ini tidak akan terjadi. Beberapa menit berselang, dia sudah keluar dari ruangan itu sambil berjalan santai di koridor yang kosong. Jam istirahat telah usai dan semuanya memulai jam pelajaran di kelas-kelas.
Ternyata benar. Kamu tidak perlu memberikan alasan maupun pembelaan. Cukup mereka mengetahui kamu siapa, maka semuanya akan beres. Entah adil atau tidak, Bella tidak lagi memikirkannya.
Sreg!
Pintu kelas dibuka.
"Oh, Bella!" Suara menukik yang ceria milik seorang Guru yang sedang berdiri di depan kelas menyambutnya. Bella tidak mengenali guru itu, jadi pasti guru baru.
Darimana dia tahu namaku? Tanyanya heran dalam hati.
"Pasti kamu yang namanya Bella, ya?" Guru itu mendekatinya yang berjalan masuk dengan ragu-ragu.
"Iya." Bella menunduk kepadanya.
"Perkenalkan, saya Miss Claire, Guru Bahasa Inggris yang baru ..." Perempuan muda yang berseragam krem dengan pita di lehernya itu menyalaminya.
"O-oh." Bella membalas sambil masih menunduk.
"Silahkan duduk kembali, Bella. Pelajaran baru saja akan kita mulai." Guru itu menunjukkan tempat duduknya di barisan depan.
Guru baru ini bahkan tahu tempat dudukku, padahal bangku lain juga ada yang kosong.
Dia tidak memperhatikan reaksi heran teman-temannya, terutama yang duduk di barisan belakang, begitu melihatnya masuk dengan santai. Bahkan guru baru yang katanya lulusan Universitas TOP di Luar Negeri ini menyambutnya dengan sangat ramah.
Mereka menjadi sangat keki.
Bella masih memandangi Miss Claire sambil memikirkan segala kemungkinan. Firasatnya yang cukup tajam merasakan sebuah kejanggalan. Sampai dia tiba pada suatu kesimpulan. "Kazem." Bella bergumam menahan rasa terkejut, "Ini berlebihan!"
Oh iya, sore nanti acara peringatan hari kematian Ayahnya akan diadakan di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para tetangga akan membawakan makanan untuk tuan rumah yang sedang berduka. Begitulah budaya di Negeri ini. Satu hal yang baru Bella sadari adalah, acara ini selalu bertepatan dengan acara penggalangan dana di Istana. Dihadiri oleh para pejabat, selebriti, serta tokoh masyarakat terkemuka diatas karpet merah. Sejak tiga tahun lalu, "Galang Dana Nasional" selalu menjadi berita paling populer menjelang akhir tahun. Hal tersebut secara kebetulan nyambung dengan fakta bahwa mendiang Ayahnya sangat dermawan dan suka membantu orang yang kesulitan. Bella tidak pernah melihat Ayah keberatan untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Apakah itu mungkin acara ... "Bella?" Suara Miss Claire menegur lamunan panjangnya. Begitu Bella mengangkat tatapan kepadanya, "Boleh kamu jawab soal di depan ini?" Kebetulan itu soal
"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya. "Apakah kamu yang mengubahdress codeacara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana. "Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya. "Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan. "Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu. "Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ay
Menjelang malam, jam pelajaran tambahan baru saja berakhir. Ini adalah waktu belajar terlama yang pernah dirasakan Bella, karena sebelumnya dia pasti sudah bersantai di rumah sepulang sekolah. Kedua langkahnya yang besar-besar itu dipercepat kala melewati jalanan yang mulai rusak diantara rumah-rumah warga yang cukup padat. Ladang-ladang jagung telah jauh dilewatinya, sepi diikuti gemerisik angin yang membuat bulu kuduk merinding. Sampailah dia di depan pekarangan rumah yang temaram cahaya lampu. Rupanya Ibu sudah menunggu sembari menuliskan sesuatu di buku penjualannya. Wajah renta itu kembali bersinar mendapati anak kesayangannya telah pulang. Senyumnya terulas lebar saat hendak bangkit untuk menghampiri Bella, jika seandainya anak itu tidak menghampiri duluan. "Bagaimana di sekolah? Apakah mereka masih merundungmu?" Tanya Ibu, setelah membantu melepaskan tas dari punggung lelahnya. Bella menggeleng disertai cengiran kecil, "Tidak, tidak lagi
"Huhuhu ..." Baginda masih saja menutupi wajah dengan jemari rentanya, lantas membuat panik seisi ruangan. Termasuk Bella yang bergerak hendak mendekati Kakeknya yang amat bersedih itu. "Yang Mulia apakah Anda baik-baik saja??" Mereka bertanya-tanya dengan wajah panik. Beberapa diantaranya memandang ke arah Bella dengan tidak suka. Semakin nampak ketidaksukaan di wajah mereka, yang sebelumnya hanya sebatas lirikan sinis yang diam-diam. Kini, mulut-mulut busuk dibalik pakaian mewah nan mahal itu telah menyalahkannya dari tempat duduk mereka. "Lihat, hadiahnya bahkan membuat Baginda tersinggung dan bersedih!" "Dasar tidak tahu diri, padahal ini hari kematian Ayahnya, Putra Mahkota!" "Apakah dia tidak menghormati Ayahnya sendiri, apalagi Baginda Raja?" Namun, selang beberapa menit, "Huhu," Raja berusaha menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan menenangkan dirinya, "Tenang semuanya, aku baik-baik saja." "Bella, Sayangku
Lehernya mendadak tegang dan tidak mampu menoleh. Dia takut itu seseorang dari gengnya Aiko atau Luna, karena jelas-jelas suaranya tidak dia kenali. Gawat, padahal dia sudah sengaja memilih tempat yang sepi ini biar tidak diganggu! "Hei," Wajah itu segera muncul ke hadapannya sambil menggeser bangku besi di seberang meja. Bella perlahan mengangkat tatapan dan mendapati Miss Claire, guru Bahasa Inggrisnya yang baru itu sedang duduk santai seraya melemparkan senyum sok akrab. Dia menjadi kikuk. Tidak terbiasa menerima kehadiran orang lain di meja makannya. "Santai saja," Guru itu berkata, sebelah tangannya mengibas ke udara, "Oh, maaf. Apakah aku menganggumu?" Bella menggeleng ragu. "Syukurlah." Wanita muda yang berpenampilan layaknya pekerja perkantoran dari Kota Pusat,super stylishdan bahkan kaca mata hitam menggantung di kemejanya. "Hmm, begini. Bolehkah aku tahu lebih banyak tentangmu, Bella?" Tanyany
"Kamu pikir tadi itu lucu?" Bella sudah berdiri menyilangkan kedua lengan di dada, sementara Ilham yang sedang melewatinya di lorong itu sontak terdiam. Ini jam pulang, tetapi mereka masih harus mengikuti pelajaran tambahan. "Apanya?" Ilham menjawab dengan nada yang membingungkan. Apanya, dia bilang?Bella mendelikkan mata, "Apanya? Jelas-jelas kamu melihatku tadi di kelas, Ilham!" Akhirnya dia berteriak juga tidak sabaran. "O-oh ... iya, hehe." Seulas cengiran itu tampak di wajah si lelaki Persia yang kini mengacak-acak rambut belakangnya. Bella kehilangan ekspresi melihat gelagat aneh temannya ini. Padahal baru saja Ilham memohon-mohon maaf untuk diterima lagi menjadi temannya, tetapi sekarang? Lihat! "Kamu lupa, hah? Baru tadi pagi kamu bilang kiat berteman, tapi sekarang kamu sudah ikut-ikutan mengucilkanku?" "Bu-bukan begitu, Bell." Sahutan Ilham terkesan tidak peduli. Kakinya yang jenjang dibalik segaram putih i
Pagi masih baru saja naik bersama sinar mentari yang menerobos bumi dengan hangat, menghalau dingin bekas hujan semalam. Anak-anak yang baru datang dengan wajah ceria mendapati majalah dinding menjadi lebih menarik karena ada suatu kertas yang tertempel di sana. Sebuah pengumuman. Tidak menunggu waktu lama, gerombolan itu terbentuk di depan majalah dinding yang semakin ramai. "Akan ada study tour?" Seorang anak perempuan menaikkan alisnya. "Oh, khusus untuk kelas dua belas." Temannya menyahut, setelah itu mereka sama-sama melewatinya. Lain dengan gerombolan lelaki di sampingnya, "Ke Istana Wheels? Ini namanya jam pelajaran tambahan, cuma beda suasana saja." "Ah, malas, deh." Mereka saling sahut. "Sudah yuk, cabut." Bella baru saja menginjakkan kaki di lobi, matanya tertarik ke kerumunan yang ramai di depan majalah dinding langsung ikut memperhatikan dari jauh. Terllau sulit untuk menerobos ke depan, jadi dia berdiri mema
"Hei, dia bilang akan datang menyusul?" Mereka mulai berbisik satu sama lain. Beberapa anak bahkan mulai menaruh curiga kepada Bella yang terkesan selalu menghindari acara-acara yang diwajibkan untuk anak non-beasiswa seperti ini. Tetapi, Luna langsung bertanya kembali padanya, "Apa kamu ada acara hari itu?" "Emm, iya." Bella sadar dirinya dalam situasi yang serba sulit. Tidak bisa menghindar lagi seperi sebelumnya, namun juga tidak bisa mengatakan yang sebenarnya–bahwa dia akan menghadiri kelas pribadinya di Istana itu! "Apa itu?" Tanya yang lain. "Ehm, ada ..." Bella terlihat mulai berkelit. "Ada sesuatu yang harus kulakukan." "Eh, dia tidak ikut lagi?" Tiba-tiba saja Aiko menyambar percakapan mereka dengan tampang siap mencemooh. Luna berusaha mengabaikannya, "Oh, ya sudah. Tidak apa, yang penting kamu ikut, Bella." Bella mengangguk saja. "Hahaha." Tawa Aiko meledak, diiringi tertawaan gengnya, "Tidak mungkin. Kukira