Share

Bab 4: Pembalasan Pertama

Keesokan paginya, suasana masih sama; pagi yang dingin berembun disertai sisa-sisa gerimis semalaman, jalanan yang becek sebelum menginjak bagian berasapal di dekat sekolah, hingga tatapan tidak peduli anak-anak yang dijumpainya.

Bella, masih orang yang sama. Baik itu sikap diam yang ditunjukkannya, maupun sikap teman-teman kepadanya.

"Hei." Aiko, yagn tumben sudah datang pagi-pagi, lebih dulu berdiri di samping mejanya. Diikuti lirikan anak-anak gengnya.

Bella terkesiap. Seingatku semalam sudah bayar, pikirnya.

"Aku sudah mentransfer balik kelebihannya." Gadis berkuncir kuda itu berkata ambil menahan gengsi, namun raut wajahnya mengerut, "Kamu kok, bisa punya uang segitu banyak? Kelihatannya gak pantas banget deh, untuk kamu."

Melihat Bella masih belum memberikan reaksi apa-apa, Aiko tambah geram ingin sekali memancingnya. Anak super manja yang menjadi perhatian seisi sekolah itu, bergerak mendekati wajah Bella. Menatapnya dengan tajam,

"Jangan-jangan kamu habis mencuri, ya? Atau," Dia menarik nafasnya dengan dramatis, "Jangan-jangan kamu ... jual diri, ya?"

Mendengar kalimat terakhir yang kurang ajar itu, spontan Bella melotot sambil menggerakkan sebelah tangan dengan kencang ke arah pipi Aiko. Plak! Tamparan yang panas itu mendarat menciptakan bunyi yang mengejutkan semuanya. 

Aiko yang shock, ditambah lagi dia sadar oleh mata-mata yang kini mengarah kepadanya, langsung tertunduk sambil menangis. Jemarinya yang gemetaran, entah benar-benar begitu atau dia berpura-pura saja, memegangi pipi yang merah.

"Apa-apaan ..." Luna berlari dari meja belakang menghampiri keduanya. "Bella! Apa yang kamu lakukan padanya, hah?!"

Sayangnya, ekspresi wajah Bella tidak seperti yang mereka harapkan. Wajah anak yang biasa dirundung itu tidak lagi menunjukkan rasa bersalah apalagi ketakutan, melainkan datar dan dingin. 

"Jangan lagi mengatakan hal seperti itu." Suaranya yang dalam keluar seperti rambatan es yang siap membekukan sapapun di hadapannya.

Kedua anak yang sok berkuasa itu tiba-tiba terdiam. Mereka saling tatap. Namun, mereka malah tertawa seperti menyembunyikan rasa telah dikalahkan. "Ada apa sih, kenapa dia tiba-tiba begitu?" Kata mereka, kemudian kembali ke bangku belakang.

Sudah dapat ditebak, mereka akan membicarakan lebih banyak kejelekan tentang dirinya kepada yang lain. Anak-anak perempuan kebanyakan merupakan anak buah Aiko yang menurut saja untuk diam dikala melihat anak lain dirundung. Bagi mereka, yang penting itu tidak terjadi kepada mereka.

Jadi, mana pernah Bella mengharap empati ataupun pembelaan dari mereka? Itulah yang membuatnya selalu merasa sendirian.

"Huhu. Aku sudah bilang ke orang tuaku. Mungkin saja aku perlu ke dokter jika ada jerawatku yang luka akibat pukulannya tadi." Aiko berkata dengan sendu, namun dengan suara besar sehingga terdengar ke seisi kelas.

"Laporkan saja ke BK!" Usul sebuah suara di belakang.

"Iya, parah sekali kenapa dia memukulmu padahal kamu baik-baik saja dengannya!" Suara orang kedua menyahut. Merasa sangat benar sedangkan dia hanya mendengar cerita dari satu pihak saja.

"Pasti kali ini dia akan diskors, deh!" Perkataan lain menyambungnya, "Atau malah bisa dikeluarkan."

"Ya bagus, deh. Lagipula anak miskin beasiswa seperti dia tidak pantas berada di kelas ini. Lihat, dia cuma pembuat onar jika bukan karena nilai-nilainya yang cukup baik itu."

"Hah. Masih lebih pintar Nazar, si ranking satu kelas kita, cucunya Wali Kota! Seharusnya anak beasiswa seperti Bella tidak usah masuk ranking, dia lulus dari sini saja sudah bersyukur."

Tertawaan lantas terdengar menggema dari belakang. Bella merasakan hawa-hawa dingin dari belakang punggungnya. Tatapan-tatapan sinis, tajam, dan merendakan anak-anak itu sudah menjadi konsumsinya setiap hari selama dua tahun ini. Namun pagi ini, alih-alih merasa terancam, Bella justru mendengarnya sambil menahan senyum miring.

Teruslah, teruslah menumpuk penyesalan kalian nantinya, katanya dalam hati.

Benar saja apa yang dibicarakan anak-anak perempuan gengnya Aiko, pada jam istirahat pertama sebuah panggilan menggema ke seantero sekolah. Guru BK dengan tergesa-gesa menyebutkan nama Bella dari kelas dua belas untuk menemuinya segera. 

"Kamu dipanggil, tuh!" Anak-anak mencemoohnya. 'Dipanggil' di sini sudah diartikan kamu dipanggil ke ruang Konseling sebagai anak yang bermasalah.

Berat langkah Bella berjalan keluar kelas, meski tidak lupa menggenggam ponsel di saku kirinya. Dia sedang sangat malas bergerak, malas bereaksi apapun, mungkin karena suasana dingin yang menyelimuti akhir-akhir ini. Badannya mulai terasa kurang sehat. Kepalanya pening begitu membuka pintu ruang Konseling.

Sudah ada Ibu BK yang menunggu dibalik lipatan tangannya diatas meja horor. Yaitu, meja yang sering menjadi tempat penghukuman anak-anak bermasalah. Apalagi kalau bukan menandatangani suatu perjanjian yang mengerikan. 

Seperti saat ini, selembar kertas telah tersedia di depan Bella. Isinya tentang pencabutan beasiswa alias dikeluarkan dari sekolah jika anak yang bersangkutan tidak meminta maaf secara tertulis dan menerima hukuman yang pantas (baca: BERAT) atas perbuatannya.

"Kamu tahu salah kamu apa?" Mulai Bu Guru tanpa basa-basi. Sepertinya beliau sangat tidak suka jam istirahatnya diganggu oleh masalah seperti ini.

Bella menduga, mungkin orang tua Aiko yang seketika menghubunginya begitu anaknya mengadu tadi pagi. Dirinya yang sudah muak dengan semua perkara yang tidak adil ini, hanya membuka ponsel di tangannya.

"Hei! Kamu mendengarkan saya tidak, hah?!" Guru BK itu mendadak naik pitam. Digebraknya meja hingga bergeser kertas dan pulpen diatasnya.

BRAK!

Bella telah terbiasa menguasai dirinya untuk bersikap tenang. Diberikannya ponsel itu ke Bu Guru beraut wajah murka, yang langsung ditarik dengan kasar. Sebuah panggilan sedang berlangsung ke seseorang. 

"Halo?" Suara berat Kazem terdengar.

"Ya, halo?! Siapa ini? Orang tuanya Bella, ya?" Guru itu langsung menyerocos, bersiap untuk mencacah siapapun orang di ujung teleponnya sekarang.

Namun, apa yang terjadi tiga menit kemudian langsung meruntuhkan semangatnya. Wajah Bu Guru secara spontan berubah drastis, dari kemarahan yang melonjak-lonjak dan rasa berkuasa yang amat sangat menjadi rasa keterkejutan disertai ketakutan yang mendalam.

"Katakan padanya, apa masalah yang telah kuperbuat." Bella berbicara seraya mengulum senyum. Meregangkan kaki-kakinya yang pegal di bawah meja.

"Ti-tidak, Tuan. Bella tidak berbuat salah apapun, pa-pasti ini ulah temannya! Ya, saya akan mengurus ini dengan sebaik-baiknya. Saya pastikan dia aman. Mohon maaf telah menganggu waktu Anda." Bu Guru menurunkan ponsel di tangannya. 

"Bagaimana?" Tanya Bella dengan kalem.

Bu Guru tidak memberikan jawaban apapun saat mengembalikan ponsel ke tangannya. Gerakan tangan yang penuh kegugupan itupun jelas berbeda dengan kekasarannya barusan. Bella sepenuhnya telah mengerti apa yang sedang terjadi.

"Bella." Suaranya merendah. Secepat kilat diambilnya kertas putih itu dari hadapan Bella, kemudian meremas dan melemparnya ke belakang. "Pasti anak-anak ini yang telah mengganggumu ya, Sayang?"

Bella yang kini diam saja.

"Lihatlah dirimu, Nak. Kamu jadi pucat sekali karena ulah mereka." Bu Guru memperhatikan wajahnya dengan tatapan nanar yang dibuat-buat. Sungguh tidak dapat dipercaya. Tetapi, Bella menikmati pemandangan ini tanpa suara.

"Tapi tenang, Nak. Saya akan urus semuanya dengan baik, sehingga saya pastikan tidak akan ada lagi yang mengganggumu di sekolah ini."

Sebuah kalimat yang amat diharapkannya sejak dulu. Kalimat yang dia pikir tidak akan pernah bisa didengarnya karena hal seperti ini tidak akan terjadi. Beberapa menit berselang, dia sudah keluar dari ruangan itu sambil berjalan santai di koridor yang kosong. Jam istirahat telah usai dan semuanya memulai jam pelajaran di kelas-kelas.

Ternyata benar. Kamu tidak perlu memberikan alasan maupun pembelaan. Cukup mereka mengetahui kamu siapa, maka semuanya akan beres. Entah adil atau tidak, Bella tidak lagi memikirkannya.

Sreg!

Pintu kelas dibuka.

"Oh, Bella!" Suara menukik yang ceria milik seorang Guru yang sedang berdiri di depan kelas menyambutnya. Bella tidak mengenali guru itu, jadi pasti guru baru.

Darimana dia tahu namaku? Tanyanya heran dalam hati.

"Pasti kamu yang namanya Bella, ya?" Guru itu mendekatinya yang berjalan masuk dengan ragu-ragu.

"Iya." Bella menunduk kepadanya.

"Perkenalkan, saya Miss Claire, Guru Bahasa Inggris yang baru ..." Perempuan muda yang berseragam krem dengan pita di lehernya itu menyalaminya. 

"O-oh." Bella membalas sambil masih menunduk. 

"Silahkan duduk kembali, Bella. Pelajaran baru saja akan kita mulai." Guru itu menunjukkan tempat duduknya di barisan depan. 

Guru baru ini bahkan tahu tempat dudukku, padahal bangku lain juga ada yang kosong. 

Dia tidak memperhatikan reaksi heran teman-temannya, terutama yang duduk di barisan belakang, begitu melihatnya masuk dengan santai. Bahkan guru baru yang katanya lulusan Universitas TOP di Luar Negeri ini menyambutnya dengan sangat ramah. 

Mereka menjadi sangat keki.

Bella masih memandangi Miss Claire sambil memikirkan segala kemungkinan. Firasatnya yang cukup tajam merasakan sebuah kejanggalan. Sampai dia tiba pada suatu kesimpulan. "Kazem." Bella bergumam menahan rasa terkejut, "Ini berlebihan!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status