Share

Bab 3: Sikap Aneh Ibu

Bella pulang sebelum matahari turun dari permukaan langit yang oranye kemerahan. Sungguh sore yang cerah. Limosin yang mengantarnya tidak sampai ke depan rumah karena terpentok oleh gang yang sempit, berhenti agak jauh dari sana. 

"Kazem," Bella memanggil Pengawal itu yang kini balas menatapnya. "Tolong jangan bilang apapun soal yang kamu lihat di ponselku tadi kepada Kakek, ma-maksudku Baginda Raja, ya."

Kazem tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baik."

"Juga," Bella melanjutkan, "Apakah saat di sekolah tadi ada anak kelas tiga yang melihatmu datang?"

Mereka berdua sama-sama terdiam.

"Sepertinya tidak, bukankah anak kelas tiga sedang ada pelajaran tambahan?" Kazem balas bertanya.

Kini Bella yang mengangguk, "Oh iya, benar. Lain kali, tolong jangan datang ke sekolahku. Kita bertemu diluar saja, boleh?"

"Baik."

Bella lantas turun, kakinya kembali menapaki tanah jalanan yang becek. Aspal sudah berhenti sejak diluar gang, di sini suasana alam sangat terasa karena berdampingan dengan kebun buah warga dan rumah-rumah gubuk yang kecil. Meski rumah Bella masih lebih baik penampakannya karena terbuat dari beton yang kokoh, dibanding rumah lainnya.

Setelah mengucapkan salam, dia segera masuk menemui Ibu yang biasanya sedang duduk santai di halaman belakang sambil mengayak beras. Tepat sekali, dilihatnya punggung Ibu dari belakang yang mulai lebih bungkuk. Dirinya sempat terhenyak di tempat, teringat kata-kata Sang Kakek bagaimana Ibunya pandai menjaga rahasia dan hidup seperti ini.

Hatinya terenyuh, merasa sakit, sekaligus bingung. Mengapa Ibu mau melakukannya, padahal bisa saja menuntut hidup lebih layak kepada Ayah yang merupakan Pangeran Kerajaan? "Huh." Membuang nafasnya ke samping, Bella kemudian menghampiri Ibunya.

"Bu, aku pulang." Ujarnya sambil duduk di pinggiran dipan, samping Ibu.

Anehnya, Ibu diam saja. Seolah tidak mendengar maupun menyadari kehadirannya. Baru setelah Bella mengulanginya sekali lagi dengan perasaan janggal, Ibu menoleh seraya mengulas senyum lebar.

"Wah, anak Ibu baru pulang, nih." 

"Hehe." Diberikannya seulas cengiran bahagia. Mungkin Ibu sedang banyak pikiran sehingga tidak menyadari kedatanganku tadi, pikirnya.

"Mau makan malam apa nanti, Nak?" Tanya Ibu, tangannya masih melanjutkan pekerjaan diatas tampi berisi beras putih gading.

"Coba lihat, aku bawa apa." Bella kemudian mengeluarkan kotak berisi makanan yang dibawakan dari Istana tadi siang. Mereka bisa menghangatkannya untuk makan malam karena isinya masih segar.

Ibu termenung menatap kotak itu. Tidak ada senyum yang biasa diberikan ketika Bella menghadiahkannya sesuatu, sesederhana apapun itu. Melihat itu, Bella semakin menyadari kejanggalan di hadapannya.

"Bu?" Tanyanya hati-hati.

"Boleh." Sahut Ibu, lantas dengan terburu-buru mengangkat tampinya dan bangkit dari sana. Meninggalkan Bella yang masih terduduk dengan bingung. Dihembuskannya nafas panjang, lalu menyusul Ibu ke dapur.

"Hangatkan di sana." Ujar Ibu menunjuk kompor dengan wadah yang telah disiapkan diatasnya. 

Tanpa menjawab sepatah katapun, Bella memasukkan lauk yang dibawanya ke dalam wadah dan menyalakan kompor dengan api kecil. Dia masih berdiri membelakangi Ibu, sementara pikirannya penuh pertanyaan akan sikap Ibu yang mendadak berubah.

Jika biasanya Ibu akan menyambut dengan lebih lembut, membawa suasana ketenangan, dan memasakkan makan malam kesukaannya, kini Ibu terlihat dingin dan seperti menutup mulutnya dari mengatakan sesuatu di hatinya.

Bella menjadi tidak begitu nyaman, sehingga dia memutuskan untuk bersih-bersih dan berganti pakaian. Mungkin Ibu juga sedang lelah, terlihat dari saat dia masuk dan Ibu tidak menyadarinya.

"Bella." Ibu memanggilnya setengah jam kemudian. Rupanya lauk pauk sudah siap, terhidang dengan mewah diatas meja kecil dapur. "Makan, yuk." Ibu bahkan mengambilkan piring untuknya. Ini tampak seperti biasanya, Bella menghela nafas lega sebelum mulai makan.

"Nak," Ditengah makan, Ibu memulai percakapan yang agak serius sehingga Bella berhenti menyuap dan mengangkat tatapannya, "Bagaimana kabar Kakek?"

Bella terkejut dalam keharuan, namun menjawab dengan senang, "Baik, tadi siang aku menemuinya, Bu." Dia sempat berhenti, "Hmm, kata Kazem, Kakek memiliki penyakit gula dan tekanan darah tinggi. Tapi tadi terlihat sehat."

Ibu mengangguk. 

"Kazem?" Tanyanya kemudian.

"Oh, iya. Dia Pengawal Baginda." 

"Oooh ..."

Sambil merasakan nikmatnya makan malam kali ini, disambung dengan kenangan makan siang di Istana yang luar biasa, Bella memikirkan sesuatu yang tidak pernah dia sangka. Bagaimana mungkin mereka sekarang makan malam sambil membicarakan pertemuan dengan Sang Raja?

"Apakah Kakek berpesan sesuatu kepadamu?" Tanya Ibu lagi. 

"Hmmm. Tidak, tapi Kakek menyampaikan salam dan katanya, Ibu adalah wanita yang luar biasa, hehe." 

Persis seperti keinginannya, Ibu langsung tersenyum lembut sambil menunduk. Menutupi raut bahagia yang jarang terulas di wajah keriputnya. Namun, lagi-lagi ekspresinya berubah saat kembali menatap Bella. Lebih serius dan diam.

"Oh, iya!" Bella teringat sesuatu dan membuatnya panik, segera dia pergi ke kamar meninggalkan meja makan. Mengabaikan pertanyaan Ibu, "mau kemana?"

Beberapa saat kemudian dia kembali membawa sebuah kartu hitam di tangannya. Melihat itu, sebelum dia berbicara apapun, Ibu melotot kepadanya. Menggeleng pelan, seolah sudah tahu apa yang hendak ditunjukkannya.

Bella menjadi takut-takut. 

"Kenapa, Bu?"

"Nak." Suara Ibu berubah gusar. "Kukira mereka tidak akan langsung bertindak sejauh ini. Lihat, ini untuk apa? Kita tidak memerlukan ini! Kembalikan saja, Nak."

Hati Bella mendadak terhenyak. Rasa sedih sekaligus kecewa dengan sikap Ibu langsung menyeruak menguasai dirinya yang sedang lelah. Sempat dia terdiam sambil menundukkan kepala, kemudian semuanya meledak begitu saja tanpa terkendali,

"Kenapa Ibu begitu? Sejak aku pulang tadi Ibu jadi dingin kepadaku. Bahkan Ibu menolak kartu debit yang diberikan Kerajaan ini, Ibu pikir kita benar-benar tidak membutuhkannya? Ibu tahu apa soal ... aku di sekolah?"

Tetesan bening yang panas menuruni pipi kirinya yang merah padam. Kalimatnya ternyata hanya terpotong sesaat dia mengambil nafas panjang, membiarkan Ibu yang terkejut memandanginya.

"Ibu tahu apa soal sekolahku yang berjouis? Teman-temanku, semuanya ... mereka ..." 

Suasana hening.

Tiba-tiba sebelah tangan Ibu menggertak meja. Brak! Membuat seisi meja kecil beserta makanan dan minuman hangatnya bergoyang nyaris tumpah. Bella sendiri tidak dapat menahan keterkejutan melihat reaksi Ibu yang diluar dugaannya.

"Siapa yang berani jahat kepadamu?!"

Bella terdiam merapatkan bibirnya. Rasa sesal kini menyeruak di dadanya, mengapa dia bisa meledak seperti itu tadi. Seharusnya dia diam saja, meninggalkan semua rasa sakit diluar rumah seperti biasa.

"Tidak. Ibu yakin ada yang menjahati kamu di sekolah!" Sergah Ibu, melihat gerakan kepala Bella yang menggeleng. Anaknya masih tidak mau membuka suara. Antara ketakutan dengan reaksi dari wajah serta gestur Ibunya yang menyeramkan sekarang, atau dia tidak ingin ada keributan dengan teman-temannya nanti.

Ibu membuang nafasnya, menunduk sejenak, "Kalau begitu ..." Matanya yang abu-abu kebiruan terang itu menyala-nyala digenangi selapis air bening, menatapnya dalam-dalam, "Karena itukah kamu ingin menggunakannya?"

Bella tidak kuasa menatapnya yang sedang emosional. Ini sungguh tidak seperti biasanya.

"Jawab, Bella!"

Anak itu tergugu, "I-iya." Mengangguk dengan ragu.

"Gunakanlah." Ibu berkata akhirnya dengan nada yang lebih tenang, "Gunakanlah dengan bijaksana dan bertanggung jawab, Nak."

Diperhatikannya wanita senja yang kembali menekuri piring di hadapannya itu. Sebuah perasaan janggal lagi-lagi hinggap dalam nalurinya, Bella mulai memikirkan tentang masa lalu Ibunya. Mirip seperti Ayah, Ibu juga tidak dekat dengan keluarganya. Mereka jarang sekali berlibur ke rumah keluarga besar seperti keluarga lain pada umumnya.

Dalam hati dia bertanya, ada apa gerangan?

Apalagi saat Ibu diam-diam berbisik, "Memang benar. Kekuasaan dapat menentukan harga diri seseorang." Mengarahkan mata senjanya dibawah kelopak yang berat itu ke langit biru gelap di luar jendela.

Apa maksud perkataan Ibu barusan?

"Apakah kamu bertanya-tanya apa maksud perkataanku barusan?" Suara Ibu yang dalam menegurnya, sehingga merinding bulu-bulu di sekujur tangan hingga lehernya. Sosok Ibu yang dia kenal seperti lenyap entah kemana, digantikan oleh sosok perempuan yang kini memandang dengan remeh. 

Bella terkesiap dengan pemandangan yang dilihatnya.

"Kamu masih terlalu muda, Nak. Lakukan saja apa yang kamu rasa perlu kamu lakukan. Aku telah melewati masa-masa itu pula, jauh dari zaman sekarang."

Kalimat yang bernuansa sakral, intonasi yang dalam, serta gaya bicara yang lebih terhormat tampak pada diri Ibu yang baru kali ini disaksikannya. Seolah Ibu telah menyembunyikan sesuatu untuk waktu yang amat lama di dalam dirinya.

"Bu?" Bella berusaha bertanya.

Namun, Ibu sudah kembali ke kesadarannya dengan mengulas senyum lembut serta mata yang tidak lagi semisterius barusan, "Jaga rahasia ini ya, Nak. Hingga waktunya tiba, mereka juga akan tahu."

Tidak terasa, mereka sudah tiba di akhir makan malam. Ibu bergegas membereskan meja dibantu Bella. Semua perkataan Ibu yang seperti angin dingin dari ladang jagung memasuki telinganya, teringat betul cara Ibu berkata-kata beberapa saat lalu. Itu sangat tidak biasa. Tetapi, dia memilih untuk memendamnya.

Malam semakin larut. Sebuah pesan masuk dari Aiko.

"Oi, anak tukang sayur. Ketua kelas menghubungiku gara-gara kamu belum juga bayar uang kas! Kamu yang tidak bayar, kok jadi aku yang direpotkan."

Aiko memang bendahara kelas. Beberapa kali dia berkata ingin membayarkan uang kas Bella yang menunggak, namun itu semua hanya omong kosong untuk semakin merendahkan dan menekan Bella di depan anak-anak lain. 

Tidak lama kemudian, tahu chat-nya sudah dibaca, dia mengirim lagi:

"Awas saja kalau sampai besok kamu belum bayar! Mungkin kamu memang tidak cocok berada di sekolah kami!"

Bella tidak menjawab, melainkan langsung menghubungi Kazem karena belum mengerti bagaimana cara menggunakan kartu hitam di tangannya itu. Udik sekali, tapi tidak mengapa selama Kazem Sang Pengawalnya siap setiap waktu untuk membantunya.

"Baik, aku transfer sekarang." Bella kemudian membalas Aiko.

"Hah. Dasar penipu. Mau berapa kali kamu bohong akan membayarnya padahal kamu kan, miskin, mana punya kamu uang segitu! Mau aku bayarkan saja, hah?" 

Bella tidak ingin menanggapi cemoohan Aiko diatas chat-nya, kemudian mengirimkan bukti transfer begitu saja tanpa keterangan apapun. Dirinya sudah terlalu lelah untuk mencerna semua yang terjadi hari ini. Ingin tertidur untuk menemui Ayah di dalam mimpi.

Ponsel telah dimatikan begitu balasan Aiko masuk.

"Hei, 1000 Dollar? Kamu tidak menipuku, kan?" Karena seharusnya hanya 100.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status