Sore belum juga turun dengan kegelapan langit yang biasa menyelimutinya, namun Bella sudah terkapar diatas meja dengan buku-buku yang lembarannya tertiup angin. Dia tampak sangat serasi dengan pemandangan ini, seperti gambaran estetik dari gadis zaman dulu yang dilukis di tepian jendela.
Hanya saja, mulut mereka tidak sedang menganga dan liur hampir menetes diujungnya.
"Dor!" Rain, yang sudah sampai lebih dulu dari Marissa yang tadi izin ke minimarket sebentar saat menunggunya, menepuk pundak Bella sehingga membuatnya terkejut begitu membuka mata.
"Aduh," Bella bergumam, kepalanya sedikit pusing akibat tidur dengan posisi tidak benar. Dia merasa sedikit kesal karena dikagetkan, tapi beruntung juga karena dia tidak mengalami keseleo karena terlalu lama di posisi itu.
"Lho, mana Marissa?" Bella melongok ke belakang kursi belajarnya. Kosong. Hanya ada Rain yang sedang menaruh tas dan langsung ambruk di atas ranjangnya.
"Ke minimarket seben
"Aiko?" Bella masih tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. Dia bukannya terlalu percaya diri, tapi itulah kenyataan yang dia lihat kemarin. Bagaimana Erven memanfaatkan dirinya untuk memancing Ilham dari kejauhan."Ya, kudengar dia anak seorang pejabat tinggi di Negeri Mulia." Cerita Marissa, kemudian suaranya berubah penuh bisikan dan teka-teki, "Apakah mereka semua anak kaya raya dari Negeri yang sama? Kurasa iya. Lihat saja Erven yang katanya kemarin mendarat dengan helinya."Rain lantas tertawa, "Hahaha, sayang sekali kamu tidak melihatnya, Ris! Itu memang kenyataan, dia turun dari heli itu dan celingukan seperti anak kecil yang tersesat di tengah taman bermain!" Seraya menunjuk Marissa tanpa rasa bersalah karena tidak memanggilnya di momen itu.Marissa cermberut saja, memutar bola matanya dan berkata sedikit kesal, "Ya, seharusnya ada dari kalian yang setidaknya mengetuk pintu ruang ganti agar aku keluar! Pasti aku tahu ada kejadian yang mengheb
"Ka-kamu ...?" Semua gadis yang mengelilinginya masih menjatuhkan dagu seraya menahan nafas saking terkejutnya.Mereka memang tahu bahwa banyak anak-anak konglomerat dan para pejabat di kampus ini. Tapi, seorang Putri Kerajaan? Apalagi yang akan mewarisi tahta, rasanya itu hampir mustahil! Lihat saja penampilannya yang super biasa itu!Semua suara-suara kecil yang tadi menggunjingnya seketika terdiam. Mereka semua menutup mulut. Mengulum bibir dengan gugup.Ilham tidak mungkin berbohong. Dia cukup terkenal sebagai mahasiswa baru yang memiliki kredibilitas. Tampangnya yang tampan dan masuk dengan skor tes terbaik seangkatan, membuatnya tidak boleh diragukan!"Be-benarkah itu ...?" Erven mencuri pandang dari samping Bella dengan mata terbelalak, tidak berani bergerak mendekati seincipun lagi. Setinggi-tingginya karir orang tuanya di dunia olahraga, status Bella tetaplah berada jauh diatasnya.Apalagi Negeri Mulia merupakan Negeri yang maj
Bella melangkah naik bagaikan seorang sandra yang dipaksa memasuki jet yang telah menunggunya itu. Dia selalu menghela nafas berat di tiap langkahnya. Padahal semua begitu sempurna dengan kehidupan kampus yang baru, diluar hal-hal 'sepele' yang menjengkelkan, itu adalah bumbu pedas manis kehidupan. Tapi, kenapa dia sekarang seperti akan diceburkan ke dalam minyak panas? "Doakan aku, Ham." Pesannya sebelum lepas landas dari sana. Meninggalkan Ilham yang terdiam dengan helaan nafas dalam-dalam. Dia adalah orang yang pertama kali dekat dengan Bella. Dia juga mengenal Ayahnya, yang ternyata adalah Putra Mahkota dan Ibunya, yang ternyata Putri dari Kerajaan tetangga. "Semoga semua baik-baik saja. Jangan lupakan aku, Bell." Bisiknya dalam hati. Di atas langit, Bella merasakan batinnya bergolak. Antara ingin tetap diam menyesapi keadaannya sekarang dan berpikir matang tentang rencanannya kedepan. Atau berjalan saja mengikuti arus yang menuntu
Bella beringsut dari tempatnya duduk. Secara spontan dia bergerak memeluk Kakeknya, menjauh dari jarak pintu yang sudah dikepung oleh pengawal.Sementara para tentara dari luar Istana segera masuk untuk ikut mengamankan kegaduhan yang ditimbulkan Pangeran kedua. Pangeran itu telah menyiapkan beberapa tentara pemberontak juga, rupanya dia sudah merencanakan ini semua sejak tahun-tahun sebelumnya."Awas jika aku dapati anak perempuan itu menaiki tahta yang bukan haknya!" Begitu sumpahnya. "Akan kupenggal dengan tanganku sendiri! Tidak akan ada Ratu yang memimpin Kerajaan Mulia ini!"Meski anggota keluarga Kerajaan bergerak dengan senyap tanpa berani melawan perkataannya yang mengerikan itu, mereka diam-diam juga telah menyiapkan pertahanan. Seperti Pangeran ketiga yang langsung mengarahkan pasukan khusus untuk mengamankan Raja dan Putri yang akan naik tahta menggantikannya."Ayahanda." Beberapa hari sebelum kejadian, dimana Baginda Raja masih terlihat
"Maukah kamu menikah denganku?" Ilham berusaha sekuat mungkin menahan gemuruh di dadanya. Dia tidak sedang berbicara santai dengan Bella si gadis biasa, teman lamanya, yang dia sukai itu. Tetapi, dia sedang melamar seorang Ratu di Negerinya!Dia tahu betul itu. Dan dia tahu betul betapa gila yang dilakukannya ini!Bella masih tidak bersuara. Membuat Ilham semakin jantungan. Apakah dia telah melakukan kesalahan yang amat fatal dengan bertindak segegabah ini? Melamar Bella sesaat setelah mendapatkan info dari informannya di dalam Negeri, bahwa posisi Ratu akan sangat lemah jika seandainya memimpin tanpa seorang pendamping?"Apalagi beliau masih sangat muda. Akan ada banyak pihak yang berhasrat menggulingkannya. Atau paling tidak, orang-orang yang masuk ke lingkarannya hanya untuk mengkhianatinya." Jelas informan tersebut."Termasuk para Pangeran yang kini hendak melamarnya." Tambah orang tersebut. "Itu hanya perkiraanku, tentu saja."Namun, itu sanga
Sambungan diangkat.Pada awalnya terdengar riuh dari jauh, lalu suara seorang pria yang tegas menyahutnya, "Apakah ini dengan Tuan-""Dimana Bella?" Ilham langsung memotong, "Apakah dia baik-baik saja??" Dia yakin yang kini memegang ponsel itu adalah salah satu ajudannya."Ya, beliau baik-baik saja." Ajudan itu menyahut lagi, "Ada pesan yang harus saya sampaikan kepada Anda, Tuan. Bahwa Anda harus datang ke Istana besok siang untuk menemui Yang Mulia."Kalimat itu menjalar bagai rambatan listrik dari tangan hingga ke kepala Ilham. Bella memintanya untuk datang besok?? Apakah itu artinya ... dia diterima?? Semoga saja!Ilham merasa lega, sekaligus senang bukan kepalang. Namun, dia berusaha keras untuk menahannya.Sementara Gerry terus menguping tepat di samping ponselnya tanpa mengerti satu katapun. Yang Mulia? Istana? Apa yang sebenarnya orang aneh ini sedang bicarakan?"Baik!" Ilham segera menjawab, lalu sambungan dimatikan. Tut. Tut
"Jam berapa dia akan tiba?" Bella bertanya dengan suara lemah. Dirinya telah terbaring selama beberapa jam terakhir di ranjang, sementara para pelayan mengelilinginya. Mereka semua bersiaga, demikian juga para pasukan khusus di depan gedung. Beberapa jam lalu ... Duagh! Bella terjatuh saat hendak turun dari helikopter. Hal itu dikarenakan suasana yang sangat mencekam kala pasukan Pangeran Kedua telah bergerak ke arah gedung pencakar langit yang dia tuju. Membuatnya panik dan kalang kabut. Lutut dan tulang keringnya terluka parah, sehingga dia langsung dilarikan ke suatu kamar yang paling aman di puncak gedung tersebut oleh tim medis. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh pihak yang lain dan timnya menjaga ketat informasi ini dari siapapun, apalagi media. Rakyat hanya mengetahui bahwa calon Ratu tetap dalam keadaan selamat dan baik-baik saja. Bella berusaha menggerakkan kakinya agar tidak menjadi kaku dan semakin parah. Besok, jika se
Tiba-tiba wajah itu muncul dari balik pelindung kepala seorang pengawal Ratu. Semua orang seketika terkejut, terbangun, dan bersiaga penuh.Dia adalah Pangeran Kedua!Bagaimana bisa dia selama ini berada di samping Sang Ratu, sementara tidak ada seorangpun yang menyadari keberadaannya? Bella sendiri langsung bergerak mundur ke belakang Ilham yang langsung memasang badan. Suaminya hendak menarik pedang di sisi kiri, meski dia tentu saja belum mahir menggunakannya.Sekedar gertakan untuk mengesankan kekuatan disaat terdesak itu perlu! Pikir Ilham menajamkan kedua alisnya."Berhenti disitu!" Balas Kazem, ikut melayangkan ujung pedangnya di depan wajah Pangeran Kedua yang membelalakkan mata kepadanya."Be-beraninya kau, pelayan rendahan!" Maki Pangeran Kedua dalam gumaman kerasnya saat mencoba menghindar secepat kilat."Yang Mulia mendiang Raja telah mewasiatkan kami untuk mengangkat Ratu pertama di Kerajaan ini!" Kazem berseru ke arahnya.