Mazaya tiba di rumah ketika hari sudah malam. Ia mendapati emaknya sedang menyapu.
"Udah bersih, Mak, nggak usah disapu terus." Mazaya menyalami tengah emaknya dan menciumnya. Emaknya tersenyum bahagia melihat putrinya sudah kembali.
"Udah pulang, Zay? makan sono, emak udah masak enak kesukaanmu." Hal yang paling ditunggu-tunggu seorang ibu adalah waktu kepulangan anaknya dari tempat kerja, lalu sang anak memakan makanan buatannya. Begitu juga dengan emaknya Mazaya.
"Siapp, Mak!" Meskipun sebenarnya sudah kenyang, Mazaya tetap pergi ke dapur untuk menyenangkan hati emaknya. Ia tidak ingin mengecewakannya satu kali pun.
Mazaya duduk di ruang makan, menghadap makanan kesukaannya, ikan tuna bakar, tumis pakis campur bunga pepaya, dan sambal iris tomat hijau. Melihat menu kesukaannya, segera ia menyendok nasi ke dalam piring berikut lauk dan sayurnya.
Ia mengingat segala hal yang telah terjadi dalam kehidupannya. Ayahnya yang berwatak keras dan kejam berpasangan dengan ibunya yang lemah lembut lagi penyayang. Itulah awal mula ia sering kehidupan ini tidak adil untuknya. Ayahnya sangat sering menghukumnya dengan kesalahan sekecil apa pun, ia juga kerap memukul ibunya juga menamparnya di depan matanya sejak usia ketika ia baru saja mengenal kehidupan ini.
Dengan perlakuan ayah yang kasar itu, ia menjadi trauma dengan lelaki. Ia membenci pria sebagaimana ia antipati pada ayahnya. Selain itu, ayahnya juga suka mabuk dan berjudi, jika dengan uang hasil jerih payahnya sendiri ia takkan mempermasalahkan, namun perbuatan bejatnya itu hasil merampas hasil jerih payah ibunya yang bekerja membuka laundry kecil-kecilan di rumah.
Ia juga masih ingat bahkan merasakan tamparan ayahnya ketika ia membela sang ibu yang mempertahankan perhiasan miliknya yang hendak di rampas ayahnya.
"Bapak sudah keterlaluan! selama ini yang Bapak lakuin cuman nyopet duit Emak! kenapa Bapak tidak nyari duit sendiri? setidaknya Bapak bantu Emak mencuci!" Teriak Mazaya penuh kemarahan waktu itu.
Plak! Plak!
Dua buah tamparan sangat keras mendarat di pipi kanan dan kiri Mazaya hingga meninggalkan bekas lima jari. Melihat hal itu, ibunya segera melindungi Mazaya dengan mendorong tubuh suaminya yang besar itu. Namun karena tubuh ibunya kecil usahanya tidak membuahkan hasil, justru pria itu semakin beringas dan memukul wajah sang ibu hingga memar. Lalu dia pun pergi entah ke mana dan tidak pernah kembali lagi. Itu sudah lima tahun yang lalu, namun masih membekas dengan jelas dalam ingatannya, seolah kejadian itu baru terjadi kemarin. Setiap mengingat kejadian itu, emosinya semakin meningkat.
Ia mengira kepergian ayahnya akan membawa kedamaian dalam hidupnya. Kenyataannya, tiga bulan pasca kepergiannya segerombolan rentenir datang menagih hutang atas nama ibu.
"Mana yang namanya Maimunah?" Seorang pria dengan gaya preman lengkap dengan kalung rantai berkacak pinggang di depan rumah waktu itu.
"Gue, ada apa?" Ibunya langsung muncul dari balik pintu.
"Utang atas nama lo 1,5M, cicilan perbulan 10juta, udah tiga bulan lo nunggak, bunganya udah 2 kali lipat!" seru pria itu.
Mazaya dan ibunya terkejut, sejak kapan ibunya hutang sebanyak itu?
"Sejak kapan gue ngutang ama lo? ngimpi kali lo, salah alamat!" teriak ibunya dengan geram.
"Ini semua data-datanya lengkap atas nama lo!" Pria itu tidak mau kalah.
Ternyata ayahnya yang meminjam uang memakai nama ibu. Dia mencuri KTP, kartu keluarga, dan lain sebagainya sebagai persyaratan hutang sebelum melarikan diri. Mazaya dan ibunya terhenyak dan hanya bisa menerima kenyataan pahit itu.
"Bawa motor dan ambil surat tanah yang di Bekasi!" Para rentenir itu membawa satu-satunya motor yang digunakan untuk mencari rupiah itu, beruntung surat tanah disembunyikan dengan aman dan tidak berhasil ditemukan.
Sejak saat itu, setiap bulan para rentenir selalu datang menagih, satu per satu barang-barang di rumah mulai habis. Mesin cuci yang menjadi sumber penghasilan ibunya, TV, ranjang, kasur, dan lain-lain yang berharga, hingga perhiasan mereka ambil tanpa sisa. Setiap hendak menunda pembayaran mereka selalu mengancam akan membawa Mazaya untuk dijadikan wanita panggilan.
"Lo boleh nggak bayar, tapi gue bawa anak lo sebagai penebusnya," ujar pria itu sambil mengelus jenggotnya. Tidak ada pilihan lain bagi ibunya untuk membuat pilihan,m kecuali membayar dengan apa pun yang tersisa, sertifikat tanah milik kakeknya yang ada di Bekasi.
Itulah akhirnya Mazaya menghentikan kuliahnya yang sudah masuk semester lima dan memilih bergabung dengan kelompok seni bela diri. Dengan tekun ia belajar bela diri, mulai dari pencak silat, taekwondo, wushu, dan lain sebagainya. Di sisa waktunya, ia menjadi kuli di pasar, menjadi tukang parkir, menawarkan jasa angkat-angkat barang kepada para ibu-ibu yang sering kesulitan membawa barang dagangannya atau belanjaannya.
Dari hasil kerja kerasnya ia berhasil membeli smartphone. Mulailah ia mencari-cari cara menghasilkan uang dengan cepat lewat online. Ia menemukan usaha digital adalah cara paling cepat dan mudah untuk menghasilkan uang. Ia mulai kursus berbagai keahlian di bidang digital mulai dari dasar hingga profesional.
Ibunya sering menangis melihat putri semata wayangnya setiap hari pergi pagi pulang malam menjadi tulang punggung keluarga.
"Mak, jangan nangis gitu, Zaya jadi sedih kalo Emak sedih. Buat Zaya yang penting Emak sehat dan tidak ada seorang pun yang nyakitin Emak, Zaya bahagia. Zaya juga nggak capek kok, justru banyak temen," Mazaya menghibur ibunya setiap kali ibunya menangis atau bersedih.
Dua tahun ia menekuni bidang seni bela diri dan digital membuatnya merasa percaya diri untuk melamar pekerjaan yang layak ke berbagai perusahaan. Namun tak satu pun yang menerimanya, jangankan menerima, sekedar memanggilnya untuk wawancara pun tidak.
Ia kembali ke dunia kuli pasar. Sambil menjadi freelancer internet marketing, seperti membuka jasa pembuatan website, membuat program, software, aplikasi, dan lain sebagainya. Meskipun clien-nya hanya hitungan jari, setidaknya mampu mengurangi waktunya di pasar. Dari situ ia mulai kembali memperhatikan penampilannya, membeli skincare dan kawan-kawannya.
Kemudian dia bertemu secara online dengan seorang clien yang memintanya membuatkan aplikasi pembaca data multi-bahasa dengan desain yang friendly dan ringan dengan imbalan yang cukup besar, 10 juta Rupiah dalam jangka waktu 1 bulan. Dia menyanggupinya. Dan dia berhasil.
Dengan keberhasilannya, akhirnya dia bertemu dengan clien tersebut yang ternyata adalah seorang pria yang masih muda. Lalu dia ditawarkanlah sebuah kerja sama.
"Gue bersedia membayar lo berapa pun yang lo mau, asalkan lo bersedia bekerja dengan gue," ucap pemuda itu.
"Gue punya utang lebih dari 1M, apa lo sanggup?" Mazaya sebenarnya hanya bercanda menyebutkan angka itu, ia hanya ingin mengetahui sebesar apa keseriusan pria itu.
"Oke. It's no problem. Gue akan berikan setelah kita teken kontrak. Apa pendidikan terakhir lo?" Mazaya terbelalak mendengar kesanggupan pria itu. Tetapi pertanyaan berikutnya tentang pendidikan membuatnya ciut.
Dengan ragu ia menyebutkan pendidikan terakhirnya sambil menunduk."Ijazah terakhir SMA, tapi gue pernah kuliah jurusan manajemen bisnis empat semester."Pria itu tersenyum."Tidak apa-apa, jangan malu. Apa saja keahlian lo?""Gue punya sertifikat beberapa jenis seni beladiri dan sertifikat kursus teknologi informasi dan digital marketing. Kalo dibutuhkan, sekarang juga bisa gue ambil," ucap Mazaya saking semangatnya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan."Oke, sebentar lo ambil, dengerin gue dulu. Gue akan menyekolahkan lo sampe lulus sarjana, tapi syaratnya maksimal 3,5 tahun lo harus lulus dengan predikat minimal cumlaude. Memiliki kemampuan bahasa asing minimal Inggris, Jepang, dan Cina. Lo bisa daftar ke berbagai universitas di luar negeri untuk mendukung pendidikan lo."Mazaya curiga kenapa pria itu begitu baik, padahal mereka baru saja kenal. Ia hanya tahu nama pria itu Zeta
Pukul 05.30 pagi.Mazaya memasuki sebuah gedung yang sudah agak tua dan terletak di pinggiran kota Jakarta. Gedung itu adalah markas besar mafia Gen-X yang memiliki anggota lebih dari 300 orang. Mafia Gen-X sendiri berbeda dengan mafia kebanyakan, mereka lebih mengedepankan kualitas personal anggotanya sehingga tidak banyak yang berhasil masuk dalam kelompok mereka. Setiap anggota yang baru bergabung atau calon anggota baru harus memiliki kualifikasi khusus, misal bidang teknologi informasi, bahasa asing, manajemen bisnis, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, kelompok Gen-X selalu diperhitungkan oleh para pengusaha baik dalam negeri maupun luar negeri.Selain itu, jika kelompok mafia lainnya memiliki bisnis utama mengarah pada hal negatif seperti narkotika, tapi tidak untuk Gen-X. Usaha utama mereka adalah pengembangan software dan jasa digital marketing. Sudah menjadi rahasia umum jika ingin bekerja sama dengan mafia Gen-X harus rela 'merogoh kocek' yang tidak sedikit.
Mazaya masih lurus menatap monitor. Bola matanya yang kecokelatan menari-nari seiring ketikan program yang terus memanjang memenuhi screen komputer. Tugasnya hari ini membuat efek yang dinamis pada software New World. Ia semakin berhati-hati dalam bekerja, sebab semua perangkat sudah dipasang alat pengintai.Ia melirik jam tangan merk Expedition yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul 16.00, waktunya untuk pulang. Ia teringat sore ini rapat di markas, meskipun dia tidak diundang, tetapi dia sangat penasaran untuk mengetahui hasilnya."Yog, Ger, gue duluan, ya. See you tomorrow (sampai ketemu besok)," pamit Mazaya alias Hexel."Bye, be careful (hati-hati di jalan)," ucap Yoga dan Gery hampir bersamaan."Udah mau pulang, Hex?" Meta memperhatikannya dari tempat duduknya."Iya, duluan, ya." Hexel melambai sambil berlalu. Meta mengerucutkan bibirnya tidak mendapat perhatian dari Hexel.Mazaya mengendarai motornya menyusuri jalan
Pintu mobil terbuka, keluarlah seorang wanita paruh baya. Pemuda yang membawa motor Mazaya tadi membukakan pintu mobil yang sebelah, lalu turunlah Mazaya dipapah oleh pemuda itu."Zaya! apa yang terjadi sama lo, Nak?" Bu Maimunah langsung menghampiri putrinya yang berjalan tertatih."Maaf, Bu. Tadi ada kecelakaan di jalan, saya me....""Cuma kecelakaan kecil kok, Mak, udah biasa. Nggak apa-apa, paling juga besok udah sembuh," sela Mazaya memotong ucapan Rafa.Rafa tertegun sejenak, bingung mau mengatakan apa lagi."Boleh tuliskan nomor ponsel lo di sini?" Rafa mengulurkan ponselnya. Mazaya menatap pria itu sejenak, lalu mengambil ponsel itu dan menuliskan nomornya."Nama?" tanya Rafa lagi."Zaya," jawabnya singkat, ia sudah sangat ingin masuk ke dalam memeriksa lukanya, namun pria itu tidak juga pergi."Kalau anak ibu butuh bantuan atau pengobatan,
Sepanjang perjalanan Mazaya hanya diam sambil memperhatikan pemandangan di jalanan. Bu Maimunah yang banyak berbicara mencairkan suasana yang terasa kaku."Nak Rafa kerja di mana?" Bu Maimunah membuka percakapan."Di kantor pengembangan software, Bu." Rafa tidak menyebutkan identitas yang sesungguhnya. Ia memang memegang komitmennya untuk menyembunyikan identitasnya kepada siapa pun. Ia benar-benar tidak ingin dikenal, padahal selalu membicarakan perusahaannya."Oh, sama dengan Zaya kalo begitu. Dia juga kerja di tempat begitu, apa ya nama kantornya? apa, Zay?" Bu Maimunah berpaling pada putrinya yang acuh pada percakapan mereka."Emak, kenapa sih cerita pekerjaan segala," ketus Mazaya merengut."Ih, lo itu ya. Ah, namanya ada Garuda-Garudanya gitu, cuma gue nggak tahu pasti juga." Bu Maimunah mencolek lengan Mazaya yang tidak mau bekerjasama dengannya."Oh, Garuda Mediatama bukan?
Tiga hari berlalu.Mazaya sudah kembali masuk kerja, hanya tinggal sedikit bekas luka di jidatnya yang masih membekas, dia menempelnya dengan hansaplas agar tidak menimbulkan pertanyaan."Halo, Hexel, akhirnya lo udah sehat. Kenapa lo bisa sakit sih?" Yoga dan Gery langsung menyambut kedatangannya."Nggak tau juga, mungkin lagi musim kali, banyak yang demam di kompleks gue. Maaf ya, udah ngerepotin lo berdua." Hexel meletakkan tas punggungnya di sandaran kursi."Iya, nih, pekerjaan lo berat banget, gue nggak terlalu memahami bagian itu. Jadi belum kelar deh." Yoga memasang wajah bersalah karena tidak mampu menyelesaikan tugasnya."What? gawat! kalo gitu mulai sekarang jangan ganggu gue, oke? gue mau selesaikan hari ini juga. Tapi lo berdua mesti ambilin gue makan siang, minuman capuccino dingin, plus kentang goreng. Oya satu lagi, sama es krim." Hexel menahan tawanya sebisa mungkin agar terlihat serius.
"Emang napa lo?" Rafa keheranan melihat ekspresi tidak biasa sepupunya yang terkenal cool sama dengannya."Lo punya cewek, nggak?""Hah?" Rafa terkejut mendengar pertanyaan sepupunya yang tiba-tiba dan aneh itu."Kenapa lo tanya begitu?" tanya Rafa heran."Udah deh jawab apa susah amat," gerutu Jonathan."Nggak! napa lo? lo dapet cewek?" gurau Rafa sambil tersenyum.Jonathan mendekat ke arah Rafa, lalu dipeluknya sepupunya itu. Sontak Rafa berontak."Lo napa sih, aneh banget, tau?" Rafa duduk menjauh dari Jonathan."Apa lo merasakan sesuatu yang aneh?" Jonathan bertanya dengan wajah polos yang lucu."Merasakan apa?" Rafa tergelak. "Jangan-jangan lo nggak normal, ya kan? Oh Tuhan, ada dari keluarga gue yang nggak normal?"Jonathan meninju lengan Rafa."Makanya cariin gue cewek, gue mau ngetes apa gue
Mazaya dan Zeta terlibat perkelahian sengit dengan para pria itu. Mereka adalah para penjaga elit di acara pertemuan tersebut. Entah mereka berada di pihak yang mana. Mereka memiliki keahlian beladiri khusus, cukup sulit menyingkirkan mereka.Mazaya terdesak ke sisi balkon yang mengarah ke bawah, dengan sekali gerakan ia menaiki pagar balkon itu dan melompat sekaligus melakukan tendangan telak kepada tiga orang musuh yang mengepungnya. Sementara Zeta berupaya menyingkirkan empat orang lainnya di dalam kamar hotel.Mazaya kembali melompat dengan bersalto dan berdiri di atas pundak dua orang musuh, lalu membenturkan kepala keduanya hingga mengucurkan darah. Dua orang itu ambruk dan tak bisa bergerak lagi. Satu orang lainnya tertegun sejenak melihat nasib dua orang temannya, ia mengeluarkan sebilah pisau belati kecil yang berkilat di bawah sinar lampu balkon. Ia maju penuh percaya diri dengan belati di tangannya, mengayunkan belati ke arah perut Mazaya