Share

Menerima Tawaran

Dengan ragu ia menyebutkan pendidikan terakhirnya sambil menunduk.

"Ijazah terakhir SMA, tapi gue pernah kuliah jurusan manajemen bisnis empat semester."

Pria itu tersenyum.

"Tidak apa-apa, jangan malu. Apa saja keahlian lo?"

"Gue punya sertifikat beberapa jenis seni beladiri dan sertifikat kursus teknologi informasi dan digital marketing. Kalo dibutuhkan, sekarang juga bisa gue ambil," ucap Mazaya saking semangatnya. Ia tidak ingin kehilangan kesempatan.

"Oke, sebentar lo ambil, dengerin gue dulu. Gue akan menyekolahkan lo sampe lulus sarjana, tapi syaratnya maksimal 3,5 tahun lo harus lulus dengan predikat minimal cumlaude. Memiliki kemampuan bahasa asing minimal Inggris, Jepang, dan Cina. Lo bisa daftar ke berbagai universitas di luar negeri untuk mendukung pendidikan lo."

Mazaya curiga kenapa pria itu begitu baik, padahal mereka baru saja kenal. Ia hanya tahu nama pria itu Zeta dari nama akunnya ketika memberinya pekerjaan sebulan yang lalu.

"Tapi ngomong-ngomong, sebenarnya lo siapa, dan kerjasama apa? kenapa lo baik banget?"

"Lo nggak perlu tahu siapa gue. Setelah lo menyelesaikan pendidikan, lo akan menjadi agen kami. Pekerjaan banyak, tergantung dari clien yang memberikan job. Yang kami butuhkan adalah multi-skill, orang yang siap dengan pekerjaan apa pun, baik yang berbahaya atau pun yang biasa."

"Maksud lo?" Mazaya mengernyitkan keningnya tanda tidak memahami maksud pria itu.

"Sebagai seorang agen, lo harus siap bekerja dalam target. Misalkan ada clien yang meminta lo nganter sebuah dokumen rahasia di sebuah hotel dalam waktu kurang dari satu jam, lo harus siap. Lo pasti bisa bayangin seberapa besar bahaya yang bakal lo dapet dari tugas itu."

Mazaya termenung mencerna setiap ucapan pria itu. Ia penggemar novel dan film thriller, action, dan misteri, bukan hal asing baginya ucapan pria itu. Tapi ia menyadari pekerjaan yang ditawarkan adalah pekerjaan gelap dan jauh dari moralitas sebagai manusia. Bahkan menurut novel dan film yang ia lihat, seorang agen harus berani membunuh dan dibunuh.

"Nggak harus sekarang lo jawab. Gue tunggu tiga hari, ini kontak gue, chat atau hubungi gue apa pun jawaban lo. Kalo lo nolak nggak apa-apa, artinya ini pertemuan terakhir kita, dan kita nggak akan ketemu lagi selamanya. Kalo lo nerima, berarti ini pertemuan pertama kita. Gue balik dulu." Pria itu berdiri dan meninggalkan uang 500 ribu Rupiah di atas meja untuk membayar makanan yang mereka pesan meskipun jumlah menu yang mereka pesan tidaklah sebanyak itu nilainya.

Mazaya berpikir cepat, ia membayangkan penderitaan hidupnya dan ibunya. Toh pekerjaannya selama ini hanya cukup untuk membayar hutang, bahkan terkadang masih kurang dengan besarnya bunga yang para rentenir itu terapkan. Mazaya dengan bulat mengambil keputusan.

"Tunggu! Gue menerima penawaran lo!" seru Mazaya dengan mantap.

Pria itu berhenti, lalu berbalik dengan wajah tidak percaya.

"Lo yakin?" dia bertanya sambil berjalan mendekati Mazaya. Mazaya hanya mengangguk.

Pria itu kembali duduk di tempatnya semula.

"Setelah teken kontrak, lo nggak bisa keluar lagi. Begitu ingin lo keluar, nyawa lo dan seluruh keluarga lo akan dipertaruhkan. Pikirkan baik-baik," pria itu berusaha memberikan pertimbangan.

"Gue mengerti, gue siap."

Kali itu juga Mazaya langsung menandatangani surat kontrak yang berlangsung seumur hidup itu. Ketiak ia menandatangani kontrak itu, artinya ia sudah menyerahkan seluruh hidupnya pada mereka. Surat dilengkapi dengan tanda tangan, cap jempol, dan setetes darah pada kertas dan sebuah alat semacam botol kecil.

Mazaya menggigit jari telunjuknya hingga mengeluarkan darah, lalu meneteskannya pada tempat yang disediakan.

Selanjutnya Mazaya mulai mengikuti kursus bahasa Inggris cepat dan mendaftar di berbagai Universitas di luar negeri.

"Mak, gue dapet beasiswa di luar negeri nih, lumayan duit bulanannya bisa buat nutupin utang kita. Nggak apa-apa kan Emak gue tinggal sekitar 3 tahun? gue janji akan belajar dengan giat sehingga bisa cepet pulang," Mazaya mengutarakan keinginannya pada Ibunya.

"Kalau itu yang terbaik, Emak nggak bisa larang lo. Emak juga pengin lo sukses, nggak terus-terusan hidup susah begini."

Dengan berbekal izin ibunya, Mazaya berangkat ke Amerika untuk menempuh pendidikannya. Seluruh biaya ditanggung pria yang ternyata bernama Ariel itu, begitu juga dengan permasalahan hutang dia yang menangani.

Tepat 3 tahun 2 bulan ia berhasil menyelesaikan studinya dan kembali ke Indonesia sebagai seorang Agen dari kelompok mafia Gen-X.

Tugas pertamanya adalah memindahkan uang tunai hasil korupsi sebanyak 5 Milyar Rupiah ke sebuah bank.

Setelah itu, ia mulai banyak mendapatkan job belakang layar, seperti meretas website dan membuat berbagai software terobosan baru yang menunjang kelancaran pekerjaan kelompok mereka.

PT Adidaya Komputindo adalah sebuah perusahaan yang telah lama mengincar software buatan Garuda Mediatama sejak masih baru direncanakan. Mereka juga pengembang berbagai software terkemuka, namun produk-produknya tidak sepopuler Garuda Mediatama. Itulah sebabnya mereka berusaha mencari celah untuk menjatuhkannya.

Pada awalnya mereka bekerjasama untuk membangun software tersebut, namun kemudian pihak Garuda Mediatama membatalkan kerjasama karena mereka mengetahui rencana licik rekan bisnisnya itu. Lalu, perusahaan Adidaya Komputindo menggandeng Gen-X untuk menyalin data rival bisnis mereka itu.

Dalam masa pembuatan software aplikasi New World, Gen-X sudah mengirimkan beberapa orang agen, namun semuanya gagal. Hingga setelah Mazaya kembali, sepasang kekasih yang dikenal dengan sebutan Couple Gen-X merekomendasikan dirinya dengan cara menyamar sebagai pria. Ternyata cara itu berhasil, Mazaya resmi menjadi anggota tim pembuat software itu.

"Makan jangan ngelamun," tegur sang ibu melihat putri kesayangannya melamun di depan meja makan.

Mazaya terbatuk-batuk karena terkejut. Ibunya segera mengambilkan segelas air. Dengan sekali teguk air itu habis tak bersisa.

"Lo sekolah dari luar negeri tetep nggak berubah cara lo minum, apa bagitu juga cara minum lo di sana?" seloroh ibunya.

"Ya nggaklah, Mak. Itu cuman di rumah doang begitu. Kalo di tempat kerja ya gue menjaga integritas gue," Mazaya membela diri. Ibunya tertawa mendengar ucapan Mazaya.

"Gue duluan tidur, Mak, capek, nih," pamit Mazaya. Ibunya hanya mengangguk sambil membereskan sisa-sisa makanan di atas meja.

Mazaya berlalu dari hadapan ibunya. Ia masuk ke dalam kamar lalu membersihkan diri. Bekas-bekas luka akibat seringnya berlatih masih meninggalkan luka-luka memar di sebagai anggota badannya. Ia mengoleskan obat pada area-area yang masih menunjukkan bekas luka.

Ia tidak pernah mengeluhkan setiap lukanya itu pada ibunya. Ia siap menanggung seluruh beban kehidupan ini demi memberikan ketenangan di hati ibunya.

Sudah satu tahun ia resmi bekerja bersama Gen-X, dan satu bulan di Garuda Mediatama. Entah apalagi yang akan terjadi di hari esok, yang bisa dilakukannya hanyalah mengikuti garis kehidupan yang sepertinya selalu berat untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status