“Yah, nggak tidur dulu?” tanyaku saat sudah didekatnya.
Mas Ubay sedang duduk tanpa melakukan apa-apa. Sinyal saja susah, percuma jika harus memegang gawai.
“Belum ngantuk, Nda. Sana Bunda tidur dulu.” Dia justru memerintahku.
“Sama, aku juga belum ngantuk, Yah.” Aku duduk di sebelahnya.
“Arsya sudah tidur, Nda?”
“Sudah. Tadinya minta ke sini, tapi tetap saja kuajak tidur.”
Mas Ubay manggut-manggut tanpa mengucapkan kalimat lain.
&ldqu
“Bismillah, Nda.”Perlahan kami melangkah memasuki gubuk. Di dalam sama gelapnya seperti di luar. Tidak ada lampu penerangan di dalam sini.“Nda, aku cari gawai dulu di tas. Gelap gini susah carinya. Kita harus cepat-cepat mendapatkannya.”Aku tak menjawab perkataannya. Pikiranku kembali teringat akan kejadian tadi pagi yang baru saja kualami. Aku di dalam sini bersama sosok nenek bermuka seram penuh luka. Aku tak mau mengingatnya, namun kejadian itu muncul dengan sendirinya.Mas Ubay berhasil mendapatkan gawai dan segera mencari lampu senter yang ada di gawai itu.“Alhamdulillah, kita bisa melih
“Astaghfirullah, Yah! Kenapa lampunya mati? Apa yang terjadi! Yah, kamu dimana, Yah? Aku mendengar suara menakutkan itu lagi, Yah! Aku takut, Yah!”Dalam kegelapan, tanpa ada cahaya sama sekali, aku histeris. Sosok itu seakan tak jauh dariku. Kudekap Arsya erat-erat. Aku takut sosok itu akan melukai Arsya.“Nda! Ayah kesitu, Nda. Bunda tenang dulu ya? Banyakin doa, Nda.”Suara mas Ubay menyahut perkataanku. Mungkin dia sedang mendekatiku. Mata ini sama sekali tak bisa melihat apapun. Gelap gulita.Gubrak!“Aduh! Sakit!” pekik mas Ubay.
“Hihihi ….”Suara menyeramkan itu kembali terdengar.“Argh!”Sosok itu menarik rambutku semakin kuat.“Lepas! Sakit!”Aku tetap mencoba menahan rambut yang ditarik semakin kuat dengan satu tangan.“Serahkan anak itu!”“Nggak! Selamanya nggak akan kuberikan!”“Lancang!”“Arg
Aku dan mas Ubay membaca ayat dan doa untuk mengusir dari gangguan jin dan setan di gawai. Dalam hati sangat berharap Sang Pencipta memberikan pertolongan pada kami. Sekarang Arsya menangis ditawan sosok itu. Aku sangat khawatir. Kenapa harus Arsya yang diincar? Bocah sekecil dia sudah harus mengalami hal magis seperti ini.“Diam! Hentikan ayat-ayat terkutuk ini! Hentikan! Manusia munafik! Hentikan sebelum anak ini semakin tersiksa!”Ada sedikit kekhawatiran saat sosok itu mengancam akan melukai Arsya.“Nda … hiks! Arsya takut, Nda!”Arsya meronta, berusaha untuk pergi dari cengkraman sosok itu. Tapi semua sia-sia, dengan kekuatan di luar nalar, sosok itu menah
POV Ibu***“Ibu melakukannya hanya untuk membahagiakan kalian. Ibu nggak mau kalian selalu bersedih. Maafkan Ibu.”Jika akan terjadi seperti ini, lebih baik dari awal kubakar saja boneka itu di sini bersama denganku. Aku menyesal membiarkan Ubay dan keluarganya hampir celaka karena ulahku. Karena keegoisanku hampir merenggut nyawa mereka semua.“Apa sih maksud Ibu? Ayo ceritakan semuanya. Ibu nggak boleh lagi merahasiakan apapun juga di belakang kami, meski menurut Ibu semua itu demi kebaikan kami. Lebih baik Ibu jujur saja. Aku nggak mau Ibu memikirkannya sendiri. Ibu masih punya kami, Bu.”Ubay mene
POV IbuFlashback on.***Bu Ani clingak-clinguk seperti mencari seseorang. Aku jadi ikut melihat ke kanan dan ke kiri penasaran apa yang sedang dicari olehnya.“Cari apa, Bu?” tanyaku lagi.“Ssttt! Kalau mau tanya soal itu, sini duduk di sebelahku. Kita bicara jangan sampai ada orang yang mendengar lagi.”Meski ada tanda tanya, aku menurutinya saja. Aku duduk di sebelahnya berbagi bangku.“Iya Bu, jadi gimana?”
POV IbuFlashback on.***“Pak, besok hari jum’at Ibu mau pergi ke rumah teman Ibu.”Aku berbicara pada suami. Sekitar sepuluh menit yang lalu, aku sampai di rumah. Fira sedang sibuk mengurus tanamannya. Dia suka berkebun untuk mengisi waktu luang. Aku duduk berdua di belakang rumah dengan suami. Sedangkan Fira berada di depan dan Ubay sedang bekerja.“Kemana Bu?” tanya suamiku. Namanya pak Syukur.“Ke rumah teman Ibu, Pak. Rumahnya lumayan jauh, tapi Ibu ke sana mau naik angkot saja. Bapak nggak usah antar. Dekat ruma
POV IbuFlashback on.***“Nggak usah, Fira. Kamu di rumah saja. Ibu mau pergi sendiri saja. Cuma sebentar kok,” sanggahku.“Tapi Bu, Fira nggak tega kalau Ibu pergi ke sana sendiri. Jauh apa nggak, Bu?” tanya Fira lagi.“Nggak Fira. Nggak jauh kok. Ibu mau naik angkot saja. Hari ini kamu ada acara sendiri ‘kan?”Iya, ucapanku harus dibumbui kebohongan dan sengaja mengambil hari jum’at karena Fira akan pergi ke perkumpulan Yasinan yang ia ikuti. Jadi, ada alasan untukku agar bisa leluasa pergi tanpa harus b