Tawa anak tengah malam

Tawa anak tengah malam

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-10-19
Oleh:  Dens_pekalonganOngoing
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
7Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sebuah sumur tua di tepi desa menyimpan luka yang tak pernah sembuh. Dulu, tempat itu ditutup rapat karena dipercaya sebagai sarang kegelapan yang menelan banyak nyawa. Namun tragedi kembali terjadi—seorang anak kecil ditemukan tewas mengenaskan di dalamnya. Surya, pemuda desa yang menyimpan masa lalu kelam, bersama Laras, sahabat lamanya, mencoba mengungkap misteri yang selama ini dibungkam. Namun semakin jauh mereka mencari, semakin jelas bahwa sumur itu bukan sekadar lubang air, melainkan pintu menuju dunia lain yang penuh jeritan dan ratapan. Di kedalaman gelap, mereka menemukan arwah-arwah yang terperangkap, bisikan yang terus memanggil, dan rahasia mengerikan tentang siapa sebenarnya “penjaga” yang bersemayam di sana. Ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Surya dan Laras harus memilih: melarikan diri dan meninggalkan kebenaran, atau menyingkap rahasia meski harus menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Arman Pulang kampung

Arman berdiri di pinggir jalan, menenteng ransel lusuh, saksi bisu perjalanan hidupnya selama di kota. Bus ekonomi yang tadi membawanya dari terminal utama baru saja melaju pergi, meninggalkan kepulan asap hitam pekat seolah ikut mengolok-olok keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.

“Yaelah, pulang kampung bukan berarti jadi orang kampungan, kan? Hadeh. Semoga aja nggak ada drama mistis di desa,” gumam pria itu menendang kerikil di jalanan.

Ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat dari ibunya masuk.

“Man, cepetan pulang. Jangan mampir-mampir. Ada hal penting!”

Arman menghela napas panjang.

“Hal penting? Hmm, biasanya, sih, kalau emak bilang begini, ujung-ujungnya suruh kawin sama anak tetangga. Aduh, jangan, deh. Duh, masih trauma lihat mantan kawin kemarin. Kaya disiram kopi panas. Rasanya perih, tapi nggak bisa ngomel.”

Ia berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang mulai becek karena hujan siang tadi. Pohon bambu di kiri dan kanan jalan bergoyang diterpa angin, menghasilkan bunyi gesekan yang khas.

Krekkk. Krakkk.

Suara itu seperti irama tak teratur yang bisa bikin merinding, tapi pemuda itu justru menutup kupingnya sambil berlagak kocak.

“Woy, jangan gesek-gesek begitu. Dikira suara mantan lagi ngegosipin saya.”

Tiba-tiba, suara lain ikut terdengar. Bukan dari bambu, bukan pula dari serangga malam. Itu seperti bisikan. Pelan, panjang, dan cukup jelas.

“Pulang. Pulang. Jangan lama!”

Arman berhenti. Seketika matanya melotot mendengar itu.

“Waduh, ini bukan suara emakku, kan? Soalnya kalau emak yang ngomong, biasanya sambungannya begini, 'pulang- pulang beliin bawang merah sekilo.' Ciri khas emak banget.”

Ia mencoba menertawakan diri sendiri, tapi bulu kuduknya sudah berdiri tegak. Angin bertiup lebih kencang, membuat dedaunan berjatuhan. Di kejauhan, lampu rumah-rumah mulai tampak redup. Sebagian bahkan padam seolah kampung itu tidak ramah bagi orang yang baru datang.

Arman menelan ludah dan melangkah lebih cepat.

“Oke, oke, mungkin Saya halu. Kebanyakan nonton film horor kali, ya. Tenang, Man. Nggak ada pocong pake kuota unlimited di sini.”

Akan tetapi, beberapa langkah kemudian, bisikan itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat.

“Arman ...!”

Ia pun langsung refleks menoleh ke belakang. Kosong. Jalan desa hanya gelap gulita, ditemani suara jangkrik yang bersahut-sahutan.

Arman berusaha menguatkan diri, meski kali ini suaranya gemetar.

“Oke, kalau ada yang manggil nama saya, sebutin juga NIK sama alamat lengkap. Kalau nggak, jangan _sotoy_ , deh.”

Langkahnya makin cepat bahkan hampir berlari kecil. Sadar, apa pun suara itu, bukan hal biasa. Ada sesuatu yang menunggu di kampung ini. Sesuatu yang bahkan ibunya mungkin sengaja sembunyikan.

Arman akhirnya sampai di pertigaan jalan desa. Dari sini, jalannya terbagi dua. Ke kanan menuju rumah Pak RT yang biasanya suka reseh kalau ada tamu malam-malam, ke kiri menuju rumah ibunya yang berdiri di ujung dusun.

Ia berhenti sejenak, mengusap keningnya yang mulai berkeringat meski udara dingin menusuk tulang.

“Hmm, kalau lewat rumah Pak RT, pasti ditanya macam-macam. Kerja apa, udah nikah apa belum, kapan punya anak. Lah, nikah aja kagak, gimana mau punya anak, Pak RT? Bisa-bisa diceramahi sampe sahur nanti. Jadi, fix, ke kiri aja.”

Dia memilih jalan ke kiri, jalan setapak yang lebih sepi dan dipenuhi semak-semak liar. Saking sepinya, jangkrik yang sedari tadi ribut, kini malah berhenti bersuara. Keheningan itu bikin suasana menjadi semakin aneh.

Arman celingukan, mencoba menenangkan diri dengan guyonan.

“Halo, ada yang nongkrong di semak? Kalau ada, tolong jangan ngagetin, ya. Saya punya penyakit lemah jantung, lemah kalau liat mantan jalan sama suaminya.”

Dia ngakak sendiri, tapi tawanya langsung berhenti ketika sebuah bayangan melintas di depan jalan setapak. Cepat, samar, tapi jelas berbentuk tubuh manusia.

Arman berhenti mendadak. Matanya melotot, jantungnya berdegup keras.

“Eh, eh, eh. Siapa, tuh? Jangan main petak umpet tengah malam, dong, Bro. Nggak seru!”

Bayangan itu tidak menjawab. Justru seperti menunggu, berdiri membelakangi Arman beberapa meter di depan. Rambutnya panjang, tergerai kusut. Tubuhnya membungkuk sedikit.

Arman mengusap matanya, berharap itu hanya ilusi, tapi ketika ia membuka mata lagi, sosok itu masih ada. Kali ini malah lebih jelas dan dengan perlahan menoleh ke arahnya.

Arman langsung mundur setapak.

“Waduh! Jangan bilang ini yang namanya mbak-mbak balik badan setengah shift.”

Sosok itu benar-benar menoleh. Wajahnya pucat, matanya hitam pekat tanpa bola mata. Bibirnya sobek sampai ke pipi, dan dari mulutnya terdengar suara berbisik.

“Pulang! Kamu tidak seharusnya kembali!”

Arman kaku. Badannya gemetar, tetapi insting komedinya masih berusaha melawan rasa takut.

“Eh, Mbak, kalo nggak boleh pulang, terus saya harus kos di mana? Di rumah kos pocong? Harga sewa murah nggak, Mbak?”

Bukannya pergi, suara itu malah semakin mendekat, semakin menusuk telinga. Seperti bergema langsung di dalam kepalanya.

“Pergi sebelum semuanya terlambat!”

Arman langsung refleks lari tunggang-langgang. Ranselnya hampir jatuh, sandal jepitnya copot satu, tapi dia tidak peduli. Napasnya memburu, jantungnya nyaris meledak.

“Ya Allah, Ya Tuhan, udah kaya lomba lari 17 Agustus. Bedanya kalau ini, kalah bisa jadi tumbal!”

Ia terus berlari sampai akhirnya rumah ibunya mulai terlihat di ujung jalan. Rumah sederhana dengan dinding papan yang sudah mulai rapuh, tapi baginya itu seperti istana penyelamat. Lampu minyak di teras masih menyala, tanda ibunya belum tidur.

Arman menabrak pagar bambu dan langsung masuk.

“Mak! Tolongin anakmu ini sebelum dijadiin konten dunia lain!”

Ibunya, seorang perempuan paruh baya dengan wajah teduh dan penuh kekhawatiran, buru-buru keluar.

“Arman? Astaghfirullah. Kenapa kamu teriak-teriak gitu, Nak?”

Arman menunjuk ke arah jalan. Dengan napas terengah-engah, ia mencoba menceritakan kejadian yang ia alami barusan.

“Mak, tadi ada cewek horor. Rambut panjang, wajahnya, aduh jangan ditanya. Mak, sumpah, itu tadi beneran bukan halu!"

Mendengar itu, ibunya langsung menarik tangan Arman masuk ke rumah.

“Cepat masuk! Jangan bicara sembarangan di luar. Nanti dia dengar!"

Arman bengong mendengar ucapan ibunya.

“Lho? Mak juga tahu? Berarti tadi itu, beneran?”

Wanita paruh baya tak menjawab. Menutup pintu rapat-rapat, lalu menyalakan dupa kecil di sudut ruangan. Aroma menyengat bercampur asap memenuhi rumah, membuat suasana semakin mistis.

Arman makin bingung memperhatikan apa yang dilakukan oleh ibunya.

“Eh, Mak, serius ini apaan, sih? 'kok aku baru nyampe udah disambut kayak gini? Emang saya bawa kutukan apa?”

Ibunya menatapnya dalam-dalam. Wajahnya terlihat pucat, seolah menyimpan sesuatu yang selama ini dirahasiakan.

“Man, ada hal yang belum pernah kamu tahu tentang kampung ini. Tentang keluarga kita!”

Arman menelan ludah. Suasana hening. Hanya suara kayu rumah yang berderit, seakan ikut menyimak percakapan mereka.

Dari luar jendela, samar-samar terdengar lagi bisikan itu.

“Arman ....“

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
5 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status