MasukSebuah sumur tua di tepi desa menyimpan luka yang tak pernah sembuh. Dulu, tempat itu ditutup rapat karena dipercaya sebagai sarang kegelapan yang menelan banyak nyawa. Namun tragedi kembali terjadi—seorang anak kecil ditemukan tewas mengenaskan di dalamnya. Surya, pemuda desa yang menyimpan masa lalu kelam, bersama Laras, sahabat lamanya, mencoba mengungkap misteri yang selama ini dibungkam. Namun semakin jauh mereka mencari, semakin jelas bahwa sumur itu bukan sekadar lubang air, melainkan pintu menuju dunia lain yang penuh jeritan dan ratapan. Di kedalaman gelap, mereka menemukan arwah-arwah yang terperangkap, bisikan yang terus memanggil, dan rahasia mengerikan tentang siapa sebenarnya “penjaga” yang bersemayam di sana. Ketakutan dan kesedihan bercampur menjadi satu. Surya dan Laras harus memilih: melarikan diri dan meninggalkan kebenaran, atau menyingkap rahasia meski harus menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri.
Lihat lebih banyakArman berdiri di pinggir jalan, menenteng ransel lusuh, saksi bisu perjalanan hidupnya selama di kota. Bus ekonomi yang tadi membawanya dari terminal utama baru saja melaju pergi, meninggalkan kepulan asap hitam pekat seolah ikut mengolok-olok keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.
“Yaelah, pulang kampung bukan berarti jadi orang kampungan, kan? Hadeh. Semoga aja nggak ada drama mistis di desa,” gumam pria itu menendang kerikil di jalanan. Ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat dari ibunya masuk. “Man, cepetan pulang. Jangan mampir-mampir. Ada hal penting!” Arman menghela napas panjang. “Hal penting? Hmm, biasanya, sih, kalau emak bilang begini, ujung-ujungnya suruh kawin sama anak tetangga. Aduh, jangan, deh. Duh, masih trauma lihat mantan kawin kemarin. Kaya disiram kopi panas. Rasanya perih, tapi nggak bisa ngomel.” Ia berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang mulai becek karena hujan siang tadi. Pohon bambu di kiri dan kanan jalan bergoyang diterpa angin, menghasilkan bunyi gesekan yang khas. Krekkk. Krakkk. Suara itu seperti irama tak teratur yang bisa bikin merinding, tapi pemuda itu justru menutup kupingnya sambil berlagak kocak. “Woy, jangan gesek-gesek begitu. Dikira suara mantan lagi ngegosipin saya.” Tiba-tiba, suara lain ikut terdengar. Bukan dari bambu, bukan pula dari serangga malam. Itu seperti bisikan. Pelan, panjang, dan cukup jelas. “Pulang. Pulang. Jangan lama!” Arman berhenti. Seketika matanya melotot mendengar itu. “Waduh, ini bukan suara emakku, kan? Soalnya kalau emak yang ngomong, biasanya sambungannya begini, 'pulang- pulang beliin bawang merah sekilo.' Ciri khas emak banget.” Ia mencoba menertawakan diri sendiri, tapi bulu kuduknya sudah berdiri tegak. Angin bertiup lebih kencang, membuat dedaunan berjatuhan. Di kejauhan, lampu rumah-rumah mulai tampak redup. Sebagian bahkan padam seolah kampung itu tidak ramah bagi orang yang baru datang. Arman menelan ludah dan melangkah lebih cepat. “Oke, oke, mungkin Saya halu. Kebanyakan nonton film horor kali, ya. Tenang, Man. Nggak ada pocong pake kuota unlimited di sini.” Akan tetapi, beberapa langkah kemudian, bisikan itu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat. “Arman ...!” Ia pun langsung refleks menoleh ke belakang. Kosong. Jalan desa hanya gelap gulita, ditemani suara jangkrik yang bersahut-sahutan. Arman berusaha menguatkan diri, meski kali ini suaranya gemetar. “Oke, kalau ada yang manggil nama saya, sebutin juga NIK sama alamat lengkap. Kalau nggak, jangan _sotoy_ , deh.” Langkahnya makin cepat bahkan hampir berlari kecil. Sadar, apa pun suara itu, bukan hal biasa. Ada sesuatu yang menunggu di kampung ini. Sesuatu yang bahkan ibunya mungkin sengaja sembunyikan. Arman akhirnya sampai di pertigaan jalan desa. Dari sini, jalannya terbagi dua. Ke kanan menuju rumah Pak RT yang biasanya suka reseh kalau ada tamu malam-malam, ke kiri menuju rumah ibunya yang berdiri di ujung dusun. Ia berhenti sejenak, mengusap keningnya yang mulai berkeringat meski udara dingin menusuk tulang. “Hmm, kalau lewat rumah Pak RT, pasti ditanya macam-macam. Kerja apa, udah nikah apa belum, kapan punya anak. Lah, nikah aja kagak, gimana mau punya anak, Pak RT? Bisa-bisa diceramahi sampe sahur nanti. Jadi, fix, ke kiri aja.” Dia memilih jalan ke kiri, jalan setapak yang lebih sepi dan dipenuhi semak-semak liar. Saking sepinya, jangkrik yang sedari tadi ribut, kini malah berhenti bersuara. Keheningan itu bikin suasana menjadi semakin aneh. Arman celingukan, mencoba menenangkan diri dengan guyonan. “Halo, ada yang nongkrong di semak? Kalau ada, tolong jangan ngagetin, ya. Saya punya penyakit lemah jantung, lemah kalau liat mantan jalan sama suaminya.” Dia ngakak sendiri, tapi tawanya langsung berhenti ketika sebuah bayangan melintas di depan jalan setapak. Cepat, samar, tapi jelas berbentuk tubuh manusia. Arman berhenti mendadak. Matanya melotot, jantungnya berdegup keras. “Eh, eh, eh. Siapa, tuh? Jangan main petak umpet tengah malam, dong, Bro. Nggak seru!” Bayangan itu tidak menjawab. Justru seperti menunggu, berdiri membelakangi Arman beberapa meter di depan. Rambutnya panjang, tergerai kusut. Tubuhnya membungkuk sedikit. Arman mengusap matanya, berharap itu hanya ilusi, tapi ketika ia membuka mata lagi, sosok itu masih ada. Kali ini malah lebih jelas dan dengan perlahan menoleh ke arahnya. Arman langsung mundur setapak. “Waduh! Jangan bilang ini yang namanya mbak-mbak balik badan setengah shift.” Sosok itu benar-benar menoleh. Wajahnya pucat, matanya hitam pekat tanpa bola mata. Bibirnya sobek sampai ke pipi, dan dari mulutnya terdengar suara berbisik. “Pulang! Kamu tidak seharusnya kembali!” Arman kaku. Badannya gemetar, tetapi insting komedinya masih berusaha melawan rasa takut. “Eh, Mbak, kalo nggak boleh pulang, terus saya harus kos di mana? Di rumah kos pocong? Harga sewa murah nggak, Mbak?” Bukannya pergi, suara itu malah semakin mendekat, semakin menusuk telinga. Seperti bergema langsung di dalam kepalanya. “Pergi sebelum semuanya terlambat!” Arman langsung refleks lari tunggang-langgang. Ranselnya hampir jatuh, sandal jepitnya copot satu, tapi dia tidak peduli. Napasnya memburu, jantungnya nyaris meledak. “Ya Allah, Ya Tuhan, udah kaya lomba lari 17 Agustus. Bedanya kalau ini, kalah bisa jadi tumbal!” Ia terus berlari sampai akhirnya rumah ibunya mulai terlihat di ujung jalan. Rumah sederhana dengan dinding papan yang sudah mulai rapuh, tapi baginya itu seperti istana penyelamat. Lampu minyak di teras masih menyala, tanda ibunya belum tidur. Arman menabrak pagar bambu dan langsung masuk. “Mak! Tolongin anakmu ini sebelum dijadiin konten dunia lain!” Ibunya, seorang perempuan paruh baya dengan wajah teduh dan penuh kekhawatiran, buru-buru keluar. “Arman? Astaghfirullah. Kenapa kamu teriak-teriak gitu, Nak?” Arman menunjuk ke arah jalan. Dengan napas terengah-engah, ia mencoba menceritakan kejadian yang ia alami barusan. “Mak, tadi ada cewek horor. Rambut panjang, wajahnya, aduh jangan ditanya. Mak, sumpah, itu tadi beneran bukan halu!" Mendengar itu, ibunya langsung menarik tangan Arman masuk ke rumah. “Cepat masuk! Jangan bicara sembarangan di luar. Nanti dia dengar!" Arman bengong mendengar ucapan ibunya. “Lho? Mak juga tahu? Berarti tadi itu, beneran?” Wanita paruh baya tak menjawab. Menutup pintu rapat-rapat, lalu menyalakan dupa kecil di sudut ruangan. Aroma menyengat bercampur asap memenuhi rumah, membuat suasana semakin mistis. Arman makin bingung memperhatikan apa yang dilakukan oleh ibunya. “Eh, Mak, serius ini apaan, sih? 'kok aku baru nyampe udah disambut kayak gini? Emang saya bawa kutukan apa?” Ibunya menatapnya dalam-dalam. Wajahnya terlihat pucat, seolah menyimpan sesuatu yang selama ini dirahasiakan. “Man, ada hal yang belum pernah kamu tahu tentang kampung ini. Tentang keluarga kita!” Arman menelan ludah. Suasana hening. Hanya suara kayu rumah yang berderit, seakan ikut menyimak percakapan mereka. Dari luar jendela, samar-samar terdengar lagi bisikan itu. “Arman ....“Suasana masih terasa mencekam, meski terik matahari sudah masuk lewat celah jendela.Arman masih duduk di ruang tamu, menatap boneka dengan ekspresi yang sulit dibayangkan. Sedangkan Bima mondar-mandir seperti ayam kehilangan induk. “Bro, sumpah, kalau tadi sempet pipis celana, jangan salahin aku, ya. Itu boneka bisa jatuh, bisa duduk, bisa ngomong pula! Nanti apa lagi? Joget dangdut?” cerocosnya bagai kereta cepat. Arman memijat kening, merasa lelah dengan semua yang sudah ia apami. “Bim, kalau kamu masih bercanda, aku sumpahin kamu yang disuruh nari sama boneka itu!" Bima langsung berhenti. Wajahnya berubah pucat pasi. “Jangan bercanda balik, Bro. Nanti beneran kejadian.”Bima menelan ludah dengan paksa, lalu duduk di kursi sambil menatap boneka itu. “Jadi, apa sekarang rencananya? Kita panggil Ustadz? Panggil paranormal? Atau langsung kita lempar ke laut?”Arman menghela napas panjang. “Nggak bisa sembarangan. Kalau kita buang, bisa lebih parah nanti. Kayaknya, kita harus tanya
Panas mentari menyengat begitu tajam, menghempaskan ketegangan yang sebenarnya masih dirasakan oleh Arman. Pria jangkung itu berjalan dengan langkah gontai. Tubuh lelahnya tetap membawa boneka gosong dalam genggaman.Tiba-tiba, suara klakson motor terdengar dari luar rumah.“Woy, Arman! Buka pintu, Bro!” Suara khas terdengar. Itu pasti Bima, sahabat sejak duduk di bangku SMA yang hobi bercanda meski situasi sedang genting.Arman bangkit malas-malasan untuk membuka pintu. Benar saja, Bima masuk dengan gaya sok keren dengan helm yang masih melekat di kepalanya.“Bro, rumahmu, kok, makin kayak film horor, sih? Serius, aku tadi masuk halaman aja udah merinding.”Arman mendesah. “Ya memang begini rumahnya.”Bima mendekat ke meja dan menunjuk boneka hangus itu. “Astaga, ini apaan? Jangan bilang, pacar barumu? Hahaha!”Arman melotot. “Bim, serius. Jangan bercanda soal itu.”“Eh, kenapa emangnya? Ya ampun, wajah bonekanya aja udah kayak habis ikut audisi jadi figuran film zombie.” Bima ngakak
Pagi itu, matahari menyelinap masuk kamar lewat celah jendela, tetapi Arman masih menggulung tubuhnya dengan selimut tipis. Malam sebelumnya jelas membuatnya susah tidur. Bayangan siluet perempuan di jendela itu masih jelas terpatri di kepala.“Hah! Jadi gini rasanya ngekos gratis sama hantu,” gumamnya sambil menguap lebar. Ia menatap langit-langit, lalu menambahkan dengan nada bercanda, “Kalau begini, harusnya aku bisa nagih uang kontrakan, dong.”Pemuda itu memaksa dirinya untuk bangun. Langkahnya gontai dengan mata berat akibat kurang tidur. Menuju dapur dengan niat ingin membuat kopi. Akan tetapi, begitu buka lemari kayu, ia malah kaget melihat seekor cicak meluncur cepat ke dinding.“Woi! Jangan kagetin saya, Cak! Udah cukup semalam aja ditemenin siluet misterius. Jangan ikut-ikutan jadi pemeran horor murahan,” omelnyaSambil mendidihkan air, Arman berusaha menenangkan diri. Namun, dari ruang tengah, terdengar suara ibunya yang sedang menata tikar.“Man, kamu nggak tidur nyenyak
Pagi itu ayam jago belum habis berkokok, tapi suara Bu Sumi, ibunya Arman, sudah lebih nyaring daripada toa masjid.“Man! Bangun, Man! Jangan kayak iler di bantal kamu! Nempel terus di bantal!” teriaknya dari dapur sambil menyiapkan kopi.Arman menggeliat malas di ranjang. Matanya masih berat, tetapi kepalanya dipenuhi ingatan semalam–suara-suara aneh serta bisikan yang terasa dekat sekali di telinganya.“Ibu, orang tidur itu butuh ketenangan. Jangan nyamain aku sama iler, iler mah nggak punya perasaan!” sahut Arman setengah teriak.Bu Sumi nyelonong masuk ke kamar sambil melotot, tapi ujung bibirnya hampir tersenyum. “Perasaanmu itu paling cuma ke bantal, Man. Sama orang nggak pernah serius.”Arman bangkit, duduk di tepi ranjang sembari mengacak-acak rambut. “Ibu, aku semalam denger suara aneh lagi. Serius ini. Kayak ada orang bisik-bisik di ruang tamu.”Bu Sumi terdiam sejenak. Wajahnya yang tadinya santai berubah agak kaku. Ia cepat-cepat menyembunyikan ekspresi itu dengan menaruh
Arman berdiri di pinggir jalan, menenteng ransel lusuh, saksi bisu perjalanan hidupnya selama di kota. Bus ekonomi yang tadi membawanya dari terminal utama baru saja melaju pergi, meninggalkan kepulan asap hitam pekat seolah ikut mengolok-olok keputusannya untuk kembali ke kampung halaman.“Yaelah, pulang kampung bukan berarti jadi orang kampungan, kan? Hadeh. Semoga aja nggak ada drama mistis di desa,” gumam pria itu menendang kerikil di jalanan.Ponsel yang sedari tadi ada di genggamannya bergetar. Sebuah pesan singkat dari ibunya masuk. “Man, cepetan pulang. Jangan mampir-mampir. Ada hal penting!”Arman menghela napas panjang.“Hal penting? Hmm, biasanya, sih, kalau emak bilang begini, ujung-ujungnya suruh kawin sama anak tetangga. Aduh, jangan, deh. Duh, masih trauma lihat mantan kawin kemarin. Kaya disiram kopi panas. Rasanya perih, tapi nggak bisa ngomel.”Ia berjalan pelan menyusuri jalan tanah yang mulai becek karena hujan siang tadi. Pohon bambu di kiri dan kanan jalan bergo
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen