Share

Part 6

“Alhmdulillah Ibu … akhirnya bisa ketemu sama Ibu lagi,” ucap mas Ubay, saat mengetahui seseorang yang memanggilnya adalah ibu mertua.

Dengan langkah yang panjang, dia menghampiri beliau. Aku dan Arsya pun menyusulnya. Mas Ubay terlihat sangat bahagia, aku pun merasakan hal yang sama. Lima tahun sudah tak pernah bertemu. Sudah pasti, kami sangat rindu dengan beliau. Apalagi dulu kami sempat tinggal bersama lumayan lama.

“Ubay? Fira?”

Ibu terkejut melihat kami ada di hadapan beliau.

Tak menunggu lama, mas Ubay langsung saja memeluk beliau. Aku yakin, detik ini dia sangat bahagia dan terharu.

“Iya Bu, ini kami. Aku sangat ingin bertemu sama Ibu. Kami kangen, Bu,” ucap mas Ubay masih memeluk beliau.

Ibu hanya bergeming. Beliau pasti sama seperti kami, merasa sangat bahagia.

Mas Ubay melepas pelukannya, kini giliranku memeluk beliau.

“Ibu, Fira kangen. Ibu di sini sehat ‘kan?”

Aku tak lama memeluk beliau karena ingin segera mengenalkan Arsya kepada neneknya.

“Arsya, ayo salim sama nenek,” perintahku kepada Arsya. “Bu, ini anak kami yang waktu itu masih di dalam perut, sekarang sudah besar, Bu. Namanya Arsya.”

Aku mengucapkannya dengan penuh haru. Dulu ibu ingin sekali melihatku hamil, tapi setelah hamil, beliau menyuruh kami untuk pergi ke kota. Jelas saja, beliau belum sempat melihat anakku yang tumbuh semakin besar.

Arsya meraih tangan neneknya. Namun, ibu mertua tetap saja bergeming.

“Nda, ini nenek Arsya, ibunya Ayah?” tanya Arsya sebelum dia mencium punggung tangan milik neneknya.

“Iya, ayo salim,” perintahku lagi.

Arsya pun menurut, namun ibu seperti tak bersemangat menyambut kedatangan kami. Aku tak mau berpikir negative, tapi dari ekspresi diamnya beliau terlihat tak nyaman.

“Ibu, Ibu sehat ‘kan?” tanyaku memastikan.

“Iya, Ibu sehat-sehat saja ‘kan di sini? Ibu betah tinggal sendirian seperti ini?”

Mas Ubay ikut saja bertanya. Pasti dia pun merasakan keanehan yang sama sepertiku.

“Nda, kok nenek kayak nggak senang ketemu sama Arsya sih?” bisik Arsya. Dia sudah berada di dekatku lagi.

“Ssstt! Arsya nggak boleh ngomong begitu ya? Mungkin nenek lagi nggak enak badan.”

Jagoan kecilku hanya mengangguk.

“Kenapa kalian ke sini? Bukannya Ibu melarang kalian datang ke sini? Apa kalian nggak dengar apa kata Ibu?”

Aku dan mas Ubay yang tersenyum bahagia. Kini senyuman itu mulai hilang. Kenapa ibu justru tak suka kami datang ke sini? Bukannya beliau itu harusnya senang, anak dan cucunya mau datang menjenguknya di sini?

Kami saling memandang. Dalam diriku kembali mengingat akan perkataan mas Ubay saat di meja makan. Saat mas Ubay seolah mempersulit datang ke sini. Ucapannya persis seperti yang diucapkan ibu tadi. Beliau tak suka kami ada di sini. Dan ternyata bukan mas Ubay yang ada di meja makan waktu itu. Apa semua ada hubungannya? Bulu kudukku kembali berdiri.

“Bu, kok Ibu ngomong begitu? Kami kangen sama Ibu. Apa Ibu nggak kangen sama kami? Kasihan Arsya nggak pernah bertemu sama neneknya. Apa Ibu nggak mau bertemu sama cucu Ibu? Padahal dulu Ibu sangat menginginkan seorang cucu. Aku pikir Ibu mau melihat cucu Ibu. Jadi aku memutuskan mengajaknya ke sini, Bu. Tapi kenapa Ibu ngomongnya seperti itu? Kenapa kami dilarang menjenguk Ibu? Apa ada alasan yang masuk akal, Bu?”

Mas Ubay pasti syok saat mendengar penolakan dari ibunya sendiri. Dia bertanya banyak hal. Pasti perasaannya terkoyak dan kepalanya penuh dengan tanda tanya.

Ibu tak menjawab. Ekspresinya terlihat seperti orang bingung bercampur khawatir.

“Bu, Ibu sehat ‘kan?” tanyaku setelah melihat  beliau hanya terdiam.

“Ayo masuk dulu. Sudah tambah petang,” ucap beliau tanpa mempedulikan pertanyaanku.

Beliau berjalan di depan membimbing kami memasuki rumah.

“Nda, kalau nenek di luar, terus tadi yang Arsya lihat di dalam itu siapa ya, Nda? Arsya kira nenek yang lagi mengintip. Soalnya rambutnya putih. Tapi nenek yang ini rambut putihnya hanya di dekat kening. Yang tadi Arsya lihat, kayaknya panjang terus putih semua.”

Mendadak perasaanku jadi tak enak. Perkataan Arsya membuat jantungku berdebar. Hawa mistis seakan menyelubungi pikiranku.

“Mungkin Arsya salah lihat.”

“Nggak Nda, Arsya nggak salah lihat. Coba nanti Arsya lihat-lihat di dalam rumah nenek, siapa tau ada teman nenek di dalam rumah itu. Iya ‘kan, Nda?”

Arsya saja masih bisa berpikir positif, kenapa justru pikiranku melayang jauh ke hal-hal yang mistis. Iya, mungkin benar apa yang diucapkan Arsya. Atau mungkin mata Arsya saja yang salah melihat. Ya, mungkin begitu. Aku tidak boleh jadi penakut.

“Iya, mungkin begitu, Sya.”

Kami memasuki rumah beliau. Di ruang tamunya tak banyak perabot. Hanya ada kursi dan meja serta tikar yang sengaja digelar. Ruang tamunya cukup luas, mungkin jika masuk lagi ke dalam, hanya ada dua kamar, dapur dan kamar mandi saja. Mengingat rumah ini terlihat kecil.

“Ayo duduk. Kalian tunggu di sini dulu, Ibu mau bersihin kamar kalian.”

“Duduk saja dulu, Bu. Itu gampang nanti Fira bantu,” ucapku.

“Kamu pasti capek, Ibu nggak usah dibantu, nggak apa-apa kok.”

Ternyata ibu mertua masih sama seperti dulu. Beliau ingin tak merepotkan menantunya. Karena itu, aku nyaman dengan beliau. Ibu begitu sayang dan perhatian kepadaku.

“Tapi nanti saja Bu. Kita duduk ngobrol-ngobrol dulu. Kita lama banget nggak bisa bertemu seperti ini ‘kan?”

Mas Ubay ikut mencegah ibu untuk pergi meski sebentar.

“Barang-barangku juga masih ada di dalam mobil. Biarlah nanti saja. Kita mengobrol dulu di sini,” ucap mas Ubay lagi.

“Ibu buatkan minuman dulu saja ya?”

“Biarin saja Bu, nggak usah repot-repot. Kita nggak haus kok, biar Fira saja nanti yang mengurusi kami. Ibu duduk saja di sini.”

Mas Ubay kembali mencegah ibu mertua yang akan pergi. Aku kira dari tadi sifat beliau sedikit aneh. Sepertinya beliau tidak nyaman dengan kedatangan kami ke sini.

“Ya sudah, takutnya kalian itu capek. Jadi Ibu mau bersihkan kamar yang nggak kepakai dulu, biar nanti kalian bisa langsung beristirahat.”

“Itu gampang, Bu. Nanti aku saja yang membersihkannya,” ucapku.

“Nda, kok kayaknya nggak ada temannya nenek yang tadi mengintip di jendela ya, Nda? Atau orangnya udah pergi?” bisik Arsya.

Dia masih saja membahas masalah yang membuatku merinding. Padahal aku sudah lupa saat tadi berbicara dengan ibu mertua.

“Iya mungkin udah pulang,” jawabku ikut berbisik.

“Tapi Nda, lewat mana coba? Apa mungkin lewat belakang?”

“Iya, pasti lewat belakang. Arsya dari tadi hanya mencari begituan saja?” tanyaku.

“Iya Nda, hehehe.”

“Coba tanya sama nenek langsung.”

“Arsya boleh tanya, Nda?”

“Iya boleh.”

Dia sepertinya mengambil napas sebelum melontarkan pertanyaan tersebut. Aku pun tersenyum dibuatnya.

“Nenek, apa di sini ada teman Nenek? Tadi Arsya lihat ada yang mengintip dari jendela situ lho, Nek. Terus sekarang teman Nenek dimana? Udah pulang ya?”

Arsya bertanya seraya menunjuk tempat yang dimaksud. Ibu pun terlihat kaget mendapat pertanyaan seperti itu.

“Memang iya, Bu. Ibu di sini tinggal sama teman Ibu? Syukur deh kalau begitu Ibu nggak sendirian.”

Mas Ubay ikut penasaran. Raut wajahnya terlihat lega saat mengatakannya.

Gubrak!

Ibu mertua belum sempat menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Arsya dan mas Ubay, tapi ada sesuatu yang terjatuh dari arah belakang.

“Apa yang jatuh, Bu?” tanya mas Ubay.

“Paling kucing. Kalian tunggu di sini saja. Ibu yang akan mengurusnya. Kalian jangan kemana-mana. Rumah Ibu masih sangat berantakan. Kalian harus tetap duduk di sini.”

Beliau mengucapkannya dengan raut wajah khawatir dan meninggalkan kami untuk melihat sesuatu yang baru saja terjatuh di belakang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iqbal Rns
kesel juga, udh dibilangin masih aja ngeyel
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status