"Ke mana mas Galang, jam segini masih belum kelihatan batang hidungnya," gumam Mayang.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam tapi suami Mayang masih belum pulang. Bukan hal baru suaminya bekerja lembur tapi biasanya tidak sampai selarut ini. Mayang memandangi wajah polos anaknya yang terlelap, Kenzo Anugrah Perdana.Tiap kali memandang anak ini, hatinya berdenyut sakit. Anak sekecil ini sudah dicoba dengan banyak ujian. Galang sangat dingin pada Anu. Dia tidak pernah membiarkan Anu mendekatinya. Beruntung Anu memiliki IQ di atas rata-rata. Meski masih kecil dia sangat sadar dengan penolakan dari laki-laki yang seharusnya menjadi orang paling dekat dengannya. Mayang kembali melihat jam dinding yang hampir mendekati pukul dua belas malam. Keresahannya hilang saat ia mendengar suara mobil di depan rumah. "Mas baru pulang? Kenapa malam sekali?" bergegas Mayang mengambil alih kursi roda yang didorong asisten pribadi Galang. "Yo, kamu bantu saya bersih-bersih baru kamu istirahat," ucap Galang menghentikan niat Mayang mendorong kursi rodanya. "Biar aku aja Mas yang bantuin, kasihan Wardoyo pasti lelah. Sudah malam juga pasti..." "Apa tubuh kerempengmu kuat mengangkat aku?" "Kuat, jangankan cuma mengangkat, menggendong keliling rumah juga aku kuat." Galang memandang istrinya dengan aneh. Alisnya mengernyit melihat tekad di mata istrinya. Wardoyo sang asisten bingung tidak tahu harus pergi atau membantu Galang. "Yo, kamu bantu aku," ucap Galang mengabaikan Mayang. Mayang memanyunkan bibirnya, padahal dia tahu pasti akan ditolak tapi tetap saja dia kerap menawarkan diri merawat suaminya. Suami di atas kertas. "Lain kali jangan sembarangan memberikan makanan pada orang lain!" ucap Galang sebelum masuk ke dalam kamar. "Hah?" Mayang membeku mendengar ucapan Galang. Tidak ada kalimat lain karena Galang langsung masuk ke kamarnya. "Mas, jangan bilang kamu cemburu, pftt!" Terkikik geli Mayang membayangkan suaminya marah karena cemburu. Namun dia sadar diri dan hal itu tidak mungkin terjadi. "Jangankan kue, menu hotel bintang lima juga bisa kubikinin buat kamu mas. Sebut aja apa yang kamu mau, pasti aku bikinin," gumam Mayang Mayang menatap pintu kamar Galang yang tertutup. Semenjak kecelakaan itu, Galang dan Mayang memang tidak tidur di kamar yang sama. Galang menjauhkan dirinya dari Mayang. Masih menjadi misteri kenapa mereka masih bersama dalam ikatan pernikahan. *** Pukul sebelas siang, Mayang yang keasyikan membaca novel online hampir lupa menjemput Anu di sekolahnya. Terburu-buru dia berganti baju dan berlari keluar. Namun saat baru membuka pintu, dia dikejutkan dengan kehadiran ibu mertua dan dua adik iparnya, Gendis dan Gading. "Loh ya ampun, Ibu? Kenapa enggak ngabarin kalau sudah sampai?" Mayang memeluk dan mencium ibu mertua yang sudah lama tidak dia jumpai. "Ibu apa kabar? Mayang kangen banget sama Ibu." "Alhamdulillah sehat, Nduk. Kamu gimana kabarnya kenapa makin kurus? Galang bener-bener gak bisa diandelin. Mantu kesayangan ibu sampai kurus kering begini." "Ah, Ibu … Mayang bukan kurus tapi langsing. Aduh Ndis, kenapa gak ngabarin kalau udah nyampe. Kan mbak bisa jemput kalian di stasiun." "Gak perlu Mbak, Mbak juga repot." "Mbak ga kangen aku?" ucap Gading manja. "Gak ah, takut disemprot lagi sama pengagum kamu." "Wes to uwes, Ibu cape ayok ke dalam dulu." "Oh iya Bu, keasyikan ngobrol jadi lupa. Tapi Bu...Mayang tinggal dulu sebentar ya. Mayang jemput Anu dulu." "Kamu lebih mentingin anak itu dari Ibu, Yang? Ibu baru datang jauh-jauh kamu tinggal cuma buat anak itu?" suara Ibu meninggi. "Maaf, Bu. Mayang ga bermaksud begitu. Mayang..." " Suruh supir jemput!" "Tapi, Bu. Anu..." "Gading anterin Ibu pulang sekarang!" "Ibu jangan Ibu. Maaf, Mayang gak pergi Bu." "Biar Gading aja mbak yang jemput." "Ya udah, Ding. Makasih ya. Maaf ngerepotin." "Santai mbak." "Yang kamu lupa anak itu anak siapa? Kamu lupa apa yang sudah dilakukan ibunya?" tegur ibu mertua Mayang. "Tapi Anu cuma anak kecil, Bu. Dia gak tahu apa-apa." "Mbak Mayang gak usah sok suci lah. Ibu baru dateng. Mbak Mayang jangan bikin Ibu tambah cape!" ucap Gendis yang bosan dengan topik yang sama. Lagi-lagi terjadi hal seperti ini. Hati Mayang rasanya seperti diiris-iris setiap kali menyaksikan perlakuan keluarga suaminya pada Anu. Bukan hanya suaminya yang tidak menyukai Anu tapi juga ibu mertua dan kedua adiknya. Rasa sayang Mayang pada Anu tidak kalah seperti ibu kandung yang mencintai anaknya. Hatinya akan sakit bila ada yang menyakiti anaknya. Ibu mertua Mayang merasa sesak saat melihat menantunya yang terlihat sedih. Dia lantas mendekat dan menggenggam tangan Mayang. "Nduk … jangan salah paham sama ibu, ya. Ibu melakukan ini karena ibu sayang sama kamu. Toh anak itu juga bukan anak kandung kamu." Ucapan sang ibu mertua tak ubahnya seperti belati yang menikam langsung ke jantung. Anu memang bukan anak kandungnya, dia adalah anak Galang dengan istri sirinya. Mereka semakin membenci Anu setelah mengetahui kalau Anu bukan darah daging Galang. Namun apa harus status Anu menjadikannya anak yang diasingkan oleh keluarganya sendiri? "Ibu benar, Mba May. Dari pada sibuk ngurus bocah itu, lebih baik mbak Mayang pikirkan diri Mbak Mayang sendiri," ucap Gendis. Mayang tersenyum untuk menyenangkan ibu mertua dan adik iparnya. Dia sadar betul kalau apa yang mereka perlu ucapkan semata-mata karena kasih sayang mereka untuknya. "Ibu sama Gendis nggak usah khawatir, aku tetap memperhatikan diriku sendiri meskipun mengurus Anu," ucap Mayang. Sebelum pembicaraan melebar ke mana-mana, Mayang lebih dulu mengajak ibu dan adiknya untuk istirahat. Gendis menarik tangan Mayang pelan kemudian berbisik di telinganya, "Mbak May sebaiknya jangan bahas Anu di depan ibu. Suasana hati ibu belakangan ini kurang baik. Kalau bisa mending Anu jangan muncul di depan ibu sementara ini." "Ndis … apa perlu sejauh ini? Anu masih kecil, Ndis." "Ibu sudah tua, Mbak. Harusnya Mbak Mayang juga tahu seberapa dalam luka yang sudah dibuat oleh anak itu dan ibunya. Jangan lupa, mas Galang enggak bisa jalan karena ibu dari anak itu!" Kepala Mayang terasa berdenyut setiap kali membahas hal ini. Anu hanya anak kecil, bukan kesalahannya Galang mengalami kecelakaan. Apalagi ibu kandung Anu kehilangan nyawa dalam kecelakaan itu. "Mbak kalau aku boleh usul-" "Enggak, Ndis. Apapun usul kamu akan mbak terima selama kamu enggak minta mbak untuk menjauh dari Anu!" Gendis memutar bola matanya bosan. Dia bukan bermaksud kejam pada Anu, hanya saja dia tidak ingin keluarganya berantakan hanya karena seorang anak yang tidak berhubungan darah dengan keluarganya. Sementara itu, Anu sudah sampai di rumah tapi dia tetap berdiri di depan pintu. Kakinya terasa berat untuk masuk ke dalam rumah. Dia ragu-ragu untuk masuk karena tahu ada neneknya di rumah. "Kenapa enggak masuk, Nu?" tanya Gading melihat Anu yang diam di depan pintu. "Masuk saja, nenek pasti sedang istirahat." Anu mengangguk, dia lantas memegang gagang pintu lalu membukanya. Namun siapa sangka, begitu membuka pintu dia mendapati sang nenek berdiri di depannya.Begitu sampai di rumah, Mayang dan Anu segera merebahkan diri mereka di sofa. Hari ini terasa lebih lambat dan lama dari biasanya. Mayang menelpon Galang dan merajuk. Dia terus memohon agar besok dia bisa mendapatkan sepeda motornya lagi. Tanpa malu dia membujuk Galang dengan nada manja.“Mas, please … aku enggak mau naik mobil, aku enggak mau diantar sopir.”[Mayang, kamu hanya perlu duduk dan akan sampai di sekolah Anu.]Mayang berdecak, suaminya pasti tidak tahu kalau sopir yang dia pilih tidak bisa diandalkan. Rasanya ingin mengadu saja tapi mayang takut Galang memecat sopir itu. Meski menyebalkan tapi Mayang tau sopir itu hanya melakukan tugasnya. "Mas ... kamu gak tau repotnya harus bergantung pada orang lain-"[Aku sangat paham, setiap hari aku harus bergantung pada Wardoyo bahkan hanya untuk berpindah dari tempat tidur ke kamar mandi," potong Galang.]Mayang segera menegakkan tubuhnya. Lidahnya tergelincir hingga dia salah bicara. Tapi ini jelas dua hal yang berbeda. Apa yang
Tiga orang beradu mulut tanpa ada yang mau mengalah. Dua orang muda bertubuh besar melawan seorang sopir tua berbadan kecil. Meski begitu sang sopir tidak mau mengalah dalam berdebat. Terlebih karena dia merasa tidak bersalah. Jelas sekali kedua orang ini mencari gara-gara dengannya. Mayang sudah membujuk sopirnya untuk mengalah namun ia bersikeras tetap melawan."Bapak akan kami laporkan ke polisi. Bapak ini sudah tua ngeyelan, ya!" kata salah seorang diantara mereka."Tidak takut, kita lihat saja siapa yang akan membusuk di penjara!" geram pak sopir.Mayang semakin cemas karena sudah hampir dua puluh menit dia terjebak di sini. Dia takut Anu menunggu sendirian. Mulai besok dia akan bersikeras menjemput Anu dengan motornya. Ditambah sopirnya yang diberikan Galang sangat menyebalkan. Bersumbu pendek dan tidak mau mendengarkannya. Masalah sepele yang bisa diselesaikan baik-baik akhirnya menjalar sampai ingin saling lapor ke polisi."Pak sudahlah kita mengalah saja, aku sudah sangat ter
Siang hari di depan gerbang sekolah. Anu menunggu ibunya yang tak kunjung datang. Sang ibu sebelumnya sudah memberinya kabar akan terlambat karena terjebak macet. Mayang tidak lagi bisa menerobos kemacetan seperti saat ia memakai sepeda motor.Anu menunggu tanpa mengeluh pada ibunya, hanya saja hatinya masih menyalahkan Galang yang tidak mengijinkan ibunya membawa motor lagi."I hate that old man," gerutu Anu.Sudah lebih dari sepuluh menit dan ibunya masih belum terlihat. Cuaca panas membuat Anu semakin tidak sabar. Dia lebih memilih dijemput dengan sepeda motor dari pada dengan mobil. Terlalu lama dan merepotkan.Sebuah mobil Mercedes-Benz datang menghampiri tempat Anu berdiri. Sesosok pria tinggi dengan setelan jas hitam keluar mendekati Anu yang cemberut."Anu ...." Anu menengadah menatap pria dewasa yang ada di hadapannya. Suasana hatinya semakin buruk melihat pria ini. Entah kenapa dia tidak menyukai lelaki yang berusaha akrab dengannya ini. Tidak ada alasan khusus, hanya tida
Semalam setelah pulang dari kediaman Galang, Leo dibawa ayah dan kakaknya ke Rumah Utama keluarga Wardhana. Ayah Leo murka dengan kelakuan anaknya yang tidak mencerminkan etika seorang Wardhana. Setelah Elang cucunya, kini Leo anaknya juga tanpa malu ingin mengejar istri orang.Hanya dari tatapan matanya saja Leo sudah menunjukkan bagaimana keinginan yang menggebu-gebu dalam dirinya. Masalahnya adalah, hal tak pantas itu ditujukan pada seorang wanita yang sudah menjadi istri orang lain. Hanya saja Leo tidak sama dengan Elang. Dia lebih matang dan tidak bisa diintimidasi apa lagi diancam oleh kakak dan ayahnya. Leo memiliki kemampuan dan sumber daya untuk bisa menekan balik mereka. "Jangan mengusik Mayang dan Anu, kalau kalian mau menghancurkan Galang aku tidak peduli. Tapi kalau kalian sampai menyentuh seujung rambut saja dari mereka berdua. Aku bisa memastikan kita hancur bersama," ucap Leo."Seperti itu caramu bicara dengan orang tua?""Anu cucumu, dia anak kandungku. Aku juga bel
Suara yang akrab semakin jelas terdengar, dan ketika Leo melihat mereka matanya yang setajam phoenix membelalak kaget."Kak Bisma, Papa ... apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Leo."Loh Leo, kok kamu di sini?" Bisma balik bertanya.Ketiganya saling berpandangan, tidak menyangka akan bertemu di rumah kecil ini. Terutama Bisma, dia tidak tahu Leo kenal dekat dengan Galang. Lagi pula bukan hal biasa Leo berkunjung ke rumah teman."Selamat datang di rumah sederhana kami Tuan Bisma, Tuan Wardhana," sapa Galang.Dari senyum cerah Galang, Leo sadar semua direncanakan oleh Galang. Tapi Bisma dan ayahnya adalah orang sibuk. Untuk apa mereka mau kemari? Leo bertanya-tanya dalam hati. Kalau menurut cerita dari Elang, kakaknya memang sangat mengagumi kerja keras Galang. Tapi dia tidak menyangka akan sampai sejauh ini hingga mereka bersedia makan malam di sini. Perusahaan Galang masih sangat kecil jika dibandingkan dengan perusahaan keluarga Wardhana. Apa yang membuat mereka mau repot-repot da
[Jika bintang-bintang bisa membuatmu tersenyum maka memandang langit sudah cukup membuatku bahagia.] Beberapa pesan masih masuk ke ponsel Mayang. Namun ia belum sempat membaca karena lebih dulu terlelap. Dia tidur di sofa ruang tengah dengan TV yang masih menyala. Hari ini sangat melelahkan bagi Mayang. Bahkan suara keras pintu yang terbuka tidak mampu membangunkannya.Galang melihat istrinya tertidur di sofa. Ponselnya sepertinya jatuh ke lantai dari genggaman tangannya karena ketiduran. Sekali lagi Galang berharap bisa kembali berjalan dan menggendong istrinya ke kamar. Galang tersenyum sinis mencela dirinya sendiri.Sesaat Galang melihat ponsel Mayang terus berkedip. Rasa ingin tahu seketika memenuhi pikiran Galang."Yo, ambilkan ponsel Mayang di lantai! Takutnya kena air nanti," perintah Galang pada Wardoyo."Baik, pak." Segera Wardoyo mengambil ponsel dan menaruhnya di atas meja."Yo, bawa kemari!" Wardoyo menurut pada perintah Galang. Tidak ada alasan baginya untuk membantah.