Lilia melihat pria itu sedikit berbalik untuk menutup pintu sehingga ruangan ini seolah menjebak mereka hanya berdua saja.
Ia merasa tubuhnya nyeri mendengar yang baru saja dikatakan oleh William. ‘Yang dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah’ itu, Lilia tahu betul apa artinya. Hubungan suami istri, seperti yang tadi diminta oleh Ivana, bukan? Lilia ketakutan, pandangan William tajam mengintimidasinya. Sesuatu yang gelap tersembunyi di balik iris dan wajahnya yang rupawan. Dadanya bertalu ribut sehingga Lilia membawa langkahnya mundur untuk menghindarinya. Membawa dirinya sejauh mungkin dari William jika perlu. “Apa sekarang kamu sedang menolakku?” tanya pria itu. Tak mendapati jawaban, William menekan saat mengucap, “Jangan salah, aku datang ke sini karena istriku yang meminta,” katanya. “Bukan karena keinginanku sendiri. Jadi lakukan ini sebagai cara kita memenuhi apa yang diinginkan oleh Ivana.” Kalimatnya telah menegaskan dengan kuat bahwa tak ada wanita lain yang dicintai oleh William selain seorang Ivana Roseanne. “Aku akan melakukannya dengan cepat dan pergi dari sini,” tegas Willam. Lilia menahan jeritan yang tertahan di tenggorokannya saat William tiba di hadapannya. Jemarinya yang besar menyentuh pipi Lilia dengan sedikit kasar, mengusap garis dagunya sehingga Lilia menengadahkan wajah pada pria menjulang yang membuatnya berdiri hanya sebatas dadanya itu. Manik mereka saling bertemu, hening dalam ketegangan saat benak Lilia menolak ini. Ia tidak siap. Lilia memejamkan matanya yang berair kala William menundukkan kepalanya, ia lakukan itu agar tak melihat wajah William sehingga ia tidak semakin terperangkap di dalam ketakutan. Bayangan-bayangan gelap tiba-tiba berlalu-lalang dari masa lalu, menggigilkan dirinya. Saat hangat napas pria itu membelai wajahnya, tangan besar yang semula ada di rahangnya tiba-tiba terlepas. “Aku tidak bisa,” kata William putus asa. Sentakan tangannya yang sedikit keras membuat Lilia sedikit terhuyung ke belakang, menjauhi tinggi gagah tubuhnya. “Aku tidak bisa mengkhianati cinta Ivana dengan tidur bersama wanita lain.” Kalimat itu terucap sebelum William pergi menjauhinya. Pintu berdebum, tertutup dari luar. Dan kepergiannya membuat Lilia merosot jatuh ke lantai. Lilia tergugu dalam tangis, air matanya mengalir mengiringi lepasnya rasa takut yang baru saja mencekiknya. Jika bukan karena ibu angkatnya yang baik yang telah mengadopsinya sejak kecil dari panti asuhan, Lilia pasti sudah lari dari sini. Jika bukan karena Ivana diam-diam menanggung biaya perawatan beliau yang tengah koma asal ia menikah dengan William, ia tak akan bertahan lebih lama. Lilia tak pernah mengharapkan William mencintainya. Ia sadar siapa dirinya. Seorang madu, istri kedua, apalagi hanya seorang babysitter yang tak sepadan dengannya. *** Setelah menghabiskan malam yang membuatnya tak bisa memejamkan mata, pagi hari ini Lilia sedang berada di dalam kamar Keano. Matanya sembab, kepalanya berdenyut nyeri, tapi ia memaksakan diri untuk beraktivitas seperti biasa. Seperti tugas hariannya, ia akan merapikan kamar sebelum mengajak tuan kecilnya itu untuk sarapan. Ia ingin menyelesaikan tugasnya dengan cepat, karena ada hal yang ingin ia lakukan hari ini. ‘Aku mau menjenguk ibu,’ batinnya. ‘Sudah seminggu aku tidak pergi ke rumah sakit.’ Lilia keluar dari kamar, ia ingin menemui Ivana dan meminta izin dari nonanya itu. Satu langkah meninggalkan kamar Keano, ia berpapasan dengan William yang sepertinya baru datang dari ruang gym. “Di mana Keano?” tanya pria itu setelah berdeham dan berhenti di depan Lilia, seakan meredam keadaan yang tiba-tiba menjadi canggung selepas kejadian tadi malam. “Tadi dia bilang mau pergi ke kamar Anda untuk bertemu Nona Ivana, Tuan,” jawabnya. William memalingkan wajahnya, pria itu hampir beranjak, tetapi saat itu Keano datang dan berlari menghampirinya. “Papa!” panggil bocah kecil berusia empat tahun itu. “Kamu baru main sama Mama?” tanya William seraya mengangkat Keano ke gendongannya. “Tidak,” jawabnya. “Mama sedang tidur. Keano tadi memanggil Mama untuk main, tapi Mama tidak mau bangun.” Lilia terkesiap, sama halnya dengan ekspresi wajah William yang berubah. Ia menurunkan anak lelakinya, bahasa tubuhnya seolah mengatakan agar Lilia menjaga Keano sementara dirinya berlari ke dalam kamarnya yang ada di lantai dua. Lilia meraih bahu Keano dan berlutut di hadapannya seraya bertanya, “Apakah sampai Keano keluar Mama masih belum membuka mata?” Keano mengangguk, “Iya, Sus Lili,” jawabnya membenarkan. Ia mendekap Keano saat melihat William dari lantai bawah, sedang berdiri tak jauh pintu kamarnya. Pria itu terlihat frustrasi saat terhubung panggilan dengan seseorang dan mengatakan, “Ivana meninggal.”Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Rasanya ... waktu berjalan dengan sangat cepat. Dihitung oleh Lilia, si kembar akan launching dalam dua Minggu dari hari ini. Ia baru saja pulang yoga dengan diantar oleh Agni dan Ron, kali ini William tidak bisa ikut karena harus menyelesaikan pekerjaan yang berkaitan dengan audit. Keluar dari kamar mandi, tubuhnya terasa sangat segar. Di ruang ganti, ia dikejutkan oleh William yang ternyata sudah pulang. Bukan hanya itu saja, pria itu juga terlihat seperti sudah selesai mandi karena rambut hitam miliknya tampak setengah basah. Kaos berkerah yang dikenakannya pun bukan pakaian yang tadi ia pakai bekerja, jadi bisa disimpulkan prianya itu sudah datang sejak tadi dan mandi di kamar lain. Senyumnya merekah saat ia bangun dan menghampiri Lilia. "Kamu sudah pulang?" tanya Lilia yang disambut anggukan darinya. Pria itu menunduk, memberi kecupan di kening Lilia sebelum mengusap perutnya. "Sudah dari tadi, Sayang," jawabnya. "Wah ... apa aku yang kelamaan berendam? Kamu mandi di tempat
"Aish ... tidak tahu tempat," desis William sembari bersedekap. Karena tidak mungkin bagi mereka untuk tak pura-pura melihat sebab seruan Keano sudah menggema memenuhi setiap sudut parkiran, jadi William memutuskan untuk menghadapinya. Sedang Lilia yang mendengar itu menoleh pada William, dalam hati diam-diam bergumam, 'Kesal karena orang lain tidak tahu tempat padahal sendirinya pun begitu.' William mungkin lebih parah bagi Lilia, di manapun ada kesempatan ia pasti menggoda Lilia. Di ruang makan, di dalam kamar Keano, di ruang baca, di tempat yang sedikit memacu adrenalin—di dalam mobil saat mereka mengantar Keano. Kadang, William meminta Giff yang mengantar Keano masuk setelah parkir, sedangkan mereka berdua akan melakukan sesuatu yang lain di dalam mobil. Dan seperti paham dengan apa yang akan mereka lakukan, maka Giff akan menurut sembari mengancam, 'Awas ya kalau sampai viral ada mobil goyang di parkiran Taman kanak-kanak, aku tidak mau mengatasinya!' Ah ... bahkan mereka me
"Hm ... tidak malam ini juga," balas Lilia singkat yang percayalah itu membuat William dilanda kelegaan yang besar. Bukan karena ia tak suka Lilia meminta sesuatu darinya. Hanya saja ... ia telah dibuat habis akal lebih dulu mendengar permintaannya yang mendadak dan tidak ia antisipasi. Padahal Tuan Alaric, ayah mertuanya itu sudah pernah mengatakan bahwa nanti William harus siaga dengan permintaan dadakan istri yang hamil di tengah malam. Saat itu ia pun bingung dan bertanya kenapa memangnya? Karena saat ia menikah dengan Ivana dulu, tidak ada sesuatu yang mencolok. Tapi sekarang, William sudah mendapatkan jawabannya. Contoh nyatanya ada di depan mata. Ia mendorong napasnya, salah satu lengannya merangkul Lilia seraya mengecup pipinya. "Baiklah ... aku akan carikan restoran yang menyediakan menu itu nanti, tapi sekarang kamu tidur lagi, bagaimana?" Lilia mengangguk memberi persetujuan. "Iya." "Selain makan itu, sekarang kamu mau makan apa?" "Hanya itu saja yang aku pikirkan