Sebagai seorang istri kedua yang dinikahi secara diam-diam, apalagi dirinya hanyalah seorang babysitter, Lilia Zamora sadar ia tak berhak meminta William Quist untuk mencintainya. Pernikahan itu dilakukan William untuk memenuhi keinginan terakhir sang istri, sekaligus cara agar Lilia mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya yang sedang sakit. Suatu hari saat istri pertama William meninggal, Lilia tak menyangka hal itu akan menjadi awal dari hubungan rumit antara mereka. Keluarga besar William menuduhnya mencuci otak Keano—anak lelaki pria itu—hanya karena ia dipanggil sebagai 'Mama'. Kala Lilia memutuskan menjauh dari kehidupan William, sebuah peristiwa nahas membuat mereka kembali bersua. “Akan aku bawa kau pergi dari tempat terkutuk ini, Lilia. Tapi dengan syarat, kembalilah padaku!” IG @almiftiafay
Lihat lebih banyak“Tidurlah di kamar Lilia nanti malam, biar bagaimanapun dia adalah istrimu juga. Sama sepertiku, dia juga berhak mendapatkan nafkah batin darimu, William.”
Suara manis yang terdengar menembus pintu kamar membuat Lilia menghentikan langkahnya. Ia berdiri di luar dengan kedua tangan yang mencengkeram erat keranjang berisi pakaian yang harusnya ia bawa masuk, sebelum ia menyadari bahwa tuan dan nonanya tengah berada di dalam sana. “Tidak mau, Sayang,” jawab suara bariton seorang pria menyambut permintaan itu. “Aku tidak bisa melakukan itu dengan wanita lain selain kamu.” “Kamu tidak boleh begitu, William. Karena nanti setelah aku mati, kamu akan hidup dengan Lilia.” “Tapi kamu tidak akan meninggalkan aku secepat itu, Ivana.” Lilia termangu dengan tubuh yang terasa kebas. Tuan dan nonanya itu sedang membicarakan dirinya, babysitter anak mereka, yang sekaligus telah menjadi istri kedua William. Hal itu mereka lakukan untuk memenuhi permintaan Ivana yang kondisinya memburuk akibat leukimia. Demi memastikan bahwa anak lelakinya dirawat oleh orang yang tepat, Ivana memilih madu dan istri untuk suaminya sendiri, dirinya, Lilia Zamora—babysitter yang telah merawat anak mereka sejak lahir. Kini, pernikahan itu sudah berjalan selama dua bulan. Lilia sebenarnya juga tak ingin melakukan itu. Tapi mempertimbangkan Ivana akan memberinya bantuan untuk pengobatan ibunya yang tengah sakit, akhirnya ia terpaksa menerima. Meski Ivana tidak keberatan seandainya hubungan mereka diketahui oleh keluarga, tapi William tak bersedia. Pria itu memilih untuk merahasiakannya. Sebagai suami—yang di mata Lilia—sangat mencintai istrinya, Lilia tahu pria itu merasa bertanggung jawab agar keluarganya tidak akan memandang rendah Ivana. William juga tidak ingin memperumit keadaan apalagi jika sampai hal ini terendus pihak luar. Sehingga hanya mereka bertiga saja yang tahu tentang pernikahan itu. “Ahh—” Suara lenguhan Ivana membuat Lilia terjaga dari lamunannya. “Ahh ... jangan menggodaku di sini, Liam. Kita masih di kamar Keano.” “Sebentar saja, Ivana.” Tak ingin mendengar lebih jauh akan sesuatu yang mungkin berlanjut di balik pintu kamar itu, Lilia memutuskan untuk pergi dari sana. Urung membawa pakaian Keano—anak lelaki William dan Ivana—ke dalam kamar. Baru saja berbalik, ia dibuat terkejut saat melihat kemunculan Keano yang tiba-tiba dan berlari menghampirinya. “Sus Lili, Keano sudah selesai main legonya,” ucapnya. “Sekarang mau masuk.” Jari telunjuknya mengarah pada pintu kamarnya yang tertutup. “Jangan!” cegah Lilia dengan cepat, mengantisipasi agar Keano tidak masuk dan melihat apa yang ayah dan ibunya lakukan di dalam sana. Tapi karena melakukan hal itu, tak sengaja keranjang pakaian yang dibawanya jatuh sewaktu ia berlutut dan meraih kedua bahu kecil Keano. “Kenapa tidak boleh?” tanya Keano, kedua pipinya menggembung kesal. “Nanti saja masuknya. Bagaimana kalau kita main dulu di luar?” ajaknya. “Mungkin … main tangkap bola?” “Hm … padahal mau tidur di dalam dan dengar Sus Lili nyanyi untuk Keano.” Sebelum sempat Lilia berhasil membujuknya, pintu kamar mendadak terbuka. Lilia menoleh, menjumpai William berdiri di ambang pintu dengan beberapa kancing kemeja teratas yang terbuka sehingga dada bidangnya tampak. Menyadari alis berkerut William yang tak suka saat keluar dari kamar membuat Lilia dengan cepat menunduk. Menghindari tajam iris kelam pria itu yang melihat kekacauan di lantai. “Masuk sini, Keano!” ucap pria itu pada anak lelakinya. “Mama ada di dalam.” “Okay, Papa.” Setelah Keano menghilang di balik pintu kamar, William menghampiri Lilia yang memilih untuk memasukkan kembali pakaian itu ke dalam keranjang. “Kenapa pakaian bersih itu bisa berantakan?” tanyanya dingin. “M-maaf, Tuan,” jawab Lilia tak berani mengangkat wajahnya. “S-saya tidak sengaja menjatuhkannya.” “Kamu menguping apa yang aku dan Ivana lakukan?” “Ti-tidak,” tepis Lilia, memilih berbohong untuk melindungi diri. William terdengar mendengus, Lilia sempat mencuri pandang padanya yang membuang wajah sebelum pergi dari hadapannya yang masih berlutut di lantai. Lilia tak ingin ambil pusing dan memilih untuk merapikan semua pakaian yang berantakan itu, terpaksa harus mencucinya sekali lagi. Sembari menunggu laundry selesai, ia menyempatkan diri menyiapkan bahan makanan untuk tuan kecilnya besok. Sudah cukup larut saat akhirnya Lilia mengeluarkan pakaian-pakaian milik Keano dari mesin pengering dan menempatkannya ke dalam keranjang lain. ‘Akan aku lanjutkan besok lagi,’ putusnya. Lilia masuk ke dalam kamarnya yang ada di sisi belakang rumah itu. Merebahkan dirinya ke atas tempat tidur yang ukurannya tak begitu besar, angannya seakan tak bisa diam. Terombang-ambing ke sana ke mari memikirkan keadaan ibunya yang koma di atas ranjang pesakitan, atau sekilas terisi wajah benci William yang belum lama ini ia lihat. Semua itu seperti sedang menyiksa benaknya hingga lelah dan tanpa sadar ia jatuh dalam lelap. Saat nihil suara harusnya mengisi tidurnya, ia dibuat terjaga sewaktu mendengar suara pintu yang diketuk. Lilia duduk menegakkan punggungnya. Napasnya terengah saat melihat pintu kamarnya terbuka dari luar. ‘William?!’ batin Lilia terkejut. Pria yang berdiri di ambang pintu itu adalah William Quist. Ia bergegas bangun dan menundukkan kepalanya pada William, “Maaf, saya ketiduran,” katanya. “Saya akan melihat keadaan Keano, Tuan.” “Aku datang ke sini bukan untuk memintamu melihat Keano,” jawab pria itu. “M-maksud Anda?” tanya Lilia gugup. Tubuhnya gemetar di bawah tatapan tajam William. “Bukankah kamu tahu apa yang harusnya dilakukan oleh dua orang yang sudah menikah?”Pagi saat Lilia membuka mata pada hari berikutnya, mendung abu-abu bergantung. Ia keluar dari kamar dan mendengar gelak tawa Keano serta William serta samar celotehan hangat Karlee dan Kathleena dari luar. Entah apa yang dilakukan oleh ayah dan tiga orang anak itu. Tapi sepertinya itu adalah sesuatu yang seru. Lilia tadinya ingin menyusul mereka. Tapi ada sesuatu yang menyita perhatiannya saat ia lebih dulu berjalan menuju ke dapur. Ada sebuah buket bunga dalam vas, sebuah tas kecil dalam paper bag, serta kue berukuran kecil yang ada di atasnya. Semuanya bertuliskan, 'Selamat hari Ibu'. Paper bag berisi tas itu dari William, kue itu dari Keano, dan buket bunga itu dari si kembar Karlee dan Kathleena. Ada dua kartu ucapan yang ada di buket bunga itu dengan tulisan, [Karlee sayang Mommy.] [Mama cantik kesayangan Kathleena.] Entah siapa yang menuliskannya, tapi Lilia sangat suka dengan semua ini. "Manisnya ...." Ia menoleh pada Agni yang berjalan meninggalkan dapur sembari mem
Berjalan memasuki rumah, sepertinya ini sudah terlalu malam. Pesta anniversary Nicholas dan Selina berjalan dengan baik meski Lilia harus mengenakan gaun yang lain, bukan yang ia rencanakan untuk dipakai sebelumnya yang warnanya serasi dengan William dan anak-anaknya. "Selamat malam, Mama." Keano yang tadi berjalan di depan Lilia berhenti dan menoleh padanya saat tiba di depan pintu kamar. Lilia mengangguk, membalas senyum anak lelakinya yang baru saja melepas jas yang ia kenakan. "Selamat malam, Sayang." Lilia mendekat, mengusap puncak kepala Keano. Kini ia tak perlu lagi berlutut untuk membuat tubuh mereka sama tingginya karena Keano sudah tumbuh besar. "Tidurlah, walaupun besok masih libur, Keano harus tetap istirahat tepat waktu." Keano mengangguk sekali lagi. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya, tapi apa yang ia lakukan membuat Lilia terenyuh. Kedua tangannya memeluk Lilia dengan erat, maniknya yang berbinar menatap Lilia cukup lama sebelum akhirnya ia bersuara. "Teri
.... Langit di pagi itu tampak lebih biru ketimbang langit yang pernah dilihat oleh William sebelumnya. Matanya menatap hamparan warna lautan itu terbentang dari ujung timur hingga ke sudut barat. Cantik sekali .... Sesaat langkahnya terhenti di atas setapak yang ada di antara rerumputan hijau yang terlihat seperti permadani. Tidak banyak orang di tempat ini. Sepertinya hanya ada dirinya, serta beberapa orang di kejauhan yang membawa buket bunga. William kembali melanjutkan langkahnya. Terus berlalu, menjauh dari gerbang tinggi di belakangnya, lalu berhenti di depan nisan yang rasanya sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Madeline Quist. Itu adalah makam adik perempuannya. Seorang gadis yang pernah ia besarkan sebelum pergi untuk selama-lamanya. Permadani hijau yang dilihatnya itu adalah rumput yang ada di pemakaman tempat di mana pusara Madeline berada. Bukan hanya Madeline saja sebenarnya, tapi juga Ivana. William menunduk, meletakkan salah satu buket yang ada di tangannya a
Rasanya seperti baru kemarin Lilia dan William mengantar Keano masuk ke Taman kanak-kanak. Rasanya juga baru kemarin si kembar Karlee dan Kathleena itu lahir. Tapi waktu terasa sangat cepat saat seseorang dirundung oleh bahagia yang tak bertepi. Nathaniel Keano Quist, bocah kecil nan jenius itu sudah masuk ke sekolah dasar. Ia masih meminta bersama dengan teman kembarnya sedari playgroup—Jayce dan Jasenna—di sekolah dasar yang sama. Ia tumbuh terlalu tampan, dan itu mengkhawatirkan bagi Lilia karena beberapa wali murid mulai menggoda agar sebaiknya Keano dijodohkan dengan anak-anak mereka sedari kecil. Tidak ... ia tidak siap! Meski dulu pernah menggoda William dengan mengatakan bahwa ia bisa berbesan dengan keluarga Heizt dalam pernikahan muda, tapi ia tak siap! Pagi ini, Lilia baru saja keluar dari kamar setelah selesai memandikan Karlee. Ia hendak menyusul Kathleena yang sudah lebih dulu mandi dan sekarang ada di ruang makan, bersiap menyantap sarapan pagi mereka sebelum Willi
Lilia tidak bisa mengatakan betapa bahagia ia saat melihat keluarganya disempurnakan oleh lahirnya Karlee dan Kathleena. Dua bayi mungil itu tengah tidur di dalam box bayi yang dilengkapi oleh kelambu. Mengantisipasi seandainya ada nyamuk yang lolos masuk ke dalam kamar dan menggigit mereka. Sudah beberapa hari yang lalu Lilia meninggalkan rumah sakit. Tak ada yang berubah dengan kehidupannya selain ia yang harus sering bangun malam untuk menyusui anak-anaknya. Itu saja ... selebihnya tidak ada yang berubah. William mengatakan ia bisa memakai baby sitter jika kewalahan. Tapi Lilia menolak, 'Bagaimana kalau nanti kamu menikahi baby sitternya Karlee dan Kathleena dan punya istri ke dua lagi? Aku tidak mau.' Sebenarnya itu adalah sindiran. Lilia mengatakan hal itu karena dulu dirinya juga baby sitter sebelum menjadi istri kedua William. 'Sayang ... pikiran macam apa itu?' balas William yang kala itu bisa dijumpai keputusasaan yang besar dari caranya bertanya. Matanya terpejam, jem
Saat tiba di Instalasi Gawat Darurat, Lilia berjalan dengan tenang di samping William. Tidak ada kepanikan yang terjadi di sana. Mereka tahu bayinya akan lahir, anak yang mereka tunggu-tunggu, si kembar sepasang nan menggemaskan adiknya Keano. Tadinya memang ada sedikit kepanikan saat William masuk sembari menggendong Keano ke dalam mobil. Tapi Lilia menenangkannya dengan mengatakan, 'Kalau kamu panik, kita semua akan panik, William. Tenanglah ... tidak akan terjadi sesuatu yang buruk. Hubungi saja Papa dan katakan untuk menemani Keano nanti.' Setelah itu William menarik napasnya. Di pangkuannya, Keano duduk diam, menatap Lilia dan tersenyum seolah agar ia tak merasakan sakit itu sendirian. 'Mama, ayo semangat ... kita akan bertemu dengan adik sebentar lagi.' 'Iya, Sayangku. Terima kasih.' Lihat ... saat tenang, semua akan terkendali. Lilia bersiap di dalam kamar rawatnya. Dokter Sarah mengatakan bahwa ia telah mengalami pembukaan yang ke lima, cukup cepat sejak pecah air ketuba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen