Harto menutup kedua telinganya. Bisikan aneh yang membuatnya merasa takut sendiri.
"Jangan didengar bisikan itu! Itu bisikan setan yang tidak ingin kamu dirukiyah," ucap busu Anwar memperingatkan. Dengan memantapkan hatinya, Harto memohon ampun pada enam saudaranya, begitu pun dengan Agung dan juga Nana. "Silahkan bersuci dulu!" titah busu Anwar. Harto beranjak dari duduknya. Ia mengikuti salah satu santri yang tadi mengantar Ahmad ke belakang. Walaupun tertatih-tatih, Harto tetap membulatkan tekadnya untuk bisa terlepas dari belenggu ilmu sesat sang ibu. Begitu selesai bersuci, tak jauh berbeda dengan Ahmad sebelumnya, wajah Harto terlihat lebih segar dan hatinya terasa tenang. Ia berjalan mantap menghampiri busu Anwar. Terlihat Ahmad juga sudah ikut berkumpul, walau hanya berbaring di samping Agung. "Sudah siap?" tanya busu Anwar, tersenyum hangat. "Insyaallah siap, Busu,""Aduh, rasanya semakin sakit," rintih Nana, wajahnya terlihat semakin pucat. Tak mau terjadi apa-apa dengan Nana. Harto gegas menggendongnya, tanpa menanyakan lagi maksud perkataan Agung yang terkesan ambigu. Langkah kaki Harto terayun cepat, diikuti Ayu dan Agung di belakangnya. Namun, baru saja mereka berniat keluar dari rumah. Langkah mereka terhenti kala mendengar suara kepakan seperti sayap terdengar jelas dari arah belakang. Agung yang berada paling belakang, spontan berbalik. Matanya terbelalak menyaksikan sesuatu mengerikan di depannya. "Re-Reina?" ucap Agung terbata-bata, melihat sosok Reina yang sudah berubah menjadi sosok kuyang. "Kenapa dengan Reina Kak?" tanya Harto, ikut berbalik. Melihat sang anak berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Membuat Harto dan Nana hampir saja mengalami serangan jantung. Organ-organ dalam yang menjuntai disertai tetesan da
Malam ini entah kenapa, rasanya sangat mencekam dari biasanya. Tidak hanya dikediaman Nana, di tempat tinggal Ahmad yang berbeda kota juga sama. Beberapa kali Ahmad dan Wati mencoba menghubungi Nana dan yang lainnya. Namun, tak ada satupun yang menjawab panggilan Ahmad dan Wati. "Bagaimana ini Yank? Mas Harto, kak Nana, kak Ayu, tidak ada yang menjawab telepon kita," keluh Ahmad, ekspresi wajahnya mulai terlihat gusar. "Sabar! Kita pikirkan lagi, bagaimana caranya menghubungi orang rumah?" sahut Wati, berpikir keras. "Kalau sampai Reina benar-benar mengambil botol kuyang itu, itu artinya mbak Nana dalam bahaya. Aroma dari wanita hamil begitu menggoda para kuyang. Dari jarak jauh saja mereka bisa menciumnya, apalagi yang satu rumah," Sambung Wati. "Ya Allah, kenapa bisa begini? Tapi, kak Nana itu ibu Reina sendiri. Apa iya Reina tega melakukan itu pada kak Nana?" tanya Ahmad, meragukan kata-kata Wati. "Yank,
Delapan bulan sudah berlalu, sikap putri kecil Nana dan Harto semakin hari terlihat semakin aneh. Seperti malam ini. Reina beberapa kali mondar mandir di depan kamar ibunya. Entah apa yang gadis kecil itu lakukan. "Sedang apa Nak?" tanya Harto, yang baru saja keluar dari kamar. Reina diam saja. Ia hanya menatap Harto dengan tatapan aneh. Sambil sesekali menengok ke dalam kamar, mencuri pandang. Setelah kejadian malam Harto melihat cahaya melesat di depan jendela kamar dan malam penyatuannya dengan Nana. Tak lama setelah itu Nana dinyatakan hamil, dan sekarang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke sembilan. "Reina, kok diam? Kenapa?" tanya Harto lagi, membelai lembut rambut panjang putrinya. "Tidak ada apa-apa Yah. Cuma mau lihat bunda sama dedek bayi," jawab Reina, membuat kening Harto mengerut. "Dedek bayi, apa Nak? Bunda kami lagi baring, belum melahirkan juga. Kamu sudah tidak sabar mel
"Na, temani aku ke kamar kecil yuk!" bisik Ayu. Kening Nana mengerut. "Ngapain Kak? Kebelet?" "Tidak. Kan kamu pernah cerita waktu itu. Kalau orang yang menganut ilmu kuyang, kamar kecilnya selalu kotor dan bau tidak sedap. Aku cuma mau membuktikannya saja. Apa si Wati ini masih menganut ilmu warisan itu?"Mengetahui niatan Ayu. Nana jadi teringat akan dirinya tujuh tahun yang lalu. Rasa penasarannya yang begitu tinggi, yang pada akhirnya membuat ia dan yang lain terjebak dalam situasi mengerikan. "Jangan ah Kak! Kapok aku seperti itu!" tolak Nana cepat, ia tidak mau mengulanginya lagi. "Sebentar aja Na! kapok apa sih? Kita kan tidak melakukan apa-apa. Cuma mau memastikan aja," ujar Ayu, sedikit mendesak Nana. Wati yang baru saja kembali setelah menyiapkan air minum untuk tamunya, sedikit menatap tajam Ayu dan Nana. "Kenapa bisik-bisik Kak?" tanya Wati pelan saat menyodorkan a
Harto terkejut bukan main, kala dirinya mengetahui, jika adik sepupu yang selama ini ia cari sudah ditemukan. Ada sedikit rasa sesal dalam hati, saat yang menemukan pertama kali adalah Ahmad. Ia berharap yang menemukan itu dirinya. Berkat Wati, kini kehidupannya berjalan normal, begitu juga keluarga kecilnya. "Mas, kenapa diam? Bagaimana pendapat kamu?" tanya Nana, berharap Harto bisa memberinya jalan keluar untuk permasalahan Ahmad. Bukannya menjawab pertanyaan Nana. Harto hanya menggelengkan kepalanya pelan. Ia mendongak, menatap wajah istrinya yang sedari tadi diliputi rasa gelisah. "Apa yang bisa aku katakan, kalau itu masalah hati seseorang yang sedang jatuh cinta, Yank? Terlebih penantian Ahmad begitu panjang, dan merubah dirinya seperti sekarang. Aku hanya kakak ipar, dan aku rasa tidak punya wewenang yang lebih jauh lagi untuk menentukan nasib cinta Ahmad," sahut Harto pada akhirnya. Desahan nafas Nana terdengar b
Tujuh tahun lamanya, Ahmad akhirnya bertemu lagi dengan sosok Wati-- gadis yang sejak lama mengisi hatinya. Walau sudah lama tak bertemu, perasaan Ahmad masih sama seperti dulu. "Wa-Wati?" Langkah Ahmad terhenti, kala ia bertemu dengan Wati di sebuah toserba. Kening Wati mengernyit. "Siapa, ya?" tanya Wati, ia tidak mengenali Ahmad karena penampilan Ahmad yang sekarang sudah jauh berbeda dari dulu. Raut wajah Ahmad berubah masam. Ia kira Wati masih mengingatnya. Namun, ternyata tidak. Tapi sebisa mungkin Ahmad menetralkan kembali ekspresinya di depan Wati. "Aku Ahmad, adik ipar mas Harto. Masih ingat?" tanya Ahmad, mengulurkan tangannya. Tangan Wati yang awalnya terulur, kini terlihat gemetar saat mendengar nama Harto. Ia tidak menyangka, setelah sekian tahun lamanya, ia kembali berhubungan dengan keluarga yang selama ini ia hindari. Melihat Wati yang merasa ragu membalas jabatan tangannya