Share

Keputusan

Selesai makan, Aku dan Amar memutuskan jalan-jalan di tepi pantai menikmati semilir angin dengan deru ombak dan bintang yang berkelap-kelip di langit yang gelap.

Aku duduk di hamparan pasir di ikuti Amar yang duduk di sebelahku.

Angin pantai malam yang dingin membuatku merapatkan jaketku.

Amar merangkulku dengan erat seolah tau kalau aku sedang kedinginan, dia menarik tanganku dan menyatukan tangan kami berdua, aku menyenderkan kepalaku di atas dadanya yang bidang.

Malam ini sungguh mendukung, suasananya yang sangat sunyi hanya suara ombak saja yang terdengar, membuatku larut dalam dekapnya.

mungkin kalau semua orang tau aku sudah bersuami mereka kira aku sedang berselingkuh sekarang, meskipun kenyataannya itu bener! aku dekat dengan Amar sementara statusku masih jadi istri orang.

Biarlah anggap saja ini balas dendam ku pada Adrian yang sudah berani menghianatiku bahkan sampai mempunyai anak.

Aku memang dekat dengan Amar, bahkan dia sering menginap di kontrakanku, tapi untuk melakukan hal yang lebih dari sekedar ciuman aku belum pernah.

Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat Amar, tapi ternyata dia sedang menatapku lekat.

Keningku berkerut, "Kenapa?" tanyaku bingung.

"Gak," jawabnya tapi masih saja menatapku.

"Kenapa liatin aku? di depan sana pemandangannya indah tau, apalagi bintangnya terang,"

"Aku lebih suka liat kamu, lebih indah kamu dan lebih terang kamu dari mereka semua," ucapnya lembut.

Pipiku mememanas mendengar ucapannya, pasti sekarang ini pipiku sudah memerah.

Amar terkekeh melihat aku salah tingkah, paling bisa memang ngebaperin anak orang.

"Apaan sih," ucapku sewot.

"Kamu cantik kalau lagi busling," ejek Amar lalu tertawa sambil melihatku

"Udah ah," ucapku cemberut, mendelik ke arahnya yang masih saja tertawa.

"Udah mutusin belum?" tanya Amar.

"Mutusin buat apa?" bingungku.

"Kita,"

"Maksudnya?" ucapku yang belum mengerti ucapannya.

"Kamu pilih aku apa suami kamu? seminggu aku gak ada apa kamu gak berpikir ke situ, kita gak bisa gini terus, aku juga butuh kepastian Run," ucapnya tenang tapi menusuk.

"Kasih aku waktu," ucapku pelan.

"Aku udah kasih waktu kamu selama seminggu ini,"

"Tapi itu belum cukup," ucapku.

"Apa kamu masih sayang sama dia?" tanyanya kembali sambil menatap ku serius.

Nafas ku tercekat karena pertanyaannya, aku juga bingung dengan perasaanku.

Aku memang sudah berpisah dengan Adrian selama setahun ini bahkan menanyakan kabarpun tidak pernah tapi untuk melepaskan Adrian dan memutuskan bercerai dengannya itu masih terasa berat bagiku.

Jujur aku masih mengharapkan Adrian tapi mengingat penghianatan dia padaku membuatku ragu.

Tapi aku juga tak mau kehilangan Amar, seminggu tak bertemu denganya membuatku sadar aku telah menaruh hati pada Amar, egois memang aku mau mereka berdua.

Mau tak mau cepat atau lambat aku harus membuat keputusan.

Aku melepaskan rangkulan Amar dan berdiri, aku mengulurkan tanganku pada Amar yang di balas raut bingung olehnya.

"Pulang yuk," ajak ku pada Amar.

"Kamu belum jawab pertanyaan ku,"

"Besok di toko aku jawab," putusku.

Amar menerima uluran tanganku dan kita pergi melangkah menuju Kontrakan

Malam ini Amar akan menginap di kontrakan ku, katanya takut aku akan melukai diri aku sendiri atau sekedar menemaniku bergadang karena aku sering terbangun karena mimpi buruk dan tak bisa tidur kembali.

...

Pagi telah tiba, aku bangun lebih awal ku lihat Amar yang tidur di sampingku, yah aku dan Amar memang tidur bersama tapi kami tak melakukan apapun selain tidur.

Aku bangun perlahan mencoba tak membangunkan Amar yang masih terlelap, memutuskan mandi selesai mandi aku membuat sarapan untuk ku dan Amar.

Tak banyak yang bisa aku masak, hanya nasi goreng telor ceplok andalanku dan untung saja Amar memang sangat menyukai nasi goreng buatan ku.

Aku membawa nasi goreng yang sudah jadi dengan segelas teh hangat ke ruang tamu, ku simpan di atas tikar karena tak ada meja atau kursi.

Aku masuk ke kamar berniat membangunkan Amar, tapi ketika aku masuk, Amar sudah bangun.

Aku menyuruhnya segera mandi, memberikan baju dan handuk milik Amar yang sudah ada di kontrakan ku karena seringnya dia menginap di sini.

Selesai Amar mandi kita sarapan bersama dan langsung pergi ke toko.

Sesampainya di toko aku terkejut dengan apa yang aku lihat sekarang.

Keadaan toko sangat kacau, banyak kata-kata makian di tunjukkan untukku yang ditulis di roling door dan tembok,serta tanaman yang aku tanam sendiri juga ikut di ruksak bahkan meja dan kursi yang aku sediakan untuk pengunjung pun sudah hancur.

Ku lihat Amar ekpresinya mengeras melihat semua ini, aku mengusap lembut tangannya mencoba menengkan Amar.

Bila tidak dia pasti akan mengamuk apalagi ini menyangkut tentang aku.

"Siapa yang ngelakuin ini Run?" tanya Amar.

"Aku gak tau A,"

"Berani-beraninya dia berbuat hal menjijikan seperti ini, dasar pengecut," marah Amar.

"Udahlah A, Percuma, kita marah-marah orang yang ngelakuin ini juga gak bisa dengerkan,"

"Kita beresin aja, kita cat ulang, biar tulisanya hilang," usulku.

"Yaudah aku beli cat dulu, kamu tunggu di sini kalau ada apa-apa langsung telepon, nomor aku yang baru udah di savekan?"

Aku menganggukan kepalaku, Amar pergi membeli cat dan peralatan lainnya.

Aku membuka toko untuk duduk di dalam sambil menunggu Amar, mungkin hari ini toko tak usah buka, tak mungkin toko buka sementara keadaan toko sangat berantakan seperti ini.

Sebenarnya siapa yang ngelakuin hal ini?

Berani memaki-maki aku, sebelumnya belum pernah ada kejadian seperti ini, apa Zia? hanya dia yang berani berkata seperti itu padaku.

....

Melelahkan sekali pinggangku terasa remuk, apalagi siang ini matahari sangat terik membuat tubuh ku basah oleh keringat, untung saja semuanya telah selesai.

Aku duduk dilantai meluruskan kakiku yang terasa sakit karena lama berdiri ketika mengecat.

Amar menghampiriku sambil membawa dua buah kelapa, yang membuatku menelan ludah.

Dia memberikan satu buah kelapa yang langsung aku tenggak hingga habis, segar sekali.

"Makasih," ucapku pada Amar.

"Untuk,"

"Bantu aku beresian semuanya,"

"Gak usah terima kasih, aku gak suka," ketus Amar.

Aku menatap Amar yang terlihat semakin tampan apalagi dengan wajah yang di penuhi keringat di dukung oleh kaos putihnya yang terlihat semakin mengagumkan.

Aku menghirup udara dalam-dalam, hari ini aku harus memberikan jawaban ku atas pertanyaan Amar semalam.

"A Amar," panggilku.

Amar yang sedang fokus meminum kelapa langsung mengalihkan tatapanya ke arah ku.

"Aku milih kamu dan bantu aku buat cerai dari Adrian," ucapku

Amar menatapku tanpa berkedip, dia hanya diam tanpa mengatakan apapun.

Membuatku bingung atau aku salah bicara.

"A," panggiku.

"Eh iya kenapa," tanya Amar gelagapan.

Aku menautkan alis, apa Amar tak suka dengan jawaban yang aku berikan tadi.

"Beneran itu jawaban kamu,"

"Iya," ucapku pelan.

"Beneran," teriak Amar yang membuatku kaget, refleks dia memeluk dan menghujami aku dengan ciuman.

Wajahnya terlihat berseri-seri, aku pikir dia tak suka dengan jawabanku? ternyata aku salah.

Aku senang melihat responnya semoga saja keputusan ku ini benar.

"Jadi kapan kamu mau bercerai dengan adrian?" ucapnya sambil terus tersenyum.

"Secepatnya," jawabku.

"Gimana kalau besok," usul Amar antusias.

"Besok," ucapku.

"Iya besok, kita ke Surabaya besok," ucapnya.

"Oke," putusku.

"Yaudah sekarang kita pulang buat pacing untuk besok, mungkin bakal lama nanti di Surabaya,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status