Share

Amar Kembali

Ini sudah seminggu sejak Amar menghilang tanpa kabar, nomornya sampai sekarang masih tak bisa di hubungi.

Aku datang ke rumahnya kembali, sepi tak ada siapapun di sana bahkan jonipun tak ada, entah kemana manusia biadab satu itu.

Padahal aku ingin sekali meminta bantuan dia untuk mencari Amar, pegawai Amar di rumah makan pun tak tau kemana bos mereka pergi.

Aku menatap langit sore yang sangat indah sambil duduk di bawah pohon yang selalu Amar tempati, aku menahan air mata yang siap keluar kapan saja, entahlah akhir-akhir ini aku begitu cengeng.

Bahkan luka goresan ditangan, perut dan kakiku semakin banyak dan terasa menyakitkan, biasanya Amar yang selalu mencegah ku untuk melakukannya atau dia yang selalu mengobati setiap lukaku.

Rindu? Seminggu Amar menghilang aku sadar bahwa aku memang merindukanya, bahkan aku membutuhkan dia di hidupku.

Apa kesalahan ku kemarin tak jujur padanya membuatku harus kehilangkan Amar untuk selamanya, aku tak sanggup bila bukan Amar yang selalu ada buatku lalu siapa lagi aku tak punya siapa-siapa selain Amar.

"Aku mohon kembali," pintaku penuh harap.

Hidupku terasa hampa tanpanya, tak ada semangat untuk melakukan apapun.

Aku rindu semuanya tentang Amar bahkan omelan dia yang selalu memarahiku karana telat makanpun aku merindukannya.

"Aruna," panggil seseorang di belakangku.

Aku membalikan tubuhku, mataku melebar aku benar terkejut dengan kehadirannya, apalagi sekarang dia membawa bayi di gendongan baby sister yang memakai baju serba putih.

Pikiran buruk mulai datang, apa mungkin bayi itu hasil perselingkuhan mereka berdua?

Dengan langkah tegar aku melangkah mendekati mereka, pandangaku masih sama tertuju pada bayi mungil itu.

"Kenapa? kanget," tanyanya sinis.

Aku melirik wanita itu sekilas lalu melihat kembali bayi itu.

"Dia anak gue sama suami gue, Adrian," ucap Zia kembali.

Aku tak terkejut dengan pengakuannya, dulu aku sudah bisa menebak dan ternyata sekarang bener.

Ucap Adrian yang sudah meninggalkan Zia kemarin ternyata semua bohong bahkan mereka sudah punya bayi yang mungkin baru beberapa bulan

Aku mengamati Zia, sahabatku tapi itu dulu, kini dia terlihat terawat dengan pakainnya yang serba mewah dan branded mungkin karna dia sudah menikah dengan Adrian pengusaha kaya raya.

Aku memutar kedua mataku malas meladeni dia, sikap, cara bicaranya bener-benar berbeda, dia bukan Zia yang aku kenal selama ini.

"Dimana Adrian?" tanya Zia

"Aku gak tau," ucapku datar.

"Lo gak usah bohong, gue tau dia kesini buat nemuin lo," Teriaknya sambil menunjuk ku, matanya berkilat menahan marah.

"Kemarin dia memang ke sini, tapi sekarang aku gak tau," jelas ku padanya.

Dia tersenyum miring, mencengkram dagu ku dengan sangat kuat, kukunya yang panjang melukai pipiku hingga darah mengalir karna ulahnya.

Sudah ku bilang dia bukan Zia yang aku kenal, sikapnya kini yang bar-bar dan tanpa ragu melukai seseorang, dulu dia sangat lemah lembut dan penyayang bahkan ke binatang sekalipun dia tak berani melukai.

"Dimana Adrian?" ucapnya kembali sambil menguatkan cengkramanya di dagu ku.

Aku meringis pelan, tapi tak berniat melawan sedikit pun.

"Aku gak tau," jawabku.

"Sialan," Zia mendorongku hingga jatuh ke pasir, dia menatapku marah seolah-olah ingin membunuhku detik ini juga.

Aku terkekeh pelan," Zia yang dulu lembut bisa kasar juga," aku berdiri lalu menatapnya kembali.

"Dia suami kamu, kenapa nanya sama aku, seharusnya istrinya yang lebih tau," sindirku

"Dasar pelacur," maki dia.

Aku tersingsung dengan ucapanya, apa tadi dia bilang aku pelacur! Lantas dia apa? yang berani tidur dengan suami sahabatnya sendiri.

Wajah ku mengeras aku tak terima dengan ucapnya.

"Pelacur, kalau aku pelacur lantas kamu apa Zia, bahkan kamu lebih dari seorang pelacur, di bandingin dengan kotoran masih lebih mulia kotoran dari pada kamu," teriakku marah.

Dia mendekat ke arah ku dengan matanya yang terlihat semakin emosi, tanganya melayang ke arahku bersiap menamparku saat ini juga, refleks aku memejamkan mataku, tapi aku tak merasakan apapun.

Aku membuka mata, ku lihat Zia yang tangannya di pegang oleh seseorang di sampingku, aku menoleh ternyata Amar dengan wajah marahnya.

Amar mengehempaskan tangan Zia kasar.

"Aww," ringis Zia.

Zia menatap Amar dengan pandangan tak suka yang di balas tatapan tajam oleh Amar.

"Lo siapa?" teriak Zia.

"Pergi," usir Amar

"Oh apa jangan jangan lo salah satu pelanggan pelacur ini?" tunjuk Zia ke arah ku.

"Pergi dan jangan buat gue semakin marah," bentak Amar.

Tanpa perlu di perintah dua kali Zia dan bayi serta baby sisternya pergi meninggalkan ku dan Amar.

Amar mengehembuskan nafasnya, mencoba menenangkan dirinya.

"Run, kamu gak papa?" tanyanya padaku.

Tak peduli pertanyaan Amar aku langsung memeluk pria yang sangat aku rindukan selama seminggu ini, Amar mengelus lembut Kepalaku dan balas memeluku, Amar melepaskan pelukannya dan menatapku teduh.

"Kenapa?" tanyanya kembali.

Tapi aku langsung memeluk Amar kembali, yang membuat Amar terkekeh pelan, aku memejamkan mataku, entahlah aku rasa ini terakhir kalinya aku bisa memeluk Amar seperti ini.

"Kenapa, kamu kangen yah," ejek Amar.

Aku melepaskan pelukanku dan mendelik ke arahnya.

"Gak, aku gak kangen," bohong ku.

"Masa," ucapnya lagi dengan senyum mengejek.

Menyebalkan memang, tapi aku sangat bersyukur bisa melihatnya lagi.

"A Amar kemana aja?" tanyaku.

"Nanti aku ceritain,"

"Kenapa gak sekarang,"

"Sekarang obatin luka kamu dulu, tuh pipi kamu berdarah,"

"Yaudah kita pulang aja ke kontrakan, udah sore juga," ucapku.

Aku menutup toko dengan bantuan Amar sehingga perkerjaan ku cepat selesai dan bisa cepar-cepat ke kontrakan untuk mengobati lukaku, lebih tepatnya aku penasaran seminggu ini dia kemana saja.

....

Sesampainya di kontrakan Amar dengan cekatan mengobati luka di pipiku, lukanya pasti akan lama hilang! kenapa juga harus pipi yang jadi sasarannya.

Aku menatap Amar tanpa berkedip, dengan jarak sedekat ini, hembusan nafas Amar langsung menerpa wajahku.

Amar membalas tatapan ku, wajahnya semakin dekat hingga hidungku dan Amar saling bersentuhan.

Amar menempelkan bibirnya di bibirku, dia melumat pelan bibirku, aku memejamkan mata menikmati setiap lumatan yang Amar berikan, aku terbuai dengan yang dia lalukan sekarang.

Lumatannya semakin dalam dan semakin menuntut, nafasnya mulai memburu, tangan Amar membelai lembut pipi ku, turun ke leher dan semakin turun ke pundakku.

"Aww," ringis ku pelan.

Amar menghentikan aktivitasnya dan menatapku Intest, tangan Amar masih tetap di bahuku.

"Kamu ngelakuinnya lagi?" tanyanya datar.

"Iya ," jawabku pelan.

"Buka," perintah Amar.

Aku membuka bajuku dan terlihat Amar terkejut dengan pemandangan yang ia lihat sekarang, bukan terkejut melihat aku telanjang, aku masih pakai tank top di dalam baju ku.

Tapi Amar terkejut dengan tubuhku, penuh goresan yang masih memerah, bukan satu atau dua mungkin puluhan luka yang masih baru dan bekas lukanya.

Tubuhku tak mulus seperti wanita di luar sana, banyak goresan seperti ini bahkan sampai ke kakiku, itu sebabnya aku sering pakai baju dan celana panjang bila keluar rumah.

"Perut kamu,"

Aku menyibakan bawah tank top dan terlihat banyak goresan juga di perut.

Amar mendesah, tangannya terkepal.

"Kenapa ngelakuin lagi," tanya Amar putus asa.

"Aku minta maaf,"

"Aku gak butuh maaf kamu, aku cuman mau kamu berhenti ngelakuin hal bodoh kayak gini," bentak Amar.

Aku menunduk tak berani menatap Amar sekarang, berhenti? ini semua seperti candu bagiku.

"Aku gagal jagain kamu lagi,"

"Bukan salah A Amar," ucapku.

Amar selalu begitu setiap ia melihat goresan di tubuhku, dia akan menyalahkan dirinya sendiri, atau lebih parahnya dia akan melakukan hal yang aku lakukan, melukai dirinya sendiri.

"Aku gak mau kamu kenapa-kenapa Run,"

"Aku sayang sama kamu," ucapnya parau.

"Aku tau," ucapku.

"Jangan ngelakuin lagi yah," ucapnya lembut.

"A Amar pasti udah tau jawabnya,"

Amar berdecak, ia memejamkan matanya terlihat sekali raut bersalah di wajahnya.

"Yaudah aku obatin," ucapnya setelah beberapa detik Amar hanya terdiam.

Aku mengangukan kepala tanda setuju.

"A Amar seminggu ini kemana?" tanya ku setelah Amar selesai mengobati seluruh lukaku.

"Aku pulang ke Bandung," ucapnya.

Yah Amar memang bukan orang asli sini dia sama seperti ku, merantau ke tempat ini karena tempatnya yang sangat menenangkan.

"Bunda kecelakaan," aku terkejut mendengarnya.

Mungkin baru beberapa kali aku bertemu Bunda Amar tapi aku merasa sudah dekat dengan Bunda, apalagi aku memang sudah tak punya orang tua.

"Kok bisa," tanya ku.

"Kamu taukan Bunda itu pecicilan gak bisa diem, sebelum kecelakaan dia minta di beliin seblak sama Ayah, tapi Ayah menolak karena hujan deras, Bunda nekat beli seblak sendiri naik motor padahal Bunda gak bisa naik motor," jelas Amar.

Aku terkekeh, ada-ada saja Bunda Amar ini, udah tau gak bisa bawa motor masih nekat aja.

"Jadi rindu sama Bunda,"

"Mau ketemu? Bunda udah sehat kok," tawar Amar.

"Kapan-kapan aja," jawabku.

"Kamu udah makan?"

"Belum,"

"Kebiasaan, aku pergi beli makan dulu, nanti ke sini lagi, pakai bajunya Run nanti masuk angin "

"Tunggu dulu A," cegahku saat Amar akan melangkah keluar.

"Kenapa lagi, mau requaes mau makan apa?"

"Enggak, aku mau nanya?"

"Kenapa?"

"Ponsel A Amar kemana, kenapa gak bisa di hubungin?"

"Ponsel aku hilang, mungkin di curi orang tapi nanti mau beli baru lagi kok," jelasnya sambil berlalu pergi.

Aku mangut mangut mendengar jawabannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status