Share

Bab 4

Author: Ratu Deslim
last update Huling Na-update: 2021-09-15 14:46:42

Sulit sekali mata ini dipejamkan. Miring ke kiri dan ke kanan, telungkup dan telentang. Hanya wajah Tuan Felix yang terbayang. Seperti orang jatuh cinta, tetapi dengan debar yang berbeda. Debar jatuh cinta itu indah. Debar yang kurasa saat ini menakutkan. Memang tak enak menjadi orang miskin. Bila terpojok, tak ada tempat untuk berlindung.

Ponsel butut kecil berfitur senter yang kutaruh di samping bantal, berdering. Suaranya begitu nyaring hingga membuat Ferdy dan Teddy menggeliat. Lekas kusambar dan bangkit dari pembaringan. Nama Sofia--kakak tertuaku terpampang di layar ponsel berwarna abu-abu itu.

"Halo, Kak."

"Nur, aku tak sabar ingin mengucapkan terima kasih padamu. Uang sewa rumahku sudah dibayar Ibu. Ia bilang, uang itu dari majikanmu. Sebenarnya suamiku melarang untuk menelepon selarut ini. Maaf jika aku mengganggu tidurmu."

Ya, Tuhan. Sofia juga dilibatkan dalam hal ini. Ia bahkan tak mengenal Tuan Felix. Mungkin Ibu merasa kasihan pada Sofia. Berapa banyak sebenarnya yang diberikan Tuan Felix pada Ibu?

"Aku belum tidur, Kak. Jangan sungkan. Lain kali, kau cicil tiap bulan uang sewa rumah itu daripada menunggak terus."

"Maafkan aku merepotkanmu, Nur. Padahal kau hidup menjanda. Aku malah menyusahkanmu."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku siap membantu jika aku sanggup."

"Semoga kau sehat selalu, Nur."

"Aamiin."

Sofia beruntung memiliki suami setia. Namun, suaminya tak memiliki pekerjaan yang tetap. Uang sewa rumahnya selalu menunggak. Ia begitu bahagia mendapat uang dari Ibu. Dada ini terasa kian sesak. Andai Tuan Felix meminta uangnya kembali, dengan apa akan kuganti?

***

Nyonya Vivian memintaku datang lebih awal pagi ini. Ia ada acara lagi di luar. Ia bilang, Felicia sedang tak enak badan. Nyonya Vivian memintanya untuk beristirahat di rumah. Sembari mencuci dan menggosok, aku diminta menjaga Felicia. Siapa tahu ia butuh bantuan. Kali ini aku merasa sedikit lega karena nyonya mengizinkanku memasuki rumah. Ia juga mengizinkanku minum dan makan jika terasa lapar dan juga haus. Terima kasih, Felicia. Semua ini berkat rasa sakitmu.

Tuan Felix sudah berangkat ke toko pagi-pagi sekali. Jujur saja, aku takut bila harus bertatap muka dengannya. Selain jijik, rasanya takut juga ia akan berbuat yang tidak-tidak padaku.

"Aku berangkat, Nur. Kau jaga Felicia baik-baik. Tolong dengarkan jika ia memanggil."

"Baik, Nyonya."

Nyonya Vivian menyerahkan kunci garasi padaku. Mobil sedan bagus berwarna putih mulus itu meluncur dari garasi dan aku pun bergegas menutupnya. Aura kegelapan mulai terasa bila nyonya telah pergi. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan.

"Bi Nur ...." Kudengar suara panggilan lirih seorang gadis kecil. Kuputar badan menghadap arah sumber suara. Kutelan air mata ke dalam dada saat melihat wajah pucatnya. Ia berdiri seraya memegang kosen pintu.

"Jangan paksakan berdiri kalau kau tak sanggup, Nona," ujarku seraya berjalan setengah berlari menuju gadis berkulit putih itu. Lalu memegangi tangannya yang terasa bagai bara.

"Bawa aku pergi, Bi."

"Pergi? Ke mana, Nona?"

"Bawa aku pergi dari rumah ini."

Seluruh tubuhku menggigil. Telapak tangan ini terasa dingin. Lemah rasanya segala persendian. Ke mana akan kubawa gadis malang ini.

"Apa yang terjadi, Nona?" Perlahan kupegangi ia berjalan dan duduk di sofa ruang keluarga. Ia seperti tak bertenaga. Tubuhnya yang sedikit berisi itu ia rebahkan begitu saja.

"Tolong aku, Bi."

Seharusnya aku merasa senang saat kami bertegur sapa. Namun waktu yang tidak tepat justru membuatku takut. Takut tak bisa membantu dan takut berhadapan dengan orang tuanya. Aku bisa dituduh melarikan Felicia. Permintaannya begitu rumit. Bahkan tempat tinggalku sudah diketahui oleh Tuan Felix. Tak ada tempat bersembunyi jika membawanya pergi.

"Maaf, Nona. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada Nona. Jadi saya tak bisa membantu."

"Aku takut, Bi."

"Takut kenapa?"

"Aku tak boleh bercerita."

"Ayo, lah! Kau bisa bercerita pada bibi."

"Tidak," jawabnya pelan.

Tak lama, mata gadis kecil itu terpejam. Kuraba dahinya begitu panas. Teringat sewaktu Teddy demam. Bidan menyuruhku mengompresnya dengan air hangat. Izin dari nyonya telah kudapatkan. Aku pun bergegas ke dapur untuk mengambil air hangat dan mengompres Felicia.

Gadis kecil berbulu mata lentik itu terkulai saat kugendong dan kubaringkan di tempat tidur di kamarnya. Ia mengambil posisi miring dan meraba-raba bantal guling. Setelah dapat, ia pun memeluknya dengan erat.

"Aku sayang Mami," ucapnya lirih. Mungkin ia mengigau. Kuraba dahinya, sudah tak terlalu panas.

Aku keluar dari ruangan berpendingin itu dan merapatkan pintu perlahan setelah memungut pakaian kotor dari keranjang. Tiba-tiba bel berbunyi membuat jantungku tak karuan. Apa itu Tuan Felix?

Lekas kutaruh kain di dalam baskom. Lalu bergegas membukakan pintu agar tahu siapa yang datang.

Seorang perempuan berpakaian rapi, berkacamata, membawa sebuah tas tersenyum ke arahku.

"Selamat pagi. Saya guru di sekolah Felicia. Tadi saya membunyikan bel di pintu depan. Tapi tak ada jawaban."

"Oh, silakan masuk, Bu. Nyonya sedang tidak ada. Ada yang bisa saya bantu? Pintu depan jarang sekali digunakan nyonya dan tuan. Mereka selalu melewati garasi ini."

Perempuan itu tersenyum saat kupersilakan ia masuk. Suara yang ditimbulkan sepatu hak tingginya seperti suara palu yang sedang mengetok paku.

"Saya ingin menanyakan tentang Felicia," ucap perempuan itu setelah kusuguhkan teh manis. Kami berbincang di ruang keluarga. Aku berdiri dan ia duduk di sofa. Dari garasi, ruang keluarga lah yang pertama dijumpai.

"Tapi saya tidak mempunyai wewenang untuk menjelaskan apa-apa, Bu."

"Tidak apa-apa. Saya hanya ingin anda menyampaikan pesan pada orang tuanya. Kemarin saya lihat Felicia begitu murung. Ia sering melamun saat saya menerangkan pelajaran. Biasanya ia lumayan aktif dalam menjawab pertanyaan yang saya berikan. Tadi pagi, Nyonya Vivian memberi kabar bahwa Felicia sedang demam. Apa benar?"

"Iya, Bu. Felicia sedang berbaring di kamarnya."

"Apa dia mengalami sesuatu yang buruk di rumah?"

"Saya tidak tahu, Bu. Saya hanya sebagai tukang cuci dan gosok di rumah ini."

"Baiklah. Tolong sampaikan pada Nyonya Vivian bahwa saya datang kemari."

"Baik, Bu. Terima kasih sudah berkunjung."

Perempuan tinggi semampai itu berdiri, merapikan rok dan melangkah keluar melalui garasi. Langkah kakinya kembali membunyikan suara dari sepatu hak tinggi yang ia kenakan.

Saat ia hendak melangkah ke luar garasi, lidah ini serasa tak kuat lagi untuk kutahan. Ingin sekali bercerita pada perempuan itu tentang apa yang terjadi pada Felicia meskipun belum pasti kejadiannya. Namun, saat aku memanggil perempuan itu, mobil Tuan Felix muncul tiba-tiba. Ah, celaka.

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rahasia Majikanku   Bab 30

    Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp

  • Rahasia Majikanku   Bab 29

    Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n

  • Rahasia Majikanku   Bab 28

    "Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d

  • Rahasia Majikanku   Bab 27

    "Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk

  • Rahasia Majikanku   Bab 26

    "Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati

  • Rahasia Majikanku   Bab 25

    Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status