Share

Bab 4

Sulit sekali mata ini dipejamkan. Miring ke kiri dan ke kanan, telungkup dan telentang. Hanya wajah Tuan Felix yang terbayang. Seperti orang jatuh cinta, tetapi dengan debar yang berbeda. Debar jatuh cinta itu indah. Debar yang kurasa saat ini menakutkan. Memang tak enak menjadi orang miskin. Bila terpojok, tak ada tempat untuk berlindung.

Ponsel butut kecil berfitur senter yang kutaruh di samping bantal, berdering. Suaranya begitu nyaring hingga membuat Ferdy dan Teddy menggeliat. Lekas kusambar dan bangkit dari pembaringan. Nama Sofia--kakak tertuaku terpampang di layar ponsel berwarna abu-abu itu.

"Halo, Kak."

"Nur, aku tak sabar ingin mengucapkan terima kasih padamu. Uang sewa rumahku sudah dibayar Ibu. Ia bilang, uang itu dari majikanmu. Sebenarnya suamiku melarang untuk menelepon selarut ini. Maaf jika aku mengganggu tidurmu."

Ya, Tuhan. Sofia juga dilibatkan dalam hal ini. Ia bahkan tak mengenal Tuan Felix. Mungkin Ibu merasa kasihan pada Sofia. Berapa banyak sebenarnya yang diberikan Tuan Felix pada Ibu?

"Aku belum tidur, Kak. Jangan sungkan. Lain kali, kau cicil tiap bulan uang sewa rumah itu daripada menunggak terus."

"Maafkan aku merepotkanmu, Nur. Padahal kau hidup menjanda. Aku malah menyusahkanmu."

"Tidak apa-apa, Kak. Aku siap membantu jika aku sanggup."

"Semoga kau sehat selalu, Nur."

"Aamiin."

Sofia beruntung memiliki suami setia. Namun, suaminya tak memiliki pekerjaan yang tetap. Uang sewa rumahnya selalu menunggak. Ia begitu bahagia mendapat uang dari Ibu. Dada ini terasa kian sesak. Andai Tuan Felix meminta uangnya kembali, dengan apa akan kuganti?

***

Nyonya Vivian memintaku datang lebih awal pagi ini. Ia ada acara lagi di luar. Ia bilang, Felicia sedang tak enak badan. Nyonya Vivian memintanya untuk beristirahat di rumah. Sembari mencuci dan menggosok, aku diminta menjaga Felicia. Siapa tahu ia butuh bantuan. Kali ini aku merasa sedikit lega karena nyonya mengizinkanku memasuki rumah. Ia juga mengizinkanku minum dan makan jika terasa lapar dan juga haus. Terima kasih, Felicia. Semua ini berkat rasa sakitmu.

Tuan Felix sudah berangkat ke toko pagi-pagi sekali. Jujur saja, aku takut bila harus bertatap muka dengannya. Selain jijik, rasanya takut juga ia akan berbuat yang tidak-tidak padaku.

"Aku berangkat, Nur. Kau jaga Felicia baik-baik. Tolong dengarkan jika ia memanggil."

"Baik, Nyonya."

Nyonya Vivian menyerahkan kunci garasi padaku. Mobil sedan bagus berwarna putih mulus itu meluncur dari garasi dan aku pun bergegas menutupnya. Aura kegelapan mulai terasa bila nyonya telah pergi. Kutarik napas dalam-dalam dan kuhembuskan perlahan.

"Bi Nur ...." Kudengar suara panggilan lirih seorang gadis kecil. Kuputar badan menghadap arah sumber suara. Kutelan air mata ke dalam dada saat melihat wajah pucatnya. Ia berdiri seraya memegang kosen pintu.

"Jangan paksakan berdiri kalau kau tak sanggup, Nona," ujarku seraya berjalan setengah berlari menuju gadis berkulit putih itu. Lalu memegangi tangannya yang terasa bagai bara.

"Bawa aku pergi, Bi."

"Pergi? Ke mana, Nona?"

"Bawa aku pergi dari rumah ini."

Seluruh tubuhku menggigil. Telapak tangan ini terasa dingin. Lemah rasanya segala persendian. Ke mana akan kubawa gadis malang ini.

"Apa yang terjadi, Nona?" Perlahan kupegangi ia berjalan dan duduk di sofa ruang keluarga. Ia seperti tak bertenaga. Tubuhnya yang sedikit berisi itu ia rebahkan begitu saja.

"Tolong aku, Bi."

Seharusnya aku merasa senang saat kami bertegur sapa. Namun waktu yang tidak tepat justru membuatku takut. Takut tak bisa membantu dan takut berhadapan dengan orang tuanya. Aku bisa dituduh melarikan Felicia. Permintaannya begitu rumit. Bahkan tempat tinggalku sudah diketahui oleh Tuan Felix. Tak ada tempat bersembunyi jika membawanya pergi.

"Maaf, Nona. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada Nona. Jadi saya tak bisa membantu."

"Aku takut, Bi."

"Takut kenapa?"

"Aku tak boleh bercerita."

"Ayo, lah! Kau bisa bercerita pada bibi."

"Tidak," jawabnya pelan.

Tak lama, mata gadis kecil itu terpejam. Kuraba dahinya begitu panas. Teringat sewaktu Teddy demam. Bidan menyuruhku mengompresnya dengan air hangat. Izin dari nyonya telah kudapatkan. Aku pun bergegas ke dapur untuk mengambil air hangat dan mengompres Felicia.

Gadis kecil berbulu mata lentik itu terkulai saat kugendong dan kubaringkan di tempat tidur di kamarnya. Ia mengambil posisi miring dan meraba-raba bantal guling. Setelah dapat, ia pun memeluknya dengan erat.

"Aku sayang Mami," ucapnya lirih. Mungkin ia mengigau. Kuraba dahinya, sudah tak terlalu panas.

Aku keluar dari ruangan berpendingin itu dan merapatkan pintu perlahan setelah memungut pakaian kotor dari keranjang. Tiba-tiba bel berbunyi membuat jantungku tak karuan. Apa itu Tuan Felix?

Lekas kutaruh kain di dalam baskom. Lalu bergegas membukakan pintu agar tahu siapa yang datang.

Seorang perempuan berpakaian rapi, berkacamata, membawa sebuah tas tersenyum ke arahku.

"Selamat pagi. Saya guru di sekolah Felicia. Tadi saya membunyikan bel di pintu depan. Tapi tak ada jawaban."

"Oh, silakan masuk, Bu. Nyonya sedang tidak ada. Ada yang bisa saya bantu? Pintu depan jarang sekali digunakan nyonya dan tuan. Mereka selalu melewati garasi ini."

Perempuan itu tersenyum saat kupersilakan ia masuk. Suara yang ditimbulkan sepatu hak tingginya seperti suara palu yang sedang mengetok paku.

"Saya ingin menanyakan tentang Felicia," ucap perempuan itu setelah kusuguhkan teh manis. Kami berbincang di ruang keluarga. Aku berdiri dan ia duduk di sofa. Dari garasi, ruang keluarga lah yang pertama dijumpai.

"Tapi saya tidak mempunyai wewenang untuk menjelaskan apa-apa, Bu."

"Tidak apa-apa. Saya hanya ingin anda menyampaikan pesan pada orang tuanya. Kemarin saya lihat Felicia begitu murung. Ia sering melamun saat saya menerangkan pelajaran. Biasanya ia lumayan aktif dalam menjawab pertanyaan yang saya berikan. Tadi pagi, Nyonya Vivian memberi kabar bahwa Felicia sedang demam. Apa benar?"

"Iya, Bu. Felicia sedang berbaring di kamarnya."

"Apa dia mengalami sesuatu yang buruk di rumah?"

"Saya tidak tahu, Bu. Saya hanya sebagai tukang cuci dan gosok di rumah ini."

"Baiklah. Tolong sampaikan pada Nyonya Vivian bahwa saya datang kemari."

"Baik, Bu. Terima kasih sudah berkunjung."

Perempuan tinggi semampai itu berdiri, merapikan rok dan melangkah keluar melalui garasi. Langkah kakinya kembali membunyikan suara dari sepatu hak tinggi yang ia kenakan.

Saat ia hendak melangkah ke luar garasi, lidah ini serasa tak kuat lagi untuk kutahan. Ingin sekali bercerita pada perempuan itu tentang apa yang terjadi pada Felicia meskipun belum pasti kejadiannya. Namun, saat aku memanggil perempuan itu, mobil Tuan Felix muncul tiba-tiba. Ah, celaka.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status