Share

Bab 5

Rahasia Majikanku

#5

Tuan Felix bergegas keluar dari mobil dan menyalami guru Felicia. Matanya menyiratkan ketidaksukaan akan kehadiranku. Aku pun masuk ke dalam dengan lutut sedikit gemetar. Setelah diingat-ingat, ternyata aku belum sarapan.

Izin dari nyonya, tak membuatku lancang begitu saja. Makanan dan minuman semuanya tersedia. Apa yang tak bisa kubeli dan kumakan di rumah, di sini bahkan tak disentuh oleh pemiliknya. Lebih baik merendam cucian saja. Nanti rasa lapar ini juga akan hilang dengan sendirinya.

"Apa yang kau bicarakan dengan guru Felicia?" tanya Tuan Felix setelah kulihat perempuan itu pergi. Mobilnya masih di luar. Mungkin si tuan hendak pergi lagi.

"Saya tidak membicarakan apa-apa, Tuan. Guru itu hanya menanyakan keadaan Felicia."

"Mana Felicia?"

"Di kamarnya. Nona berbaring setelah saya kompres. Tadi kepalanya terasa sangat panas."

Lelaki bertubuh kekar itu tak menggubris. Ia berjalan memasuki rumah. Mataku mengikuti langkahnya yang menuju kamar Felicia. Detak jantung ini menjadi tak karuan. Tak terbayang apa yang akan terjadi di dalam sana.

Aku harus memberanikan diri mencegah sesuatu sebelum terlambat. Mana mungkin jiwaku segila ini. Membiarkan tindak kriminal terjadi di depan mata. Aku ini manusia.

Perlahan kulangkahkan kaki menyusul Tuan Felix. Untung kakiku tanpa alas. Jadi tak menimbulkan bunyi saat melangkah. Getar di lutut masih bisa kurasa. Antara rasa lapar dan takut tertangkap basah. Yang kulakukan ini sudah benar. Bagaimana jika pintunya dikunci? Bagaimana cara melihat keadaan Felicia beserta bapaknya yang jahat itu? Ah, kakiku semakin terasa lemas.

Kamar berpendingin itu tak memiliki ventilasi terbuka seperti di rumahku. Ventilasinya tertutup kaca yang tersusun miring. Tak ada celah untukku mengintip. Baru saja hendak mengintip melalui lobang kunci, ponsel butut sial*nku berbunyi nyaring. Ponsel itu kutaruh di dalam tas yang kugantung di dinding tempatku mencuci. Aku pun berlari mengejarnya.

"Halo, Nyonya."

"Bagaimana keadaan Felicia, Nur?"

"Tadi sempat panas. Setelah saya kompres, sudah agak mendingan, Nyonya."

"Kau cerdas sekali, Nur. Aku masih ada acara. Tunggu aku pulang ya, Nur."

"Baik, Nyonya. Tapi sekarang ada ...."

Belum sempat bicara, sambungan telepon sudah ia putus begitu saja. Padahal aku ingin mengatakan ada Tuan Felix. Sudahlah, lebih baik menyikat kain dulu.

"Kau menguping?" tanya Tuan Felix tiba-tiba. Ia telah keluar dari kamar Felicia. Mungkin gara-gara suara ponselku.

"Ti ... tidak, Tuan."

"Kulihat tadi, kau dari arah kamar Felicia."

"Sa ... saya hanya ingin menanyakan sesuatu," kilahku agar ia tak curiga.

"Tanya apa?"

"Apa benar Tuan memberi Ibu saya uang?"

"Iya, memangnya kenapa?"

"Untuk apa, Tuan?"

"Agar kau bisa terus bekerja di sini."

"Tidak masuk akal."

Lelaki berhidung bangir itu terkekeh. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana. Kemudian berlalu meninggalkanku yang kebingungan. Sungguh aku tak mengerti. Apa yang ia inginkan dari keluargaku?

Aku menarik napas lega. Nyaris saja ketahuan hendak mengintip. Padahal sedikit lagi saja, aku bisa menangkap basah perbuatannya terhadap gadis itu. Eh, tapi ... apa yang ia lakukan tadi?

Baru saja tuan itu masuk, suara jeritan kudengar dari dalam. Sepertinya gadis itu mengalami hal yang tak ia inginkan. Aku pun berdiri, berniat memberi perlindungan. Kaki yang basah dan bersabun tak kuhiraukan. Hingga tubuh ini terpental dan kepala membentur lantai yang terbuat dari batu alam.

Gelap.

***

"Nur, kau tak apa-apa?"

Tubuhku telah terbaring di sofa. Perempuan berambut sebahu itu tersenyum. Ia terus mengajakku bicara meski bibir ini sulit untuk dibuka. Hanya perutku yang membuka suara.

"Kau lapar, Nur?" tanya perempuan itu lagi. Bibir merah muda itu tertarik ke kiri dan ke kanan hingga membentuk lengkungan yang indah.

"Tidak, Nyonya. Saya ...."

Bibirku mengatup saat menyadari ada lelaki itu di sana. Ia berdiri di belakang Nyonya Vivian, melipat kedua tangan di dada. Padahal aku ingin bercerita tentang apa yang terjadi pada Felicia. Lagi-lagi, ancaman kuterima. Lelaki berkemeja flanel itu menunjuk matanya dengan jari telunjuk dan jari tengah. Lantas ia arahkan ke padaku setelahnya. Ya, aku mengerti. Seperti di filem-filem yang artinya ia memperhatikan gerak-gerikku.

"Kau kenapa, Nur?" tanya Nyonya Vivian seraya mengerutkan dahi.

"Saya ... saya belum sarapan, Nyonya," jawabku terbata. Tatapan lelaki itu seakan ingin mengajakku ke dapur. Lalu ia kuliti dan dagingku dijadikan semur.

"Kau tetaplah berbaring. Aku akan mengambilkan sarapan untukmu."

"Tidak usah, Nyonya. Saya bisa mengambilnya sendiri."

"Nur, kau baru saja pingsan. Untung suamiku ada di rumah. Dia meneleponku karena kau tak kunjung sadar. Berbaringlah, biar kuambilkan kau sarapan. Oke?"

Aku mengangguk. Lelaki itu beranjak dari posisinya semula. Kulihat ia berjalan ke arah kamar pribadinya. Aku sedikit lega.

Tak lama, Nyonya Vivian datang membawakan sepiring makanan. Porsi yang cukup besar untuk ukuran lambungku. Jujur saja, walaupun miskin, porsi makanku tak sebanyak itu. Lambung ini tahu diri.

"Duduk, Nur. Kau bisa makan di sini atau di meja makan sana," tunjuk Nyonya Vivian pada meja bundar dengan kursi kayu melingkar.

"Saya makan di sana saja."

"Terserah kau saja, Nur. Aku mau pergi lagi. Makan yang banyak dan jangan lupa bereskan cucianmu."

"Baik, terima kasih, Nyonya. Felicia ...."

"Felicia kenapa, Nur?"

"Tadi saya mendengar Felicia menjerit. Makanya saya berlari menyusul dan terjatuh karena kaki saya licin terkena sabun."

"Oh, itu. Felix bilang, dia tak mau minum obat. Jadi harus dipaksa."

Aku mengangguk seraya berjalan menuju meja makan. Aneh sekali perempuan ini. Sebagai ibu, ia terlalu cuek pada anak. Ia juga terlalu percaya pada suami. Tak segampang itu membuatku percaya kalau Felicia menjerit karena takut minum obat.

Sebagai orang yang sudah memiliki segalanya, Nyonya Vivian tergolong perempuan yang sibuk. Apa lagi yang ia cari di luar sana. Semua sudah ada. Hidup sudah berkecukupan. Bahkan berlebih. Apa kesibukannya itu yang membuat Tuan Felix berubah haluan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status