Share

Bab 3

Author: Ratu Deslim
last update Huling Na-update: 2021-09-15 14:45:40

Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.

"Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya.

"Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu."

"Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."

Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku.

"Uang dari mana, Bu?"

"Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."

"Baik, Bu."

Dengan senang hati, aku beranjak ke warung Sakinah. Ia menyambut kedatanganku dengan mendengus. Saat kuperlihatkan uang merah-merah, matanya langsung membulat.

"Aku mau membayar semua utang bulan ini," ujarku pada Sakinah. Ia mengerutkan kening. Mungkin ia heran, mengapa begitu cepat aku gajian.

"Rasanya sekarang belum waktunya kau gajian, Nur."

"Memang benar. Ini diberi Ibuku."

"Tumben Ibumu banyak uang."

"Entahlah. Kau coret saja utangku bulan ini. Awal bulan, aku tak perlu membayar utang lagi. Sisanya untuk membeli bahan dapur. Aku belum memasak untuk makan malam."

"Oke, Nur. Apa pun yang kau mau."

Manusia mana yang tak akan berubah menjadi baik saat melihat uang. Sakinah contohnya. Biasanya ia cemberut saat aku datang. Sekarang ia dengan senang hati melayani. Ia bahkan menawariku ikan-ikan yang tak laku tadi siang. Ia memintaku untuk membeli. Daripada ikannya busuk, akhirnya aku pun membelinya.

***

"Nur, kau beruntung mendapat majikan sebaik Tuan Felix," ucap Ibu sewaktu makan malam.

"Mengapa Ibu bicara seperti itu?" tanyaku heran. Ibu tak tahu saja bagaimana kelakuannya di rumah.

"Uang yang kuberi padamu tadi, itu semua pemberian Tuan Felix."

Tiba-tiba perutku menjadi mulas. Hilang selera makan dan terbayang peristiwa tadi siang. Ia menyuap Ibu agar aku tergigit lidah. Posisiku semakin sulit. Mungkinkah ia melakukan semua ini karena takut rahasianya terbongkar?

"Mengapa Ibu tak bilang dari tadi?"

"Ibu tahu, kau pasti akan menolak. Sama seperti saat mantan suamimu memberi nafkah untuk anak-anak. Kau menolak karena keegoisanmu, Nur."

Ibu tak tahu permasalahannya. Harry memberi uang karena ia ingin hak asuk anak-anak jatuh ke tangannya. Jelas aku menolak. Setelah mengabaikan Ferdy dan Teddy, lalu ia datang bagai pahlawan kesiangan.

"Jangan asal terima uang dari orang yang belum Ibu kenal."

"Laila mengatakan padaku kalau Tuan Felix itu majikanmu. Dia bukan orang yang tak dikenal. Laila yang membawanya kemari."

Percuma menjelaskannya pada Ibu. Kemiskinan membuat Ibu menilai kebaikan orang dari uang. Asal diberi uang, berarti orang itu baik. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Tuan Felix setelah ini.

***

"Mau beli apa, Nur?" tanya Sakinah saat aku mengetuk pintu warungnya yang telah tutup.

"Aku mau meminta uang yang tadi sore kuberikan padamu."

"Apa maksudmu?"

"Aku tak jadi membayar utang."

"Tidak bisa, Nur. Uangnya sudah habis."

Rencananya uang itu akan kukembalikan pada Tuan Felix. Lalu aku akan meminta berhenti bekerja. Tak kuat jantung ini lama-lama bekerja di sana. Aku tak mau menjadi saksi perlakuan bej*tnya terhadap Felicia. Ah, aku belum tahu pasti. Hanya menduga-duga karena noda itu membuatku curiga.

"Aku mohon, Sakinah. Akan kubayar awal bulan."

"Tidak bisa, Nur. Uangnya sudah habis untuk membeli stok dagangan. Maaf, Nur."

Lunglai kaki ini kulangkahkan di jalan pulang. Harusnya tadi kutanyakan pada Ibu dari mana uang itu berasal. Nasi telah jadi bubur. Aku harus mencari pinjaman agar uang itu bisa dikembalikan. Mau meminjam pada siapa?

***

Tok tok tok

Terpaksa malam ini juga kuketuk pintu rumah Laila. Ia pasti mempunyai banyak uang karena bekerja di toko perhiasan milik Nyonya Vivian. Semoga ia tak banyak alasan.

"Nur? Masuk, Nur." Laila tampak heran saat melihat aku datang. Ia membuka pintu lebar-lebar dan menyuruhku masuk. Aku menolak karena hari sudah malam. Aku memilih duduk di teras karena kaki sudah lelah berjalan. Jarak rumah kami setengah kilo. Tak ada angkutan umum atau tukang ojek di jam seperti ini.

"Aku mau meminjam uang, Laila."

"Untuk apa, Nur?" tanya Laila seraya memegang lututku.

"Untuk mengganti uang Tuan Felix. Ia memberi uang pada Ibu. Aku takut, Lail. Aku mau berhenti saja."

"Jangan, Nur. Kau akan sulit mendapat pekerjaan. Tuan Felix itu tulus memberi Ibumu uang. Anak-anakmu begitu senang saat kami bawa tadi siang."

"Aku takut, Lail. Tuan Felix bukan orang baik."

"Aku mengenalnya, Nur. Dia orang yang royal. Makanya aku betah bekerja di toko perhiasannya."

Andai kuceritakan tentang Felicia. Aku takut menjadi fitnah. Sementara mata kepalaku tak melihat kejadian yang sebenarnya.

Benar yang dikatakan Laila. Bila berhenti, akan sulit mencari pekerjaan lain di luar sana. Umurku sudah tiga puluh dua tahun. Sudah terbilang tua untuk mencari pekerjaan.

"Aku pamit, Laila."

"Hati-hati, Nur."

"Suamimu, mana? Aku mau pamit."

"Jhoni sedang ke luar kota, Nur. Kau pulang saja. Sudah pukul sepuluh. Maaf, aku tak bisa mengantar."

"Tidak apa-apa."

Aku sudah biasa berjalan kaki ke rumah Laila bila tak ada kendaraan. Pemuda di sekitar sini tak ada yang kurang ajar. Mereka tak akan mau mengganggu pejalan kaki sepertiku.

Dari arah utara, kulihat mobil Tuan Felix menuju ke arah selatan. Aku yakin itu mobilnya karena sudah hafal nomor platnya. Terus kuperhatikan hingga akhirnya mobil itu berhenti. Mobil Tuan Felix berhenti di depan rumah Laila. Masih bisa terlihat jelas karena rumahnya di pinggir jalan. Sementara posisiku belum jauh dari rumahnya.

Apa yang akan mereka bicarakan malam-malam begini?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Rahasia Majikanku   Bab 30

    Selimut pembungkus itu masih terlihat utuh meskipun bergelimang tanah. Namun aroma yang keluar dari dalam selimut itu serasa mampu membunuh segala pembuluh. Mungkin aroma itu telah menembus dinding-dinding tembok rumah warga karena disampaikan oleh angin siang ini.Perlahan bungkusan itu dibuka oleh beberapa petugas. Tak sulit untuk membukanya. Mereka memotong tali pengikatnya dengan gunting yang tajam. Bungkusan itu terbuka. Sesosok mayat tampak terbujur dengan anggota badan yang masih utuh.Muntah. Akhirnya kami semua tak sanggup lagi menahannya. Sebusuk inikah aroma bangkai manusia? Kupikir bangkai ayam sudah busuk. Ternyata bangkai manusia seratus kali lebih busuk hingga mengorek isi perut orang yang mencium aromanya.Nyonya Margareth sebagai ibunya saja tak sanggup mendekat. Ia jijik saat melihat jasad yang masih utuh. Awalnya ia mendekat ingin memeluk. Aroma itu membuatnya muntah dan menjauh.Plak!Lagi-lagi tamp

  • Rahasia Majikanku   Bab 29

    Nyonya Margareth mendekat. Lengan besarnya menjambak rambutku dan menyeret hingga kutunjukkan lokasi tempat Tuan Felix dikubur."Cepat tunjukkan di mana putra kesayanganku kau kubur!""Di sini, Nyonya," tunjukku pada sebuah pot besar bunga adenium. "Tapi aku hanya membantu mengubur. Aku bukan pembunuh.""Felix putraku. Felix-ku kau kubur di sini? Pantas saja bruno-ku menggaruk-garuk tanah ini waktu itu," tanya perempuan itu seraya meludahi wajah ini. Ia sama sekali tak mendengar pengakuanku. Nyonya Vivian berakting begitu sempurna. Ia ikut mendekat dan menutup mulut dengan kedua telapak tangannya."Ya ampun! Kau ... teganya kau membunuh majikanmu dan mengubur jasadnya di halaman rumahnya sendiri," ucap Nyonya Vivian pura-pura terkejut. Ia berlutut dan menangis sejadinya sambil memanggil-manggil nama Tuan Felix.Petugas melepas borgol di tanganku, lalu mendorong tubuh ini hingga tersungkur di dan tersandar di bibir pot bunga besar itu.&n

  • Rahasia Majikanku   Bab 28

    "Kau bercanda?"Tawa perempuan ber-eyeshadow warna gelap itu memecah kesunyian ruangan tempatku terbaring. Ia seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ia pikir aku bercanda. Namun tak lama, tawanya terhenti saat melihatku tak tertawa sama sekali."Kau serius?" tanya perempuan itu lagi. Ia menurunkan anjing yang sedari tadi duduk di pahanya. Anjing itu duduk di lantai seraya menjulurkan lidah. Apa di rumah sakit ini bebas membawa binatang peliharaan?"Aku serius, Nyonya."Wajah perempuan itu berubah sangar. Mata sipitnya ia paksa membelalak ke arahku. Lengan besarnya meraih leherku dan aku pun susah untuk bernapas."Jadi benar yang dikatakan oleh menantuku? Kau telah membunuh putraku yang merupakan majikanmu sendiri? Mengapa? Apa salah putraku?"Anjing yang sedari tadi hanya diam, menjadi gelisah saat melihat Nyonya Margareth mencekik leherku. Andai anjing itu bisa bicara, mungkin ia akan berlari ke luar d

  • Rahasia Majikanku   Bab 27

    "Apa yang terjadi padaku, Bu? Mengapa kalian sedih sekali?"Ibu menggeleng, tetapi air matanya terus mengalir. Firasatku mulai buruk. Pasti ada sesuatu yang terjadi padaku, tetapi Ibu tak mau mengatakannya."Katakan, Bu."Ibu menarik lengan Ferdy dan Teddy. Ia membawa anak-anak ke luar ruangan. Tak lama, ia kembali seorang diri. Air mata itu masih saja mengalir bagai sungai kecil di pipinya."Nur, aku tak mau kehilanganmu.""Mengapa Ibu bicara seperti itu?""Dokter bilang, kau mengalami gegar otak akibat pukulan keras. Tadi kupikir kau sudah tiada karena koma beberapa jam. Ini keajaiban. Kau benar-benar perempuan yang kuat, Nur."Saat kami mengobrol, beberapa orang petugas kepolisian memasuki ruangan. Salah seorang dari mereka membawa sebuah kayu balok yang dibungkus dengan plastik. Untuk apa balok itu? Di belakang mereka, aku melihat seorang perempuan yang menggendong seekor anjing berbulu tebal. Ibunya Tuan Felix. Untuk

  • Rahasia Majikanku   Bab 26

    "Tapi mengapa, Tuan? Apa yang dilakukan oleh Baron?""Anda bisa datang langsung ke kantor kami, Nyonya.""Baiklah."Ibu menatap wajahku dengan seksama. Ia mengangkat alis seolah bertanya, apa yang terjadi pada Baron. Tanpa bicara, aku berdiri meninggalkan Ibu di meja makan. Mungkin dengan beribu pertanyaan di benaknya."Nur, kau mau ke mana?" teriak Ibu dari luar saat aku mengganti pakaian di dalam kamar. Tangan ini gemetar tak karuan. Jantung berdebar begitu cepat seolah berpacu dengan detik jam. Gerakan tubuh ini terasa kian melambat saat kurasakan nyeri di lengan sewaktu memasukkan tangan ke dalam lengan baju. Tak sabar ingin cepat-cepat menemui Baron di sana."Argh.""Nur, kau tak apa-apa?""Sama seperti tadi, Bu. Memasukkan tanganku ke dalam lengan baju itu membuat lenganku ngilu.""Biar aku bantu.""Tak usah. Sudah selesai."Saat ke luar kamar, Ibu menghadang jalanku. Sepertinya ia begitu khawati

  • Rahasia Majikanku   Bab 25

    Tanpa sadar, telapak tanganku mendarat di pipi kanan Harry. Entah apa yang ia lakukan di rumah ini. Tanpa bertanya, ia menuduhku yang tidak-tidak."Jaga mulutmu, Harry!"Baron berdiri mematung menyaksikan adegan yang tak mengenakkan barusan. Aku tahu, ia pasti takkan senang dituduh macam-macam."Bukankah itu sebuah kenyataan? Kau begitu murahan. Berjalan dengan seorang lelaki ....""Sudah, Harry. Jangan bertengkar di depan pintu. Kau dari mana saja, Nur? Bukankah tadi kau bilang pergi ke rumah Nyonya Vivian untuk mengambil sebuah surat?" tanya Ibu memotong pembicaraan Harry. Lelaki itu menghembuskan napas dengan kasar. Matanya liar mengamati Baron dari ujung kaki hingga ujung kepala. Pasti Harry merasa cemburu."Aku ...."Mulutku tak sanggup lagi melanjutkan. Getaran di bibir ini sangat kuat. Mata ini mulai panas karena genangan cairan bening. Cairan itu memaksa untuk keluar."Kau kenapa?"Semakin ditany

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status