Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.
"Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya.
"Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu."
"Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."
Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku.
"Uang dari mana, Bu?"
"Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."
"Baik, Bu."
Dengan senang hati, aku beranjak ke warung Sakinah. Ia menyambut kedatanganku dengan mendengus. Saat kuperlihatkan uang merah-merah, matanya langsung membulat.
"Aku mau membayar semua utang bulan ini," ujarku pada Sakinah. Ia mengerutkan kening. Mungkin ia heran, mengapa begitu cepat aku gajian.
"Rasanya sekarang belum waktunya kau gajian, Nur."
"Memang benar. Ini diberi Ibuku."
"Tumben Ibumu banyak uang."
"Entahlah. Kau coret saja utangku bulan ini. Awal bulan, aku tak perlu membayar utang lagi. Sisanya untuk membeli bahan dapur. Aku belum memasak untuk makan malam."
"Oke, Nur. Apa pun yang kau mau."
Manusia mana yang tak akan berubah menjadi baik saat melihat uang. Sakinah contohnya. Biasanya ia cemberut saat aku datang. Sekarang ia dengan senang hati melayani. Ia bahkan menawariku ikan-ikan yang tak laku tadi siang. Ia memintaku untuk membeli. Daripada ikannya busuk, akhirnya aku pun membelinya.
***
"Nur, kau beruntung mendapat majikan sebaik Tuan Felix," ucap Ibu sewaktu makan malam.
"Mengapa Ibu bicara seperti itu?" tanyaku heran. Ibu tak tahu saja bagaimana kelakuannya di rumah.
"Uang yang kuberi padamu tadi, itu semua pemberian Tuan Felix."
Tiba-tiba perutku menjadi mulas. Hilang selera makan dan terbayang peristiwa tadi siang. Ia menyuap Ibu agar aku tergigit lidah. Posisiku semakin sulit. Mungkinkah ia melakukan semua ini karena takut rahasianya terbongkar?
"Mengapa Ibu tak bilang dari tadi?"
"Ibu tahu, kau pasti akan menolak. Sama seperti saat mantan suamimu memberi nafkah untuk anak-anak. Kau menolak karena keegoisanmu, Nur."
Ibu tak tahu permasalahannya. Harry memberi uang karena ia ingin hak asuk anak-anak jatuh ke tangannya. Jelas aku menolak. Setelah mengabaikan Ferdy dan Teddy, lalu ia datang bagai pahlawan kesiangan.
"Jangan asal terima uang dari orang yang belum Ibu kenal."
"Laila mengatakan padaku kalau Tuan Felix itu majikanmu. Dia bukan orang yang tak dikenal. Laila yang membawanya kemari."
Percuma menjelaskannya pada Ibu. Kemiskinan membuat Ibu menilai kebaikan orang dari uang. Asal diberi uang, berarti orang itu baik. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Tuan Felix setelah ini.
***
"Mau beli apa, Nur?" tanya Sakinah saat aku mengetuk pintu warungnya yang telah tutup.
"Aku mau meminta uang yang tadi sore kuberikan padamu."
"Apa maksudmu?"
"Aku tak jadi membayar utang."
"Tidak bisa, Nur. Uangnya sudah habis."
Rencananya uang itu akan kukembalikan pada Tuan Felix. Lalu aku akan meminta berhenti bekerja. Tak kuat jantung ini lama-lama bekerja di sana. Aku tak mau menjadi saksi perlakuan bej*tnya terhadap Felicia. Ah, aku belum tahu pasti. Hanya menduga-duga karena noda itu membuatku curiga.
"Aku mohon, Sakinah. Akan kubayar awal bulan."
"Tidak bisa, Nur. Uangnya sudah habis untuk membeli stok dagangan. Maaf, Nur."
Lunglai kaki ini kulangkahkan di jalan pulang. Harusnya tadi kutanyakan pada Ibu dari mana uang itu berasal. Nasi telah jadi bubur. Aku harus mencari pinjaman agar uang itu bisa dikembalikan. Mau meminjam pada siapa?
***
Tok tok tok
Terpaksa malam ini juga kuketuk pintu rumah Laila. Ia pasti mempunyai banyak uang karena bekerja di toko perhiasan milik Nyonya Vivian. Semoga ia tak banyak alasan.
"Nur? Masuk, Nur." Laila tampak heran saat melihat aku datang. Ia membuka pintu lebar-lebar dan menyuruhku masuk. Aku menolak karena hari sudah malam. Aku memilih duduk di teras karena kaki sudah lelah berjalan. Jarak rumah kami setengah kilo. Tak ada angkutan umum atau tukang ojek di jam seperti ini."Aku mau meminjam uang, Laila."
"Untuk apa, Nur?" tanya Laila seraya memegang lututku.
"Untuk mengganti uang Tuan Felix. Ia memberi uang pada Ibu. Aku takut, Lail. Aku mau berhenti saja."
"Jangan, Nur. Kau akan sulit mendapat pekerjaan. Tuan Felix itu tulus memberi Ibumu uang. Anak-anakmu begitu senang saat kami bawa tadi siang."
"Aku takut, Lail. Tuan Felix bukan orang baik."
"Aku mengenalnya, Nur. Dia orang yang royal. Makanya aku betah bekerja di toko perhiasannya."
Andai kuceritakan tentang Felicia. Aku takut menjadi fitnah. Sementara mata kepalaku tak melihat kejadian yang sebenarnya.
Benar yang dikatakan Laila. Bila berhenti, akan sulit mencari pekerjaan lain di luar sana. Umurku sudah tiga puluh dua tahun. Sudah terbilang tua untuk mencari pekerjaan.
"Aku pamit, Laila."
"Hati-hati, Nur."
"Suamimu, mana? Aku mau pamit."
"Jhoni sedang ke luar kota, Nur. Kau pulang saja. Sudah pukul sepuluh. Maaf, aku tak bisa mengantar."
"Tidak apa-apa."
Aku sudah biasa berjalan kaki ke rumah Laila bila tak ada kendaraan. Pemuda di sekitar sini tak ada yang kurang ajar. Mereka tak akan mau mengganggu pejalan kaki sepertiku.
Dari arah utara, kulihat mobil Tuan Felix menuju ke arah selatan. Aku yakin itu mobilnya karena sudah hafal nomor platnya. Terus kuperhatikan hingga akhirnya mobil itu berhenti. Mobil Tuan Felix berhenti di depan rumah Laila. Masih bisa terlihat jelas karena rumahnya di pinggir jalan. Sementara posisiku belum jauh dari rumahnya.
Apa yang akan mereka bicarakan malam-malam begini?
Sulit sekali mata ini dipejamkan. Miring ke kiri dan ke kanan, telungkup dan telentang. Hanya wajah Tuan Felix yang terbayang. Seperti orang jatuh cinta, tetapi dengan debar yang berbeda. Debar jatuh cinta itu indah. Debar yang kurasa saat ini menakutkan. Memang tak enak menjadi orang miskin. Bila terpojok, tak ada tempat untuk berlindung.Ponsel butut kecil berfitur senter yang kutaruh di samping bantal, berdering. Suaranya begitu nyaring hingga membuat Ferdy dan Teddy menggeliat. Lekas kusambar dan bangkit dari pembaringan. Nama Sofia--kakak tertuaku terpampang di layar ponsel berwarna abu-abu itu."Halo, Kak.""Nur, aku tak sabar ingin mengucapkan terima kasih padamu. Uang sewa rumahku sudah dibayar Ibu. Ia bilang, uang itu dari majikanmu. Sebenarnya suamiku melarang untuk menelepon selarut ini. Maaf jika aku mengganggu tidurmu."Ya, Tuhan. Sofia juga dilibatkan dalam hal ini. Ia bahkan tak mengenal Tua
Rahasia Majikanku#5Tuan Felix bergegas keluar dari mobil dan menyalami guru Felicia. Matanya menyiratkan ketidaksukaan akan kehadiranku. Aku pun masuk ke dalam dengan lutut sedikit gemetar. Setelah diingat-ingat, ternyata aku belum sarapan.Izin dari nyonya, tak membuatku lancang begitu saja. Makanan dan minuman semuanya tersedia. Apa yang tak bisa kubeli dan kumakan di rumah, di sini bahkan tak disentuh oleh pemiliknya. Lebih baik merendam cucian saja. Nanti rasa lapar ini juga akan hilang dengan sendirinya."Apa yang kau bicarakan dengan guru Felicia?" tanya Tuan Felix setelah kulihat perempuan itu pergi. Mobilnya masih di luar. Mungkin si tuan hendak pergi lagi."Saya tidak membicarakan apa-apa, Tuan. Guru itu hanya menanyakan keadaan Felicia.""Mana Felicia?""Di kamarnya. Nona berbaring setelah saya kompres. Tadi kepalanya terasa sangat panas."
Rahasia Majikanku#6Di perjalanan pulang, mataku tertuju pada sebuah bangunan berwarna cokelat. Sepertinya orang-orang yang ada di dalam bangunan itu sangat tepat untukku meminta pertolongan."Minggir, Pak."Sedikit terlewat dari bangunan itu karena angkutan umum yang kunaiki jalannya terlalu kencang. Sang sopir sedikit menyeringai saat kuserahkan beberapa lembar uang seribuan. Terang saja ia marah. Aku meminta turun secara tiba-tiba.Sedikit perasaan canggung, kulangkahkan kaki menuju meja informasi. Seorang lelaki berseragam cokelat muda itu tersenyum padaku dan mempersilakan untuk duduk. Dingin. Entah karena ruangan ini berpendingin, entah telapak tanganku memang dingin. Entahlah. Kakiku seakan mati rasa."Ada yang bisa saya bantu, Nona?"Lelaki itu memanggilku nona. Mungkin karena tubuhku yang kecil mungil dan tinggi badan satu meter setengah saja tak sampai. And
Rahasia Majikanku#7"Mengapa kau pulang lama sekali, Nur?" sambut Ibu di depan pintu. Ferdy dan Teddy kulihat tengah asik menikmati sesuatu."Aku tadi ke kantor polisi, Bu. Aku juga pergi ke rumah Harry.""Kantor polisi? Untuk apa?" tanya Ibu dengan mata terbelalak. Aku tahu ia pasti ketakutan mendengar lembaga itu kusebut. Sembari berjalan menuju meja makan tempat Ferdy dan Teddy, Ibu mengikuti langkahku dari belakang."Aku melaporkan Tuan Felix.""Kau sudah gil*, Nur. Apa yang telah dia lakukan hingga kau ingin melaporkannya pada polisi?"Ibu menarik lenganku dengan kasar. Ia menatap dalam ke arah mataku. Kami bersitatap di detik pertama. Detik selanjutnya kupalingkan pandangan pada makanan yang ada di meja."Aku tak tahu, Bu. Entah apa yang dia lakukan. Yang jelas, aku akan mengumpulkan bukti yang kuat," ucapku seraya mencomot ayam goreng krispi d
Rahasia Majikanku 8Kami berdua memasuki garasi. Nyonya Vivian menaiki mobilnya dan menyalakan mesin. Aku pun menggantung tas di dinding dan memulai pekerjaan. Yakni, mengumpulkan pakaian kotor penghuni rumah. Entah berapa kali mereka berganti pakaian. Setiap hari selalu saja ada banyak cucian. Terkadang ada pakaian yang tak kukenali ikut tercuci mau tak mau. Pakaian itu telah tercampur di dalam keranjang mereka."Nur, kunci garasinya," teriak Nyonya Vivian dari mobilnya."Baik, Nyonya."Suasana menegangkan bila kami hanya berdua di rumah. Tuan Felix tak banyak bicara. Sekali bicara, ia hanya akan menimbulkan ketakutan dalam diri ini. Mungkin rasanya lebih baik ia diam. Semoga hari ini ada petunjuk dan kesempatan untuk mengumpulkan bukti kejahatannya.***Nomor ponsel Nyonya Vivian telah kupindahkan ke ponsel android. Ternyata nomor itu langsung terhubung ke aplikasi Whats
Muncrat!Beberapa tusukan ia tikamkan oleh Nyonya Vivian tepat di dada sebelah kiri lelaki berbibir merah itu. Darah merah segar menyembur dari sana. Ia mengerang dan berlutut. Matanya melotot dan tangannya menggapai seperti minta pertolongan. Kaki ini terasa kaku. Tubuhku bergetar hebat dan rasanya ingin muntah. Tak lama, kulihat lelaki itu tampak tumbang dengan posisi menelungkup di lantai. Apa ia mati?Perempuan itu berdiri menjauh beberapa langkah dari tempatnya semula. Ia berjalan mundur seraya mengangkat kedua telapak tangan. Pisau digenggamannya terhempas ke lantai. Ia balik badan dan menatapku dengan wajah panik."Nur, kau melihatnya?"Pertanyaan macam apa itu. Tentu saja aku melihatnya. Mataku tak rabun apalagi buta. Perempuan itu menatap kedua telapak tangannya yang bersimbah darah. Lantai keramik yang putih telah memerah. Lelaki bertubuh kekar itu tumbang dengan beberapa tusukan di dada.
Nyonya Vivian sudah mengizinkan untuk pulang. Aku pun kembali memasukkan kain ke dalam keranjang. Kain yang tadi tak jadi disetrika. Saat mengangkat kain tersebut, aku lupa bahwa ponsel kuletakkan di sana hingga ponsel itu terjatuh ke lantai."Apa itu, Nur?" tanya Nyonya Vivian yang berjalan ke arahku. Rumah yang sepi membuat suara ponsel jatuh terdengar jelas. Apalagi perempuan itu masih duduk di meja makan."Ponsel saya terjatuh, Nyonya.""Apa ponselmu baik-baik saja?""Saya rasa begitu, Nyonya."Untung Nyonya Vivian tak curiga. Ponsel ini mati total saat kupungut dari lantai. Antara mati karena rusak dan kehabisan baterai. Kameranya terlalu lama menyala. Kemungkinan besar hanya kehabisan baterai saja. Ponsel ini tak sebagus saat pertama dibeli dahulu. Kondisinya sudah setengah uzur. Jadi harus hati-hati saat memakainya. Untung saja Harry mau menyerahkan. Semoga ponsel ini menangka
Sebagai teman yang telah berjasa mempertemukanku dengan Nyonya Vivian, aku tak mau memaksa Laila untuk bercerita. Ia pun tampak sangat terpukul saat mendengar ucapanku. Kuurungkan niat untuk menceritakan kejadian tadi siang pada Laila. Ini rahasia besar antara aku dan Nyonya Vivian. Ia tak perlu tahu. Meski ia pula yang membuatku terbawa-bawa dalam kasus besar ini. Tentu ia tak menyangka ini semua akan terjadi."Maafkan aku, Laila. Semoga saat tujuanmu tercapai, kau mau menceritakannya padaku.""Sedikit lagi, Nur. Sedikit lagi tujuanku akan tercapai.""Baiklah. Mana suamimu?""Dia ...."Air mata Laila jatuh lagi membentuk aliran sungai kecil dari pipi hingga sudut bibirnya yang merah alami tanpa sentuhan pewarna bibir itu. Ia mengulum bibir saat cairan bening itu nyaris melewati cela antara bibir atas dan bawah. Tangan kananku lantas terangkat dan menyeka pipinya."Ada apa