Share

Bab 3

Sejenak kusingkirkan segala hal mengenai peristiwa di tempat kerja. Aku pun memulai aktifitas di rumah. Stok bahan untuk lauk nanti malam belum ada. Aku harus berutang lagi di warung Sakinah. Semoga ia mau memberi utangan karena kurasa sudah hampir mencapai batasan. Jangan sampai lebih besar pasak daripada tiang.

"Kau mau ke mana, Nur?" tanya Ibu saat aku hendak melangkah ke luar. Perempuan yang kucinta itu merogoh sesuatu dari balik dinding kamarnya.

"Aku mau berutang di warung Sakinah. Bahan dapur sudah habis, Bu."

"Tidak usah berutang. Ambil uang ini, bayar semua utangmu."

Ibu menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribuan. Tumben sekali ia memegang uang sebanyak ini. Biasanya selalu mengeluh, saudaraku yang lain jarang memberi. Mereka tak mampu. Sama sepertiku.

"Uang dari mana, Bu?"

"Jangan banyak tanya. Pergi saja beli bahan dapur. Hari sudah sore."

"Baik, Bu."

Dengan senang hati, aku beranjak ke warung Sakinah. Ia menyambut kedatanganku dengan mendengus. Saat kuperlihatkan uang merah-merah, matanya langsung membulat.

"Aku mau membayar semua utang bulan ini," ujarku pada Sakinah. Ia mengerutkan kening. Mungkin ia heran, mengapa begitu cepat aku gajian.

"Rasanya sekarang belum waktunya kau gajian, Nur."

"Memang benar. Ini diberi Ibuku."

"Tumben Ibumu banyak uang."

"Entahlah. Kau coret saja utangku bulan ini. Awal bulan, aku tak perlu membayar utang lagi. Sisanya untuk membeli bahan dapur. Aku belum memasak untuk makan malam."

"Oke, Nur. Apa pun yang kau mau."

Manusia mana yang tak akan berubah menjadi baik saat melihat uang. Sakinah contohnya. Biasanya ia cemberut saat aku datang. Sekarang ia dengan senang hati melayani. Ia bahkan menawariku ikan-ikan yang tak laku tadi siang. Ia memintaku untuk membeli. Daripada ikannya busuk, akhirnya aku pun membelinya.

***

"Nur, kau beruntung mendapat majikan sebaik Tuan Felix," ucap Ibu sewaktu makan malam.

"Mengapa Ibu bicara seperti itu?" tanyaku heran. Ibu tak tahu saja bagaimana kelakuannya di rumah.

"Uang yang kuberi padamu tadi, itu semua pemberian Tuan Felix."

Tiba-tiba perutku menjadi mulas. Hilang selera makan dan terbayang peristiwa tadi siang. Ia menyuap Ibu agar aku tergigit lidah. Posisiku semakin sulit. Mungkinkah ia melakukan semua ini karena takut rahasianya terbongkar?

"Mengapa Ibu tak bilang dari tadi?"

"Ibu tahu, kau pasti akan menolak. Sama seperti saat mantan suamimu memberi nafkah untuk anak-anak. Kau menolak karena keegoisanmu, Nur."

Ibu tak tahu permasalahannya. Harry memberi uang karena ia ingin hak asuk anak-anak jatuh ke tangannya. Jelas aku menolak. Setelah mengabaikan Ferdy dan Teddy, lalu ia datang bagai pahlawan kesiangan.

"Jangan asal terima uang dari orang yang belum Ibu kenal."

"Laila mengatakan padaku kalau Tuan Felix itu majikanmu. Dia bukan orang yang tak dikenal. Laila yang membawanya kemari."

Percuma menjelaskannya pada Ibu. Kemiskinan membuat Ibu menilai kebaikan orang dari uang. Asal diberi uang, berarti orang itu baik. Aku tak tahu apa yang akan dilakukan Tuan Felix setelah ini.

***

"Mau beli apa, Nur?" tanya Sakinah saat aku mengetuk pintu warungnya yang telah tutup.

"Aku mau meminta uang yang tadi sore kuberikan padamu."

"Apa maksudmu?"

"Aku tak jadi membayar utang."

"Tidak bisa, Nur. Uangnya sudah habis."

Rencananya uang itu akan kukembalikan pada Tuan Felix. Lalu aku akan meminta berhenti bekerja. Tak kuat jantung ini lama-lama bekerja di sana. Aku tak mau menjadi saksi perlakuan bej*tnya terhadap Felicia. Ah, aku belum tahu pasti. Hanya menduga-duga karena noda itu membuatku curiga.

"Aku mohon, Sakinah. Akan kubayar awal bulan."

"Tidak bisa, Nur. Uangnya sudah habis untuk membeli stok dagangan. Maaf, Nur."

Lunglai kaki ini kulangkahkan di jalan pulang. Harusnya tadi kutanyakan pada Ibu dari mana uang itu berasal. Nasi telah jadi bubur. Aku harus mencari pinjaman agar uang itu bisa dikembalikan. Mau meminjam pada siapa?

***

Tok tok tok

Terpaksa malam ini juga kuketuk pintu rumah Laila. Ia pasti mempunyai banyak uang karena bekerja di toko perhiasan milik Nyonya Vivian. Semoga ia tak banyak alasan.

"Nur? Masuk, Nur." Laila tampak heran saat melihat aku datang. Ia membuka pintu lebar-lebar dan menyuruhku masuk. Aku menolak karena hari sudah malam. Aku memilih duduk di teras karena kaki sudah lelah berjalan. Jarak rumah kami setengah kilo. Tak ada angkutan umum atau tukang ojek di jam seperti ini.

"Aku mau meminjam uang, Laila."

"Untuk apa, Nur?" tanya Laila seraya memegang lututku.

"Untuk mengganti uang Tuan Felix. Ia memberi uang pada Ibu. Aku takut, Lail. Aku mau berhenti saja."

"Jangan, Nur. Kau akan sulit mendapat pekerjaan. Tuan Felix itu tulus memberi Ibumu uang. Anak-anakmu begitu senang saat kami bawa tadi siang."

"Aku takut, Lail. Tuan Felix bukan orang baik."

"Aku mengenalnya, Nur. Dia orang yang royal. Makanya aku betah bekerja di toko perhiasannya."

Andai kuceritakan tentang Felicia. Aku takut menjadi fitnah. Sementara mata kepalaku tak melihat kejadian yang sebenarnya.

Benar yang dikatakan Laila. Bila berhenti, akan sulit mencari pekerjaan lain di luar sana. Umurku sudah tiga puluh dua tahun. Sudah terbilang tua untuk mencari pekerjaan.

"Aku pamit, Laila."

"Hati-hati, Nur."

"Suamimu, mana? Aku mau pamit."

"Jhoni sedang ke luar kota, Nur. Kau pulang saja. Sudah pukul sepuluh. Maaf, aku tak bisa mengantar."

"Tidak apa-apa."

Aku sudah biasa berjalan kaki ke rumah Laila bila tak ada kendaraan. Pemuda di sekitar sini tak ada yang kurang ajar. Mereka tak akan mau mengganggu pejalan kaki sepertiku.

Dari arah utara, kulihat mobil Tuan Felix menuju ke arah selatan. Aku yakin itu mobilnya karena sudah hafal nomor platnya. Terus kuperhatikan hingga akhirnya mobil itu berhenti. Mobil Tuan Felix berhenti di depan rumah Laila. Masih bisa terlihat jelas karena rumahnya di pinggir jalan. Sementara posisiku belum jauh dari rumahnya.

Apa yang akan mereka bicarakan malam-malam begini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status