Dengan berat hati aku melangkahkan kaki dan bertanya pada resepsionis apakah benar ada nama suamiku di hotel itu. Entah karena selama ini mereka sudah terbiasa melakukannya atau karena Mas Salman menganggapku wanita yang tak tahu apa-apa. Mas Salman tidak menyembunyikan identitasnya sama sekali.
Aku pun terus berjalan menelusuri lorong-lorong dalam hotel itu dengan langkah berat. Walaupun hati ini belum siap tetapi perasaan dan pikiran ingin tahu itu terus memaksaku untuk terus berjalan. Sampai tiba di nomor kamar yang aku dapatkan tadi dengan nama suamiku.Aku menarik napas dalam dan panjang untuk mempersiapkan diri akan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Tak lupa juga aku terus berdoa jika apa yang aku lakukan ini tak salah. Aku pun mengambil handphoneku dan mencari nomor kontak suamiku."Hallo, ada apa sih? Aku masih sibuk bekerja Ana. Nanti kalau sudah selesai aku telpon balik ya!"Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku saat mendengar kebohongan dari mulut suami yang selalu aku hormati. "Kenapa kamu berbohong, Mas? Apa yang sebenarnya kamu rahasiakan dariku?"Aku terus menatap nomor pintu kamar yang saat ini berada di depanku. Ingin sekali aku mendobrak pintu itu tapi aku masih berusaha untuk sabar dan mencari cara untuk bisa mengetahui yang sebenarnya hari ini juga. Seperti Allah meridhoi jalanku, pintu itu sedikit terbuka aku pun dengan cepat bersembunyi."Ok, aku pergi sebentar ya! Jangan lupa siapin tempatnya!" ucap Mas Salman saat hendak keluar kamar.Aku pun kembali ke pintu itu setelah Mas Salman pergi. Dan lagi-lagi seolah keberuntungan itu berpihak padaku ternyata pintu itu tidak dikunci. Aku pun membukanya dengan pelan dan masuk dengan mengendap-endap. Aku dengar suara gemerincik air di kamar mandi itu yang aku yakini jika saat ini Mas Sandy lah yang tengah mandi.Lalu suara pintu terdengar terbuka kembali, dengan cepat aku pun bersembunyi di balik gordeng. Dengan pikiran yang penuh tanda tanya dan badan bergetar. Aku berusaha untuk tegar saat ini agar aku bisa membuktikan rahasia suamiku."Hay Mas, cepat sekali kamu datang?" kata Mas Sandy, membuat tubuhku semakin bergetar."Tentu saja aku cepat-cepat menyelesaikan tugasku. Karena aku juga sudah tak sabar ingin mendengar ocehanmu, he he." Suara Mas Salman menyahuti Mas Sandy."Seperti itu?" suara Mas Sandy lagi dengan tertawa renyah.Walau dada ini semakin sesak hati dan pikiranku semakin kacau. Aku berusaha kuat untuk mengeluarkan handphone-ku dan mengarahkan kamera pada arah Mas Salman agar bisa kujadi kan bukti akhlak bejadnya."Prak!!" Handphoneku terjatuh di balik gordeng karena tanganku bergetar saat memegangnya.Mas Salman dan Sandi begitu terkejut saat mendengar suara di balik gordeng kamar mereka. "Mas, itu suara siapa?"Mas Salman segera bangun lalu mendekat pada arah suara. "Ana," ucapnya dengan sangat terkejut saat melihatku kini berada di kamar mereka."Ana," ucapnya lagi dengan sangat ketakutan melihatku yang kini tengah berada di kamar mereka. "Ana, ini tidak-""Apa Mas? Ini tidak seperti yang aku lihat dan aku dengar, begitu?""An, aku ....""Aku begitu merasa sempurna mempunyai suami sepertimu, Mas, tapi nyatanya ...." Aku tak sanggup untuk melanjutkan ucapanku, aku pun segera berlari meninggalkan kamar laknat itu dengan hati yang hancur.Sepanjang perjalanan aku terus menangis tanpa peduli dengan lelah di kakiku. Karena rasa sakit di hatiku kali ini lebih sakit daripada rasa sakit yang kurasakan pada kakiku. Entah sudah seberapa jauh aku berlari dan menjauh dari dua orang yang melakukan hubungan terlarang itu. Dua pria yang ku anggap bersahabat karib itu ternyata adalah sepasang kekasih.Satu hal yang membuatku merasa lebih terhina adalah ... suamiku bahkan lebih tertarik pada sesama jenisnya daripada denganku sebagai lawan jenis. Di mana setiap pria akan menginginkan surga dunia bersama lawan jenisnya bahkan mereka berani melakukannya di luar pernikahan. Lalu, bagaimana denganku yang statusnya adalah istri dari Salman Emir, seorang pria gagah serta tampan itu nyatanya bahkan tak mempunyai ketertarikan padaku sama sekali.Berkali-kali aku menarik nafas agar sedikit mengurangi rasa sesak di dadaku. Aku merasa diriku begitu rendah di mata Mas Salman karena tak mampu membuat suamiku tertarik sedikit pun pada tubuhku. Aku juga merasa diriku begitu bodoh karena bisa-bisanya aku tertipu dengan kedok pernikahan yang digunakan oleh Mas Salman."Jadi, karena ini? Karena ini Mas Salman bahkan belum pernah menyentuhku?" Aku kembali meremas dadaku yang sesak. "Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa bisa-bisanya aku sampai tidak tahu jika suamiku ternyata ... ya Allah, ini sakit sekali."Tak lama handphone-ku berdering, segera kulihat siapa yang menghubungiku. Aku pun merasa malas saat melihat ternyata Mas Salman'lah yang menghubungiku. Aku hanya meremas handphone itu lalu kumasukkan kembali pada ranselku.Tak ada sedikit pun untukku ingin mendengar suara laki-laki yang statusnya adalah suamiku itu lagi. Rasa kecewa kepadanya membuat rasa hormatku hilang seketika. Aku pun segera beranjak dari simpuhanku menuju rumah sakit tempat di mana ibuku dirawat.Ya, jika saja ibuku tidak sakit, aku ingin sekali mencurahkan semua yang ku alami saat ini padanya. Namun, melihatnya terbaring lemah di brangkar rumah sakit membuatku kembali merasa sesak. Apu pun kembali bingung apa yang akan aku lakukan setelah ini. Karena aku sadar siapa yang membiayai semua pengobatan ibuku selama ini.Setelah tiba di rumah sakit tempat ibuku dirawat. Aku dikejutkan dengan keberadaan Mas Salman di depan ruangan Ibu. Aku membuang pandangan wajahku dari tatapan Mas Salman. Rasa jijik itu kini mulai membuat bulu kudukku kembali berdiri saat mengingat suara-suara laknat dari dua orang pria tadi."Mas ingin bicara, An." Mas Salman menatapku serius."Aku tidak mau," sahutku dengan lantang dan memalingkan wajah karena tak sudi melihat wajah pria yang menyukai sesama jenisnya itu.Mas Salman berdesis saat aku menolaknya. "Heuh, sebaiknya kamu berpikir panjang terlebih dahulu tentang pengobatan ibumu sebelum kamu menolak bicara denganku, Ana," ucapnya sedikit menyeringai mengejekku.Aku menoleh pada Mas Salman. "Apa maksudmu, Mas?""Tutup mulutmu dan jaga rahasiaku pada orang tuaku juga pada semua keluargaku. Maka pengobatan ibumu pun akan aku jamin," ucap Mas Salman dengan entengnya.Aku memalingkan wajahku. "Jangan harap aku mau mengikuti kemauan sesatmu, Mas!""Kamu yakin, Ana?" Mas Salman menyeringai mengejekku. "Aku beri waktu 1x24 jam untuk kamu mulai berpikir akan pengobatan ibumu. Jika kamu tidak mau menandatangani perjanjian itu. Maka dengan sangat menyesal, aku hentikan pengobatan ibumu detik itu juga." Mas Salman melemparkan dokumen perjanjian lalu pergi dengan penuh keyakinan jika aku akan menyerah padanya.Aku pun ambruk di samping tubuh Ibu yang lemah. "Apa yang harus aku lakukan?"Aku, Mas Al dan Ibu juga Ayah hanya menatap bingung pada Akilah yang begitu kekeh ingin mempertahankan pernikahannya dengan Mas Azzam. Walau aku tahu mungkin karena besarnya cinta Akilah pada Mas Azzam. Seperti halnya dulu saat Mas Al meminta maaf padaku.Akikah menarik napasnya. "Mas, aku tanya sama kamu. Apa kamu benar-benar tidak bisa mencintaiku, Mas? Aku tahu mungkin cintamu hanya untuk Kak Ana. Tapi, Kak Ana itu istri dari Mas Al. Jika saja kamu bisa menerimaku seperti hal nya Mas Al dulu menerima Kak Ana, insya Allah aku akan memaafkanmu dan menerimamu."Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar penuturan dari Akilah. "Astaghfirullah, Kila.""Kila, putri Ayah, pikirkan baik-baik tentang keputusanmu, Nak." Ayah merangkul Akilah meyakinkan keputusan Akilah.Mas Azzam menatap Akilah. "Kila, apa kamu benar-benar mau memaafkanku?"Semua orang pun menoleh pada Mas Azzam. Ada hati yang tergores mendengar ucapan Mas Azzam karena aku pikir apa yang dilakukan oleh Mas Azzam sungguh j
"Aaarrggghh!" Bugh!Bugh! Bugh! Mas Al memukul Mas Azzam tanpa henti. Amarahnya mungkin sudah tidak bisa ditahannya lagi setelah beberapa menit Mas Al menahannya. Aku dan Akilah pun berusaha untuk menarik tubuh Mas Al karena Mas Azzam semakin babak belur sebab tidak melawan sama sekali. "Mas, hentikan!" Kami menarik tubuh Mas Al dengan sekuat tenaga kami, namun, tenaga Mas Al masih bukan tandingan untuk kami. "Mas, Ku mohon hentikan! Jangan sakiti suamiku, Mas!" Akilah akhirnya menghalangi tubuh Mas Azzam dari depan, sehingga pukulan itu terkena juga pada Akilah. "Aw!" "Kila, astaghfirullah. Hentikan, Mas!" Aku menghalangi Mas Salman. Perlahan Mas Al pun berhenti memukul wajah Mas Azzam. "Aku akan menghabisimu." Bugh! "Akh!" Aku terkena pukulan Mas Al, setelah Akilah kini aku pun terjatuh karena terpukul oleh Mas Al. "Ana." Mas Al segera menghampiriku. "Maaf, sayang."Akilah kembali menghampiri Mas Azzam. "Mas, kamu tidak apa-apa? Kita ke dokter sekarang." Akilah merangkul t
"Mas, kamu kenapa sih? Aku lihat kamu itu murung terus? Ada apa?" Aku mengapit wajah Mas Salman dengan lembut. "Aku mohon jangan ada rahasia diantara kita." Mas Salman menatapku begitu dalam. "Tidak ada, sayang. Aku hanya tidak ingin banyak bicara aja." Aku menatap Mas Salam tak percaya. Setelah semua yang terjadi, aku tahu bagaimana keadaan raut wajah suamiku saat kesal, saat marah dan saat bahagia. Aku yakin Mas Salman menyembunyikan sesuatu dariku. "Ooh. Mas, aku ...." Aku menggantung ucapanku. "Enggak jadi deh." Aku pun beranjak dari duduk, namun, Mas Salman tak membiarkanku pergi dan menarik tubuhku. "Kamu apa, Ana?" tanya Mas Salman yang begitu penasaran karena ucapanku yang tergantung. Aku menarik napas panjang. "Aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin menghirup udara sore di balkon," dalihku kembali beranjak, namun, lagi-lagi Mas Salman tak membiarkanku. "Jangan bohong, Ana. Kamu tidak bisa membohongiku." Aku pun kembali menarik napas dan duduk di samping Mas Salman dan mera
"Aw!" Akilah sedikit terkejut karena tangannya di tarik oleh Mas Azzam. "Ada apa sih, Mas?" Mas Azzam menatap tajam Akilah dengan cekalan tangan yang semakin kuat. "Jika sampai mereka tahu keadaan rumah tangga kita. Itu berarti salah kamu, Kila!" Akilah meringis karena cengkeraman tangan Mas Azzam tidak main-main. "Kamu benar-benar sakit, Mas. Aku pikir pria sepertimu tidak memiliki penyakit seperti itu, tapi nyatanya kamu benar-benar gila." Mendengar cemohan Akilah, tangan Mas Azzam beralih mencengkram dagu Akilah. "Ya, aku memang sakit. Dan itu semua karena Kakakmu, Kila. Jadi, kamu yang harus menanggung akibatnya. Jika aku sakit dan gila karena aku tidak bisa memiliki Ana, maka kamu pun harus merasakan hal yang sama." Akilah kembali merembeskan air matanya, dengan sekuat tenaga Akilah mencoba untuk menghentikan cengkeraman Mas Azzam. "Sakit, Mas, hiks! Kenapa? Kenapa harus aku yang harus menanggung akibatnya? Aku mencintaimu tapi kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Mas? Ji
Setelah Akilah akhirnya hilang dari pandangan kami, aku dan Mas Al bersiap-siap untuk membereskan barang-barangku. Pandanganku tertuju pada benda pipih yang tergeletak di kursi tempat Akilah tadi. Aku mengambilnya dan benar saja itu adalah handphone milik Akilah."Astaghfirullah, ini handphonenya Akilah ketinggalan, Mas." "Handphone Kila?" "Heem,, ini." Aku memberikan handphonenya itu pada Mas Al."Heeh dasar, masih muda udah pikun!" "Ist, ko gitu amat sih, Mas? He he. Nanti kita mampir dulu aja ke rumah mereka gimana? Kita juga akhirnya enggak jadi ikut antar mereka kan kemaren?"Mas Al terlihat berpikir. "Ya, baiklah." Setelah selesai membereskan barang-barangku, Mas Al membereskan administrasi terlebih dahulu sebelum kami keluar dari rumah sakit. Setelah itu kita pun segera menuju rumah Akilah karena kebetulan letak rumah Akilah lebih dekat dari rumah sakit di banding ke rumahku atau Ibu. Hanya beberapa menit kita pun sampai di rumah baru Akilah. "Assalamualaikum, Bi, Kila ada
"Mas, alhamdulillah." Aku segera memeluk Mas Al saat Mas Al datang setelah beberapa jam menghilang. "Kamu ke mana aja, Mas? Aku khawatir." Mas Al memeluk dan mengecupi wajahku. "Maafkan aku, Ana. Aku terlalu lemah dan tidak bisa mengendalikan diriku."Aku mengapit wajah Mas Al. "Aku takut kamu melakukan hal bodoh, Mas."Mas Al menatapku dengan sendu. "Tidak, Ana. Aku tidak akan membiarkanmu menjanda." Aku mengerutkan kening dan sedikit mengerucutkan bibirku. "Apa maksudmu, Mas?"Mas Al tersenyum tipis penuh arti. "Bukankah kamu pikir aku akan melakukan hal bodoh? Kamu pikir aku akan bunuh diri begitu?""Ist, bukan itu. Aku pikir kamu sama Santi ...." Aku menunduk tak sanggup melanjutkan ucapanku. Mas Al menatapku dengan tersenyum getir. Nyatanya tidak hanya bagiku, trauma masa lalu itu tidak mudah bagi Mas Al. Sungguh, luka itu tidak hanya untukku, tapi juga untuk Mas Al. "Maaf, Mas. Maaf aku membuatmu-" Cup!"Kamu tidak salah, sayang. Aku yang salah." Dalam sejenak kami terdiam