Share

Bab 2. Kenyataan Pahit

Dengan berat hati aku melangkahkan kaki dan bertanya pada resepsionis apakah benar ada nama suamiku di hotel itu. Entah karena selama ini mereka sudah terbiasa melakukannya atau karena Mas Salman menganggapku wanita yang tak tahu apa-apa. Mas Salman tidak menyembunyikan identitasnya sama sekali.

Aku pun terus berjalan menelusuri lorong-lorong dalam hotel itu dengan langkah berat. Walaupun hati ini belum siap tetapi perasaan dan pikiran ingin tahu itu terus memaksaku untuk terus berjalan. Sampai tiba di nomor kamar yang aku dapatkan tadi dengan nama suamiku.

Aku menarik napas dalam dan panjang untuk mempersiapkan diri akan segala kemungkinan buruk yang terjadi. Tak lupa juga aku terus berdoa jika apa yang aku lakukan ini tak salah. Aku pun mengambil handphoneku dan mencari nomor kontak suamiku.

"Hallo, ada apa sih? Aku masih sibuk bekerja Ana. Nanti kalau sudah selesai aku telpon balik ya!"

Tak terasa air mataku meleleh membasahi pipiku saat mendengar kebohongan dari mulut suami yang selalu aku hormati. "Kenapa kamu berbohong, Mas? Apa yang sebenarnya kamu rahasiakan dariku?"

Aku terus menatap nomor pintu kamar yang saat ini berada di depanku. Ingin sekali aku mendobrak pintu itu tapi aku masih berusaha untuk sabar dan mencari cara untuk bisa mengetahui yang sebenarnya hari ini juga. Seperti Allah meridhoi jalanku, pintu itu sedikit terbuka aku pun dengan cepat bersembunyi.

"Ok, aku pergi sebentar ya! Jangan lupa siapin tempatnya!" ucap Mas Salman saat hendak keluar kamar.

Aku pun kembali ke pintu itu setelah Mas Salman pergi. Dan lagi-lagi seolah keberuntungan itu berpihak padaku ternyata pintu itu tidak dikunci. Aku pun membukanya dengan pelan dan masuk dengan mengendap-endap. Aku dengar suara gemerincik air di kamar mandi itu yang aku yakini jika saat ini Mas Sandy lah yang tengah mandi.

Lalu suara pintu terdengar terbuka kembali, dengan cepat aku pun bersembunyi di balik gordeng. Dengan pikiran yang penuh tanda tanya dan badan bergetar. Aku berusaha untuk tegar saat ini agar aku bisa membuktikan rahasia suamiku.

"Hay Mas, cepat sekali kamu datang?" kata Mas Sandy, membuat tubuhku semakin bergetar.

"Tentu saja aku cepat-cepat menyelesaikan tugasku. Karena aku juga sudah tak sabar ingin mendengar ocehanmu, he he." Suara Mas Salman menyahuti Mas Sandy.

"Seperti itu?" suara Mas Sandy lagi dengan tertawa renyah.

Walau dada ini semakin sesak hati dan pikiranku semakin kacau. Aku berusaha kuat untuk mengeluarkan handphone-ku dan mengarahkan kamera pada arah Mas Salman agar bisa kujadi kan bukti akhlak bejadnya.

"Prak!!" Handphoneku terjatuh di balik gordeng karena tanganku bergetar saat memegangnya.

Mas Salman dan Sandi begitu terkejut saat mendengar suara di balik gordeng kamar mereka. "Mas, itu suara siapa?"

Mas Salman segera bangun lalu mendekat pada arah suara. "Ana," ucapnya dengan sangat terkejut saat melihatku kini berada di kamar mereka.

"Ana," ucapnya lagi dengan sangat ketakutan melihatku yang kini tengah berada di kamar mereka. "Ana, ini tidak-"

"Apa Mas? Ini tidak seperti yang aku lihat dan aku dengar, begitu?"

"An, aku ...."

"Aku begitu merasa sempurna mempunyai suami sepertimu, Mas, tapi nyatanya ...." Aku tak sanggup untuk melanjutkan ucapanku, aku pun segera berlari meninggalkan kamar laknat itu dengan hati yang hancur.

Sepanjang perjalanan aku terus menangis tanpa peduli dengan lelah di kakiku. Karena rasa sakit di hatiku kali ini lebih sakit daripada rasa sakit yang kurasakan pada kakiku. Entah sudah seberapa jauh aku berlari dan menjauh dari dua orang yang melakukan hubungan terlarang itu. Dua pria yang ku anggap bersahabat karib itu ternyata adalah sepasang kekasih.

Satu hal yang membuatku merasa lebih terhina adalah ... suamiku bahkan lebih tertarik pada sesama jenisnya daripada denganku sebagai lawan jenis. Di mana setiap pria akan menginginkan surga dunia bersama lawan jenisnya bahkan mereka berani melakukannya di luar pernikahan. Lalu, bagaimana denganku yang statusnya adalah istri dari Salman Emir, seorang pria gagah serta tampan itu nyatanya bahkan tak mempunyai ketertarikan padaku sama sekali.

Berkali-kali aku menarik nafas agar sedikit mengurangi rasa sesak di dadaku. Aku merasa diriku begitu rendah di mata Mas Salman karena tak mampu membuat suamiku tertarik sedikit pun pada tubuhku. Aku juga merasa diriku begitu bodoh karena bisa-bisanya aku tertipu dengan kedok pernikahan yang digunakan oleh Mas Salman.

"Jadi, karena ini? Karena ini Mas Salman bahkan belum pernah menyentuhku?" Aku kembali meremas dadaku yang sesak. "Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa bisa-bisanya aku sampai tidak tahu jika suamiku ternyata ... ya Allah, ini sakit sekali."

Tak lama handphone-ku berdering, segera kulihat siapa yang menghubungiku. Aku pun merasa malas saat melihat ternyata Mas Salman'lah yang menghubungiku. Aku hanya meremas handphone itu lalu kumasukkan kembali pada ranselku.

Tak ada sedikit pun untukku ingin mendengar suara laki-laki yang statusnya adalah suamiku itu lagi. Rasa kecewa kepadanya membuat rasa hormatku hilang seketika. Aku pun segera beranjak dari simpuhanku menuju rumah sakit tempat di mana ibuku dirawat.

Ya, jika saja ibuku tidak sakit, aku ingin sekali mencurahkan semua yang ku alami saat ini padanya. Namun, melihatnya terbaring lemah di brangkar rumah sakit membuatku kembali merasa sesak. Apu pun kembali bingung apa yang akan aku lakukan setelah ini. Karena aku sadar siapa yang membiayai semua pengobatan ibuku selama ini.

Setelah tiba di rumah sakit tempat ibuku dirawat. Aku dikejutkan dengan keberadaan Mas Salman di depan ruangan Ibu. Aku membuang pandangan wajahku dari tatapan Mas Salman. Rasa jijik itu kini mulai membuat bulu kudukku kembali berdiri saat mengingat suara-suara laknat dari dua orang pria tadi.

"Mas ingin bicara, An." Mas Salman menatapku serius.

"Aku tidak mau," sahutku dengan lantang dan memalingkan wajah karena tak sudi melihat wajah pria yang menyukai sesama jenisnya itu.

Mas Salman berdesis saat aku menolaknya. "Heuh, sebaiknya kamu berpikir panjang terlebih dahulu tentang pengobatan ibumu sebelum kamu menolak bicara denganku, Ana," ucapnya sedikit menyeringai mengejekku.

Aku menoleh pada Mas Salman. "Apa maksudmu, Mas?"

"Tutup mulutmu dan jaga rahasiaku pada orang tuaku juga pada semua keluargaku. Maka pengobatan ibumu pun akan aku jamin," ucap Mas Salman dengan entengnya.

Aku memalingkan wajahku. "Jangan harap aku mau mengikuti kemauan sesatmu, Mas!"

"Kamu yakin, Ana?" Mas Salman menyeringai mengejekku. "Aku beri waktu 1x24 jam untuk kamu mulai berpikir akan pengobatan ibumu. Jika kamu tidak mau menandatangani perjanjian itu. Maka dengan sangat menyesal, aku hentikan pengobatan ibumu detik itu juga." Mas Salman melemparkan dokumen perjanjian lalu pergi dengan penuh keyakinan jika aku akan menyerah padanya.

Aku pun ambruk di samping tubuh Ibu yang lemah. "Apa yang harus aku lakukan?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
dasar tolol dan kebanyakan drama. mikir dg cerdas dan kenali siapa diri mu yg biaya rumah sakit ibumu bergantung sama suami mu. ayo bangun dan sadar diri dikit
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status