Mobil yang dinaikki oleh Arland dan Ayra memasuki basement Plaza Indah Mall, pusat perbelanjaan terbesar yang berada di pusat kota. Arland lebih dulu turun dari mobil lalu mengitarinya, membuka pintu sebelah kiri mempersilahkan Ayra untuk turun dari mobil.
Ayra mengedarkan pandangannya membuat Arland merasa heran. "Kenapa Sayang?" "Nggak apa-apa." "Sepertinya sudah lama kita tidak ke sini, Ayo masuk!" Arland merangkul Ayra mengajaknya masuk ke dalam Mall. Ayra mendongak menatap sejenak wajah Arland. "Ternyata bukan cuma aku yang diperlakukan seperti ini oleh Mas Arland, ada wanita lain yang mendapat perlakuan yang sama seperti ini atau bahkan lebih." monolong Ayra dalam hati, sakit rasanya sangat sakit menyadari perhatian, cinta serta kasih sayang suaminya telah terbagi dengan wanita lain. "Sayang, apa kamu baru sadar kalau suamimu sebenarnya sangat tampan." Mendengar ucapan Arland, dengan cepat Ayra memalingkan wajahnya merasa malu seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. "Kamu boleh menatap wajah Mas, nggak perlu malu-malu seperti itu!" Arland mencubit pipi Ayra dengan gemas. "Mas!" Ayra berusaha menyingkirkan tangan Arland dari pipinya. "Kenapa Sayang?" "Jangan main cubit-cubit sakit tahu!" "Bilang aja minta dicium! Apa susahnya." Dengan gerakan cepat Arland mengecup singkat kedua pipi Ayra. Ayra terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Arland. "Mas, ini di tempat umum!" bentak Ayra mengingatkan. "Memangnya kenapa, lagipula kita sudah menikah?" Arland berkata dengan santai tanpa merasa bersalah sedikitpun. "Malulah, ih Mas ini ya!" Ayra mencubit pinggang Arland dengan kuat. "Awh ...." Arland mengadu kesakitan refleks mengusap-usap pinggangnya yang baru saja dicubit oleh Ayra. "Kamu mau balas dendam karena tadi Mas mencubit pipimu?" "Iya." jawab Ayra singkat. Tanpa mereka sadari ada seseorang yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua dari kejauhan sambil mengepalkan kedua tangannya dengan kuat. Dering hp menarik perhatian mereka. "Mas, sepertinya hp-mu bunyi." Arland merogoh sakunya mengambil benda pipih yang tersimpan di dalamnya. "Mas angkat telephon dulu, kamu pilih saja pakaian yang kamu suka kalau sudah selesai bilang sama Mas!" "Iya Mas." Arland berjalan menjauh dari Ayra mengangkat panggilan yang masuk ke hp-nya. Sedangkan Ayra segera masuk ke dalam fashion store. "Mas, kamu ada dimana?" Arland mengerutkan keningnya mendengar suara seseorang dari seberang sana setelah panggilannya terhubung. Orang yang sedang menelpon adalah Riska. Aku ada di rumah di ruang kerja banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan saat ini." jawab Arland berbohong. "Mas, kenapa kamu berbohong kepadaku? Aku tahu sekarang kamu ada di Plaza Indah Mall bersama dengan Ayra. Katanya kamu tidak mencintainya kenapa kamu terlihat begitu mesra dengannya?" Arland terkejut mendengar ucapan Riska refleks mengedarkan pandangannya, hingga akhirnya dia melihat Riska berada tidak jauh darinya. "Kenapa Riska bisa ada di sini?" patin Arland heran. "Ini tidak seperti yang kamu lihat, aku akan jelaskan semuanya!" Arland berjalan dengan cepat menghampiri Riska. "Riska !" panggil Arland setelah berada di hadapan Riska. "Apalagi yang mau kamu jelaskan, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kamu begitu mesra dengan Ayra. Kamu mencintainya kan?" Riska menatap ke arah Arland menuntut jawaban darinya, sedangkan air matanya mengucur deras membasahi kedua pipinya. "Semua kata-katamu ternyata hanya bualan semata, kamu pembohong." teriak Riska penuh amarah. "Jika kamu mencintai Ayra katakan, jangan memberiku harapan palsu seperti ini! Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam kehidupan rumah tangga kalian." Riska menghapus buliran-buliran bening yang membasahi kedua pipinya lalu memalingkan wajahnya enggan menatap ke arah Arland. "Nggak." Arland meraih pergelangan tangan Riska. "Lepas! Aku nggak mau lagi dengan Mas. Mas boleh menghinaku tetapi tidak boleh menghina rasa cintaku." Riska melepaskan tangannya yang sedang dipegang oleh Arland. Namun usahanya sia-sia karena Arland menariknya sehingga dirinya menabrak dada Arland. Dengan gerakan cepat Arland menahan pinggang Riska agar tetap menempel dengannya. "Mas hanya mencintaimu, percayalah!" Salah satu tangan Arland membelai pipi Riska dengan lembut. Perlahan Riska mendongak menatap ke arahnya. "Benarkan?" "Tentu saja." Senyuman merekah di bibir Riska mendengar ucapan Arland. Dia menempelkan kepalanya ke dada Arland seolah sedang mencari kenyamanan. Tangan Arland bergerak mengusap-usap punggung Riska dengan lembut. "Ayra, cepat atau lambat Mas Arland akan menceraikan mu. Kemudian menikahiku menjadikan aku satu-satunya ratu di hatinya." Monolog Riska dalam hati membayangkan dirinya menikah dengan Arland. Riska mengalungkan tangannya ke leher Arland, kemudian mengecup bibirnya. Menyadari sesuatu yang kenyal menempel di bibirnya, Arland segera meraih tengkuk Riska. Awalnya hanya berupa kecupan, namun semakin lama semakin menuntut serta meminta lebih. Mereka saling bertukar saliva tidak peduli kalau saat ini berada di tempat umum. Lisa yang sedang berjalan tidak jauh dari mereka, tentu saja melihat apa yang sedang dilakukan oleh Arland dan Riska. "Mesra-mesraan di tempat umum seperti ini. Benar-benar tidak tahu tempat." gumam Lisa menggelengkan kepalanya pelan. Tidak hanya Lisa yang melihat apa yang dilakukan oleh Arland dan Riska, beberapa orang yang lewat di sana juga melihatnya. Ada yang menggelengkan kepalanya pelan dan ada juga yang mencibirnya. "Dunia serasa milik berdua, tidak peduli sama sekali kalau saat ini sedang berada di tempat umum." "Mereka kelihatannya orang berpendidikan tinggi, tapi nggak ada akhlak" "Sepertinya mereka orang kaya kenapa nggak menyewa hotel saja untuk bermesraan sepuasnya, daripada di sini kasihan kalau ada anak kecil yang melihatnya." Itulah beberapa cibiran orang-orang yang melihat Arland dan Riska saling memangut bibir dengan mesra padahal berada di mall. Arland dan Riska melepaskan tautan bibirnya, setelah mendengar cibiran orang-orang yang tanpa sengaja melihat apa yang sedang mereka lakukan. "Mas, bagaimana kalau kita ke hotel Horison? Di sana kita bisa melakukan sepuasnya, Aku sangat rindu dengan sentuhan Mas." tanya Riska kepada Arland dengan suara manja. "Malam ini aku nggak bisa, lain kali saja ya?" Riska merasa kecewa mendengar apa yang diucapkan oleh Arland. "Apa karena Ayra?" Riska bertanya dengan hati-hati. "Bukan." Riska menghela nafas lega mendengarnya. Di fashion store Ayra memilih-milih pakaian untuknya. Sesekali menoleh ke sana kemari berharap melihat Arland datang menghampirinya. "Kenapa Mas Arland belum ke sini ya?" monolong Ayra dalam hati merasa heran. Setelah mengambil beberapa helai pakaian yang diinginkan olehnya, Ayra berjalan menuju ke kasir untuk membayarnya. Ayra menghubungi Arland namun tidak panggilannya tidak diangkat. "Mas Arland sebenarnya dimana kenapa panggilannya nggak diangkat?" batin Ayra sambil berjalan mengedarkan pandangannya. Melihat ada stand es krim, Ayra memutuskan untuk membeli es krim terlebih dahulu. Dia menjatuhkan bobot tub uhnya di atas kursi sambil memegang satu cup es krim lalu memakannya. "Boleh nggak, aku duduk di sini?" Mendengar suara seseorang Ayra segera mendongak menatap ke arahnya. Terlihat Lisa sedang berdiri di hadapannya.Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be