Mendengar suara pintu ditutup Ayra menoleh ke belakang. Ternyata Arland sudah berada di belakangnya.
"Mas, kenapa pintunya ditutup?" tanya Ayra heran. "Mau mandi." jawab Arland singkat. "Tapi aku belum keluar?" Ayra merasa heran pintunya sudah ditutup, padahal dirinya masih berada di dalam kamar mandi. Arland berjalan mendekat ke arah Ayra, hingga akhirnya berada tepat di belakangnya. "Kita mandi bersama." bisik Arland tepat di samping telinga Ayra lalu mengangkatnya, menaruhnya ke dalam bathtub yang sudah terisi dengan air hangat. Ayra tampak terkejut menyadari dirinya sudah berada di bathtub, refleks melotot tajam ke arah Arland. Yang dibalas dengan senyuman misterius olehnya. Dengan santainya Arland melepaskan pakaiannya lalu masuk ke dalam bathtub ikut bergabung dengan istrinya. Melihat Arland masuk ke dalam bathtub, Ayra segera beranjak dari duduknya. Ketika kakinya hendak melangkah keluar dari bathtub, Arland menarik pergelangan tangannya sehingga jatuh di atas pangkuannya dengan posisi membelakangi. Ayra berusaha untuk berdiri kembali namun tangan Arland melingkar di pinggangnya untuk menahannya. "Ayra, mas perhatikan akhir-akhir ini sikapmu berubah." bisik Arland tepat di samping telinga Ayra. "Apa ada seorang istri yang akan tetap bersikap biasa saja ketika mengetahui suaminya telah selingkuh dengan wanita lain?" monolong Ayra dalam hati. "Bukan aku saja yang sikapnya berubah, akhir-akhir ini sikap Mas juga berubah." "Itu karena kamu." Ayra memutar bola matanya mendengar ucapan Arland. Arland meletakkan dagunya di bahu Ayra. "Mas ingin kamu seperti dulu lagi." bisik Arland tepat di samping telinga Ayra. Ayra tersenyum kecut mendengarnya. "Mas!" Ayra tersentak kaget ketika tangan Arland mulai bergerilya dari satu tempat pindah ke tempat lain. "Aku suamimu jadi berhak atas apa yang ada padamu." ujar Arland menegaskan. Ayra berusaha memberontak ketika Arland mulai menyentuhnya, hal tersebut membuat Arland tersulut emosi. Karena tenaganya yang tidak sebanding akhirnya Ayra hanya bisa pasrah di bawah kendali Arland. Air matanya mengucur deras di kedua pipinya serta erangan kesakitan yang keluar dari mulutnya sama sekali tidak membuat Arland merasa iba apalagi menghentikan aktivitasnya. Air dalam bathtub bergejolak bahkan sampai tumpah ruah ke lantai akibat ulah mereka. Ayra tidak mampu mengimbangi permainan suaminya pandangannya mengabur perlahan tub uhnya merosot dengan mata terpejam. "Ayra!" Arland tersentak kaget sekaligus panik melihat Ayra sudah tidak sadarkan diri. Dengan gerakan cepat dia mengangkat Ayra lalu meraih sehelai handuk untuk membungkusnya. Dibawahnya Ayra ke dalam kamar kemudian direbahkan di atas ranjang. "Sayang, bangun!" Arland menepuk-nepuk pelan pipi Ayra, berharap Ayra bisa secepatnya sadar. Namun sepertinya Ayra masih enggan membuka matanya. Melihat Ayra belum juga sadar Arland menghubungi dokter Alex (teman Arland), memintanya datang ke rumahnya untuk memeriksa Ayra. "Alex, bagaimana keadaan Ayra?" tanya Arland menghampiri dokter Alex yang baru saja selesai memeriksa Ayra. "Dia mengalami stres sepertinya akhir-akhir ini banyak pikiran yang membuatnya merasa tertekan, kurang tidur serta tekanan darah rendah selain itu ...." Dokter Alex menjeda ucapannya menatap ke arah Arland. Hal tersebut Arland merasa semakin penasaran. "Selain itu apa?" "Ayra bukan robot, kamu tidak bisa terus memaksanya untuk melayani mu di tempat tidur!" Arland menghembuskan nafas kasar mendengarnya. "Bukankah itu sudah kewajibannya, kalau bukan melayaniku untuk apa aku menikahinya?" "Kalau kamu memang mencintainya pikiran juga mental serta fisiknya! Oh aku lupa seorang casanova sepertimu mana mungkin memikirkan hal tersebut, yang dipikirkan hanyalah kepuasan untuk dirinya sendiri." sindir dokter Alex tersenyum mengejek ke arah Arland. Arland hanya diam mendengar sindiran dokter Alex entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Mereka berjalan menuju ruang tamu lalu mendaratkan bokongnya di sofa. "Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa Ayra sampai stres seperti itu?" tanya dokter Alex menatap ke arah Arland menunggu jawaban darinya. "Mungkin masih kepikiran dengan noda lipstik di kemejaku, walaupun aku sudah menjelaskannya. Padahal hanya masalah sepele tapi terlalu dipikirkan olehnya, bahkan sikapnya juga berubah." Arland menghela nafas panjang. Sedangkan dokter Alex terkejut mendengarnya. "Kenapa bisa ada noda lipstik di kemeja mu, siapa yang melakukannya?" "Riska, dia terlalu ceroboh." "Riska putrinya Pak Ardi pewaris Phoenix Group, kamu menjalin hubungan dengannya?" Dokter Alex menggelengkan kepalanya pelan. "Iya." "Aku kira setelah kamu berhasil menarik Ayra masuk ke dalam kehidupanmu, kamu akan meninggalkan kebiasaan buruk mu. Ternyata aku salah kamu masih sama seperti dulu." Arland mendengus kesal mendengar ucapan dokter Alex. "Telingaku panas mendengar ocehan mu, cepat habiskan minumannya lalu angkat kaki dari sini!" ujar Arland mengusir dokter Alex agar pergi dari rumahnya. "Bagaimana Ayra bisa tahan mempunyai suami sepertimu?" gumam dokter Alex lirih meraih secangkir kopi di atas meja lalu meneguk isinya. Arland menoleh sekilas mendengar gumaman dokter Alex. "Lebih baik lepaskan Ayra daripada kamu menyakitinya terus menerus." Dokter Alex meletakkan kembali cangkir yang sudah kosong di atas meja. "Orang yang sudah masuk ke dalam kehidupanku tidak akan aku lepaskan begitu saja, kecuali kalau aku sudah bosan dengannya." "Terserah kamu, cepat atau lambat Ayra pasti akan mengetahui semuanya." Mendengar ucapan dokter Alex, Arland segera menoleh ke arahnya. "Apa kamu berniat untuk memberi tahu Ayra? Kalau sampai hal itu terjadi aku akan menghabisi mu!" ancam Arland menatap tajam ke arah dokter Alex. Sedangkan dokter Alex menanggapinya dengan senyuman, sama sekali tidak takut dengan ancaman Arland. "Santai Bro, seharusnya kamu mengucapkan terima kasih karena aku sudah memeriksa istrimu bukannya malah mengancam seperti itu! Kalau begitu aku pergi dulu mau balik ke rumah sakit." Dokter Alex beranjak dari duduknya berjalan keluar dari rumahnya Arland. Setelah kepergian dokter Alex Arland kembali masuk ke dalam kamar, berjalan ke arah Ayra yang masih setia memejamkan matanya. Dia mendaratkan bokongnya di atas ranjang samping Ayra. Tangannya bergerak mengusap-usap rambut Ayra dengan lembut sambil menatap wajahnya sesekali mengecupi pucuk rambutnya. Mata yang sejak tadi terpejam kini perlahan mulai terbuka. Menyadari ada seseorang yang sedang mengusap-usap rambutnya, Ayra segera menoleh ke arahnya. DEG Ayra terkejut setelah mengetahui orang yang sedang mengusap-usap rambutnya adalah Arland. Ingatannya terlempar pada kejadian tadi pagi di dalam kamar mandi, bahkan sampai saat ini beberapa bagian tub uhnya masih terasa sakit. "Sayang, akhirnya kamu sadar." Arland tersenyum melihat Ayra sudah membuka matanya. Ayra yang mendengarnya justru merasa merinding, jantungnya berpacu tidak karuan. Dia merasa takut Arland akan mengulangi apa yang tadi pagi dilakukannya di dalam kamar mandi. "Sayang, ayo bangun makan dulu! Dari pagi kamu belum makan." Arland membantu Ayra untuk duduk. Ayra hanya diam tidak ada pemberontakan darinya, namun pandangannya kosong. Arland mengambil semangkuk bubur ayam yang ada di atas meja lalu menyendok nya mengarahkan ke mulut Ayra. "Sayang, buka mulutnya!" Mendengar suara Arland, Ayra menurut membuka mulutnya membiarkan sesendok bubur ayam masuk ke dalam mulutnya. Seulas senyum tipis terbit di bibir Arland melihatnya. Walaupun terasa hampar Ayra dengan susah payah berusaha menelannya, tidak ingin Arland kembali marah kepadanya.Perpisahan yang Menyayat HatiDi ruang jenazah, Ayra melangkah pelan mendekati brankar tempat suaminya terbujur kaku. Dengan tangan gemetar, ia membuka kain putih yang menutupi wajah Revan sedikit demi sedikit. Hatinya mencelos saat melihat wajah suaminya yang penuh luka memar. Bekas darah yang mulai mengering semakin menegaskan betapa keras penderitaan yang dialaminya sebelum menghembuskan napas terakhir."Mas Revan..." gumamnya, bersamaan dengan buliran air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Tangannya yang bergetar mengusap lembut wajah suaminya, seolah ingin menghapus jejak luka yang tersisa.Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya melemah, lalu perlahan merosot ke lantai yang dingin. Dunia seolah berubah gelap. Ia tidak pernah membayangkan bahwa pertemuan mereka setelah satu bulan justru terjadi dalam keadaan seperti ini—Revan kembali, tetapi tanpa nyawa."Mas, secepat inikah kamu pergi meninggalkan aku dan Zavier? Bukankah kamu bilang ingin membahagiakan kami?" isaknya, s
Pak Revan terdiam mendengar pertanyaan Kyai Syamsudin. Otaknya sibuk mencari jawaban yang tepat."Saya sudah meminta izin kepada istri dan anak saya. Untuk sementara, usaha saya akan diurus oleh Doni, jadi kebutuhan mereka tetap tercukupi," jawabnya mantap.Kyai Syamsudin mengangguk-angguk, memahami penjelasan Pak Revan.Dalam pertemuan itu, Pak Revan menceritakan masa lalunya. Penyesalan menggelayut dalam hatinya, terutama saat nama Reyhan kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Kyai Syamsudin menyarankannya untuk bertaubat dengan taubat nasuha.Pak Revan mengikuti saran itu. Dalam hati, ia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik.Hari demi hari, ia belajar ilmu agama dari dasar—Tauhid, Fiqih, hingga membaca qiraati sebagai langkah awal sebelum mempelajari Al-Qur'an. Lidahnya terasa kaku saat melafalkan huruf-huruf hijaiyah, tapi ia tak menyerah. Ia sadar, belajar ilmu agama ternyata lebih sulit dibanding mempelajari bisnis.Terkada
Kepergian Pak Revan"Sayang, Mas harus pergi ke luar kota selama satu bulan."Pak Revan baru saja pulang dari kantor ketika ia menyampaikan kabar itu. Ayra yang tengah duduk di sofa langsung terkejut mendengarnya."Kapan Mas pergi?" tanyanya hati-hati.Pak Revan menatap istrinya sekilas, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Sepertinya kamu ingin Mas cepat-cepat pergi?"Ayra terbelalak, tidak menyangka suaminya berpikir seperti itu. Dengan cepat ia menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku hanya bertanya.""Besok pagi," jawab Pak Revan akhirnya. "Kamu nggak apa-apa 'kan ditinggal di rumah sama Zavier?"Ayra mengangguk pelan. "Nggak apa-apa, Mas."Entah kenapa, jawaban istrinya justru membuat Pak Revan kecewa. Ia berharap Ayra akan mencoba menahannya pergi—setidaknya menunjukkan sedikit rasa enggan. Namun, wanita itu justru menerimanya dengan begitu tenang."Aku saja yang terlalu berharap," batinnya pahit. "Dulu dia bahkan tega meninggalkanku.""Mas!" panggilan Ayra membuyarkan lamunannya.Pak
Kembalinya Masa LaluBeberapa hari telah berlalu. Pak Revan yang mengetahui bahwa istrinya telah suci akhirnya menyunggingkan senyum tipis. Ada kebahagiaan yang menjalar di hatinya—waktunya telah tiba untuk melanjutkan malam pernikahan mereka yang sempat tertunda."Sayang," panggilnya lembut.Ayra menoleh, matanya menatap suaminya dengan ragu. "Ada apa, Mas?""Bolehkah malam ini Mas meminta hak sebagai suami?" tanya Revan, suaranya terdengar dalam, penuh makna.Ayra terdiam. Hatinya bergetar, bukan karena rindu, melainkan karena bayangan masa lalu yang tiba-tiba muncul. Ingatan akan malam itu, ketika pria di hadapannya ini pernah menyakitinya, masih begitu jelas. Meskipun tahun telah berlalu, luka itu belum sepenuhnya sembuh.Menolak? Ayra tak berani. Dia tahu kewajibannya sebagai istri. Lagipula, bukankah menolak ajakan suami tanpa alasan yang sah adalah dosa? Namun, hatinya masih didera ketakutan.Pak Revan menyadari keraguan di mata istrinya. Dengan lembut, dia meraih dagu Ayra, me
Ketakutan yang sejak tadi menghantuinya perlahan mereda ketika Ayra mendengar suara Zavier memanggilnya."Ibu!" seru Zavier, berlari ke arahnya.Seulas senyum tipis terbit di bibir Ayra saat melihat putranya mendekat. "Zavier, kamu sudah pulang?" tanyanya lembut."Sudah, Bu. Tadi di sekolah Zavier diajari lagu 'Kasih Ibu'."Ayra tersenyum. "Coba nyanyikan untuk Ibu, Ibu ingin dengar."Tanpa ragu, Zavier mulai menyanyikan lagu itu dengan suara polosnya. Ayra mendengarkan dengan seksama, hatinya menghangat. Setitik air mata jatuh di pipinya, namun segera ia hapus sebelum putranya menyadarinya."Anak Ibu sekarang sudah pintar nyanyi," pujinya sambil mengusap lembut rambut Zavier.Merasa bangga, Zavier menatap ibunya dengan mata berbinar dan tersenyum lebar."Ayo, ganti pakaian dulu, habis itu makan!" ajak Ayra."Mau sama Ibu!" pinta Zavier manja."Iya, sama Ibu."Ayra menggandeng tangan putranya, membawanya ke kamar untuk mengganti pakaian. Setelah itu, ia segera menyiapkan makan siang u
Pagi itu, Ayra sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Seperti kebiasaannya dulu saat bersama Reyhan, rutinitas ini memberinya ketenangan. Namun, kesadarannya tersentak ketika tiba-tiba seseorang memeluknya dari belakang, lalu mengecup lembut kedua pipinya.Tanpa menoleh, Ayra sudah tahu siapa pelakunya."Mas, lepas... susah gerak," pintanya, sedikit memaksa, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya.Pak Revan akhirnya melepaskan Ayra, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Aku heran, apa nggak takut tanganmu lecet gara-gara masak?" tanyanya dengan nada menggoda, tapi ada sindiran di sana."Kalau Mas nggak mau makan, nggak apa-apa. Aku masak buat diri sendiri dan Zavier."Dahi Pak Revan berkerut mendengar jawaban istrinya. "Sayang, kamu mengabaikan suamimu?"Ayra menatapnya sekilas, lalu kembali sibuk dengan masakannya. "Terserah Mas mau mikir apa," ucapnya, sebelum membawa masakannya ke meja makan, meninggalkan suaminya yang hanya bisa mendengus kesal.Pak Revan menyusulnya, duduk be