Matahari sudah berada di ufuk barat kala Diana baru saja sampai di kantor Lingga Konstruksi. Ternyata tinjau lapangan kali ini memakan waktu yang cukup lama, hingga sore hari wanita cantik itu baru kembali ke kantor. Selama di perjalanan, Diana lebih banyak diam karena mengingat kejadian di tempat proyek. Lagi-lagi dia berhalusinasi tentang seorang gadis kecil. Ini sudah ke sekian kali dalam seminggu.
“Diana, kita sudah sampai.”
Diana bergeming karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Hingga Yuda terpaksa menepuk betis Diana yang berada di belakangnya. “Di! Jangan bengong, nanti kesambet.”
Diana kembali tersadar dan memberikan senyum kikuk seraya melepas helm. “Kak Yuda enggak absen pulang dulu?”
Yuda tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, nanti saja. Aku masih harus ke warehouse buat cek sesuatu. Helmnya bawa sini, biar aku saja yang kembaliin ke Dimas.”
Anggukan menjadi timpalan Diana untuk permintaan Yuda. Dia juga ingin cepat pulang. Ayah dan dua keponakannya pasti sudah kelaparan menunggu makan malam.
“Ya sudah. Hati-hati ya, Kak. Aku duluan.”
Diana bergegas masuk untuk merapikan meja kerja dan mengabsen pulang. Namun, sial pelak tak dapat dihindari. Diana mengembuskan napas lelah saat melihat Luna sudah duduk di meja kerjanya dengan tatapan menusuk.
“Enak boncengan sama Yuda?”
“Saya hanya menumpang untuk ke proyek saja, Bu. Enggak ada apa-apa, kok.”
Decak kesal keluar dari bibir Luna. Wanita itu tak peduli apa pun alasannya. Yang dia tahu, Diana berani berboncengan mesra dengan lelaki pujaannya.
“Kamu itu kalau mau ganjen, lebih baik berkaca dulu. Mending cantik, kuku saya saja lebih indah dari kamu,” ujar Luna sembari mengibaskan jari tangan yang kukunya terpoles nail art. Wanita itu kembali melihat Diana dengan pandangan angkuh.
“Aku beri tahu, ya? Jika kamu ingin kariernya panjang di sini, jangan sekali-kali cari masalah sama aku. Ingat, aku ini senior kamu!”
Diana mengangguk perlahan. Hinaan macam ini memang selalu Luna lontarkan padanya. Sikap otoriter wanita ini juga sebenarnya membuat Diana muak. Akan tetapi dia bisa apa?
“Punya mulut, kan? Ngomong dong!”
“I-iya, Bu Luna. Maafkan saya.”
Wanita beralis tebal karena sulaman itu bangkit dan menabrak kasar pundak sempit Diana. Tak lupa kata-kata kurang mengenakkan kembali dia lontarkan. “Mau ganjen jangan setengah-setengah. Sekalian buka paha buat Pak Joey sana!”
Diana meremas ujung blus yang dia kenakan. Luna benar-benar sudah menginjak harga dirinya terlalu dalam. “Kalau begitu, kenapa bukan Ibu Luna saja yang mendekati Pak Joey? Saya lihat posisi sekretaris beliau sedang kosong.”
***
Tawa dua bocah kecil menggema di rumah kontrakan yang tidak terlalu besar. Mereka adalah Rosa dan Rubi. Anak-anak itu tengah menunggu sang tante pulang bekerja. Tidak biasanya pukul enam sore tante kesayangan mereka belum pulang.
“Kok Kak Di belum pulang, Kak?”
“Enggak tahu, Dek. Mungkin macet atau enggak dapat angkot.”
Rubi mengangguk sekenanya. Bocah kecil itu kembali sibuk memainkan boneka kucing yang ada di tangannya. Sesekali dia melirik ke arah pintu belakang yang terhubung ke halaman.
“Kak Ros, kok si rambut pendek itu lihat ke dalam terus? Dia enggak punya rumah, ya?”
Sang kakak melihat ke arah pandang Rubi. Namun, Rosa tak melihat apa pun. “Kamu jangan sering bicara begitu, Dek. Orang enggak ada apa-apa, kok.”
“Aku enggak bohong. Aku juga lihat dia nangis. Kasihan dia, Kak.”
Rosa berdiri dan hendak memarahi sang adik, tetapi suara pintu dibuka membuatnya urung. Di sana terlihat Diana masuk dengan senyum teduh seperti biasa.
“Kak Di!”
Diana menghambur memeluk dua bocah kesayangannya. Setidaknya dia dapat melepas lelah dengan dekapan hangat mereka.
“Kak Di, kok tumben lama? Eh— bibir Kak Di ada darahnya!” pekik Rosa heboh saat melihat wajah sang tante.
Buru-buru Diana mengusap sudut bibirnya yang ternyata masih mengeluarkan darah. “Enggak, Sayang. Tadi Kak Di makan cilok. Sausnya mungkin masih ketinggalan. Kakak mau ganti baju dulu ya, habis itu kita masak bareng lagi.”
Senyum di bibir Diana kali ini sarat kepalsuan. Usapan kecil dia hadiahkan untuk dua keponakan tercinta sebelum berlalu pergi. Begitu pintu kayu di kamarnya tertutup, tubuh ringkih Diana merosot ke lantai. Untuk pertama kali gadis itu menangis setelah sekian lama. Tekanan yang datang dari segala arah membuatnya lelah dan muak. Bagaimanapun juga Diana hanya manusia biasa. Dia bukan tokoh ibu peri yang terlampau baik hati seperti di cerita roman picisan. Diana ingin marah, dia ingin menunjukkan pada orang-orang jika dia sedang tidak baik-baik saja. Namun, kewarasan masih lebih dominan di otak Diana. Segala apa yang akan dia lakukan memiliki konsekuensi.
“Kenapa hidupku kayak begini sih?”
Diana menenggelamkan wajah sembab ke lipatan lututnya. Dia jadi teringat mendiang sang nenek, dia rindu usapan lembut di pucuk kepalanya. Biasanya, orang-orang akan merindukan sosok ibu di saat rapuh. Akan tetapi pengecualian untuk Diana. Jika ditanya mengapa, Diana tidak pernah ingin membahas.
***
Bunyi dentuman berulang kali tiba-tiba mengagetkan Diana. Perlahan kepala gadis itu terangkat untuk melihat apa yang terjadi. “D-di mana ini?”
Napas Diana tercekat, bukankah tadi dia berada di dalam kamar? Kenapa sekarang malah berada di semak gelap.
“Tolong! Ampun! Jangan!”
Diana memundurkan badannya yang mulai gemetar. Teriakan itu begitu pilu hingga membuatnya ingin menangis. “Siapa? Di mana ini?” tanya Diana dengan segala keberanian yang tersisa.
Tak ada jawaban. Hanya terdengar ketukan dari dalam sebuah drum besar yang berada tepat seratus meter di hadapannya. Ketukan dalam drum semakin keras dan sering, seolah benda itu mengurung seseorang yang masih bernyawa di dalamnya.
“Siapa? Apa ada orang?”
Drum besar itu tiba-tiba terguling jatuh. Manik mata Diana menangkap sosok kecil yang merayap dari dalam drum. Tubuh kecil itu begitu rapuh, bau anyir tiba-tiba menyeruak menyapa hidung bangir Diana. Tubuh wanita itu benar-benar kaku sepenuhnya, bahkan untuk bicara sepatah kata pun dia tak mampu.
“Aku? Kau bertanya siapa aku?” tanya makhluk kecil itu dengan suara parau. Seringai menakutkan itu tampak familier untuk Diana. Saking kerasnya Diana mencoba mengingat, dia tak sadar makhluk itu kini berada di depannya.
“Kau mau tahu siapa aku? Aku adalah....” Kata-kata parau itu terputus. Mata yang awalnya memancarkan beribu kebencian kini berganti dengan gurat sendu menyakitkan. “Dirimu!” sambungnya seraya berusaha menggapai wajah Diana yang terlampau pias.
“Tidak!”
Gedoran pintu kamar mengejutkan Diana yang tertidur dalam posisi duduk. Wanita itu linglung saat melihat dirinya tengah berada di kamar. Bukankah tadi dia sedang berada di semak gelap bersama makhluk mengerikan?
“Kak Di kenapa? Buka pintunya, Kak!”
“S-sebentar, Dek. Kak Di baik-baik saja kok.”
Diana beberapa kali mengambil napas dalam sebelum bersiap keluar kamar. Keringat dingin masih saja terus keluar dari dahinya.
“Kenapa aku sering bermimpi aneh akhir-akhir ini?”
***
Diana memberikan sapuan lembut pada kening sang ayah yang sudah mulai mengeriput. Mata bulatnya selalu memanas saat melihat kondisi sang ayah pasca terkena stroke. Tubuh yang sembilan puluh persen lumpuh dan semakin mengurus, membuat hati Diana begitu teriris.
“Papa ... bagaimana hari ini? Maaf Diana jarang temenin Papa. Diana sibuk kerja.”
Satu per satu bulir air mata jatuh ke pipi gembil milik Diana. Meski ayahnya hanya bisa menjawab melalui kontak mata, itu rasanya sudah sangat cukup untuk Diana.
“Diana akhir-akhir ini mimpi aneh terus, Pa. Apa Diana kelelahan, ya? Andai Papa masih sehat, Diana mungkin akan minta diajak naik motor tua punya Papa keliling jalanan.”
Ayah Diana menatap sendu putrinya yang hanya tinggal seorang itu. Meski tak dapat bergerak, tetapi dia masih bisa mendengar dan melihat. Ayah mana yang tega membuat sang putri memikul beban berat ini sendirian?
“Pa ... kalung yang dari Oma putus. Diana belum sempat perbaiki ke tukang perhiasan. Semoga Oma enggak marah di akhirat sana, “ ujar Diana seraya terkekeh kecil. Akan tetapi gurauan Diana ditanggapi berbeda oleh sang ayah. Terlihat dari bola matanya yang kini mendelik tajam.
“Kenapa, Pa? Ada yang sakit? Kenapa ekspresi Papa begitu?”
Diana berdiri sambil terus memperhatikan wajah ayahnya yang terlihat tak seperti biasa. Mata sang ayah terus tertuju ke arah leher Diana. Mulutnya berusaha keras bergerak merapal sesuatu, tetapi tetap nihil.
“Papa, are you okay?”
Sang ayah kini beralih memandang ke arah belakang tubuh Diana. Wajah lelaki paruh baya itu seketika pucat pasi. Diana semakin tak mengerti apa yang sebenarnya ayahnya ingin sampaikan?
“A-aa....”
Diana betah melongo menunggu kata-kata yang keluar dari mulut ayahnya. Tak dia sadari di belakangnya berdiri gadis kecil berambut pendek tengah menyeringai lebar dengan seluruh gusi bernanah tanpa gigi.
***
“Jadi kamu belum dapat pengganti sekretaris saya?”
Dengan gaya duduk terlampau angkuh, Joey bersedekap dada di depan Daelano yang menjabat sebagai Manajer HRD.
“Ada beberapa kandidat yang masuk, Pak. Masih saya seleksi.”
Joey mengangkat satu sudut bibirnya dan bangkit dari sofa yang ada di ruangan. Lelaki itu menuju kulkas di mini—pantri untuk mengambil sekaleng kopi dingin. “Terus sampai kapan saya harus menunggu? Kamu kira pekerjaan bisa selesai sendiri? Ingat! Saya butuh sekretaris yang bisa mengurusi kebutuhan batin saya juga, bukan cuman mengurusi kertas.”
Daelano menghela napas lelah. Rasanya dia ingin mengundurkan diri saja. Andai tidak sayang istri dan anak, mungkin dia lebih memilih menganggur. “Saya akan usahakan secepatnya, Pak.”
Lelaki pemilik senyum manis itu pamit undur diri dari ruangan Joey. Ditatap begitu tajam oleh manik mata sang atasan membuatnya tidak nyaman. Dia terkadang merasa Joey lebih mirip tukang jagal yang rupawan daripada seorang direktur. Daelano sendiri sudah merasa tidak beres dengan sekretaris-sekretaris wanita Joey sedari lama. Inginnya mencarikan asisten pria, tetapi sang bos tentu tidak mau.
“Daelano, tunggu!”
Seruan Joey membuat Daelano yang tengah memutar kenop pintu menoleh. Alis tebal pria itu sedikit berkerut. “Iya. Ada apa, Pak?”
Joey mengusap dagunya sembari menyeringai laknat. “Pastikan calon sekretaris saya agak berisi. Saya sedang suka gadis yang berisi.”
Bersambung
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin. “P-Pak Joey....” Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta. “Kamu cantik banget ... Diana.” Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini. “Pak ... S-Saya masih perawan.” Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Joey menyatukan alisnya saat melihat Diana yang sedang tidur berkeringat seperti orang habis lari maraton. Perasaan AC mobilnya menyala dan dingin. Kini bibir Diana mengeluarkan rintihan kesakitan seolah sedang tercekik. Buru-buru pria itu menepikan mobil, lalu mengguncang pundak Diana. “Diana, bangun!” Diana terkesiap dengan mata terbelalak. Kedua jemarinya meraba leher. Mata bulatnya mengerjap pelan. “S-Saya di mana?” “Di bulan! Kamu kenapa?” Kini pandangan Diana beralih ke arah Joey. Alis tebalnya menyatu sempurna. “Saya kenapa, Pak?” Joey mendecih sinis. “Kamu mimpi buruk, ya? Buat saya repot aja. Saya sampai harus berhenti di pinggir jalan buat bangunin kamu.” “Jadi tadi cuma mimpi?” Diam-diam Diana menarik napas lega. Setidaknya kejadian barusan hanya sebuah mimpi. Akan tetapi kenapa mimpi itu terasa sangat nyata? Bahkan leher Diana terasa perih meski tidak terluka. “Kamu mimpi apa?” tanya Joey seraya kembali melajukan mo