Wangi harum rambut si wanita begitu menggelitik jiwa kelelakian seorang Joey Pratama. Bibir tebalnya tak henti mengecup leher jenjang putih mulus gadis yang kini tengah menatap dengan raut polos di bawahnya. Jari-jari besar Joey mengelus lembut wajah cantik tanpa riasan milik si wanita. Puasa ranjang selama sebulan memang membuat Joey bak singa di musim kawin.
“P-Pak Joey....”
Lirihan si wanita begitu terdengar merdu. Perlahan kancing kemeja biru muda dia lepaskan hingga membuat kulit mulus bak dewi itu terlihat ke permukaan. Napas Joey memburu menatap bagaimana maha karya indah ini bisa tercipta.
“Kamu cantik banget ... Diana.”
Gairah meletup milik si pria tak terbendung lagi. Semua kain kedua insan itu tanggal dan jatuh ke lantai. Suhu ruangan pun kian panas seiring dengan desau yang terlontar dari dua anak manusia berbeda gender ini.
“Pak ... S-Saya masih perawan.”
Joey mengecupi pundak sempit milik Diana. “Saya pelan-pelan, kok.”
Diana merasa sikap Joey sedikit berbeda. Terbukti saat selesai rapat dengan klien dari perusahaan BUMN, lelaki itu sama sekali tak mengajaknya bicara. Dia juga seperti menjaga jarak dengan Diana. Seolah dirinya adalah kuman yang harus dihindari. “Kenapa lagi sih dia?” Gadis bermata bulat itu mengambil kotak makan dari dalam paper bag. Biar bagaimana pun Joey sudah membayar untuk katering makan siang padanya. Dengan hati-hati Diana mengetuk pintu sang atasan dan masuk ke dalam. “Pak Joey, ini makan siang hari ini. Saya memasak ayam bumbu rujak, sambal goreng hati, dan sayur tumis.” Joey mengalihkan perhatiannya dari layar laptop. Bau makanan dari kotak yang dibawa Diana sungguh amat menggoda. “Taruh aja. Tolong kamu langsung pergi ke luar. Jangan ke sini kalau enggak urgent banget.” Sang sekretaris mengerutkan alis. Joey terlihat t
Diana menatap khawatir Joey yang duduk bersebelahan dengannya di dalam taksi. Setelah mengantar lelaki ini ke klinik terdekat, sebagai sekretaris dia juga harus memastikan sang bos sampai di rumah dengan selamat. “Pak Joey kenapa enggak sarapan? Saya jadi ngerasa bersalah karena kasih makanan pedas.” Mata Joey yang awalnya terpejam kini terbuka sedikit. “Saya udah bilang telat bangun karena mimpi buruk, mana sempat mikirin sarapan.” Benar juga. Tadi pagi Joey berkejaran dengan rapat dengan klien penting. Jika begini berarti tidak ada yang bisa disalahkan. “Apa Pak Joey sekalian mau disiapin sarapan juga tiap pagi?” “Terserah.” Joey kembali memejamkan mata. Perutnya masih terasa tidak enak meski tak sesakit tadi. Dia hanya ingin sampai di rumah dan tidur. Di lain sisi, Diana melirik Joey yang tertidur dengan pandangan bersalah. Diam-diam gadis cantik itu mengagumi paras rupawan sang atasan. Tidak heran jika pria tinggi ini dielu-elukan oleh kau
Joey terkesiap saat Diana mengatakan nama itu. Dirinya sampai mematung dengan wajah pias. Sudah lama sekali telinganya tak mendengar orang lain menyebut nama itu. “Kamu ngapain nyebut nama itu?” Diana menggaruk pelipisnya kikuk. Nama itu refleks keluar dari mulutnya karena itu yang dia dengar terakhir kali sebelum sadar. “A-Ah ... bukan apa-apa, Pak. Maaf sudah buat Pak Joey takut.” Manik bulat meruncing Joey masih menatap Diana dengan pandangan sulit diartikan. Dahi paripurna lelaki itu sedikit mengerut seakan tengah berpikir keras. “Kamu beneran bukan indigo? Apa keturunan dukun mungkin?” tanya Joey tiba-tiba. Lelaki itu sepertinya bersungguh-sungguh dari ekspresi wajahnya. “Enggak. Saya manusia biasa, Pak.” Jawaban Diana seakan belum memuaskan beribu pertanyaan di kepala Joey. Diana sangat berbeda dengan sekretaris sebelumnya. Dia yakin ini bukan hanya sekedar keisengan Mora. “Sekali lagi saya tanya, kamu beneran eng
Diana berlari kencang di koridor sebuah rumah sakit negeri di Jakarta. Di belakangnya tampak sosok Joey ikut berlari mengikuti gadis itu. Jika ditanya mengapa Joey ikut? Lelaki itu memaksa mengantar Diana dengan dalih agar lebih cepat sampai. Entah kerasukan apa pria dingin ini hingga dia jadi begitu peduli pada orang lain.“Papa!”Diana menghambur begitu memasuki ruang rawat sang ayah. Air mata sudah tak terbendung sejak tadi. Gadis itu benar-benar takut jika terjadi apa-apa. Orang tuanya hanya tinggal seorang.“Kenapa Kakek bisa jatuh dari tempat tidur, Dek?” tanya Diana tak sabar pada Rosa dan Rubi yang duduk di kursi penunggu. Dua bocah kecil itu habis menangis, terbukti dari kedua mata mereka yang membengkak.“Kamu harusnya tenangin mereka dulu baru tanya. Enggak lihat keponakan kamu habis nangis dan masih syok?” Joey yang sedari tadi hanya melihat dalam diam, bergerak maju dan berjongkok di depan kursi dua bocah i
“Eyi!” Teriakan anak perempuan 5 tahun itu begitu bergema nyaring. Rambut pendek sebahu tampak bergoyang tertiup angin hingga menutupi muka bulatnya. Gadis kecil itu berlari menyambangi seorang anak laki-laki berumur sepuluh tahun yang terlihat sibuk memainkan yoyo. “Eyi! Kamu ke mana? Aku cari kamu.”Telunjuk bocah bernama Eyi menunjuk ke arah seorang gadis kecil dengan rambut lebih panjang. Muka bulat gadis berambut panjang itu mengingatkan Eyi akan sosok yang kini tengah berbicara dengannya. “Aku tadi main sama dia.”Senyum dari bibir pucat itu perlahan luntur, wajah si gadis kecil berambut pendek berubah datar. “Dia? Kamu bermain dengan dia?”Anggukan pelan menjadi jawaban. Si bocah lelaki masih sibuk dengan tali yoyo yang menyangkut, hingga tak sadar gadis kecil berambut pendek mengulum senyum tak biasa.“Ayo kita main masak-masakan, Eyi.”“Aku masih ingin main yoyo. Kamu main s
Sedikit masih menyisakan kengerian tersendiri, Diana terus mengusap tengkuk saat mengingat cerita rekan-rekan kerjanya tadi pagi. Dia sendiri pernah melihat Sonia beberapa kali, meski tidak sempat mengobrol. Wanita muda blasteran Jepang itu sangat cantik dan murah senyum. Begitu juga dalam pekerjaan, Sonia tidak pernah terdengar mengeluh walau memiliki bos sedingin Pak Joey.“Manusia zaman sekarang ada-ada saja, salah sedikit langsung main bunuh,” gumam Diana seorang diri di dalam angkutan kota. Kebetulan sudah tak ada penumpang lagi, hanya dia seorang.“Turun di mana, Neng?”Diana tersentak kaget. Bukan salah sang sopir angkot, hanya saja memang Diana sedang melanglang buana di alam pikirannya. Ternyata mendengar berita seperti itu memang memengaruhi psikologis seseorang. Secara tak sadar kita akan berpikir tentang bagaimana jika kematian menghampiri nanti. Apalagi mengingat penuturan rekan kerjanya tadi. Diana tidak bisa membayangkan ba
Langkah tegap seorang lelaki bersetelan turtleneck hitam dipadu dengan jas dengan warna senada menggema di lobi salah satu perusahaan konstruksi besar di Indonesia. Karisma yang dipancarkan wajah dinginnya seolah mampu menyihir setiap kaum hawa yang melihatnya. Siapa lagi kalau bukan Joey Pratama. Kesan angkuh begitu terlihat saat mata setajam elang itu melirik seorang wanita yang tengah berlari terburu. Si wanita dengan rambut panjang bergelombang tampak kehabisan napas seraya melirik jam tangan murah yang melingkar di tangan kirinya.“Dasar karyawan pemalas. Sudah tahu kerja jam delapan, bukannya datang lebih awal,” gumam Joey seorang diri seraya menatap remeh wanita yang telah hilang di balik lift.“Orang seperti ini mending jadi makanan Beni daripada jadi karyawanku,” sambung Joey.“Pak Joey!”Joey menghentikan acara menggerutunya dan menoleh ke arah sumber suara. Di sana, Yuda tengah melambai kecil dan ber
Matahari sudah berada di ufuk barat kala Diana baru saja sampai di kantor Lingga Konstruksi. Ternyata tinjau lapangan kali ini memakan waktu yang cukup lama, hingga sore hari wanita cantik itu baru kembali ke kantor. Selama di perjalanan, Diana lebih banyak diam karena mengingat kejadian di tempat proyek. Lagi-lagi dia berhalusinasi tentang seorang gadis kecil. Ini sudah ke sekian kali dalam seminggu.“Diana, kita sudah sampai.”Diana bergeming karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Hingga Yuda terpaksa menepuk betis Diana yang berada di belakangnya. “Di! Jangan bengong, nanti kesambet.”Diana kembali tersadar dan memberikan senyum kikuk seraya melepas helm. “Kak Yuda enggak absen pulang dulu?”Yuda tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, nanti saja. Aku masih harus ke warehouse buat cek sesuatu. Helmnya bawa sini, biar aku saja yang kembaliin ke Dimas.”Anggukan menjadi timpalan Diana