"Apa? Iya, aku akan sampaikan pada Bos Besar. Kali ini akan aku berikan hasil yang baik agar dia tidak kecewa."
Maria masih saja terus mengobrol sambil kembali berjalan mendekati lemari tempat Bibik bersembunyi. Wanita itu kali ini tidak ada lagi penghalang yang membuat dirinya menghentikan tindakan.Bibik yang berada di dalam lemari hanya bisa menahan nafas sambil memejamkan mata. dalam sepersekian detik situasinya benar-benar sangat menegangkan."Sedang apa Tante Maria di kamar Mami? Keluar! Jangan lagi mengacau!"Sebuah bentakan dari seseorang yang tengah berdiri sambil berkacak pinggang di depan pintu kamar Alana, sekali lagi menyelamatkan Bibik.Maria yang panik langsung membalik badan dan jadi serba salah."Ah, Milan. Kamu sudah pulang rupanya. Ehem tante hanya, merasa kamarku di bawah tidak terlalu sejuk. Jadi mencoba AC di kamar ini," sahut Maria beralasan. Wanita itu langsung berusaha menguasai situasi sembari membuAlana hanya mengangguk lalu memilih masuk ke kamar barunya untuk beristirahat. Bibik sendiri akhirnya pergi ke dapur bersama asisten rumah tangga muda, kepercayaannya. "Mbak! Maksudnya apa mempermalukan aku begitu di depan Nyonya Alana?" Asisten rumah tangga mata-mata Maria itu tidak terima dan menarik kasar pundak Bibik. "Kenapa, Minah? Ada masalah?" tanya Bibik pura-pura bodoh. Ia memang sengaja memancing emosi rekan kerjanya yang berkhianat itu. "Mbak membuat aku terlihat bodoh di depan Nyonya Alana. Kenapa sampai Nyonya enggak boleh jawab pertanyaan saya?" "Kamu bertanya hanya untuk mencari bahan kan. Kamu ini sungguh tidak tahu malu. Bekerja pada Nyonya Alana, dibayar setiap bulan oleh Nyonya Alana, tapi berkhianat padanya." Bibik langsung menyindir tanpa basa basi. Wanita bernama Minah itu langsung diam seribu bahasa. Ia tak menyangka Bibik akan secepat itu tahu kalau dirinya membantu Maria. ***Alana mengerjap tak percaya saat Rahman berada du depannya. Seperti sebuah kea
"Inilah yang sedang ingin saya pastikan, Nyonya Alana. Saya belum bisa pastikan mereka itu siapa, sampai saya melakukan penyamaran seperti ini. Ini jugalah yang mendasari saya mengajukan permintaan pada Nyonya Alana," jelas Rahman panjang lebar. Alana menatap tajam ke arah Rahman. Wanita cantik itu menggigit bibir bawahnya pertanda ia sedang merasakan sebuah kecemasan. "Apa permintaan yang ingin Kau ajukan, Man?" tanya Alana kemudian. "Nyonya, bisakah kita berpura-pura saya masih linglung?"Alana langsung mengangguk setuju. "Satu lagi, Nyonya," imbuh Rahman dengan wajah menegang. Alana tetap fokus memperhatikan Rahman tanpa banyak bicara. "Bisakah mulai hari ini saya menginap di rumah Nyonya. Ada beberapa hal yang ingin saya pastikan soal Nyonya Maria. Saya sangat yakin ia berada di balik semua kejahatan terhadap saya ini."Alana langsung setuju begitu saja dengan permintaan Rahman. Baginya keberadaan Rahman di rumah adalah sebuah jaminan keamanan. Mengingat Maria semakin berani
Malam itu Alana merasa resah. Hatinya terasa gundah-gulana. Ia tengah menunggu Ronald, sang suami yang tak kunjung pulang ke rumah. Wanita itu berjalan mondar-mandir dari ruang tamu ke kamarnya. "Ke mana dia? Tidak biasanya Ronlad pulang telat begini," gumam Alana khawatir. Wanita berusia tiga puluh empat tahun itu mulai menggigit-gigit kukunya karena khawatir. Alana punya kebiasaan seperti itu sejak belia. Ketika dirinya merasa cemas refleks ia akan menggigit-gigit kukunya sambil berjalan mondar-mandir. [Sayang, kau di mana? Kenapa belum pulang juga? Ini sudah hampir jam dua belas malam]Alana yang semakin cemas mengirim pesan ke nomor suaminya. Ini sudah pesan ketiga belas. Namun, meskipun centang dua terlihat di aplikasi hijau milik suaminya tak satu pun pesan Alana dibaca, bahkan dibalas oleh Ronald. "Mungkin aku harus meneleponnya sekarang," desis Alana yang mulai tak sabar. Hatinya dipenuhi kekhawatiran atas suaminya. Sembari menggigit-gigit kuku jemari di tangan kanannya,
"Ya, aku tahu itu. Lalu jika sudah kejadian seperti ini aku harus menghubungi siapa lagi, Man?" tanya Alana resah dan gelisah. Kekhawatiran dalam dirinya sudah semakin memuncak. Alana lalu meraih jaket tebal di gantungan baju dalam kamarnya. Ia bersiap untuk pergi mencari Ronald saat itu juga. "Aku akan pergi mencari suamiku, Man. Pikiranku sudah tak karuan rasanya dengan situasi ini," lanjut Alana sembari bergerak mengambil kunci mobilnya di nakas dekat garasi. "Nyonya! Ini sudah larut malam. Saya mohon jangan gegabah dan membahayakan diri anda sendiri!" larang Rahman yang khawatir akan terjadi hal yang lebih buruk saat Alana mencoba mencari suaminya. "Aku punya firasat buruk soal suamiku, Man. Dan aku tidak bisa lagi hanya bersabar dan menunggu Ronald pulang!" tegas Alana berkeras. "Nyonya, biar saya yang mencari keberadaan Tuan Ronald. Nyonya tenang saja di rumah. Tolong hubungi Tuan Prasodjo dulu, Nyonya. Siapa tahu Tuan Ronald sedang ada bisnis dengan paman bungsunya itu," u
Rahman menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Alana. Pria itu langsung mengenali mobil tersebut benar milik majikannya. "Ya, Nyonya. Itu adalah mobil Tuan Ronald," jawab Rahman serba salah. Sebagai sopir pribadi Ronald ada kode etik yang harus dijaga Rahman terhadap majikannya itu. Namun fakta di lapangan membuat Rahman tidak bisa menutupi semuanya dari Alana. Alana segera berlari ke resepsionis dan menanyakan kamar yang dipesan Ronal. Ia menunjukkan bukti bahwa Ronald sedang berdiri di meja resepsionis seperti mengorder kamar hotel. "Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan informasi tamu hotel kami pada Ibu," tolak resepsionis hotel tersebut. Alana segera mengeluarkan sebuah kartu member Platinum dari beberapa jaringan hotel bintang lima di Indonesia. Kartu itu adalah sebuah tanda keanggotaan eksklusif yang membuat setiap pegawai hotel harus memberikan pelayanan ekstra pada pemilik kartu. "A-ah ... jadi Ibu adalah member Platinum ya. Se-sebentar saya carikan. Atas nama siapa, Bu?"
"Kau ini tidak tahukah bagaimana perasaanku? Aku ini istri dari pria yang bersimbah darah itu. Bagaimana bisa kau melarangku memastikan bahwa tubuh ini benar suamiku?" bentak Alana penuh kemarahan. Wanita itu segera maju untuk bergerak mengangkat bantal yang menutupi setengah tubuh Ronald. Ia ingin melihat benar sosok yang terbujur kaku di hadapan mereka itu adalah Ronald. Namun rupanya Rahman lebih cekatan. Pria itu segera maju mendahului Alana dan mengangkat bantal tersebut. Pemandangan yang selanjutnya mereka lihat sungguh membuat Alana syok hingga jatuh terduduk dan menangis meraung-raung. "Ro-ro ... Ronald! Itu suamiku, Man!" seru Alana terkejut. "Ronald, ka-kau! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Mengapa sampai harus meregang nyawa seperti ini?" jerit Alana di sela isak tangisnya. Rahman mendekap tubuh sang Nyonya agar tidak bergerak menyentuh jasad sang suami yang sudah kaku dan membiru tersebut. Petugas hotel itu benar mereka tidak boleh menyentuh apa pun hingga polisi ti
Alana terbangun dengan kondisi kepala pening. Ia baru bisa tidur sebentar setelah salat subuh tadi. Sekarang tubuhnya terasa begitu berat.Untungnya ada asisten rumah tangga yang membantu Alana untuk menyiapkan kebutuhan anak-anak Alana. Jadi meskipun Alana tak turun tangan, anak-anak masih ada yang menyiapkan kebutuhan mereka sebelum berangkat sekolah. "Ronald," desis Alana sambil menahan air mata. Alana sebetulnya berharap, kejadian semalam hanyalah mimpi buruk saja. Namun sebuah panggilan telepon membuat Alana harus meyakini bahwa Ronald memang benar-benar mati terbunuh dengan sangat tragis."Dengan Ibu Alana?" sapa sang penelepon dengan sopan."Ya benar, Pak," jawab Alana sambil mengerjapkan mata."Bu Alana, bisakah Ibu ke kantor polisi segera untuk memberikan keterangan lebih lanjut? Kami membutuhkan itu untuk membuat BAP," jelas sang penelepon yang sepertinya dari kepolisian tersebut.Alana menghela napas berat sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan si penelepon. Seluruh d
"Aku sudah bilang pada Kak Lana. Aku ini Maria, istri kedua Mas Ronald!" tegas Maria tak gentar. Wanita muda berpakaian seksi itu terlihat berani menghadapi Alana yang terlihat gusar dan emosional. Maria justru lebih tenang dibanding Alana. "Mana buktinya kalau kau adalah istri kedua suamiku? Aku tak bisa mempercayaimu begitu saja," pinta Alana pada Maria. "Ada, aku punya bukti! Tunggu akan kutunjukkan pada Kak Lana!" tegas Maria sambil membuka ponsel smartphone miliknya dan mulai menggulirkan layar untuk mencari foto-foto yang menunjukkan kedekatannya dengan Ronald. Alana meremas jemarinya kesal. Belum juga reda kesedihan dan rasa penasaran atas kematian Ronald. Kini muncul masalah baru yang dibawa wanita bernama Maria itu. "Ini, lihatlah! Ini foto pernikahan siriku dengan Bang Ronald," ujar Maria kemudian. Alana memperhatikan layar smartphone milik Maria dengan saksama dan teliti, mencoba mencari kebenaran dalam deretan gambar digital di dalamnya. "Foto itu tidak menunjukka