LOGIN“Ada apa, Mike? Siapa yang menelepon?” tanya Nathan dengan penasaran.
“Telepon dari kantor polisi, kita harus ke sana sekarang.” Mike menjawab singkat.
“Iya, tapi kenapa? Apa ada informasi baru?” desak Nathan. Sedangkan Mike menghela napas berat.
“Iya, Nate. Pelaku bunuh diri.”
“Apa?” Nathan tertegun, sedangkan Mike hanya mengangkat bahu, ia sendiri sama kacaunya dengan Nathan. Jika pelaku itu bunuh diri, maka kasus ini akan sulit diungkap, siapa dalangnya dan apa motif serta tujuannya, akan sulit diketahui.
Keduanya segera menemui Nina dan Laura yang sedang berbincang-bincang di kamar bayi.
“Sayang, aku dan Nathan harus ke kantor polisi. Kamu tunggu di sini saja temani kakak ipar,” ujar Mike kepada Laura yang direspon dengan senyum dan anggukan.
“Mike, Nathany. Kalian harus hati-hati,” pesan Nina sedikit khawatir.
“Iya my love, kamu tenang ya. Semuanya akan baik-baik saja.” Nathan memeluk Nina dan mencium kening wanita yang masih terlihat ketakutan itu.
Setelah berpamitan dengan istri masing-masing keduanya segera meluncur ke kantor polisi dengan dikawal oleh Bill. Sedangkan Emmy stanby di rumah.
Setelah tiba di kantor polisi keduanya langsung menemui pimpinan polisi dan mendapatkan penjelasan. Pelaku bunuh diri setelah menyebut satu nama: V-i-c-t-o-r.
Nathan dan Mike saling berpandangan, Victor? Siapa lagi itu?
“Apa Anda tidak ada mengenal nama itu, sir?” tanya polisi pada Nathan.
Nathan terdiam sejenak, dia berusaha mengingat, dari sekian banyak koleganya atau orang-orang yang pernah terhubung dengannya, tidak ada yang bernama Victor.
Setelah memberikan keterangan dan mendapatkan penjelasan, Nathan dan Mike kembali ke mansion Nathan. Perlahan-lahan Nathan pun menjelaskan pada Nina apa yang terjadi, dan menanyakan apakah Nina pernah mengenal seseorang bernama Victor?
Nina terdiam, ia dan Laura berpikir keras, mencoba mengingat, adakah orang yang pernah terkait dengannya yang bernama Victor? Baik teman kerja saat di Wils, teman santai, maupun kolega-kolega di Nithany. Tapi tidak ada satupun yang bernama seperti yang disebutkan penjahat itu.
“Nathany, berarti kita belum aman…” ucap Nina lirih, suaranya bergetar, wajahnya memucat.
“Ssh, my love tenang. Kita akan cari jalan keluarnya.” Nathan berusaha membujuk dan menenangkan Nina.
“Benar, kakak ipar. Mungkin untuk sementara, kakak ipar jangan keluar mansion dulu. Setidaknya sampai penyelidikan selesai dan kita mendapatkan petunjuk baru.
“Tapi itu bukan jalan keluar juga Mike, Nathany harus masuk kantor, bagaimana kalau penjahat itu melukai Nathany, aku tidak tenang juga.”
“Ssst, jangan berpikir yang buruk-buruk, honey.” Nathan segera memeluk istrinya yang mulai terisak.
“Aku takut Nathany….”
Nathan dan Mike serta Laura hanya bisa menghela napas, mereka tidak bisa dan tidak tahu bagaimana caranya menenangkan Nina. Akhirnya Nathan menghubungi Aran, kakak Nina, dan menceritakan semuanya.
Lord Arthur memerintahkan agar Nina dan kedua anaknya segera dibawa ke kastil Meiscill. Namun Nina berkeras, jika ia harus tinggal di kastil Meisceill Nathan pun harus tinggal bersama mereka, karena dia juga mengkhawatirkan keselamatan suaminya.
Akhirnya Nathan pun setuju, keselamatan anak dan istrinya adalah segalanya. Dia segera mengadakan rapat darurat dengan orang-orang kepercayaannya untuk mendelegasikan pekerjaan, agar bisa dihandle dari jauh. Nathan juga menginformasikan hal itu pada kakek Wilson.
Semula kakek Wilson keberatan. Dia memberikan alternatif agar Nathan membawa istri dan anaknya ke Philly. Mereka akan aman di sana, dia sendiri yang akan mengerahkan orang-orangnya untuk menjaga mereka. Namun Nina menolak, karena Philly masih dekat dengan NYC. Akhirnya sang kakek pun tidak bisa berbuat apa-apa, dia tahu cucu menantunya itu memiliki trauma dan pengalaman yang buruk di masa lalu.
Setelah semua siap, Nathan dan Nina serta kedua bayinya berikut kedua pengasuh mereka terbang ke Belfast dengan private jet milik Nina. Setiba di Belfast, Aran telah menunggu dan langsung membawa mereka ke kastil Meiscill.
Nina tak kuasa menahan tangis, sambil memeluk ayahnya. “Dad, aku hanya ingin hidup tenang, kami juga tidak punya musuh, tapi kenapa ada aja orang yang jahat pada kami.”
“Tenanglah baby Alice. Di dunia ini, dimana ada kebaikan, pasti ada kejahatan. Begitupun sebaliknya. Karena kejahatan dan kebaikan adalah bagian dari dinamika kehidupan. Yang penting, kita harus menghadapinya dengan sikap yang tenang.”
Lord Arthur mengelus putri kesayangannya itu dan memberikan nasihat yang menenangkan Nina.
“Benar, Alice. Tapi di sini kalian akan aman. Tak akan ada orang-orang jahat yang akan menyentuh kalian.” Aran menimpali.
Nina merasa lega, kini dia bisa membesarkan bayi kembarnya tanpa ada kekhawatiran lagi. Nathan menjalankan pekerjaannya dari jauh, sesekali ia datang ke New York jika ada hal yang sangat penting, namun dengan pengawalan ketat, karena Nina masih sangat khawatir.
Cukup lama mereka tinggal di kastil Meiceill, bahkan ulang tahun pertama anak-anak mereka pun dirayakan di kastil itu dengan sangat meriah. Kakek Wilson dan keluarga Nathan lainnya pun diundang, termasuk Mike, Laura, Christy dan Bob, agar mereka bisa merayakan ulang tahun pertama sikembar Olivia dan Oliver.
Mereka sangat takjub melihat kastil yang usianya sudah ratusan tahun itu, namun masih tetap megah dan terawat dengan baik. Atmosfir kebangsawanan masih sangat kental dan terasa di tempat itu.
“Wah seperti di negeri dongeng,” gumam Christy kagum, yang disambut dengan candaan Mike yang tidak pernah puas menggoda adiknya itu.
Suasana sangat semarak, sepasang bayi kembar itu kembali banjir hadiah-hadiah mewah dari orang-orang yang sangat menyayangi mereka. Begitu pun Nina dan Nathan, keduanya merasa sangat berbahagia. Apalagi melihat bayi mereka yang sudah mulai jalan jatuh, sangat menggemaskan.
Christy mengupload foto-foto mereka di sosial media, yang dalam sekejap menjadi viral. Kedua bayi itu pun banjir ucapan selamat. Mereka juga kagum melihat background foto-foto itu.
Tanpa mereka sadari, seseorang ikut melihat postingan itu, dan segera melapor pada boss mereka.
“Hmm, kita harus melakukan sesuatu, supaya mereka kembali ke New York dan merasa aman di sini.”
“Miss Wilson?” tanya seorang pria tinggi kekar di depan pintu menuju lorong. Ia adalah security kampus yang sedang berpatroli dan mengenali Livy. “Anda dari mana, Miss? Tidak masuk kelas?” “Oh, dari taman. Aku sedikit penat, jadi cari udara segar sebentar sebelum lanjut ke studio.” Livy menjawab dengan tenang sambil tersenyum. Security guard itu mengangguk dan memberikan jalan padanya. Livy segera melangkah menyusuri lorong menuju studio seni tempat ia dan teman-temannya melukis. Dia mengeluarkan id card khusus sebagai akses masuk ke ruangan itu.Sementara itu, Pedro dan Vla melanjutkan tujuan mereka ke sebuah lab swasta yang sudah dipercaya oleh Vla. Pedro masih terdiam, tidak banyak berbicara. Pikirannya masih berusaha untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.Tidak lama berselang, mereka pun tiba di sebuah area yang belum terlalu ramai. Di kiri kanan jalan itu berderet ruko-ruko dan cafe yang biasanya mulai ramai pengunjung saat menjelang sore hingga malam hari.
Vla menarik napas panjang, dia berusaha menetralkan dirinya. Apa pun kebenarannya dia harus tenang dan siap, untuk mendukung kekasihnya. Sedangkan Livy nampak semakin bingung, namun dia sudah mulai bisa menangkap apa yang sedang dilakukan Vla dan pedro. Jauh di dalam hatinya ada sesuatu yang bergetar, benarkah Pedro adalah Oliver?“Liv, apakah semua kalung yang kalian miliki sama? Maksudku kalungmu, kakakmu dan juga kalung ibu dan pamanmu?”“Ya, sama.” Livy mengangguk.“Ada ukiran dan lambang O’Meisceall di belakang liontinnya?”“Ya,” jawab Livy lagi. Ia menatap Vla dan Pedro bergantian, keduanya terlihat tegang. Meskipun Pedro membelakanginya, dia bisa melihat ketegangan lelaki itu. Livy gadis yang cerdas, dia bisa membaca dan meraba apa yang sebenarnya terjadi.“Vla, tolong jelaskan dengan jujur. Apa arti semua ini? Mengapa kamu membawaku ke mari? Apakah orang yang kamu maksud….”“Ya, Liv.” Vla memotong ucapan Livy. Dia berdiri lalu mendekati Pedro dan menepuk bahunya dengan lembut.
“A-apa? K-kakakku…?” tanya Livy tergagap, dia menatap Vla dengan heran. “Apa kamu tahu di mana Oliver berada?”“Untuk persisnya aku belum tahu, tapi kita akan mencari tahu.” Vla menjawab diplomatis yang membuat Livy semakin linglung.“Maksudmu bagaimana, Vla? Kok aku tambah penasaran.”Vla menghela napas, ia meluruskan posisi duduknya. “Kamu sangat ingin mencari keberadaan kakakmu, kan?”“Ya,” jawab Livy cepat.“Aku tidak tahu orang itu benar-benar kakakmu atau bukan. Makanya aku ingin kamu memvalidasinya.”“Tolong katakan yang jelas, Vla. Orang itu siapa dan di mana?” Livy menjadi sedikit gugup. Dia menoleh ke kanan dan kiri, namun tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka berdua.“Tenang, Liv. Dia tidak ada di sini. Aku akan mempertemukanmu dengannya, tapi….”“Tapi apa, Vla?” potong Livy tak sabar.Vla kembali memutar tubuhnya menghadap Livy. “Ada syaratnya, Liv.”“Syarat? Apa maksudmu? Tolong jangan membuatku bingung, Vla.”“Oke. Aku akan mempertemukanmu dengannya. Tapi apapun ha
“Hallo, siapa ini—”“Malam, Liv. Apa aku mengganggu?” terdengar jawaban seorang wanita di ujung sana.“Ini dengan….”“Vla. Apa kamu tidak mengenali suaraku?”“Oh, iya. Aku memang baru menebak kamu. Kamu dan Pedro sudah sampai di tempat?”“Ya, ini lagi santai juga. Kamu belum tidur? Apa aku mengganggu?”“Oh nggak. Sama sekali nggak mengganggu kok, Vla. Santai aja.”“Uhm, gini Liv. Aku ingin ketemu sama kamu, berdua aja. Tapi ini rahasia, hanya kita berdua.”“Rahasia? Apa sangat penting?”“Ya sangat penting. Tapi kamu harus janji dulu untuk merahasiakan ini, termasuk pada kedua orang tuamu. Apa kamu bisa?”“Hmm, oke. Tapi soal apa?”“Nanti akan aku jelaskan. Yang penting kamu atur supaya pengawalmu juga tidak tahu.”Livy terdiam sejenak. “Kalau di kampusku bagaimana? Biasanya mereka nggak masuk kedalam. Kita bisa ketemu di taman belakang kampus.”“Oke, aku setuju.”Setelah berbincang-bincang ringan keduanya pun menutup panggilan. Livy tertegun, rahasia apa yang dimaksud Vla? Mengapa ked
Pedro menatap Vla dengan penuh rasa penasaran. Sesuatu yang sudah lama ingin dia tanyakan, namun selalu terbentur hal-hal lain yang lebih mendesak.“Jangan sembunyikan apapun dariku, Vale.”Vla tersenyum, dia kembali menyesap kopinya. “Aku tidak akan menyembunyikan apapun darimu, Pedro. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling terbuka satu sama lain dan tidak ada hal apapun yang kita sembunyikan?”Vla menatap sekeliling, lalu berdiri dan menarik tangan Pedro. Keduanya pun pindah ke kamar. “Maaf Pedro, ini sangat penting dan rahasia. Aku hanya mengantisipasi dari dinding bertelinga.” Vla berbisik. Pedro mengangguk, ia duduk di sofa. “Di kamar ini aman, tidak ada yang bisa masuk, tidak juga Victor. Karena aku selalu menguncinya.”Vla melangkah ke jendela, menatap kelap-kelip pemandangan kota di kejauhan. Cukup lama terdiam sebelum akhirnya dia berkata pelan. “Sebenarnya nama Lucas adalah Antonio Luca Russo.”Pedro mengernyitkan kening, mencoba mengingat. “Russo? Apa hubungannya dia d
Pedro segera melempar wig dan mencuci wajahnya dari make-up tebal yang terasa seperti topeng. Ia juga segera mengganti pakaian yang menggelikan itu.“Huh, akhirnya wajahku bisa terbebas dari makeup menjijikkan itu,” ujar Pedro lega, dia segera ke pantry untuk membuat kopi.Vla hanya tersenyum melihat sikap Pedro. “Makeup kok menjijikkan, itu kan bisa membuat wajah cantik dan menutupi kekurangan.”Pedro menoleh pada Vla. “Iya kalau makeup yang normal dan yang memakai wanita. Kalau tadi, aku sudah seperti mayat hidup.” Ia terdiam sebentar dan menatap Vla. “Sana bersihkan makeup horormu itu. Bibirmu malah jadi hitam gitu, seperti hantu.”Vla terkekeh mendengar ucapan Pedro, namun dia segera ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya.Tidak lama berselang Vla keluar dengan wajah yang sudah bersih, dia juga sudah mengganti bajunya dengan pakaian santai. Pedro sedang duduk di sofa sambil menikmati kopi.“Nah begini lebih baik, lebih fresh lebih menggairahkan, dibanding tadi seperti zombie.”







