Masuk"Kenapa, Kak?"Sudah cukup banyak hari berlalu, sampai kini tak terasa Adya mulai bisa berjalan, mulai bisa diajak ngobrol dan nyambung. Di mana selama itu, Garda telah mempersiapkan bisnis galeri seninya di Coffee U. Namun, Daisha melihat Garda seperti termenung. Mungkin ada sesuatu yang menimpanya? Maka dari itu Daisha tanya kenapa."Ais ....""Hm?"Tuh, kan. Suaminya terlihat resah, seperti ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi Garda bingung bagaimana bilangnya sampai-sampai termenung."Kenapa, Kak?""Kakak rasa ... pendapatan Kakak menurun." Garda sudah menggunakan seluruh tabungannya untuk perwujudan galeri tersebut. Saat itu dia yakin-yakin saja bila stok pundi-pundi dunia yang ada di rekening tabungannya akan mudah terisi lagi, mengingat penghasilan Garda sebagai konten kreator lukis tak bisa dikatakan sedikit.Awal terasa penurunannya tidaklah signifikan hingga di bulan-bulan itu Garda rasa 'wajar', nanti juga naik lagi. Namun, bulan ke bulan ... sampai satu tahun Garda ama
"Ais. Kamu inget, gak?" Garda bertanya, tetapi tatapannya di Adya, sedangkan pertanyaannya untuk Daisha.Mami Adya pun menoleh, dia sedang berbenah memasukkan pakaian ke dus, bersiap-siap mau pindahan. Furnitur sudah dikirim dan langsung dengan pengerjaan desain interior. Mungkin lusa atau besok juga selesai, sudah dari kemarin soalnya. Rencana pindahan juga diputuskan mundur beberapa hari sampai rumah benar-benar sudah tertata sampak ke isi-isinya."Ingat apa, Kak?"Adya tengkurap, Garda usap-usap punggungnya, sesekali dia juga jawil pipi si kecil. Gemas, jujur. Menatap Adya tak pernah bosan karena inilah hasil karya Garda yang sesungguhnya bersama Daisha. Bukan sekadar lukisan, tetapi buah hati mereka."Pas SMP kita camping. Tepatnya, waktu angkatan kamu kemah dan Kakak jadi seniornya."Gerak tangan Daisha henti untuk sepersekian detik, kembali menoleh menatap Garda yang tidur menyamping menghadap Adya—juga menghadap ke arah Daisha yang lesehan di dekat lemari."Ingat." Saat camping
[Kak.][Bagusan yang mana warna birunya buat langit?][Sore, Kak. Kalau buat lukis abstrak ....]Dan masih banyak lagi kiriman pesan lain dari nomor Leona, hanya saja kontak itu sudah tidak disimpan di ponsel Garda—sedang Daisha lihat-lihat, inspeksi suka-suka. Tahu bahwa itu nomor Leona karena namanya tercantum di profil.[Sedih banget Kak Garda udah nggak open jasa lukis buatku lagi, padahal langganan sejak Kak Garda baru netes. :( ]Kalau itu dari Ayla.Nomornya sudah dihapus juga di ponsel Garda. Tahu ini kontak Ayla karena dari riwayat chat sebelumnya.Garda: [Terima kasih, ya, Ayla. Selama ini udah jadi pelanggan tetap dan ....]Ungkapan macam itu kira-kira yang Garda kirim terakhir kali. Ke sini-sininya pesan Ayla tidak pernah Garda balas lagi.Kalau begini sama saja dengan memutus tali silaturahmi tidak, sih? Tapi kalau mereka masih kontakan, Daisha juga kurang senang. Salahkah? Atau sudah benar seperti ini?Suami tidak berkontak dengan lawan jenis mana pun yang berpotensi mem
Bangun tidur, habis mandi, lalu bertatapan dengan Garda menjadi hal yang membuat perut Daisha digelitiki sayap kupu-kupu imaji. Ini pasti karena kejadian semalam. Ah, tidak mau Daisha jabarkan dengan rinci. Terlalu intim, Daisha malu. Garda tersenyum-senyum, masih di kasur. Oh, azan Subuh sudah berkumandang. Makanya itu Daisha bangun dan mandi suci lekas-lekas. "Aku udah wudu, Kak," tukas Daisha saat Garda hendak menempel. Takutnya bersentuhan dengan iringan nafsu sisa semalam. Garda mengerti. "Tunggu, ya? Jangan salat duluan. Kakak imamin." "Iya ...." Lagi, pipi Daisha memanas. Ini baru benar. Ini baru rumah tangga sungguhan, serasa malam pertama yang sebenarnya, tanpa ada kekhawatiran apa pun karena tak ada kebohongan yang dirawat. Lekas Daisha siapkan alat salatnya. Hal-hal kecil macam ini jadi terasa manis, menyiapkan seperangkat alat salat untuk suami. Di sisi lain, Baby Adya masih terpejam. Oh, tentu di jam-jam tertentu Daisha sempatkan bangun untuk menyusui putranya.
Rasanya seperti yang pertama. Debarannya sama. Saat ada tatapan Garda yang tidak biasa menjamah mulai dari wajahnya, tampak berkabut, seperti ada hasrat yang perlahan berkobar. Daisha merasakan semua itu sekadar dari sorot mata dan embusan napas papi Adya. Bayi kecil mereka sudah lelap, tetapi sejujurnya Daisha masih khawatir. Bagaimana jika Adya bangun saat dirinya dan Garda sedang di puncak keintiman? Kini ... kerudung Daisha sudah dilepas, jarak wajah ke wajah juga tak sampai satu jengkal, dapat Daisha rasakan buruan napas panas pria di atasnya. Oh, tentu. Adya tidur di dalam boks bayi. Agak tercekat napas Daisha kala bibir Garda mengecup-ngecup pipi hingga ke sekitaran daun telinga. Mulai intens. Lengan Daisha juga diusap-usap. Kecupan itu turun ke rahang, Daisha agak mendongak. Meremas sprei. Jantung makin heboh saja berdetak. Betul-betul seperti sedang malam pertamaan lagi. Di mana sekarang ... bibir dan bibir yang berjumpa. Daisha memejamkan mata, pun dengan Garda. Ada
Tanpa terasa, tiba waktu di mana Daisha mulai menyiapkan MPASI pertama untuk sang anak. Ada Mama Nuni yang memberi tahu variasi menunya. Di sisi lain, Garda sudah mulai nego harga terkait rumah. Untuk kali ini segalanya benar-benar dimulai dari nol. Dari awal lagi. Perihal rumah tangga. "Mama ... kok, dilepeh terus, ya? Susah banget nyuapinnya," ucap Daisha. Padahal tadi waktu membuatkan hidangan pertama untuk si kecil, Daisha sudah yakin pol bayi enam bulannya akan lahap menyantap. Namun, lihatlah itu. "Belum terbiasa dia," kata Mama Nuni. Oh, ya, katanya mama mertua Daisha juga sedang di perjalanan mau ke sini. Adya yang duduk di kursi makan khusus bayi itu menepuk-nepuk bagian mejanya. "Coba kasih minum dulu," sambung mama. Daisha pun menyodorkan sesendok air mineral kepada bayinya. Eh, eh, malah sendoknya digigit-gigit. Air minumnya tumpah meluber. Asli, celemotan dia—sampai ke dada-dada yang dilapisi celemek. "Ini, lho ... ini yang dimakan, Nak. Bukan sendoknya.







