Di malam pertama, Garda terkejut mendapati ketidakperawanan istrinya. Garda kecewa dengan ketidakjujuran Daisha, sikapnya berubah dingin di pernikahan mereka yang baru dimulai. Namun, Daisha sangat mencintai Garda, dan berusaha mengembalikan kehangatan di rumah tangganya. Akankan usaha Daisha membuahkan hasil saat hubungan sudah di ujung tanduk?
View MoreAtmosfer canggung memenuhi ruangan. Daisha gugup ditatap lekat oleh suaminya.
Ini malam pertama selepas pagi tadi melangsungkan akad nikah. "Boleh dibuka kerudungnya?" Daisha berdebar makin brutal. "Boleh." Apakah lelaki itu juga sama deg-degan seperti dirinya? Daisha menebak-nebak. Sambil duduk, Garda melepas lembut hijab instan yang Daisha persilakan. Makin brutal detak jantung, Daisha rasa hijabnya makin terlepas. Dia meremang saat kepalanya tak lagi tertutup, juga tersipu saat mendapati sorot mata suami yang sepertinya terpesona. Sontak Daisha menunduk. Ini pertama kali dia menunjukkan helai rambut kepada lelaki atas kehendaknya. "Cantik." Dipuji begitu, Daisha menunduk malu-malu. Garda senyum. Meraih sejumput helaian dan diciumnya ujung rambut Daisha. Praktis Daisha meremas piama mendapati perlakuan manis pria halalnya, bahkan sempat menahan napas. Wajar, kan, dia merasa tersanjung? Ini yang benar. Seperti ini yang seharusnya Daisha miliki di pengalaman pertama hendak bercinta, alih-alih ... ah, tidak. Lupakan. Dagunya disentuh, Daisha terkesiap. Jemari suami telah beralih menuntun lembut wajah Daisha agar saling menatap. Yang mana detik itu, Garda melabuhkan sebuah kecup di kening. Daisha memejam. Hatinya menghangat. Tak berselang lama, dia merasakan sebuah sapuan lembut di bibir. Oh, Tuhan! Sepertinya Daisha telah benar-benar jatuh cinta. Gerakannya lembut, membelai keranuman Daisha yang tersisa. Bibir ini diajak berdansa, menimbulkan bunyi decap yang menjadi bukti peraduan. Daisha membalas dengan kuluman amatir. Dari yang ringan, pelan dan ragu, kini intens dan menuntut. Ciuman itu sampai menghasilkan suara lenguhan yang Daisha sendiri kaget mendengarnya. Oh, sejak kapan tubuh Daisha sudah direbahkan? Dengan suami yang berposisi di atasnya. Bolehkah Daisha menikmati ini? Pantaskah dia menerima semua yang tersaji dari sosok Garda Pangestu Samarawijaya? Hati Daisha perih karena ada sesuatu yang tak sanggup dikatakan. "Kakak buka lagi, ya?" bisik Garda. "Pakaian kamu ganggu." Daisha merona. "I-iya, Kak." Lelaki itu tersenyum. Bagaimana Daisha menjabarkannya, ya? Dari senyuman tersebut ada kerlingan genitnya. Seorang Garda bisa seperti itu rupanya. Kakak kelas Daisha sewaktu di sekolah. "Ja-jangan diliatin kayak gitu!" Gugupnya Daisha begitu kentara. Dia menjulurkan tangan dan menutupi mata suami. Detik di kala kancing piama sudah dibuka seluruhnya. Malu. Ini yang pertama, meski bukan benar-benar yang kesatu. Garda menyingkirkan tangan Daisha, menguncinya di sisi kepala. Daisha menelan saliva. Suaminya bilang, "Kakak pengin lihat seluruh tubuh kamu, bahkan pengin ... ada di dalem kamu. Ini agenda malam pertama kita, Ais." Daisha sampai tak bisa berkata-kata. Kembali, bibir suami menyusuri wajah Daisha. Kecupan ringan yang terasa sensual lalu mampir di daun telinga. Daisha agak terkesiap saat lelaki itu menggigitnya. Sontak desahan Daisha mengalun. "Kak—!" Geli. Pria ini bahkan menangkup dada Daisha. Lagi, Daisha terkesiap. Refleks meremas rambut putra Mama Gea. Di mana kini bibir Garda tengah menjelajahi leher yang selama ini tertutup khimar. Kulit Daisha putih. Bukan karena berhijab, tetapi genetik. Di bawah sinar lampu benderang, Daisha tersadar bila kini pakaiannya sudah lekang tak menutupi nyaris seluruh badan. Bahkan bra pun sudah turun ke perut. Ya Tuhan, sejak kapan? Daisha terlalu sibuk menahan desahan, mengendalikan tubuh yang dibuat tak keruan, dan ... menenangkan pikiran yang tiba-tiba runyam. Garda mulai melepas kaus. Jantung Daisha bertalu-talu mendapati ketelanjangan lelaki, meski hanya bagian atas. Auto memalingkan muka, tetapi wajahnya diraih hingga saling pandang lagi. "Kakak lebih suka kamu natap ke arah sini." "Aku malu, Kak." Jujur saja. Garda terkekeh. "Kakak yang telanjang, kok, kamu yang malu?" Entahlah. Tapi, kan, ini Daisha juga sama telanjang. Makanya itu Daisha menyilangkan tangan di dada saat ada kesempatan. Menggigit bibir bagian dalam pertanda malu sungguhan. Lagi-lagi Garda mengunci tangan Daisha di dekat kepala. Bersitatap. Bra yang masih tersangkut di tubuh Daisha pun lelaki itu singkirkan, dipandangi juga perut Daisha. Gugup. Daisha tak nyaman ditatap seintens ini. "Cantik." Lagi, suaminya memuji. Sebelum berikutnya membuat Daisha menggeliat. Oh, tidak! Ada sesuatu yang menyusup ke dalam satu-satunya kain di tubuh Daisha. Area percabangan menuju kaki. Daisha memekik tertahan. Sejujurnya, ini asing bagi Daisha walau— "Sakit?" Bisikan Garda memangkas narasi dalam benak Daisha. Dan setahu Garda dari obrolan mesum para sobatnya, terkhusus Daaron—yang kini bahkan jadi sepupu ipar, penyatuan di malam pertama itu menyakitkan bagi istri, sekadar diselipkan jemari. Daisha merah padam. Gelisah sekali dengan sesuatu di area bawah itu. Disentuh bagian paling intim dari tubuhnya. "Rileks," bisik suami. Apa hanya Daisha yang tegang? Terlebih saat celana dalamnya diloloskan. Argh! "Jangan dilatin terus, Kak!" Sambil Daisha rapatkan kakinya. "Kenapa? Ini cantik." Astaga. Jangan bilang Garda terpesona oleh sesuatu yang Daisha sendiri malu menunjukkannya? Benar. Tatapan Garda memuja keindahan yang khas dari tubuh Daisha, lalu dia dekatkan bibir ke sana. Jangan tanya bagaimana kabar Daisha, dia ... entahlah. Tidak keruan. Daisha dibuat tidak berdaya, hingga akhirnya datang sebuah gelombang hasil cumbu di titik paling sensitif. Seperti ada yang mau keluar. Daisha panik, tetapi ... langsung lemas. Dia menutup wajah, urung menjauhkan kepala suami dari titik intimnya. Ini gila. Sekarang punggung tangan Daisha dikecup-kecup, lalu disingkirkan dari wajah yang merah padam. Garda senyum. Tak lama, lelaki itu berucap, "Kalo sakit bilang, ya?" Sambil melepas sisa kain di tubuh, membuang celana dengan sembarang. Dia membisik, "Meski mungkin Kakak nggak bakal berhenti." *** Ada dua titik intim yang tengah diperjumpakan. Lalu desah napas yang bertemu, halus penuh makna. Daisha melirih, dapat dia rasakan sebuah kunjungan paling sensual dari pria yang pagi tadi menjabat tangan papa. Detik di mana sebagian kecil dari tubuh suaminya menyelinap masuk, pelan-pelan, yang dituntun dengan tangan. Daisha menahan napas di saat pertemuan alat intim itu terjadi. Dan, dalam sekali entakan. Daisha praktis terdorong. Ada getar samar di tubuhnya, juga ketegangan. "Maaf. Sakit, ya?" Garda mengecup-ngecup wajah Daisha. Detik di sebelum tautan intim itu dia permainkan hingga menghasilkan bunyi erotis. Daisha merona. Beginikah rasanya? Lembut dan bertenaga. Tidak melukai. Walau dipercepat, tetapi tidak menyakiti. Hingga akhirnya, Garda dan Daisha saling berpelukan, ada rasa kepuasan yang lebih dari sekadar fisik. Pun, ada kehangatan yang menjalari hati Daisha. Tubuh satu sama lain mencapai titik puncak. Sempurna. Sampai Daisha meneteskan air dari sudut mata. Sekali lagi Daisha mendapati kecupan di kening, bahkan lelaki itu memupuskan jejak air matanya sambil bilang, "Kakak cinta sama kamu, Ais." "Aku juga, Kak." Jadi, bisakah berlangsung selamanya? "Kamu tahu? Rasanya, Kakak orang paling bahagia malam ini. Bisa dapetin kamu, meluk, cium, dan ... semua." Wanita pujaan yang selama bertahun-tahun Garda cintai dalam diam, lalu memerjuangkan sampai akhirnya dia dapatkan. Daisha tahu. Waktu sekolah pun pernah kedapatan sedang curi-curi pandang, lalu tersipu samar kala Daisha pergoki. Bukan begitu? *** Beranjak pada dini hari, Daisha terlelap. Namun, didapatinya usapan sesuatu pada area intim, sontak dia terbangun. "Kaget, ya?" Ada Garda yang sedang membasuh keintiman Daisha, itu yang membuatnya terkesiap. Garda tersenyum. "Cuma dibersihin, takutnya kamu merasa lengket—eh, maaf." "Biar aku aja, Kak." "Udah, kok." Lepas itu, Daisha direbahkan lagi. Diselimuti. "Gih, lanjut tidur." Daisha pegang selimutnya. Garda menatap dalam diam, Daisha balas. Saat lelaki itu senyum dan berbalik, barulah Daisha pejamkan mata. Kalian tahu? Tak ada jejak darah sedikit pun. Ya, mungkin karena Daisha pernah jatuh dan terluka 'itunya?' Olahraga berat? Atau memang tipis selaput daranya. Sepemahaman Garda, darah tidak menjadi simbol dari keperawanan wanita. Tak ada yang bisa benar-benar menjadi patokan perempuan ini masih perawan atau tidak, kecuali dari pengakuan wanita itu sendiri. Dan Garda rasa, tak perlulah dia tanyakan atau membahasnya dengan Daisha. Garda melenggang menyimpan handuk tadi, lepas itu dia kembali. Tertangkap mata adanya nyala di layar ponsel. Garda meraih benda itu. Kalau tidak penting, akan Garda letakkan lagi. Kalau penting, besok Garda kabarkan kepada Daisha begitu bangun. Namun, ini .... [Akhirnya kamu nikah juga, ya, Ais? Selamat. Semoga dia nggak mempertanyakan keperawanan kamu. Ah, tapi kayaknya udah kamu ceritain, termasuk soal anak kita yang gugur itu.] ***"Masak apa?" Daisha terkesiap. Dia sedang ambil minum di dapur saat tenggorokan serasa tercekat, perihal mangkuk lucu entah pemberian siapa. Daisha belum berani menanyakannya. Dan di sini, tiba-tiba suara itu terdengar. Dapat Daisha lihat suaminya menghampiri. Hanya dengan satu tanya itu hati Daisha melahirkan begitu banyak harapan, mungkinkah sudah mulai membaik rumah tangga yang baru seumur jagung ini? "Ayam kecap, ada sayur bening juga. Atau Kakak mau aku masakin yang lain?" Semringah Daisha menjawab, dia pun lekas-lekas menyudahi tegukannya. Daisha berdiri selepas meletakkan gelas di meja dapur. "Yang ada aja." Singkat, sih, memang. Namun, percayalah ... begitu saja Daisha senang mendengarnya. "Oke, Kak. Aku siapin." Makin senang karena Garda memilih duduk manis di kursi makan. Daisha bertanya-tanya dalam batinnya di tiap pergerakan. Ini pertanda baik, kan? Mungkin Kak Garda sudah mulai bisa menerima ketidaksempurnaannya, kan? Mungkin kemarin saat tidak pulang itu Kak Garda
"Garda selingkuh?" Dikara mempertanyakan itu kepada suaminya, Daaron. Malah dibalas tanya yang persis. "Nggak mungkinlah!" imbuh Daaron. Dikara juga merasa begitu. Harusnya tidak mungkin. "Tapi aku lihat Garda sama perempuan lain tadi." "Biasanya sama klien dia, sih. Kan, lukisan Garda banyak diminati, Ra." "Gandengan tangan juga kalau sama klien, Bang?" "Oh. Itu mah sepupunya, kali. Soalnya sodara Garda juga banyak yang cewek dan kayak seumuran. Lagian Garda selingkuh itu nggak mungkin, apalagi udah nikah sama Ais. Kita tau sendiri senaksir apa Garda ke Daisha, kan? Dari SMP." Dikara manggut-manggut. Memang, sih. Itu yang membuatnya jadi serasa mustahil bagi seorang Garda selingkuh. "Lagian di antara kami berlima; Abang, Dodo, Marco, Garda, dan Jean. Garda itu yang paaaling saleh. Dia bahkan nggak pernah pacaran, lho. Demi siapa? Daisha. Garda pengin dirinya sebersih itu buat menghadap Om Genta pas ngelamar anaknya." "Jadi, ini aku nggak usah kasih tahu Mbak Ais s
Daisha ketuk pintu kamar suami, benar-benar sudah terpisah. Apa ini pengibaran bendera cerai? Tidak. Daisha akan mengembalikan kehangatan yang pernah dia rasakan di hari pertama menikah. Toh, cuma pisah kamar, bukan pisah rumah. Artinya masih bisa dibenahi. Garda cuma butuh waktu untuk sendiri. "Kak?" Dipanggilnya sang suami. "Makan, yuk?" Ini sudah malam. Daisha sudah memanaskan hidangan yang dibawa dari rumah orang tua. Dari sore tadi Garda tidak keluar, mungkin tidur atau ... entahlah. Daisha tidak berani mengganggu, selain sekarang karena jam makan malam sudah tiba. Pintu dibuka, Daisha senyum. "Aku udah manasin makanan dan—" "Duluan aja." Garda menutup pintu kamarnya. Ada kunci motor di tangan dan dompet yang dia kantongi. Menyuruh Daisha makan duluan. "Kakak mau ke mana?" Daisha mengekor. "Ke luar dulu." Acuh tak acuh. "Ke?" Daisha percepat langkahnya demi menyetarai pijakan suami. Tidak dijawab. "Kak—" Ditepis. Juluran tangan Daisha tidak diizinkan menyent
Hari kedua, Daisha langsung diajak pindah ke rumah pengantin baru yang dihadiahkan oleh orang tua Garda, yakni Papa Khalil dan Mama Gea. Jawaban atas tanya Daisha di pesan tentang hubungan 'masih suami-istri' itu dijawab 'iya, masih' oleh pria yang kemarin pergi dari pagi sampai menjelang magrib. Pulang dengan membawa motor, sesuai apa yang Daisha kirim di pesan. Daisha merasa suaminya hanya syok dan butuh waktu kemarin itu. Karena ketika makan malam berlangsung, Garda bersikap kembali hangat. Ada tawa juga di kala mengobrol dengan orang tua Daisha, rasanya melegakan. Namun, sampai di kamar, sampai saat hanya berdua dengan Daisha, entah perasaan dia saja atau memang Garda terkesan tak sama seperti sosoknya yang tadi di ruang makan. Tapi tidak Daisha gubris, toh Garda langsung tidur meski bayangan Daisha mau ada ngobrol-ngobrolnya dulu. Habis itu, besoknya langsung ngajak pindah ke rumah pengantin baru. Di sini. Hari ini. Satu per satu keluarga yang mengantar kepindahan pun buba
"Kamu pernah keguguran?" Daisha yang sedang melipat mukena tersentak samar mendengarnya. Cepat-cepat disimpan alat salat itu dan Daisha menoleh. "Maksudnya, Kak?" Mereka bertatapan. Ini subuh pertama selepas kemarin melaksanakan acara akad. Daisha sudah sah menjadi istri pria di depannya, bahkan malam pertama sudah berlalu. Pernikahan dilakukan di rumah orang tua Daisha, dan dia merupakan putri satu-satunya dari seluruh anak Papa Genta. Daisha sosok yang sangat dijaga oleh orang tuanya, terkhusus sang papa. Sejak kecil Daisha sudah dibiasakan berhijab. Diwanti-wanti untuk tidak ada main dengan lawan jenis, sekali pun itu sekadar main mata. Daisha bukan tipe pemalu sebetulnya, bukan sosok penakut juga. Terbukti dari lintas jejaknya sebagai anak rantau, kuliah di luar kota sampai S2 dan kerja sambilan sebagai MC acara besar. Tapi itu sebelum ada kejadian yang merenggut sebagian keberaniannya. "Coba lihat hape kamu, ada chat semalam. Kakak buka." Kembali pada detik
Atmosfer canggung memenuhi ruangan. Daisha gugup ditatap lekat oleh suaminya. Ini malam pertama selepas pagi tadi melangsungkan akad nikah. "Boleh dibuka kerudungnya?" Daisha berdebar makin brutal. "Boleh." Apakah lelaki itu juga sama deg-degan seperti dirinya? Daisha menebak-nebak. Sambil duduk, Garda melepas lembut hijab instan yang Daisha persilakan. Makin brutal detak jantung, Daisha rasa hijabnya makin terlepas. Dia meremang saat kepalanya tak lagi tertutup, juga tersipu saat mendapati sorot mata suami yang sepertinya terpesona. Sontak Daisha menunduk. Ini pertama kali dia menunjukkan helai rambut kepada lelaki atas kehendaknya. "Cantik." Dipuji begitu, Daisha menunduk malu-malu. Garda senyum. Meraih sejumput helaian dan diciumnya ujung rambut Daisha. Praktis Daisha meremas piama mendapati perlakuan manis pria halalnya, bahkan sempat menahan napas. Wajar, kan, dia merasa tersanjung? Ini yang benar. Seperti ini yang seharusnya Daisha miliki di pengalam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments