“Mas.” Aku menggeleng, menahan dadanya agar dia tidak semakin mendekat.“Takut?” tanyanya dengan sebelah alis terangkat.Tentu saja aku takut. Siapa yang tidak akan takut jika membayangkan nantinya diperlakukan seperti yang tadi kulihat di video. Tubuhku langsung merinding.“Maaf karena aku lancang masuk sini. Mas, kamu bilang ada Mama 'kan? Jangan begini.”“Bukannya tadi malam kamu yang ngajakin.”Iya, tadi malam memang aku yang lebih dulu mengajaknya tapi setelah melihat video itu malah aku jadi takut diperlakukan kasar begitu.“Hana ….”“Tuh, Mama manggil aku.” Aku bisa bernapas lega.Mas Nata mundur, menegakkan kembali tubuhnya. Ini menjadi kesempatanku untuk menyelamatkan diri. Dengan langkah seribu keluar dari ruangan itu.Kalau Mama tidak memanggil, entah seperti apa nanti aku.“Kamu dari mana, kenapa kayak orang etakutan gitu?” Mama tampak heran melihatku.“Eh, nggak kok, Ma. Aku kirain Mama mau dateng siang ke sini.”“Mama udah nggak sabar nunggu siang,” katanya sambil terkek
“Mas mending istirahat aja, biar aku beresin masakannya sendiri.”“Mas nggak bakalan makan kamu kok. Tenang aja.”Aish! Bisa-bisanya dia menyuruhku tenang, mana mungkin aku bisa tenang jika tahu kedepannya aku akan dalam bahaya.“Terserah.” Aku menyerah.Semakin lama berdebat malah semakin lama nanti masakan jadi.Dia juga tidak akan macam-macam sekarang tidak tahu kalau nanti malam.“Ma, minuman masih ada nggak? Cuacanya bikin gerah makanya gampang abis,” kata Laisa yang kembali di dapur.“Udah kamu kesana, biar Papa yang siapin.”“Makasih Papaku yang paling ganteng.” Laisa buru-buru kembali.Dari sini bisa kulihat lewat jendela ke arah gazebo tempat Laisa bersama dengan teman-temannya, makanya tidak enak juga kalau bertengkar dan terlihat oleh mereka.Setelah cukup lama berkutat dibantu Mas Nata, semua hidangan sudah selesai dan tertata rapi di atas meja. Sementara mereka makan, aku memilih untuk mandi apalagi sebentar lagi maghrib. Tapi saat memasak aku banyak ngemil makanya masih k
Laisa keluar dari kamarnya dengan raut wajah masam. Pasti ada sesuatu jika dia sudah seperti itu.“Jadi jalan sama teman kamu?”Dia menggeleng. “Lain kali aja, Ma. Ada pembalut nggak, Ma? Aku lupa beli.”“Ada, bentar ya.”Aku melangkah masuk ke dalam kamar untuk mengambil pembalut. Gerakan tanganku terhenti saat baru saja membuka laci.Tunggu. Biasanya aku lebih dulu datang bulan daripada Laisa.Kulirik kalender di atas nakas. Mataku melebar dan pikiran tertuju pada satu hal. Ini sudah tiga minggu setelah aku dan Mas Nata berhubungan, hanya satu kali. Kami tidak melakukannya lagi, dia menolak sambil mengatakan pasti satu kali juga bisa. Aku harap memang begitu.Gegas kuambil pembalut itu dan memberikannya pada Laisa lalu menghubungi Mas Nata. Setengah jam lalu dia keluar untuk menemui temannya yang akan memberikan dia pekerjaan. Aku kasihan juga melihatnya yang luntang-lantung tidak jelas karena belum dapat pekerjaan tapi hal itu sepertinya sangat ampuh untuk mendewasakannya.“Kenapa,
Sikapnya Mas Nata sangat berbeda, apa mungkin dia sudah memiliki wanita idaman lain sampai berpikir mengakhiri pernikahan ini setelah Yuna sembuh nanti.Mau tidak peduli tapi dia suamiku tapi pernikahan ini berdasar pada kebutuhan bukan keinginan.Sebenarnya aku masih penasaran Mas Nata tahu dari mana kalau aku dan Samudra pernah memiliki hubungan meski tak lama dan belum berpikir untuk serius. Aku hanya sedang mencoba untuk mengobati luka hati berharap lelaki itu memang dikirim sebagai pengganti Mas Nata. Sekarang malah aku kembali pada papanya Yuna.Takdir memang serumit ini.Kulanjutkan merapikan walk in closet. Mas Nata tadi tidak melarang, mungkin fokusnya teralihkan karena apa yang dikatakannya itu.Aku jadi penasaran, wanita mana yang sekarang disukai papanya Yuna itu. Apa jangan-jangan dia jadi pendekatan dengan Kak Queen? Aku menggeleng mencoba untuk menepis semua itu. Tidak boleh, aku tidak boleh memikirkannya.Kutarik napas dalam-dalam.Selesai membersihkan walk in closet a
POV Nata“Cemburu?”“Cemburu apaan sih, aku cuman tanya doang.” Dia memalingkan wajahnya yang kini sudah merah padam.“Oh.” Aku menyahut seadanya lalu meneguk sisa air dalam botol hingga tandas.Sikapnya yang begini membuatku senang sampai aku berpikir bisa mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki semuanya.“Aku harap kamu bisa melepaskan Hana setelah ini. Dia memutuskan hubungan kami hanya demi bisa menyelamatkan Yuna. Jadi tolong Anda tahu diri sedikit, jangan berharap Hana bisa benar-benar menjadi milik Anda.”Perkataan Samudra terngiang di telinga. Dia sepertinya sangat keberatan karena hal ini tapi siapa yang mau jika anaknya sakit seperti yang dialami Yuna. Jika masih ada jalan lain yang lebih cepat, aku dan Hana juga tidak akan mungkin menikah kembali seperti ini.Mulai sekarang aku tidak akan lagi egois. Aku janji akan membiarkan Hana bahagia dengan pilihannya. Percuma kalau dia bersamaku tapi karena terpaksa.Aku hanya menjalankan tugas sebagai suaminya sampai batas yang dite
“Masih ngerasa sakit?” Aku bernapas lega melihat Hana sudah membuka matanya.Hana terlihat meringis sambil mengerjapkan mata. “Mas ….”“Iya. Mas di sini.” Kugenggam tangannya yang masih lemas itu.“Bayi aku ….”“Nggak apa-apa. Dia baik-baik aja.”Sepertinya Hana baru ingat apa yang terjadi tadi, mungkin kalau aku terlambat sedikit saja entah bagaimana kondisi Hana sekarang. Dia pingsan hanya karena kaget dengan apa yang dialaminya, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya. Tadi dokter juga sudah melakukan pemeriksaan dan Hana beserta bayi dalam kandungannya baik-baik saja.Entah apa yang membuat Hana tadi tiba-tiba pergi dalam keadaan kesal sampai tidak memperhatikan jalan. Aku pun tidak akan langsung menanyakannya karena dia terlihat masih shock.“Aku takut,” cicitnya dengan mata berembun.“Takut kenapa? Mas di sini.”“Aku nggak bisa bayangin kalau tadi-”“Sstt. Udah nggak usah ngomong apa-apa lagi, sekarang yang penting kamu sama bayi kita selamat.”Tangisnya bukan reda malah semakin k
POV HanaDengan senyum yang masih tersungging di bibir, aku keluar dari kamar membiarkan Mas Nata berpikir sendiri soal apa yang kukatakan. Tidak mungkin dia tidak mengerti bukan, dia bukan anak kecil.Kecemburuannya pada Samudra bahkan sama sekali tidak bisa ditutupi, dia pikir Samudra kesini untuk menemuiku meskipun memang faktanya begitu tapi ada kabar yang dia bawa bukan hanya modus seperti yang ada dalam pikiran Mas Nata.Beberapa bulan kembali tinggal bersama membuatku berpikir ulang soal perpisahan yang awalnya kami rencanakan. Selain karena hatiku sudah sedikit terobati setelah apa yang terjadi di masa lalu. Aku juga tidak mau mengorbankan masa depan anak-anak hanya karena memikirkan perasaanku sendiri.Aku mencoba untuk berdamai dengan masa lalu. Bergelung dengan apa yang membuatku sakit itu akan lebih menyiksa. Semua yang terjadi sudah digariskan oleh Tuhan jadi aku tidak ingin berandai-andai dengan mengubah takdir karena semua sudah terjadi dan jalannya harus seperti ini.“
“Ini rumah saya, Mbak. Jadi kayaknya pertanyaan Mbak nggak cocok. Apa Mbak kesini mau ketemu Laisa?” Di akhir aku langsung mengalihkan pembicaraan.Keningnya berkerut. “Laisa di sini? Tinggal sama kamu?”“Iya. Mari, Mbak.” Aku berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah.Dia pasti kebingungan. Mungkin saja belum tahu kalau aku dan Mas Nata sudah menikah lagi.Sebenarnya aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun, meski sulit berdamai dengan masa lalu tapi aku mencoba untuk berulang kali melakukannya hingga sekarang sudah bisa menerima. Tidak ada gunanya juga bergelut dengan masa lalu.“Silahkan, du-”“Yang.”Belum sempat selesai bicara Mas Nata memanggil. Terlihat dia keluar dari kamar sambil menggendong Yuka.Dari sudut mata bisa kulihat Mbak Nadia terbelalak. Mas Nata pun sama, dia kaget karena melihat Mbak Nadia. Dari yang kutahu, sudah lama sekali mereka terakhir bertemu, entah kapan tepatnya yang jelas setelah mereka berpisah Mbak Nadia seperti ditelan bumi. Batang hidungnya tidak t
“Awas aja Ganta kalo macem-macem apalagi sampai nyakitin Mas Afnan.”Yuna tidak akan tinggal diam jika Ganta sudah melewati batasnya. Ia mencoba untuk menghubungi Angel untuk menanyakan lanjutan isi chat malah ponsel Angel mendadak tidak aktif.Karena perasaannya tak enak, ia memutuskan untuk menelpon suaminya. Menunggu beberapa lama sampai dijawab pemilik gawai.“Mas, kamu dimana? Kamu baik-baik aja 'kan?”“Halo ….”Mata Yuna melebar. “Loh, kenapa-”Belum selesai bicara, panggilan diputus secara sepihak dari sana membuat pikiran Yuna semakin kacau apalagi yang menjawab panggilan suara perempuan.“Siapa yang ….” Dadanya bergemuruh, cemburu membakar hati.Yuna yang tersulut emosi tak bisa mengendalikan diri. Dengan tergesa melangkah keluar dari kamar, ia berniat mencari keberadaan suaminya itu.“Mau kemana?”“Titip dulu, Kia ya, Ma.”“Iya tapi kamu mau kemana?”“Ada urusan.” Yuna menjawab tanpa menoleh pada mamanya.“Kenapa dia, Yang?” Nata datang dari dapur membawa sekaleng minuman so
“Cowok kampung kayak gitu bukan sainganku.” Ganta menyeringai.Dari dalam mobil ia melihat Afnan yang keluar dari rumah dengan Kiarra dalam gendongannya. Tak lama Yuna menyusul. Mereka akan pergi ke villa untuk menemui orang tua Yuna sebentar. Yuna juga ingin di sana karena sudah rindu dengan mama dan papanya.Ganta memarkirkan mobilnya di tempat yang tak terlihat oleh Yuna jadi ia memantau dengan leluasa. Ia sangat percaya diri kalau Yuna akan kembali padanya. Karena bersaing dengan Afnan hanya akan merendahkan harga dirinya pikir Ganta.Lelaki angkuh itu tidak tahu saja kalau pemuda kampung seperti Afnan yang membuat Yuna jatuh hati dan takut kehilangan bukan pemuda kota sombong dan sok tampan seperti Ganta. Mungkin sebelumnya memang Ganta jadi prioritas tapi kali ini posisi Ganta sudah digantikan oleh Afnan.Yuna dan Afnan diikuti sampai mereka sampai di villa. Ganta tidak bisa lagi melihat ke dalam karena pagar villa itu langsung tertutup rapat, ia memutuskan untuk kembali ke peng
“Mas ….” Mata Yuna berkaca-kaca. Buliran bening itu mulai berjatuhan.“Loh? Kenapa nangis.”“Kamu marah sama aku, Mas? Tadi 'kan aku udah jelasin, semua salah paham. Gantanya aja yang masih deketin aku.” Dengan kasar ia mengusap pipinya yang basah. “Aku juga nggak suka diganggu begini.”Tiba-tiba Yuna yang tukang marah menjadi mellow begini. Sungguh tidak terlihat seperti Yuna biasanya, Afnan bahkan sampai terheran-heran karena ini kali pertamanya melihat sang istri menangis begini.“Saya nggak marah. Kenapa kamu nangis?”“Kamu pasti marah 'kan?” Yuna mengulangi pertanyaannya.Afnan menggeleng. “Saya nggak marah.”Yuna memalingkan wajahnya, memilih untuk berbaring di samping Kiarra yang sudah terlelap.Afnan masih berdiri dengan kerutan di keningnya karena tingkah sang istri yang tak biasa. Tidak mau membuat suasana semkain tidak enak, Afnan memilih untuk diam saja.Ia sama sekali tidak marah seperti yang dituduhkan oleh Yuna, percaya kalau istrinya sudah tidak berhubungan dengan Gant
"Ganta.""I miss you so bad, Baby." Ganta hendak melangkah mendekati Yuna."Oh, Mas ini selingkuhannya Yuna pasti," celetuk Bu Nani."Jangan sembarangan ya, Bu!" Yuna naik pitam."Saya calon …." Ganta menyeringai, sengaja menggantung perkataannya."Ganta, apa-apaan sih. Sana pulang, ngapain kesini?" Yuna tidak mau Ganta malah membuatnya semakin malu."Aku kesini mau jemput kamu, Baby.""Rumah aku di sini, kamu nggak usah macem-macem ya! Kita udah putus, sekarang kamu pergi dari sini."Keributan yang terjadi mengundang penasaran beberapa tetangga yang lain.Ingin sekali Ganta menarik paksa tangan Yuna agar wanita itu ikut dengannya. Namun ia sadar dengan melakukan itu yang ada Yuna malah semakin tidak suka padanya."Buka blokirannya, kalau nggak … nanti aku datang lagi.""Iya. Sana pergi."Yuna bisa bernafas lega saat Ganta akhirnya pergi. Ia harus segera menyelesaikan urusannya dengan Ganta. Padahal hubungan mereka sudah berakhir."Yuna, Yuna. Tampang aja polos.""Ternyata bener punya
Senyum di bibir Yuna tidak luntur, hatinya berbunga setelah kerinduan yang berbulan-bulan ini tertahan akhirnya bersambut. Pipinya memanas mengingat apa yang terjadi tadi malam. Kali kedua untuk mereka tapi tentu saja berbeda karena melakukannya dalam keadaan sadar sepenuhnya, bukan efek dari obat perangsang.Masih dengan posisi yang sama, Yuna mendongak. Menatap Afnan yang masih terlelap, gurat lelah nampak jelas. Afnan memang masih lelah setelah perjalanan ke kota tapi ulah Yuna lelah Afnan semakin bertambah. Rencananya sudah berhasil, Yuna sangat yakin setelah ini Afnan tidak akan mungkin kepincut oleh Rinda.Tok. Tok.“Bu … Ibu ….” Yuna terperanjat, ia malah kembali memejamkan mata. Tidak mau kalau Afnan tahu ia lebih dulu bangun dari lelaki itu.Afnan langsung terjaga mendengar suara adiknya. Dengan gerakan perlahan ia menarik tangannya yang dijadikan bantal oleh Yuna. Menyambar baju dan memakainya dengan asal karena takut suara Nisa akan membangunkan kedua bidadarinya yang masih
Untung saja Yuna belum menanggalkan cardigan yang dipakainya. Jadi ia bisa menyelamatkan harga dirinya. Malunya tidak ada obat kalau sudah tampil menggoda dan Afnan masih menolak.Meskipun kesal, Yuna tidak memperlihatkannya. Ia belajar untuk menahan diri apalagi Afnan baru saja kembali setelah perjalanan jauh yang menguras tenaga."Hari masih panjang, ini masih siang. Nggak etis juga kalau siang-siang ada suara meresahkan." Ia mencoba menghibur diri lalu keluar dari kamar.Setidaknya ia harus membuat hatinya lebih tenang.Ia memilih merebahkan tubuhnya di tempat biasa Afnan berbaring setiap malam."Keras banget. Betah dia tiap malem tidur di sini? Kalau aku yang tidur di sini bisa-bisa sakit semua badanku."Yuna mengambil posisi duduk, tidak nyaman berbaring dengan kondisi tempat yang tak nyaman. Padahal baru beberapa detik, bayangkan Afnan yang beberapa malam ini tidur di sana. Ia sama sekali tidak protes.Tidak ada larangan dari Yuna untuk Afnan tidur dengannya, hanya saja lelaki i
Yuna tidak membalas pesan Angel tapi langsung menghubungi gadis itu.“Na, tad-”“Cewek itu bukan istrinya Afnan! Nggak usah sok tahu.” Yuna berucap dengan ketus.“Lah, kok kamu marah sih. Afnan 'kan orang lain, ngapain juga kesel gitu.”Napas Yuna mulai berat. “Afnan itu suami aku, Angel. Suami aku!” Ia menjelaskan penuh penekanan.Angel malah tertawa. “Ngelawaknya nggak usah gitu juga kali, Na.”“Terserah mau percaya atau nggak. Pokoknya nggak usah kamu berharap lagi ke Afnan, aku sama dia udah punya anak. Jadi nggak usah coba deketin Afnan lagi!”Belum sempat Angel bicara, Yuna lebih dulu memutuskan sambungan telepon. Ponsel mahal itu dilemparnya sembarangan saking kesalnya.Sekarang Yuna sudah tidak peduli jika rahasianya terbongkar, karena baru Sisil yang tahu dan gadis itu bersedia tutup mulut. Sedangkan pada Angel, Yuna mengakui sendiri soal hubungannya dan Afnan karena cemburu.Beginilah jadinya saat keadaan berbalik. Dulu Yuna yang mencampakkan Afnan, sekarang ia malah takut k
“Saya nggak lama kok, kalau Kia rewel telpon aja.” Afnan lebih dulu mengalihkan pembicaraan.“Nomor kamu aja aku nggak punya.”Beberapa bulan ini mereka benar-benar hilang kontak, Afnan hanya sering komunikasi dengan Orang tua Yuna saja.“Mana hp kamu?”“Di saku.” Yuna mengarahkan dagunya ke arah saku jeans yang dikenakan. “Ambil.” Kedua tangannya memegang Kiarra, ia tidak mau ambil resiko kalau mengembalikan Kiarra pada Afnan nanti malah anak itu tidak mau lagi digendong olehnya.Lelaki itu tampak ragu, padahal hanya mengambil ponsel di dalam saku. Wanita di depannya bukan orang lain, masih istrinya.“Cepetan, ambil. Biar kamu juga cepet pulang lagi.” Suara Yuna membuat Afnan tersentak.Sedikit ragu, lelaki itu mengambilnya, ia menyimpan nomornya di sana.“Nggak di kota nggak di desa, ada aja penggoda.” Yuna mencebik, ia tampak tak rela melihat Afnan sudah pergi bersama dengan Rinda.Pertama bertemu namun sudah menganggap gadis itu sebagai musuh karena ia bisa melihat Rinda memiliki
“Kenapa Kia nggak mau aku gendong?” Yuna kesal setengah mati, apalagi tadi Kia menangis di depan Rinda.Rasanya Yuna sangat malu. Salah sendiri karena ia tidak pernah ada di samping putrinya. Bu Dini malah menawarkan Yuna untuk tinggal agar Kiarra bisa mengenal lebih dekat ibunya sendiri.Sebelumnya Yuna menempati villa tapi karena ditawarkan untuk tinggal di rumah Afnan, maka ia tidak akan menolak. Ia merasa tidak rela kalau Kiarra lebih dekat dengan orang lain daripada dengan dirinya yang notabene ibu kandung bayi itu.“Ini pertama kali kalian ketemu, wajar Kia belum bisa mengenali.” Afnan yang sedang menimang Kiarra, sesekali melirik wanita yang masih berstatus istrinya itu.Berada di dalam kamar yang sama membuat keduanya sedikit canggung. Namun keberadaan Kiarra tidak membuat kecanggungan itu kentara.Semua orang sudah tidur. Ini sudah jam sembilan malam, sebenarnya Kiarra akan susah tidur saat siangnya tidak tidur.Yuna tidak akan membiarkan Rinda dekat-dekat lagi dengan Kiarra,