Lagi-lagi Melody dibuat melayang setinggi langit, kali ini ia tidak ingin berharap banyak pada Andrean. Setelah beberapa kali ia merasa dikecewakan. "Sudah ... Ayo kita berangkat ke pantai saja," Melody mengalihkan perhatian pria itu. Ke duanya memasuki mobil Pajero hitam yang sudah disewa Andrean. Sepanjang perjalanan Melody hanya menikmati pemandangan sekitar. "Mel," panggil lirih Andrean. Dengan menolehkan sedikit kepalanya, ia mampu melihat sosok Andrean dengan jelas. Betapa terkejutnya ia saat melihat tangan kiri Andrean menggenggam erat tangannya. "M ... Mas," pelan, suara itu memecah keheningan. "Ada apa, Mel?" Andrean sempat melirik ke arah Melody, wanita di sampingnya itu salah tingkah. "Ti-tidak apa-apa. I-ini tangan ...," Ia tidak mampu melanjutkan ucapannya. Lembut kecupan melayang pada punggung tangan Melody. Matanya membuka lebar hingga pria di hadapannya terlihat kaget. "Mel, aku pertama kali membawa wanita ke villa itu," ucapnya lirih. Deg! Ucapan Juminah b
Melody terperanjat mendengar suara Andrean, beberapa waktu lalu ia masih sibuk dengan isi kepalanya. "Aku?" beo Melody dengan menatap Andrean penuh tanya. "Kamu baik-baik saja, Mel? Beberapa kali kamu senyum-senyum sendiri, aku khawatir kamu kesambet," jelas Andrean dengan raut wajah cemas yang tercetak. "Aku baik-baik saja, Mas. Kita pulang saja yuk, sudah sangat panas seperti ini," ajaknya sekali lagi. Pria yang kini duduk di samping Melody hanya mengangguk setuju. Terik matahari di kota B memang sangat panas. Pelan langkah Melody beriringan dengan Andrean. 'Jika aku diberi kesempatan untuk lebih lama bersamamu di sini. Aku enggan pulang ke kota tempat kita lahir, Mas! Sikapmu bahkan tata cara bicaramu lebih bisa aku terima, namun, apakah kenyataannya akan seperti itu juga?' gumam Melody dalam batinnya. Selama di kota B, Melody merasa cinta Andrean hanya untuknya. Hal-hal kecil yang menunjukkan pria itu memiliki love language act of service. "Silakan masuk, Nona muda," ucap A
Andrean terdiam tanpa menjawab pertanyaan Anjela, ia hanya ingin memberikan kabar dengan gembira."Andrean, maksudmu apa menetap di sana? Aduh ..., Nak!" gerutu Anjela membuat Andrean terdiam. "Nanti ibu pasti tahu jawabannya setelah aku menjelaskan berita baik, dengarkan aku terlebih dahulu!" tegas Andrean dengan menekankan kata dengar."Baiklah, apa kabar baiknya?" tanya Anjela sudah kepalang kepo. "M ... Melody mengandung anakku, Bu," Andrean sempat tergagap karena gugup. Tidak ada respon dari ibunya di seberang, kini ingin sekali Andrean menutup telepon itu secara paksa. Namun, tidak mungkin ia mengakhiri percakapan begitu saja. "Andre, apa kamu tidak bohong kali ini? I-ini bukan hanya kalimat penenang saat ibu ingin memiliki cucu 'kan?" todong tanya Anjela dengan tegas. "Aku serius, Ibu. Mana mungkin aku berbohong tentang ini," tutur Andrean lirih. "Ayah ...!" teriakan Anjela yang memekakkan telinga Andrean. "Bu, teleponnya aku tutup ya, Melody bangun," pungkas Andrean. S
Melody terperanjat saat mendapati sebuah pesan dari Nadea. Begitu kasar dan kata yang ia ucapkan seolah doa buruk untuk dirinya. Tanpa sengaja air mata itu luruh membasahi pipinya. "Apa aku memiliki kesalahan padamu, Nona Nadea?" tanya Melody dengan menggenggam erat ponsel di tangannya. Isak tangisnya semakin menjadi saat isi pesan itu terngiang-ngiang di kepalanya. Begitu buruk penilaian Nadea pada Melody, sampai ia mengatakan kalimat itu di sebuah pesan. "Arghhh!"pekiknya seorang diri. Tok tok tok! "Nona, ada apa?" suara Juminah sayup-sayup terdengar di telinga Melody. "Jum ... Aku tidak apa-apa," jawab Melody dengan berbohong. Susah payah ia menahan tangisnya agar tidak terdengar sampai luar kamar. Hingga sebuah notifikasi telepon masuk ada pada ponselnya. "Halo, Ibu mertua," sapa Melody dengan suara sendu. "Mel, selamat ya. Ibu turut senang dengan kabar baik dari Andre, jaga dirimu baik-baik di sana. Kamu sudah makan, Mel?" ucap Anjela dengan lembut dan penuh kasih. "Sud
Melody menatap Andrean dengan lekat, pria di sampingnya itu masih sibuk dengan lengan kemejanya. "Tahu apa, Mas?" ulang Melody melempar tanya. "Aku dan Nadea itu menikah dengan sedikit terpaksa," jawabnya lirih. "M-maksudnya? Bukannya mas dan mbak Nadea itu saling cinta ya?" Melody memberikan beberapa pertanyaan sekaligus. Andrean menatap Melody lekat, raut wajahnya aneh. Tatapannya dingin seolah semua yang pernah ia katakan itu hanya ilusi. "Aku mencintainya, tapi dia tidak mencintaiku sedalam itu. Lebih tepatnya kami hanya terpaksa menikah karena sudah berpacaran lama," jelas Andrean dingin. Shock! Melody mendengar penjelasan Andrean dengan melongo, masih tidak percaya begitu saja. Dari banyaknya kenyataan mengejutkan, kenapa ia harus mendengar tentang ini. "Lupakan tentang ini, Melody. Ayo kita makan saja," ujar Andrean dengan menggandeng tangan Melody keluar. Melody mendongakkan kepalanya kaget, "Ayo, Mas." "Jum, masak apa hari ini?" tanya Andrean setibanya di dapur."Ke
Andrean melingkarkan tangannya untuk memeluk erat pinggang Melody. Untuk kali ini ia merasakan nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. "Selamat tidur, Mel." Andrean memejamkan matanya erat, terlelap hingga samar suara jam dinding tidak lagi terdengar. Melody terbangun dengan penuh keterkejutan, ia merasa ada sesuatu yang menindih tubuhnya. Saat matanya menyipit, ia mendapati lengan Andrean ada di pinggangnya. "M- ...," Melody tidak melanjutkan ucapannya. Pelan tangan Melody menyingkirkan tangan Andrean, menatap nanar pria yang kini tertidur lelap di sampingnya. 'Sejak kapan?' tanya Melody lirih dalam batinnya. Matanya menatap ke jam dinding yang tergantung di tembok. "Masih jam 2 dini hari, tapi perutku sangat lapar. Hm, aku harus turun ke bawah," gumam Melody. Pelan ia mengangkat tangan Andrean, secara tiba-tiba ia seperti terganggu tidurnya. "Mel," panggilnya lirih. "Mau ke mana?" tanya Andrean. "Aku mau ke dapur, Mas. Aku ngerasa lapar ...," Melody beranjak dari
Melody dengan tangan gemetar beranjak meninggalkan kamar. Tanpa memedulikan pintu itu masih terbuka lebar. Ia berlari sekuat tenaga dengan membawa perutnya yang kian berisi. "Bu-bukan hakmu untuk cemburu, Mel! Kamu 'kan hanya istri pelengkap atas kurangnya mereka ...," isak tangis itu membasahi pipi Melody.Dari kejauhan, Andrean berdiri dengan penuh keraguan. Tangannya berdarah akibat pecahan gelas kaca yang jatuh di depan pintu. "Maafkan aku, Mel," lirih ucapannya. Andrean memanggil Juminah, meminta pembantunya itu menemani Melody. Setelahnya, ia memilih lelap di dalam kamar tamu. ***"Nona, diminum dulu jusnya," Juminah menyodorkan segelas jus apel pada Melody. Matanya menatap Juminah malas, Melody terlihat seperti orang lain. Berubah drastis menjadi wanita yang lebih dingin. "Nona, diminum dulu ya jusnya, saya letakkan di sini," ucap Juminah. Ia berjalan menjauh meninggalkan Melody sendirian di balkon. Lama ia duduk tanpa memiliki harapan. "Apa aku membatalkan perjanjian
Andrean mendongakkan kepalanya, matanya mengerjap berulang kali. Memastikan apa yang ia lihat benar-benar dan bukan ilusinya saja. Pelan tangannya membelai lembut pipi Melody, sudah siap jika ia akan mendapatkan umpatan atau pun ekspresi kebencian. "Kamu sudah siuman? Kamu baik-baik saja?" berondong tanya Andrean lekat. Belum sempat Melody merespon ucapan Andrean, ia bergegas pergi keluar. Langkahnya tercekat dengan tangan yang masih ditahan Melody. Tatapannya penuh kesenduan! "Aku panggil dokter atau perawat dulu, hanya sebentar, Mel," ucapnya. Melody menganggukkan kepalanya, semakin samar penglihatannya pada tubuh Andrean yang hilang dari radar. Dalam diam, Melody hanya bisa menatap langit-langit kamar. "Nak, apa kamu tahu kalau ibu sangat bahagia saat melihat ayahmu di sini? Ibu sangat senang," lirih ucap Melody dengan mengusap perutnya. Akan tetapi, ia merasakan ada yang berbeda dari tubuhnya, kenapa perutnya tidak lagi membuncit? Kenapa perutnya menjadi datar dan kecil?