Meski masih SMA, Andini bekerja keras mengumpulkan uang untuk membeli rumah agar bisa membawa ibunya keluar dari rumah neneknya yang seperti neraka. Hanya saja, suatu hari, Andini mengetahui sebuah rahasia besar: rumah yang ia kira milik neneknya ternyata adalah milik almarhum ayahnya. Namun, neneknya selama ini sengaja menyembunyikan karena menganggap lebih berhak sebagai ahli waris karena dialah ibu yang sudah melahirkan Anto. Lantas, bagaimana nasib Andini dan ibunya?
View More"Assalamualaikum," salam Andini sambil membuka pintu kamar ibunya. Satu-satunya tempat yang bisa ia kuasai di rumah ini. Selain kamar ibunya, tidak ada lagi tempat yang bisa Andini tempati, kecuali dapur dan kamar mandi.
Andini baru saja pulang sekolah. Gadis itu sekarang kelas 2 SMA. Dia bisa melanjutkan sekolah SMA karena mendapatkan beasiswa. Andini anak yang pintar dan rajin. Andini Nanda Putri, anak dari Ratna dan almarhum Anto. Andini begitu terkejut ketika melihat ibunya sedang menangis di kamar sambil menidurkan adiknya yang masih usia 2 tahun. Terdengar suara sesegukan dari ibunya. Tidak biasanya ibunya menangis secara terang-terangan. Biasanya juga sang ibu selalu menutupi jika sedang menangis. "Wa alaikum salam," jawab Ratna langsung mengusap air matanya dan tersenyum kepada anak sulungnya. Andini segera mencium punggung tangan ibunya dan duduk di pinggiran kasur. "Ibu kenapa?" "Nggak kenapa-kenapa Kak. Ibu hanya kangen dengan almarhum ayah kamu," jawab Ratna menutupi kesedihannya. Ratna menangis karena dia harus mengganti gelas milik Linda yang dipecahkan oleh Athala, anaknya. Athala memang sedang aktif-aktifnya. Ratna tidak melihat Athala mengambil gelas milik Linda, karena dirinya sedang memasak. Gelas yang katanya mahal tersebut, harus Ratna ganti dengan uang 150 ribu. Sedangkan Ratna tidak punya uang sebanyak itu. Ia hanya mendapatkan uang jika ada orang yang menyuruhnya. Kalau tidak ada yang menyuruh, Ratna tidak mendapat uang sama sekali. "Besok kalau pas libur, kita ke makam ayah ya Bu," ujar Andini agar hati ibunya tenang. "Iya Sayang," jawab sang Ibu menutupi kesedihannya. Setelah ganti baju, Andini pergi ke dapur untuk mengambil makanan. Ia sudah sangat lapar, karena sedari pagi belum makan. Jatah sarapannya di ambil oleh Firda, sepupunya yang seumuran dengannya. Andini tidak mau ribut, jadi memilih untuk diam dan mengalah. Ia pun tidak bercerita kepada ibunya. Baru saja Andini sampai di dapur, ia melihat Firda membuka lemari makan milik ibunya, dan mengambil lauk dari lemari tersebut. Meskipun dalam satu rumah ada beberapa keluarga, tapi masing-masing punya lemari makan sendiri-sendiri. "Firda!" panggil Andini. "Itu kan masakan ibuku, kenapa kamu ambil?" "Memangnya kenapa? Ibumu dapat uang untuk membeli ini semua dari mana? Kalau bukan dari orang tuaku, jadi aku juga punya hak dong untuk ikut makan." "Itu karena ibuku sudah mencucikan baju orang tuamu, dan memasakan. Sebab itulah ibuku mendapatkan upah. Jadi itu adalah hak ibuku. Kamu nggak berhak memintanya lagi," jawab Andini membela ibunya. “Kalau kamu ambil lauk milik ibuku tanpa izin, itu namanya kamu mencuri.” “Peduli! Mau mencuri kek, mau apa, yang penting sekarang aku lapar!” Firda terus melanjutkan mengambil makanan tanpa peduli dengan Andini, anak dari pemilik makanan tersebut. Tiba-tiba sang Nenek yang hendak ke toilet berhenti, melihat kedua cucunya sedang adu mulut. "Kalian berdua ini, apa sih ribut-ribut?" tanya Bu Rodiah dengan wajah yang sulit diartikan. "Ini lho Nek, aku cuma minta masakan Tante Ratna. Tapi nggak dibolehin sama Andini," ucap Firda mencari pembelaan. "Masakan Mamah katanya sudah habis, soalnya tadi ayah pulang, makan di rumah. Aku kan laper." "Cuma kaya gitu doang, pelit banget kamu Andini. Makan aja Firda, nggak apa-apa. Kalau nggak boleh, ngomong Nenek," ucap Bu Rodiah sambil sedikit lari karena sudah tidak kuat menahan ingin buang air kecil. Firda pun tersenyum mendengar ucapan neneknya. Ia merasa mendapat kebebasan untuk mengambil lauk milik ibunya Andini tersebut. Firda pun mengambil sebanyak yang dia mau, dan menyisakan sedikit. "Nampaknya masakan Tante Ratna enak sekali," ujar Firda sambil menutup lemari setelah mengambil makanan milik Ratna. Andini tidak punya kuasa untuk melawan, ia memilih diam. Dan menatap Firda yang membawa piring dengan lauk yang banyak di atas nasinya, melewati dirinya. Firda selalu lebih memilih makan di ruang televisi. "Ya Allah, tolong beri kami kemudahan untuk bisa keluar dari sini. Kasihan ibu," gumam Andini. Gadis itu melangkah ke lemari makan milik ibunya, mengambil piring dan menyendok nasi. Saat membuka lemari, lauk yang ada di pinggan hanya tinggal sedikit. Kalau Andini ambil, ibunya mau makan apa. Nasib baik punya Athala nggak Firda ambil, karena ternyata di masukan ke tempat yang berbeda. Andini memilih mengambil Royco, dan menaburkan bubuk kaldu tersebut di atas nasinya. Andini menikmati makanan di meja makan sendirian. Jangan sampai ibunya tahu, kalau Andini makan hanya dengan Royco. Apapun yang terjadi Andini harus kuat dan sabar, sampai waktunya tiba, ia akan mengajak ibunya keluar dari rumah ini. ______ Andini yang mencoba keberuntungan sebagai konten kreator, setiap malam membuat konten beauty vlogger. Sudah beberapa bulan gadis itu terjun, tapi sampai hari ia belum pernah merasakan mendapatkan sampel gratis seperti yang lain. Kalau untuk penjualan sebagi affiliator, sedikit-sedikit ada lah yang terjual. Andini membeli sedikit barang untuk sampel, yang akan dibuatkan video di rumah. Dan biasanya barang tersebut akan dikirim ke rumah Nenek Tamy, tetangga sebelah, agar orang rumah tidak ada yang tahu. Andini tidak menyerah, setiap malam ia manfaatkan untuk membuat konten secara terus menerus. Setiap malam Minggu, ia juga manfaatkan untuk live, karena esoknya libur sekolah. Ia yakin, selama ia konsisten, pasti akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Setelah membuat konten, Andini menghapus lagi make up-nya. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Andini melirik ke arah kasur, ibunya masih belum tidur. Pandangannya kosong, menatap ke langit-langit kamar. "Ibu, kenapa belum tidur?" tanyanya sambil menghapus make up. "Nggak apa-apa. Ibu belum ngantuk, Kak," jawab Ratna. Ia masih memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang untuk mengganti gelas milik Linda. Sedangkan Ratna aja nggak kerja. Dia dapat uang, kalau ada orang yang memakai jasanya. Entah itu mencuci, menyetrika, ataupun beberes rumah orang. "Jangan bohong. Aku kenal Ibu. Ibu biasa tidur cepat, karena nggak mau besok ngantuk," ujar Andini mengakhiri menghapus make up-nya. Gadis itu membereskan make up kesayangannya. Make up yang Andini pakai, bukan make up yang mahal, tapi yang murah. Itupun dia beli cicil, setiap dapat uang dari upah memotong rambut teman-temannya, selalu Andini simpan untuk membeli peralatan make up. Bukan untuk senang-senang, tapi Andini memang membeli make up untuk kebutuhan membuat kontennya. “Nggak apa-apa Sayang. Ibu memang belum ngantuk,” jawab Ratna. “Ibu tidur jangan terlalu malam Bu,” pesan Andini. “Iya Sayang.” Andini bangun dari tempatnya membuat konten, lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. "Aku ke kamar mandi dulu ya Bu." “Iya,” jawab Ratna. Langkah Andini terhenti ketika melewati kamar neneknya. Ia mendengar nama almarhum ayahnya di sebut, sebab itulah Andini berhenti dan menguping di depan kamar. “Mas Anto kan sudah meninggal, berarti nggak dapat bagian dong Bu,” ujar Andi, adik almarhum Anto yang bekerja sebagai karyawan perusahaan. “Iya Bu, aku setuju dengan Mas Andi. Senang kali hidupnya Mba Ratna, dapat bagian penjualan tanah padahal dia bukan bagian keluarga ini. Numpang gratis aja Alhamdulillah,” lanjut Linda. “Iya Bu, harusnya Mbak Ratna kan pergi dari rumah ini. Suaminya kan sudah tidak ada, berarti dia sudah bukan bagian dari keluarga kita. Kenapa dia masih diizinkan tinggal di rumah ini?” tanya Anisa, istrinya Andi. Wanita itu juga sebagai menantu, padahal kelak jika suaminya sudah meninggal pun dia akan merasakan seperti yang Ratna rasakan, tapi mulutnya dengan enteng mengucapkan seperti itu seakan sang menantu tidak punya hak apa-apa, jika suaminya sudah meninggal. “Ibu nggak bisa usir Ratna, karena rumah ini itu atas nama Anto. Dulu Anto yang membayar rumah ini, dari kakaknya ibu. Jadi kalaupun nanti mau dibagi, harus diubah ke nama ibu. Sedangkan untuk diubah ke nama ibu, harus ada tanda tangan si Ratna,” ujar Bu Rodhiah. “Jadi rumah ini milik Mas Anto?” tanya Linda. “Iya, makanya ibu nggak bisa usir Ratna. Tapi sebagai bayarannya, ibu perlakukan Ratna seperti pembantu lah. Enak aja numpang gratis. Anto membeli rumah ini juga waktu belum menjadi suami Ratna, jadi rumah ini memang harusnya milik Ibu,” ucap Bu Rodhiah dengan ketus. “Kalau rumah ini dibeli Mas Anto sebelum menikah dengan Mbak Ratna, harusnya rumah ini otomatis jatuh ke Ibu dong. Terus kenapa harus minta tanda tangan Mbak Ratna, kalau mau diubah menjadi nama ibu,” tanya Andi. “Setelah menikah dengan Ratna, Anto membuat surat wasiat tanpa sepengetahuan Ratna, jika Anto meninggal, semua harta atas namanya otomatis akan jatuh ke istrinya, termasuk usaha warung ibu juga,” ujar Bu Rodhiah. “Dan itu sah di mata hukum.” Andini yang sengaja mendengarkan dibalik pintu, tak terasa meneteskan air matanya. Sudah hampir 3 tahun ayahnya meninggal, selama itu pula ibunya diperlakukan sebagai pembantu. Bahkan mereka memperlakukan Ratna lebih kejam dari pembantu. Jika pembantu, bekerja mendapatkan uang. Sedangkan Ratna bekerja tidak mendapatkan uang. Mereka hanya memanfaatkan tenaga Ratna dengan gratis. Kalaupun memberi upah, itupun tidak layak. 20 ribu seminggu itu sudah meliputi mencuci baju setiap hari, memasak setiap hari, menyetrika. ‘Ternyata rumah ini milik ayah. Seharusnya kami lah yang lebih berhak atas rumah ini. Aku tidak akan biarkan rumah ini berubah nama menjadi nama nenek’ gumam Andini dalam hati. Andini kasihan lihat ibunya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ibunya sudah berpesan kepada Andini, agar anaknya fokus sekolah dan mempunyai masa depan yang cerah. “Terus dimana surat wasiat itu, Bu? Kenapa kita nggak sobek aja?” tanya Andi. “Ada di teman Anto yang menjadi pengacara. Tapi masalahnya ibu nggak tahu sekarang dia tinggal dimana. Ibu sudah mencari tahu keberadaanya, tapi nggak ketemu,” jawab Rodhiah. “Tapi tetap saja, menurutku Mbak Ratna itu numpang, dia nggak punya hak. Semuanya kan milik Mas Anto sebelum dengan Mbak Ratna,” ujar Linda. “Ya enak banget kalau dia numpang gratis begitu saja. Kalau ngontrak sudah berapa itu. Belum lagi listriknya,” ujar Anisa merasa bahagia karena dirinya merasa satu-satunya menantu wanita yang di sukai ibu mertuanya. ‘Aku berjanji akan membawa ibu keluar dari sini dan mengambil rumah ini’ “Tadi siang gelasku juga pecah oleh Athala. Aku minta ganti rugi 150 ribu ke Andini, dan aku beri waktu sampai besok. Hahahha. Pusing dia!” ujar Linda dengan tertawa. Yang lain pun ikut tertawa mendengar cerita Linda. “Paling nanti dia cari hutangan. Mau dapat uang dari mana dia, uang sebanyak itu,” ucap Robi, suami Linda. “Iya Mas. Kalau dia nggak bisa ganti, aku mau ambil beberapa barang miliknya. Terus aku jual,” ujar Linda. “Memang dia punya barang berharga?” tanya Robi pada istrinya. “Dia kan punya tas-tas bagus Mas. Dibelikan Mas Anto, waktu Mas Anto masih hidup. Kalau dia nggak bisa bayar, aku ambil saja semua tas milik dia. Hahhaha. Lumayan kan,” jawab Linda. Andini menghapus air matanya dan melanjutkan ke belakang. Jadi ibunya sedari tadi melamun karena memikirkan masalah itu. Kenapa ibunya tidak cerita? Andini mencuci mukanya, dan kembali ke kamar. Dilihatnya sang ibu yang masih melek. Andini membuka lemari bajunya dan mengambil sesuatu, kemudian berbaring disamping ibunya. “Ibu, ini ada uang buat bayar ke Tante Linda,” ujar Andini sambil memberikan uang 150 ribu kepada ibunya. “Ya Allah Kak, kamu dapat uang sebanyak ini dari mana?” tanya Ratna pada anaknya. Ia pun duduk melihat uang lima puluh ribuan tiga lembar tersebut.”Kamu tahu darimana? Tante Linda yang ngomong ke kamu?” Andini pun ikut duduk dan menatap ibunya. “Ibu lihat kan setiap hari aku bikin konten. Alhamdulillah aku sambil jualan menjadi affiliator, Bu. Alhamdulillah meskipun belum banyak, dan aku belum pernah mendapatkan endorse. Tapi adalah pemasukan sedikit-sedikit. Kemarin baru saja aku tarik dapat 200 ribu,” cerita Andini. “Untuk masalah aku tahu dari mana, itu nggak penting. Yang terpenting ibu harus cerita apapun ke aku. Kalau ada masalah apa-apa.” “Ya Allah, Alhamdulillah banget Kak. Tapi, ini kan uang kamu, Kak. Kamu yang bekerja,” ucap Ratna tidak enak menerima uang dari anaknya. Dia jarang sekali memberi uang Andini, tapi kenapa sekarang dia harus merepotkan anaknya. Ratna memang tahu Andini sering dapat job memotong rambut teman-temannya. Ratna tidak pernah meminta, karena dari uang itulah Andini bisa membeli buku dan perlengkapan sekolah lainnya. Makanya jika sekarang Andini memberikan Ratna, Ratna merasa tidak enak. “Nggak apa-apa Ibu. Ibu sedang membutuhkannya. Pakai saja. Kakak cuma minta doa ibu, semoga Kakak bisa sukses dan mengangkat derajat ibu. Doakan Kakak ya Bu,” ucap Andini memeluk ibunya. Ratna pun membalas pelukan anaknya. Air matanya menetes, dalam hati ia mendoakan dengan tulus kesuksesan anaknya. Berharap anaknya lah yang akan membawanya pergi dari penderitaan ini. Sejujurnya Ratna sudah tidak kuat berada di rumah ini. Tapi ia terpaksa bertahan demi anak-anaknya. Mau kemana lagi dia pergi, sedangkan Ratna tidak punya kerjaan, dan Athala masih kecil. “Ibu, jangan bilang ke Tante Linda kalau uang itu dari aku ya Bu. Pokoknya mereka jangan pernah tahu kalau aku punya uang. Biarlah mereka melihat kita tidak punya. Sampai tiba waktunya, kita akan tunjukkan sendiri pada mereka siapa kita. Ibu berhak tersenyum, dan aku janji akan membuat ibu tersenyum,” ujar Andini menatap mata ibunya yang sudah penuh dengan air mata. “Terimakasih Kak. Terimakasih banyak. Kamu dan Athala adalah kebahagiaan ibu. Ibu bisa bertahan sampai sekarang, karena kalian berdua.” _____ Libur sekolah telah tiba. Kelas seangkatan Andini mengadakan liburan bersama ke puncak. Tetapi tidak bagi Andini, liburan adalah waktu yang pas untuk membantu ibunya. Jadi Andini memilih untuk tidak ikut. Andini justru bahagia bisa liburan di rumah, karena mempunyai banyak waktu di rumah, sehingga bisa menjaga adiknya dan membantu pekerjaan ibunya. Firda yang satu sekolah dengan Andini, tapi beda kelas sedang merengek ke mamahnya agar diizinkan ikut liburan ke puncak bersama teman-teman. “Satu angkatan ikut semua Mah. Boleh ya Mah, aku ikut? Please!” ucap Firda memohon kepada ibunya. “Iurannya berapa?” tanya Linda yang sibuk main F******k. “400 ribu Mah, murah. Malu dong Mah kalau tidak ikut,” ucap Firda. “Assalamu alaikum,” salam Andini yang baru sampai rumah. Firda memang sekolah menggunakan motor, sedangkan Andini hanya menggunakan sepeda yang dibelikan almarhum ayahnya saat masih SMP. Sebab itulah Firda selalu pulang lebih cepat dibanding Andini yang hanya mengayuh sepeda. Mendengar salam dari Andini, Firda dan Linda segera menoleh ke pintu. Andini pun hanya melirik ke tantenya yang sedang duduk di sofa. Andini tidak mencium punggung tangan Linda, bukan berarti Andini anak yang tidak sopan. Tapi semua itu karena permintaan Linda dan keluarga, kalau Ratna dan anaknya tidak boleh bersalaman dengan keluarga Bu Rodhiah. Mereka tidak mau bersalaman dengan Ratna dan kedua anaknya. “Oh cuma 400 ribu doang. Pasti boleh dong Sayang. Emangnya Andini, pasti tidak bisa ikut. Ibunya kan tidak punya uang untuk acara liburan ke puncak,” sindir Linda sengaja agar Andini dengar. Andini yang sedang berjalan pun berhenti, baru saja kakinya hendak melangkah menuju ke arah Linda, tiba-tiba tangannya di tarik oleh seseorang, yang ternyata adalah ibunya. “Sudah Sayang, ayo masuk,” ajak Ratna menarik tangan anaknya untuk memasuki kamar. Ratna menutup pintu dan mengancingnya, “Kamu ganti baju ya, terus makan. Ibu sudah masak ikan kesukaan kamu.” “Kenapa sih Bu, ibu tidak biarkan aku melawan nenek lampir itu. Mulutnya itu kaya sampah, selalu saja menghina. Cuma karena kita menumpang, terus seenaknya mereka menghina kita,” kesal Andini melepas kerudungnya. ‘Bukan aku yang menumpang di rumah ini, tapi mereka lah yang menumpang di rumah ayahku’ gumam Andini dalam hati. Ia tidak bisa bicara langsung kepada ibunya. Biarlah jika tiba waktunya, ibunya akan tahu sendiri. “Sabar Nak. Biar lah. Memang benar kata Linda, ibu tidak punya uang sebanyak itu,” ujar Ratna. “Aku punya uang 400 ribu. Tapi nggak ikut bukan karena aku nggak bisa bayar, aku cuma ingin liburan di rumah!” lanjut Andini dengan penuh emosi. “Kata kamu, jangan sampai mereka tahu kamu punya uang. Jadi buat apa kita ngomong,” ucap Ratna mengingatkan anaknya. “Iya Bu,” jawab Andini dengan nada lebih tenang. Benar kata ibunya, mereka tidak boleh tahu kalau Andini punya uang. Bisa-bisa mereka memanfaatkan ibunya untuk menguras uang tabungan Andini, Andini tidak mau. Ia akan menabung untuk membeli rumah dan mengurus hak milik rumah ini. Baru saja berganti baju, Andini duduk di tepi kasur sambil mengecek ponselnya. Ternyata ada beberapa pesan yang masuk di instagramnya, yang dimana pesan tersebut adalah penawaran kerjasama sebagai konten kreator dari sebuah brand. “MasyaAllah, ini serius? Mereka menawarkan kerjasama denganku?” tanya Andini membaca ulang lagi pesan yang masuk di akun instagramnya. “Kenapa Kak?” tanya Ratna merasa takut terjadi sesuatu. Tapi melihat ekspresi anaknya, tersenyum tapi kok kaget. “Ini Bu, ada 3 brand langsung DM aku tiba-tiba. Mereka ingin bekerja sama denganku. Menawarkan endorse dengan f*e yang lumayan,” cerita Andini. “Alhamdulillah Kak. Semoga berkah selalu ya Kak,” ucap sang Ibu ikut berbahagia. “Aamiin. Terimakasih Bu.” ‘Semoga ini jalanku menuju kesuksesan Ya Allah’ doa Andini sambil membalas pesan tersebut.“Ibu kenapa sedih?” tanya Andini pada ibunya yang sedari tadi hanya melamun saja.Ratna tersenyum mendengar pertanyaan anaknya. Ia pun tak tahu, kenapa harus sedih. Tapi memang itu yang ia rasakan sekarang.“Kemarin waktu di pasar, ibu ketemu nenek Tamy. Dia cerita kalau Hera akan menikah,” cerita Ratna.“Terus apa yang buat ibu sedih? Karena kita nggak diundang?” tanya Andini.Ratna mengangguk pelan, wajahnya murung mengingatkan itu semua. “Harusnya ibu sadar diri sih, kalau ibu itu bukan siapa-siapa. Tapi ibu sedih aja, kalau ternyata mereka benar-benar tidak pernah menganggap keberadaan ibu. Padahal kan bertahun-tahun ibu bersama mereka, dan selama ibu menjadi menantu nenekmu, ibu selalu menganggap nenekmu seperti orang tua sendiri.”Andini memeluk ibunya yang terlihat begitu sedih. Semua pengorbanan ibunya selama ini, memang tak pernah dianggap di mata mereka. Andini merasa kasihan pada ibunya.“
Setelah pertemuan dua keluarga antara keluarga Alvin dan Hera, akhirnya mereka memutuskan menikah dalam waktu dekat. Hera terus memaksa untuk menikah cepat, mengingat dirinya yang sudah hamil terlebih dulu.Hingga tibalah, hari pernikahan. Rumah Hera sudah diubah menjadi mewah. Dekorasi pengantin yang begitu indah, sengaja Bu Rodhiah pilih agar terlihat mewah di mata para tetangga dan saudara yang datang.Awalnya pihak keluarga Alvin, hanya menginginkan menikah di KUA saja, tapi Bu Rodhiah menolaknya dengan berbagai alasan.Alvin sudah menjanjikan pada Bu Rodhiah, bahwa dirinya akan mengganti uang dapur dengan nominal 20 juta. Tapi uang itu akan diberikan saat acara pernikahan.Singkat cerita, semua acara pernikahan sudah dilalui dengan khidmat. Akad nikah berjalan dengan lancar. Tapi sayangnya, setelah acara akad nikah, kedua orang tua Alvin langsung berpamitan pulang."Orang tua kamu kok langsung pulang sih, Say
"Andini, tolong antar makanan ini ke Bu Kori," kata Ratna sambil menyiapkan rantang. "Iya, Bu," jawab Andini, segera bangkit dan berpamitan pada adiknya. Bu Kori adalah pemilik kontrakan mereka. Selama sebulan tinggal di situ, hampir tiap hari Bu Kori mengirimkan makanan atau jajanan untuk Athala, adik Andini. Hari ini giliran Ratna membalas kebaikan itu. Ia memasak lebih banyak karena Andini memberi uang tambahan. Andini berdiri di samping ibunya yang sedang menyendok rendang ayam ke dalam rantang. "Enak banget kelihatannya, Bu," komentar Andini sambil tersenyum. "Nanti setelah antar, kamu sama Athala makan yang banyak ya," kata Ratna sambil menutup salah satu rantang. "Bu, nanti kalau kita ada modal, buka warung yuk. Mau nggak?" tanya Andini. Ratna tertawa kecil. "Mau banget. Ibu memang suka masak, jad
"Tumben sih Lin, kamu beli sarapan sebanyak ini. Biasanya cuma beli untuk sendiri," sindir Andi sambil mengunyah makanan."Kalau Mas Andi nggak mau, juga nggak apa-apa," ujar LindaTiba-tiba pintu kamar Anisa terbuka. Terlihat Anisa yang keluar kamar dan berlari menuju ke belakang. Semua menatap Anisa yang terlihat aneh."Mbak Anisa kenapa Mas?" tanya Hera."Entah. Dari kemarin katanya kepalanya pusing, terus bolak balik muntah. Sepertinya masuk angin.”"Apa mungkin Anisa hamil, Ndi?" tanya Bu Rodhiah."Iya Mas, mungkin Mbak Anisa hamil," sahut Linda.Andi terdiam, menatap ibunya dan Linda secara bergantian. Kenapa dia tidak terpikir sampai kesitu."Semoga saja, benar deh kalau Anisa hamil. Aku udah lama berharap Anisa hamil. Semoga saja, Aamiin," ujar Andi dengan penuh harapan.Tak berapa lama, Anisa sudah keluar dari kamar mandi. Saat melewati meja makan, Anisa duduk di samping suaminya."Gimana? Masih pusing?" tanya Andi."Masih Mas. Hari ini kamu bisa nggak antar aku periksa. Kepa
"Mba Ratna!" panggil Hera dengan wajah terkejut melihat Andini dan Ratna."Ayo Bu, kita masuk," ajak Andini dengan merangkul ibunya dan melanjutkan masuk ke dalam. Andini dan Ratna masuk ke dalam, sedangkan Hera masih mematung menatap Ratna dan Andini yang terus berjalan masuk."Ayo Sayang, kita pulang," ajak Alvin, pacar Hera."Iya Sayang," jawab Hera sedikit kaget. "Oh iya kita tebus obat dulu.""Memangnya kamu ada uang buat tebus obat?" tanya Alvin."Ada. Tabunganku masih sedikit. Kalau cuma buat nebus obat, aku ada lah," jawab Hera.Hera memberikan resep ke apoteker, dan keduanya pun duduk menunggu di panggil."Vin, usaha kamu bagaimana?" tanya Hera pada pacarnya. Pasalnya sudah berapa bulan semenjak Hera memberikan uang ke Alvin, sampai sekarang Hera belum pernah sekalipun ikut merasakan keuntungan dari bisnis pacarnya itu."Kan baru jalan Sayang. Jadi belum kelihatan. Kalau ada untung masih untuk diputar buat modal. Kamu sabar ya," jawab Alvin santai."Iya Sayang," jawab Hera s
"Kalau kamu nggak mau, lebih baik kita cerai saja,” ucap Robi dengan nada dingin.Linda terhenyak. Ucapan itu seperti tamparan keras di wajahnya. Bercerai? Tidak mungkin. Selama ini mereka hidup dan bahagia bersama. Linda yang selalu mengandalkan Robi, dan tiba-tiba akan berpisah? Linda tidak mau dan tidak bisa."Apa maksudmu, Mas?" tanya Linda dengan suara bergetar. Matanya pun sudah berkaca-kaca."Aku serius, Lin. Kalau kamu nggak bisa bantu aku, aku nggak tahu kita bisa jalan bareng lagi atau nggak,” jawab Robi tegas.Air mata Linda mengalir. Dia merasa terpojok. Meski dia tahu itu salah, rasa takut kehilangan Robi membuatnya mengangguk perlahan.“Baiklah, aku akan mengambil sertifikat itu. Tapi kamu janji, harus bayar setiap bulannya ke bank.”“Kamu tenang saja Lin. Dari hasil hutang ke bank, nanti kan ada sisa. Bisa aku pakai buat usaha, dan hasilnya bisa untuk membayar bank setiap bulan.”Dengan terpaksa, Linda pun menuruti keinginan suaminya. Semua ini ia lakukan demi mempertah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments