Benar apa yang dikatakan Lily, Mrs. Margot memberi tanda ke arah Meredith untuk membawa pergi cangkir ini.
Dan sekali lagi, Bree berang merasa dipermalukan, apalagi sudah ada tamu-tamu yang lain. Mereka adalah kolega mamanya, ada juga karyawan di perusahaan kebun anggur Mrs. Margot. Tentu saja, Bree memandang rendah mereka. Mungkin yang kastanya sama hanya Keluarga Triton saja. Saat sedang makan malam, Bree juga menjatuhnya piring tidak sengaja. Axel sebagai suami ingin menenangkan istrinya, namun tatapan Mrs. Margot yang seperti menyindir, membuat Bree tidak ingin hidup. “Kamu tidak apa-apa, kan, Sayang?” tanya Axel dengan lembut. Bree mengangguk, “Ya,tentu saja. Rumah ini sudah ada yang melayani, harusnya tidak perlu khawatir, kan?” ucap wanita itu sarkas. Beberapa kolega Mrs. Margot yang datang adalah staf-staf ahli di bidang pemasaran, keuangan, ada sekitar dua puluh orang yang hadir. Mrs. Margot membuka pidato setelah makanan pembuka. “Jadi, malam ini, kita merayakan lima tahun pernikahan Axel dan Bree. Semoga mereka cepat diberi keturunan. Cheers!” Semua undangan yang ada ikutan mengangkat gelas yang sudah diisi oleh anggur. “Cheers!” “Long live Bree and Axel!” seru salah satu tamu. Itu adalah anak dari keluarga Triton, Wanda dan satu lagi, Alden. Keluarga Triton memang dekat dengan keluarga Mrs. Margot. Mendengar kata terakhir dari pidato Mrs. Margot, Bree gerah sendiri. Tapi, dia harus menahannya, demi harta dan kemewahan. Matanya tajam menatap mertuanya. Lama kelamaan pusing sendiri mendengar melihat tingkah laku mertuanya. “Kau sangat cantik malam ini, Bree,” puji Wanda tulus. Wanita itu tak kalah cantiknya dengan gaun biru serba tertutup. Pujian itu membuat Bree tersenyum, akhirnya malam ini ada yang memerhatikan penampilannya. Karena Wanda duduk dekat dengan Bree, anak perempuan keluarga Triton itu mendekat ke arah Bree. “Kau cantik sekali dengan gaun terbuka seperti itu. Tak heran kalau Axel sangat mencintaimu,” pujinya lagi. Bree tersenyum canggung, andai Wanda tahu apa yang saat ini Bree rasakan. “Terima kasih, aku bisa memberimu rekomendasi tempat bagus kalau kau mau,” jawab Bree. “Ah ... pasti ayah tidak akan izinkan aku pakai baju seperti kau. Meski aku mau.” Bree tersenyum seolah menghibur. “Kalau kau pakai baju ini sesekali jangan sampai ketahuan ayah ibumu, pasti bagus.”“Ah, nanti ayah ibuku akan pulang cepat. Aku dengar akan ada pesta pribadi di sini,” ujar Wanda lagi antusias. “Kalau gitu, malam ini kita coba,” Bree mengerling sambil memasukkan daging ke mulutnya. Wanda menatap Bree beberapa saat. “Malam ini aku akan mabuk berat,” ujar Bree berbisik ke arah Wanda. Mata Wanda melirik ke arah Axel. “Memang, suamimu tidak akan marah?” Bree tersenyum tipis, “Dia akan senang kalau aku mabuk berat. Pelayanan ranjangku akan sangat memuaskan dirinya.”Wanda tersenyum, “Ah, mengapa pipiku menghangat, padahal dirimu yang akan berduaan dengan suamimu.” Bree tidak menanggapi apa pun. Setelah selesai acara makan malam, para tamu undangan bebas melakukan apa pun. Bartender yang ada di meja bar bersiap menyiapkan minuman untuk tamu yang datang. Pelayan yang ada di dapur pun sibuk menyiapkan makanan kecil untuk selingan saat minum. Malam mulai larut, Bree dan Wanda menepati janji mereka. Dua orang wanita itu seperti kerasukan, banyak minum tak karuan. Axel pun turut sibuk menjamu tamu-tamu ibunya yang masih ada di rumah. “Lily, apakah kamu akan pulang sekarang?” tanya kepala pelayan yang bertanggung jawab mengkoordinasi semua pelayan yang ada di rumah ini. “Ya, sifku sudah selesai dari tadi,” jawabnya. “Apakah kau masih mau menolongku?” Lily tidak bisa menolak apa pun yang diminta oleh kepala pelayan itu. “Baiklah.” “Antar ini ke ruangan tamu.” Si kepala pelayan menyodorkan kopi. “Ada yang meminta tadi, kau bisa taruh saja di meja, masih ada beberapa tamu yang mabuk. Sebagian sudah pulang, karena nyonya tadi sudah tidur.” “Baik,” jawab Lily lagi sambil menerima nampan. Meski sebenarnya sudah lelah. “Setelah itu pulang saja,” suruh si kepala pelayan.Sekali lagi Lily hanya mengangguk. Kalau diminta lembur tidak masalah. Karena Lily akan menerima bayaran lebih nanti. Untuk bertahan hidup, Lily memang butuh uang lebih, walau nanti juga akan menerima uang bulanan dari Mrs. Margot. Ruang tamu itu luas, masih ada beberapa tamu di sana. Sebagian ada yang terkulai karena mabuk. Lily meletakkan nampan berisi kopi disalah satu meja. “Hei, taruh di sini,” pinta si bartender sambil menunjuk meja bar. Lily menurut, menaruh nampan itu di meja bar. Tanpa Lily tahu kalau Axel ada di meja bar, matanya berat, kepalanya pengar karena mabuk berat. “Kau bisa antar Tuan Axel ke kamar, kan?” tanya si bartender. Terus terang, Lily salah tingkah. Lalu menjawab pertanyaan si bartender itu dengan menggeleng. “Ayolah, kau hanya perlu mengantar tuan saja,” bujuk si bartender. “Kalau begitu aku akan panggil Nyonya Bree untuk merawat suaminya.”Mata Lily membesar begitu si bartender menggeleng, “Kenapa?” tanyanya lugu. “Bree dari tadi sudah tidak ada di sini. Dia pergi dengan temannya yang dari keluarga Triton,” jelas si bartender. Penjelasan itu membuat Lily terdiam. “Pergi?” ulang Lily, pantas saja dari tadi tidak kelihatan. Lily banyak menimbang dalam hati. Apakah dia akan membantu Axel atau tidak?Beberapa saat kemudian, Axel yang teler dan mabuk bangun dari kursi barnya. Bicaranya tidak jelas, “Aku ke kamar dulu,” pamitnya pada bartender. “Biar Lily yang menemani,” ujar bartender dengan cepat. Axel menggeleng, setelah itu dia terjatuh. Bartender dengan cepat menolong Axel berdiri. “Sudah tidak usah menolak, biar Lily mengantarmu.” Kali ini Axel tidak fokus dengan apa yang dikatakan si bartender itu. Axel jalan terhuyung ke arah tangga. Pandangannya buram, tidak bisa melihat dengan jelas anak tangga. Hingga sekali lagi terjatuh. Lily tidak tega melihat Axel yang terus terjatuh. Jadi, wanita itu mendekatinya. “Mari. Biar saya bantu, Tuan.” Lily meraih tangan Axel, menaruhnya secara melingkar di pundak. Axel hanya menggumam tidak jelas. Lily susah payah memapah Axel—sampai ke dalam kamar. Membaringkan lelaki itu sungguh sulit sekali. Axel juga muntah—di kamar mandi, hingga bajunya kotor. Mau tidak mau, Lily membantu Axel mengganti kausnya. Untung saja, Lily sudah tahu di mana letak baju Axel. Melihat Axel tidak pakai baju, Lily gemetar sendiri. Tubuh atasnya tidak ditutupi apa pun. Dan dalam keadaan telentang, Axel lebih terlihat jantan!Ah, Lily menghela napas, membuang pikiran hina yang melintas tadi. “Lily, mana baju saya?” tanya Axel, matanya beralih menatap Lily. “Ya, Tuan, segera datang,” ucap Lily takut. Lily hanya menyodorkan kaus yang sudah dia ambilkan di depan Axel. “Ck, apa kau tahu, saya bahkan tidak bisa duduk karena pengar?” Lily membesarkan mata, dia menahan diri agar tidak menyentuh dada bidang berotot itu. “Saya—tidak mau membuat orang salah sangka, Tuan.”Terima kasihku kepada para pembaca setia yang sudah mengikuti cerita: "Rahim Sewaan Billionanaire." Semoga part akhir Lily dan Axel membuat kalian happy dan memenuhi harapan kalian. Jangan lupa, baca juga karyaku: "Istri Kedua Tuan Stefan." Dan sayangi Andini dan Stefan seperti kalian menyayangi Lily dan Axel. Hehehe....Silakan dicek sekarang, "Istri Kedua Tuan Stefan."
Namun, Axel menurut, dia menunggu Lily di hotel. Beberapa jam berlalu, hingga malam menjelang Lily belum terlihat. Ponsel masih dia matikan.“Haruskah kita lampor polisi?” tanya Kevin tak kalah cemas.Axel mengangguk, “Bagaimana?” tanyanya mengkonfirmasi menatap Tom.“Kita bisa coba,” jawabnya, lalu melihat jam tangan. “Ayo, kita pergi ke sana. Mungkin setelah itu, kita bisa keliling kota untuk mencarinya. Karena sebentar lagi malam, jadi, mungkin saja bisa berhasil.”“Baiklah, ayo,” Axel ingi putus asa tetapi, dia tahu kalau hidup istrinya bergantung kepada kegigihan usaha untuk mencarinya. “Kevin kau di sini saja, berjaga-jaga kalau Lily kembali ke hotel.”Kevin mengangguk, wajahnya masih murung.Axel baru saja melangkah ke pintu hotel dengan Tom, tapi langkahnya berhenti.“Lily?” Axel memicing, tidak percaya.“Itu istrimu,” kata Tom melihat Lily di depan teras lobi hotel berjalan ke arah dalam hotel.Axel dengan cepat menghampiri istrinya, yang pergi entah ke mana seharian ini.“Li?
Dengan berpakaian serba tertutup, Lily memerhatikan setiap orang yang berlalu lalang. Duduk di antara pengunjung kafe siang itu—dia tidak menemui Naomi.Ke mana sebenarnya perempuan itu? Batin Lily bertanya. Padahal sejak pagi Lily sudah susah payah menyingkirkan pengganggu.Mengapa Naomi jarang terlihat, apalagi Axel. Hari pertama Lily tiba di negara itu, seluruh hotel yang ada di sekitar kafe dia datangi untuk menanyakan keberadaan Axel. Namun, nihil setiap hotel yang didatangi tidak ada nama Axel!“Huh!” geram Lily, sudah berapa hari di Kanada tidak menemukan apa-apa. Kesal sendiri, apa lagi yang harus dia lakukan di negara antah berantah ini?Ponsel Axel masih tidak bisa dihubungi. Lily kesal, entah berapa kali dia membanting ponselnya hingga rusak dan menggantinya dengan ponsel baru.Axel mengandalkan nalurinya untuk mencari istrinya di negara itu. Di kafe yang Naomi pernah sebutkan.Mata tajam Axel memindai setiap orang yang lalu lalang di sekitar kafe itu. Dia duduk di pojokan
Pandangan Steven tidak lepas dari Axel. “Apa maksudnya? Maafkan, ada di sini selama berbulan-bulan, membuat pikiranku tidak ….” Dia menatap foto yang Axel berikan. “Apa ini?”“Itu bayimu, Meredith sedang mengandung, tapi dia sulit sekali memberitahumu,” omel Axel.“Apa?” mata Steven membesar, kontrak dan pekerjaannya hampir selesai. “Aku …. Akan ….” Serba salah dia berlari ke arah posko.Axel dan Mike saling menatap, “Apa yang dia lakukan?” tanya Mike. “Aku tidak ingin kita ambil resiko kalau-kalau dia mengadukan kita.”“Kita tunggu dulu saja sebentar, mungkin dia ingin mengambil sesuatu,” cetus Axel menatap Tom dan Mike bergantian. “Hampir lima bulan, Steven tidak pulang atau memberi kabar, apakah dia bisa izin dari komandannya?”Mike mengedikkan bahu, “Semoga saja.”Beberapa menit yang lama, Steven akhirnya kembali duduk bersama Axel, Tom dan Mike.“Aku dapat izin pulang hari ini. Sebenarna aku sengaja tidak ambil libur selama tiga bulan,” kata Steven, napasnya terengah-engah tapi a
Kedua pengasuh itu mengangguk, matanya berkaca-kaca, “Nyonya apa tidak seharusnya kita beritahu Nyonya besar dulu soal keberangkatan nyonya?”Lily menggeleng sambil tersenyum pahit, “Akan terlambat kalau nyonya sampai tahu. Dia pasti akan mengkhawatikan diriku,” ucap Lily. “Jadi, aku akan memberitahu mereka jika sudah sampai di negara tujuan.”Pengasuh itu lalu menangguk, tampaknya tidak ada yang bisa menahan majikannya.Lily lantas pergi, tidak juga diantar sopir yang ada di rumah Nyonya Margot.Sesampainya di bandara, Lily langsung memesan tiket ke Kanada. Dia masih memegang ponsel, mencari tahu seperti apa negara itu.“Tampak sama saja seperti Napa,” katanya pelan. Dengan percaya diri dia masuk ke garbarata.***“Ajak Lily makan bersama, Kate,” kata Nyonya Margot menjelang makan malam. “Kasihan dia sendirian, setelah makan siang, aku tidak melihatnya.”Kate yang sedang menyiapkan makanan untuk Nyonya Margot baru ingat, “Aku juga ….” Dia tidak melanjutkan kalimatnya. Tidak mau membu
Sesampainya di negara tujuan, Tom langsung mendapatkan di mana Steven berada.“Aku sudah sewa mobil selama kita di sini,” kata Tom. “Dan pemandu, karena tidk mungkin kita sendirian mencarinya.”Axel menatap Tom tidak percaya, “Kau gila, tidak mengatakan padaku kalau ini daerah konflik?”“Tapi aku sudah sewa pemandu,” Tom ngotot, “Kita akan selamat, lagi pula. Kita tidak akan mendekati daerah konflik. Steven tidak ada di sana. Tenang saja dulu. Lagi pula, tidak ada tantangannya kalau hanya di daerah biasa saja. Ya, kan?”Axel mendengus, apa Tom tahu Axel hanya memikirkan Lily, kapan akan bertemu lagi. Tapi apa yang Tom katakana benar juga. Jadi, Axel mengikuti saja semua usul Tom.Cuaca panas menyelimuti negara itu.Pemandu yang mengemudi, bicara dengan Tom.“Kemarin malam, saya membuntuti orang yang kau maksud. Saya pikir tidak ada masalah kita bisa bicara dengannya.”Axel mendengarkan dengan seksama, lalu mendengus. Mana tantangannya kalau begini?Namun, pikiran itu hanya datang sesa