Share

One Night Stand

“Salah sangka?” ulang Axel. “Kamu sadar, Lily! Sadar sebagai ibu pengganti bagi anakku, itu sama saja meneken kontrak kalau kamu milikku! Meski hanya setahun. Aku membayarmu untuk itu.” 

Lily diam, jantungnya saat ini akan meledak. Mau tidak mau, Lily menuruti Axel. 

Lily mulai menarik tangan Axel agar lelaki itu bisa duduk dengan tenang. Tetapi gagal, Axel tidak bisa menegakkan badan. 

“Kau harus lebih berusaha, Lily,” perkataan Axel yang begini mirip ledekan. Wajahnya juga menyebalkan saat ini. Kalau bukan majikan, mungkin Lily sudah menamparnya. 

Lily kesal, meski Axel tampan, badannya ideal dan sebentar lagi Lily dan Axel akan terikat oleh sebuah perjanjian, tetap saja, Lily harus menjaga jarak. Dia tidak boleh aji mumpung. 

Lily berusaha sekali memasukkan kepala Axel ke kaus. Mengangkat kepalanya sulit sekali. Badannya berat. 

Napas Lily yang terengah terdengar oleh Axel, membuat lelaki itu tertawa. Pikirannya masih menerawang, malam ini harusnya dia merayakan hari pernikahannya dengan Bree. 

Namun, Bree malah memilih Wanda untuk diajak minum. Meninggalkan Axel, dan lelaki itu sangat sebal ditinggalkan seperti itu oleh Bree. 

“Bree ... Bree,” rutuk Axel sambil tertawa konyol. Sementara kausnya belum bisa terpakai, karena Lily kesulitan mengangkat kepala Axel. 

Axel, menangkap tangan Lily, menaruhnya di dadanya yang bidang. 

Wajah Lily merona, hangat. Namun, sekujur tubuhnya panas dan dingin. 

“Lily ...” panggil Axel dengan lirih, tangan Axel yang bebas membelai wajah Lily. 

“Maaf, tuan aku harus pulang,” ucapnya. 

Axel malah menarik Lily ke dalam pelukannya. “Kau temani saja saya di sini. Apakah kau tahu kalau sesungguhnya kau sangat cantik, murni dan tulus.” 

Lily menganggap kalau Axel sedang membual karena sedang mabuk. 

Jadi, wanita itu mengangkat wajahnya. Menatap Axel tajam. Andai saja, Axel sedang tidak mabuk malam ini. 

Jarak wajah Lily dan Axel hanya dua senti. 

Mata Axel berkilat, kepalanya dia majukan, mengikis jarak yang memang sudah sangat dekat. 

Lily hampir tidak bisa bernapas dengan benar. Menelan ludahnya susah payah. Bukannya menjauh, tubuh Lily seperti beku dan membiarkan Axel melakukan semua yang Axel mau. Seperti dihipnotis, Lily harusnya menolak sentuhan pertama Axel. 

“Tuan, sebaiknya kita berhenti,” ucap Lily memohon. 

“Kenapa harus berhenti? Nantinya kamu akan mengandung anakku. Kita lakukan saja sekarang, apa kau tahu prosedur IVF sangat menyakitkan,” bujuk Axel, tangannya terus menjelajah wajah halus wanita itu. Juga bagian tubuh yang lain. 

Axel menikmati aroma tubuh Lily. Membuat Axel ketagihan. Sekuat tenaga Axel membalik posisi hingga dia berada di atas Lily. 

“Kamu sangat manis dan cantik, Sayang,” ucapan Axel, mirip racauan. Matanya sayu, ini yang membuat Lily khawatir, apakah ketika besok terbangun, Tuan Axel akan mengingat dirinya? Lily memejam ketika kepala Axel berhenti di bawah perut Lily.

Wanita itu mengerang. 

Axel membiarkan, tapi mamanya bisa terbangun kalau Lily berteriak. Jadi Axel membungkam mulut Lily dengan ciuman. “Sst, kita tidak ingin membuat Mama terbangun,” bisikan Axel membuat Lily patuh. 

Lily makin tidak bisa berkutik, entah mengapa sentuhan Axel terasa begitu menggoda. Lily memejam, menikmati atau malah menyesalinya. 

Axel merangkak ke atas tubuh Lily, seperti mengunci tubuh Lily. Tubuh Axel saat ini tanpa penutup apa pun.  

“Pertama kali?” tebak Axel, karena wanita itu masih kaku, dan terlihat takut. Badannya gemetar. Axel bisa merasakannya. 

Lily mengangguk, tidak bisa berteriak minta tolong, atau dia terancam akan dipecat, dan semua kontrak itu akan dibatalkan sama sekali. Kalau sidah begitu, semua kesempatan Lily untuk bebas dari renternir akan hilang. 

Axel mengerti bagaimana harus memperlakukan Lily. 

Ya, lelaki itu memperlakukan Lily seperti sesuatu yang istimewa dan sangat berharga. 

Untuk Lily dan Axel, ini adalah malam terpanjang dalam hidup mereka. 

***

Paginya, Lily bangun terlambat. Kaget ketika melihat jam yang ada di nakas, sudah pukul tujuh pagi dan dia baru ingat ini bukan di kamarnya sendiri. Kepalanya menoleh ke kiri, ada Axel yang masih pulas. 

Sepertinya di luar kamar ini para pelayan sudah bersiap. Lily tahu betul ritme pelayan di rumah ini. 

Bagaimana ini? Lily ketakutan sendiri. Lily mencoba bergerak, tapi tangannya terasa berat. Ternyata Axel memeluk lengan Lily. Wajah lelaki itu sangat tampan, bahkan ketika tidur seperti ini. Lily melepaskan tangan Axel perlahan, agar lelaki itu tidak terbangun. 

Tubuhnya tidak berbusana sama sekali. 

Wajah Lily makin memerah, secepat kilat memakai baju dan pergi dari kamar itu. Meski berat, bayang kejadian tadi malam sulit sekali dilupakan. 

Mungkin Axel akan melupakannya. Yah, dia kan sudah punya istri yang cantiknya melebihi Lily. 

“Selamat tinggal. Tuan Axel,” ucap Lily lirih. 

Wanita itu turun ke lantai bawah dan menuju pantri. 

Izin ke kepala pelayan, kalau hari ini dia sakit. 

***

“Selamat pagi, Tuan!” 

Sapaan itu membangunkan Axel, selain sinar matahari yang menyilaukan matanya. Tangannya meraba samping kirinya. Walau mabuk, Axel rasanya bisa ingat tadi malam siapa yang mengantarnya ke kamar. 

“Mana Lily?” tanyanya menatap ke arah pelayan yang membawakan kopi. 

Kebetulan sekali Kate—sahabat Lily yang mengantar kopi ke kamar Axel. 

“Lily?” 

Axel baru tersadar setelah beberapa detik melamun melihat Kate. “Maksud saya, Bree,” ralatnya, sambil mengucek mata. Dia baru ingat pesta kecil-kecilan yang dia buat besama Alden Triton dan pegawai yang lain.

“Nyonya Bree belum terlihat pagi ini, Tuan,” sahut Kate. 

“Baiklah, cepat keluar, saya mau mandi dulu. Suruh pelayan yang lain siapkan sarapan di bawah,” perintahnya. 

“Baik, Tuan.” 

Axel menatap Kate sampai gadis itu menghilang dari pandangannya. Lelaki itu lantas menghela napas, melihat badannya sendiri yang tertutup selimut. 

“Ah ... dosa apa aku tadi malam?” tanyanya sendiri. 

Dan ponselnya yang ada di nakas berdering. Nama yang muncul di layarnya adalah, Bree!

Bisa gawat kalau Bree tahu sebelum waktunya. 

Axel berdeham, dan bangun menegakkan badan. “Hallo?” 

“Axe ...” panggil manja Bree. “Dari mana saja kau tadi malam?” 

“Kau sendiri dari mana?” tanya bali Axel. “Kau tahu aku mabuk sampai hilang kesadaran, tapi kau tidak ada?” 

“Apa? Lalu? Apa kau ...” 

Bree kali ini benar-benar khawatir, pasalnya, Axel kalau mabuk selalu ingin bercinta habis-habisan! Wanita itu menarik napas mengumpulkan keberanian untuk menjelaskan kepada suaminya. 

“Bartender yang membawaku ke kamar. Apa aku harus bercinta dengannya?” omel Axel kesal. Kesalahan apa yang dia buat tadi malam, tidak lain itu juga kesalahan Bree. Dan baru kali ini Axel bisa semarah ini kepada istrinya. 

Bree makin serba salah. “Eng ... Aku hanya ... dengan Wanda, kau tahu? Kita hanya ke ...” 

“Dengan Wanda? Apa yang kau lakukan, Bree?” nada suara Axel ditekan. Saking kesalnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status