แชร์

4. Tanda Tangan Kontrak

ผู้เขียน: RieeHime
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-29 20:54:48

Pagi itu, Ayla berdiri di depan gedung pencakar langit dengan tulisan besar Altara Holdings di fasadnya. Bangunan itu menjulang megah dengan kaca-kaca reflektif yang memantulkan langit biru. Ia menarik napas dalam, menenangkan dirinya sebelum melangkah masuk. Meski sudah memantapkan hati sejak semalam, tetap saja ada ketegangan yang merayap di dadanya.

Begitu masuk ke dalam lobi utama, Ayla mendapati suasana yang sangat profesional. Orang-orang berlalu-lalang dengan langkah cepat, sebagian besar mengenakan setelan bisnis rapi. Ia melangkah ke meja resepsionis, di mana seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan duduk dengan sikap anggun, sibuk mengutak-atik layar monitor.

Ayla berdeham pelan. "Permisi."

Wanita itu mengangkat wajahnya, memberikan senyum formal. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"

Ayla menelan ludah, merasa sedikit canggung saat mengeluarkan kartu nama Leonard dari tasnya. Ia meletakkannya di atas meja. "Saya ada janji dengan Tuan Statham."

Sekilas, Ayla melihat mata resepsionis itu membesar, lalu menatap kartu nama yang ia berikan. Seakan tidak percaya, wanita itu meraih kartu tersebut dengan hati-hati, memperhatikan setiap detailnya. Ayla bisa merasakan atmosfer di sekitarnya berubah. Beberapa orang yang kebetulan berdiri di sekitar meja resepsionis ikut melirik dengan penuh rasa ingin tahu.

Seorang pria berjas hitam yang berdiri tak jauh dari sana bersuara, "Kau mendapatkan kartu nama Tuan Statham?" Nada suaranya terdengar hampir tidak percaya.

Ayla mengangguk pelan. Ia tidak mengerti mengapa semua orang terlihat begitu terkejut. Bukankah ini hanya selembar kartu nama?

Resepsionis itu segera mengambil telepon dan berbicara dengan nada serius. "Pak Leonard punya tamu yang datang membawa kartu pribadinya. Apa saya perlu langsung mengantarnya ke atas?" Setelah mendengar jawaban dari seberang, ia mengangguk. "Baik, saya akan segera mengaturnya."

Tak sampai satu menit, seorang pria dengan setelan rapi datang menghampiri Ayla. "Silakan ikut saya, Nona." Ia memberi isyarat untuk mengikuti.

Saat mereka berjalan melewati lorong-lorong luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan panorama kota, pria yang mengantar Ayla sesekali meliriknya dari samping. Ia tampak menahan rasa penasaran sebelum akhirnya berkata, "Saya yakin ini pertama kalinya Anda ke sini."

Ayla mengangguk. "Ya, ini pertama kali saya ke kantor Altara Holdings."

"Maaf jika lancang," ucap pria itu hati-hati. "Apa Anda bukan seorang pebisnis?"

"Ya?" Ayla memiringkan kepalanya, tanda tak mengerti.

"Pak Leonard jarang sekali memberikan kartu namanya, bahkan pada klien penting sekali pun. Sebab, kartu nama itu seperti tiket masuk ekslusif di Altara Holdings. Yang menerimanya bebas keluar masuk gedung ini tanpa pemeriksaan. Biasanya mereka akan diberi kontrak dengan keuntungan maksimal. Anda beruntung sekali bisa memilikinya," jelas Pria itu.

Ayla menahan napas. Ia bahkan sudah mendapatkannya dua kali, meski yang satunya sudah rusak. Kalau tahu kartu itu demikian istimewa, ia pasti akan menjaga dengan hati-hati sejak awal. Ayla melirik pria tadi yang tampak masih ingin mengatakan sesuatu.

"Apakah ada hal lain?"

"Ah, uhm, saya harap Anda merahasiakan ini dari Pak Leonard. Beliau sangat ketat mengenai etika karyawan, tapi rekan-rekan saya tidak akan membiarkan saya hidup tenang jika tidak bertanya," katanya hati-hati.

Ayla merasa canggung karena sepertinya pria ini terlalu menjaga sikap seolah dirinya adalah tokoh penting—padahal tidak begitu. Apakah itu termasuk pengaruh kartu nama Leonard?

"Tanyakan saja," balas Ayla sama sopannya.

"Apakah Anda pacar Pak Leonard?" Baru sedetik hening, pria itu buru-buru menjelaskan, "Pak Leonard adalah orang yang sangat gila kerja. Jarang sekali ia membatalkan rapat atau menjadwalkan ulang pertemuan. Tapi, dalam beberapa waktu terakhir, sudah dua kali ia tiba-tiba membatalkan rapat penting di menit-menit terakhir dengan alasan perlu menemui seseorang."

Ayla menoleh dengan alis sedikit berkerut. "Lalu? Apa hubungannya?" Dalam hati, ia menghormati betapa tinggi Leonard memprioritaskan kesepakatan mereka. Artinya, dia tidak main-main.

"Tuan Leonard melakukan hal yang tidak biasanya dia lakukan, dan tiba-tiba Anda datang membawa kartu namanya. Jadi, banyak yang penasaran. Saya harap Anda mengerti," ungkap pria itu. "Jika Anda tidak nyaman menjawabnya, abaikan saja."

"Saya tidak punya hubungan seperti itu dengan Tuan Statham, Anda bisa bersikap santai dengan saya," ucap Ayla.

Mereka tak bicara lagi sampai tiba di depan pintu kayu besar dengan plat nama "Leonard Statham, President Director" di bagian samping, pria itu mengetuk ringan sebelum mendorong pintu dan memberi isyarat pada Ayla untuk masuk.

Leonard duduk di belakang meja besar dari kayu mahoni, mengenakan setelan navy yang tampak sempurna di tubuhnya. Begitu melihat Ayla masuk, ia segera berdiri dan melangkah mendekat.

"Kamu datang tepat waktu," ucapnya dengan senyum tipis.

Ayla mengangguk. "Saya tidak ingin membuat Anda menunggu."

Leonard menatapnya sejenak sebelum memberi isyarat ke arah sofa di sudut ruangan. "Mari duduk."

Begitu mereka duduk berhadapan, seorang pria berkacamata masuk membawa map berisi beberapa dokumen. Ia menyerahkan dokumen itu pada Leonard dan duduk di sisi lain meja.

"Ini adalah pengacara resmi Altara yang akan menjadi saksi." Leonard memperkenalkan. "Dan ini adalah kontrak yang sudah dia susun."

Ayla meraih dokumen itu, jari-jarinya sedikit gemetar. Ini adalah keputusan besar. Sebuah perjanjian yang akan mengubah hidupnya.

Leonard sepertinya menyadari keraguannya. "Tidak ada tekanan, Ayla. Bacalah dengan saksama. Jika ada yang tidak sesuai, kita bisa mendiskusikannya."

Ayla membuka halaman pertama, matanya menyusuri setiap baris kata. Kontrak ini mencakup semua yang sudah mereka bicarakan—jaminan perawatan untuk ibunya, biaya hidup yang ditanggung selama kehamilan, serta kesepakatan bahwa ia tidak memiliki kewajiban terhadap anak itu setelah lahir.

Tapi ada satu hal yang membuatnya terhenti.

"Apa maksudnya ini?" Ayla menunjuk satu pasal. "Saya harus tinggal di tempat yang disediakan oleh Anda selama masa kehamilan?"

Leonard menyesuaikan posisi duduknya. "Katanya, ibu hamil itu sangat rentan. Saya ingin kamu berada di lingkungan yang sehat dan terjamin agar putriku lahir dengan sehat juga."

Ayla menggigit bibirnya, menimbang-nimbang.

"Ini tidak wajib," Leonard menambahkan, suaranya lebih lembut. "Tapi aku akan lebih tenang jika kau menerima syarat itu. Atau kamu bisa pikirkan belakangan nanti."

Ayla mengembuskan napas pelan dan mengangguk. Ia menutup mata sejenak. Semua ini terlalu cepat. Namun, ketika bayangan ibunya muncul di pikirannya—senyumnya yang penuh harapan, kelelahannya yang semakin tampak—Ayla tahu jawabannya.

Ia membuka mata dan meraih pena.

"Saya akan menandatangani," ucapnya mantap.

Leonard menatapnya lama sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Ayla."

Saat pena itu menyentuh kertas dan ia menuliskan namanya, Ayla sadar—tidak ada jalan untuk mundur. Tepat ketika penandatanganan itu selesai, ponsel Ayla berdenting pelan. Jantungnya serasa hampir melompat membaca notifikasi yang muncul di layarnya.

~•~

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   30. Perlengkapan melukis

    Ayla menatap rak kecil di sudut ruangan dengan alis berkerut. Beberapa kotak berjejer rapi, masih tersegel dengan pita emas kecil. Seseorang mengantarnya beberapa saat yang lalu atas perintah Leonard.Gadis itu menarik salah satu kotak, membaca tulisan yang tercetak di permukaannya.Set cat air merk Schmincke Horadam.Ia melirik kotak lainnya. Satu set cat minyak Rembrandt. Di sebelahnya, kuas dengan gagang kayu yang halus, palet kayu mahoni, hingga kanvas beragam ukuran yang masih terbungkus plastik bening.Jari-jarinya dengan ragu membuka satu kotak, memperhatikan warna-warna cerah di dalamnya. Produk-produk ini bukan hanya mahal—ini adalah perlengkapan profesional yang bahkan seniman berpengalaman pun mendambakannya.Ayla mengembuskan napas. Ia tak mengerti pria itu. Belum lama mereka bertengkar. Ia tak mengira Leonard akan langsung mengirimkan sesuatu seperti ini. Apa maksudnya?Apa ini bentuk permintaan maaf? Atau hanya cara lain untuk mengontrol hidupnya?Ia menutup kotak perlah

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   29. Cahaya di Ujung Jalan

    Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   28. Garis yang Mulai Samar

    Ayla duduk diam di sofa ruang tamu setelah Leonard pergi kembali ke kantornya. Apartemen itu kembali sepi, hanya menyisakan suara denting kecil dari sendok yang ia putar di dalam cangkir tehnya.Tatapannya jatuh ke meja, ke bungkusan permen jahe dan kompres panas sekali pakai yang dibawa Leonard. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan semua ini. Seharusnya, itu hanya bentuk tanggung jawab seperti yang Leonard katakan.Tapi… kenapa rasanya tidak seperti itu?‘Jangan berpikir macam-macam, Ayla.’Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya sejak tadi pagi. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.Ketika Leonard mengatakan, "Kita bisa menikah," ia bisa merasakan bagaimana hatinya seakan mencelos ke dasar jurang. Bukan karena kalimat itu terdengar seperti harapan, tetapi justru karena tidak ada sedikit pun perasaan di dalamnya.Leonard ingin anak, bukan istri.Leonard ingin keturunan, bukan keluarga.Dan Ayla hanya bagian dari renc

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   27. Perhatian yang Berbeda

    Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   26. Pulang Bersama

    Ayla duduk diam di dalam mobil, membiarkan pemandangan di luar jendela berlalu tanpa benar-benar memerhatikannya. Hening menyelimuti mereka, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara mereka.Leonard di kursi pengemudi tampak fokus, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada jalan di depannya. Sesekali, tatapannya melirik ke arah Ayla yang duduk dengan kepala sedikit tertunduk.“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Leonard akhirnya, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.Ayla menggeleng pelan tanpa menoleh. "Tidak, terima kasih."“Kamu harus makan, kamu belum makan apa pun sejak semalam," tekan Leonard, nada suaranya sedikit menurun, namun tetap tegas. "Tubuhmu butuh nutrisi setelah apa yang terjadi."Ayla tidak menjawab. Ia tahu Leonard benar, tapi perutnya terasa berat. Semua emosi yang ia tekan sejak kejadian di apartemen terasa menyesakkan di dada.Melihat Ayla yang diam saja membuat Leonard semakin gusar. Pria itu bukan seseorang yang biasa berhadapan dengan kebisuan yang p

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   25. Warna yang Tersisa

    Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status