แชร์

3. Sebuah Keputusan

ผู้เขียน: RieeHime
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-01-29 20:52:32

“Bagaimana jika bayinya seorang laki-laki?” Ayla akhirnya melontarkan pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Suaranya terdengar pelan, tetapi jelas menyampaikan keraguan. Ia menunggu, menanti reaksi Leonard di seberang sana.

Ada jeda sejenak. Ayla membayangkan Leonard mengatur napas, mungkin menimbang-nimbang kata-kata yang tepat. Namun, ketika pria itu akhirnya berbicara, suaranya tetap terdengar tenang dan penuh keyakinan.

“Itu bukan masalah, Ayla,” jawab Leonard akhirnya. “Anak adalah anugerah, apa pun jenis kelaminnya. Memang, saya berharap seorang putri, tetapi jika anak itu laki-laki, saya tetap akan menerimanya dengan sepenuh hati.”

Ayla terdiam. Jawaban Leonard, meskipun terdengar tulus, tetap sulit ia percaya sepenuhnya. Pada dasarnya, Ayla memang masih mencurigai Leonard. Pria ini, yang bahkan tidak mengenalnya dengan baik, tiba-tiba saja mengajukan tawaran besar yang tidak masuk akal.

“Tapi... Anda bahkan tidak tahu apakah saya cukup layak untuk tugas ini,” gumam Ayla, setengah berbicara pada dirinya sendiri. “Bagaimana jika saya gagal? Bagaimana jika ada komplikasi?”

“Ayla,” suara Leonard terdengar lebih lembut sekarang. “Saya sudah mempertimbangkan semua kemungkinan itu. Kamu tidak perlu khawatir tentang hal-hal yang berada di luar kendalimu. Saya akan memastikan kamu mendapatkan perawatan terbaik. Dan jika kamu memutuskan untuk menerima tawaran ini, kamu tidak perlu merasa terbebani dengan tanggung jawab jangka panjang. Setelah bayi itu lahir, kamu bisa kembali menjalani hidupmu seperti biasa. Anggap saja saya hanya... menyewa rahimmu.”

Kata-kata Leonard membuat dada Ayla terasa sesak. Begitu sederhana dan praktis, seolah ia hanyalah alat dalam rencana besar pria itu. Namun, di sisi lain, ada nada kejujuran dalam ucapannya, seolah Leonard benar-benar memahami posisi Ayla dan berusaha memberikan solusi yang paling tidak memberatkan.

“Tapi bagaimana dengan anak itu?” tanya Ayla lagi. “Bagaimana jika dia membutuhkan saya di masa depan? Bagaimana jika—”

Leonard memotong dengan nada tegas tetapi tetap sopan, “Itu tanggung jawab saya, Ayla. Saya yang akan mengurus anak itu. Kamu tidak perlu merasa terikat. Saya ingin kamu hidup dengan tenang setelah semua ini selesai.”

Ayla terdiam lama. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario, mulai dari ibunya yang mendapatkan perawatan terbaik hingga masa depan yang tiba-tiba terasa lebih terjamin. Namun, bayangan tentang seorang anak yang lahir dari rahimnya, tetapi tidak menjadi bagian dari hidupnya, terus menghantui.

“Saya akan memikirkannya lagi,” ucap Ayla akhirnya. Suaranya terdengar lemah, tetapi ia tahu bahwa ini adalah satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan saat ini.

“Tentu,” jawab Leonard, kemudian menutup panggilan.

Beberapa hari berlalu sejak percakapan terakhir mereka. Ayla mencoba menjalani rutinitasnya seperti biasa, tetapi pikirannya terus terganggu oleh tawaran Leonard. Ia merasa seperti berada di persimpangan jalan, di mana setiap pilihan memiliki konsekuensi besar yang tidak bisa ia abaikan.

Di Sentra Medika, Ayla terus mendampingi ibunya yang masih menjalani perawatan. Maya, meskipun semakin lemah, tetap berusaha menunjukkan senyumnya setiap kali Ayla datang.

“Ayla,” panggil Maya suatu sore, ketika mereka sedang duduk di taman kecil rumah sakit. “Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan? Kamu terlihat seperti menyimpan sesuatu yang berat.”

Ayla terdiam. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya kepada ibunya. Tawaran Leonard terlalu rumit untuk diceritakan, dan ia tidak ingin membebani ibunya dengan masalah ini.

“Tidak ada apa-apa, Bu,” jawab Ayla akhirnya. “Aku hanya memikirkan pekerjaan dan... masa depan.”

Maya mengangguk pelan. “Apa pun yang kamu hadapi, Ayla, ingatlah bahwa kamu tidak sendirian. Ibu selalu mendukungmu, apa pun keputusanmu.”

Kata-kata Maya membuat Ayla merasa semakin berat. Ia tahu bahwa keputusan ini harus ia buat sendiri, tetapi dukungan ibunya memberikan sedikit kekuatan di tengah kebimbangannya.

Malam itu, Ayla memutuskan untuk menemui Leonard lagi. Kali ini, ia memilih kafe kecil yang sepi di pinggiran kota, tempat yang cukup nyaman untuk percakapan serius. Leonard, seperti biasa, datang dengan setelan rapi dan sikap percaya diri.

“Terima kasih sudah mau bertemu lagi,” ucap Leonard ketika mereka duduk berhadapan.

Ayla mengangguk pelan. “Saya ingin membahas beberapa hal sebelum saya membuat keputusan.”

“Tentu,” jawab Leonard dengan antusias. “Apa yang ingin Anda tanyakan?”

Ayla menarik napas panjang. “Bagaimana Anda bisa begitu yakin bahwa saya adalah orang yang tepat untuk tugas ini? Bukankah ada banyak wanita lain di luar sana yang mungkin lebih cocok?”

Leonard tersenyum tipis. “Saya sudah menjelaskan ini sebelumnya, Ayla. Saya melihat sesuatu dalam dirimu yang tidak dimiliki orang lain. Ketulusanmu, keberanianmu, dan cintamu pada ibumu—semua itu membuat saya yakin bahwa kamu adalah orang yang tepat.”

“Tapi ini bukan hanya tentang saya,” lanjut Ayla. “Ini tentang anak itu. Bagaimana jika dia merasa kehilangan ibunya? Bagaimana jika dia merasa tidak diinginkan?”

Leonard menatap Ayla dengan serius. “Anak itu tidak akan pernah merasa tidak diinginkan. Saya akan mencintainya sepenuh hati dan memberikan segalanya untuknya. Dan jika suatu saat dia ingin tahu tentang kamu, saya tidak akan menghalanginya. Tapi itu nanti, Ayla. Yang terpenting sekarang adalah memastikan bahwa dia lahir dengan sehat dan bahagia.”

Ayla terdiam lama. Kata-kata Leonard terdengar tulus, tetapi keraguannya belum sepenuhnya hilang.

“Saya ingin semuanya tertulis dalam kontrak,” ucap Ayla akhirnya. “Semua janji Anda, termasuk tanggung jawab Anda terhadap anak itu, dan jaminan bahwa saya tidak akan dipaksa terlibat lebih jauh.”

“Sudah tentu,” jawab Leonard dengan anggukan. “Saya akan memastikan semuanya jelas dan tertulis. Kamu tidak perlu khawatir tentang apa pun.”

"Kalau begitu, kita sepakat?" lanjut Leonard yang dibalas anggukan pelan oleh Ayla. Ia segera menyalami gadis itu, sorot matanya dipenuhi semangat. "Saya senang mendengar keputusanmu. Semangatlah sedikit, saya akan mengusahakan yang terbaik untuk Ibumu."

"Ibu saya tidak boleh sampai tahu tentang semua ini," ucap Ayla pelan.

"Saya memang tidak pernah salah menilai orang." Leonard tersenyum tipis. "Pertama kamu mengkhawatirkan nasib anak itu, sekarang mengkhawatirkan perasaan ibumu. Kamu selalu memikirkan semua orang."

"Anda terlalu memuji, saya tidak sebaik itu."

"Besok datanglah ke kantor pusat Altara Holdings untuk tanda tangan kontrak di depan pengacara saya. Apa kamu masih menyimpan kartu nama saya?" Leonard menyodorkan selembar kartu namanya. "Berikan saja ini pada resepsionis, dia akan mengatur orang untuk mengantarmu."

"Terima kasih banyak." Ayla menerimanya.

"Tidak, saya jauh lebih berterima kasih." Leonard melirik jam tangannya. "Maaf, saya harus segera pergi. Jika ada apa-apa, jangan ragu menelepon saya. Kapanpun."

Leonard mengajak Ayla bersalaman dan berkata, "Semoga setiap prosedurnya berjalan lancar."

Sekali lagi Shirya mengangguk pelan. Ia diam di tempat, menatap kepergian Leonard. Ketika membayangkan sang Ibu bisa mendapat perawatan maksimal, matanya seketika berubah jadi penuh keyakinan.

"Demi Ibu," batinnya.

~•~

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   30. Perlengkapan melukis

    Ayla menatap rak kecil di sudut ruangan dengan alis berkerut. Beberapa kotak berjejer rapi, masih tersegel dengan pita emas kecil. Seseorang mengantarnya beberapa saat yang lalu atas perintah Leonard.Gadis itu menarik salah satu kotak, membaca tulisan yang tercetak di permukaannya.Set cat air merk Schmincke Horadam.Ia melirik kotak lainnya. Satu set cat minyak Rembrandt. Di sebelahnya, kuas dengan gagang kayu yang halus, palet kayu mahoni, hingga kanvas beragam ukuran yang masih terbungkus plastik bening.Jari-jarinya dengan ragu membuka satu kotak, memperhatikan warna-warna cerah di dalamnya. Produk-produk ini bukan hanya mahal—ini adalah perlengkapan profesional yang bahkan seniman berpengalaman pun mendambakannya.Ayla mengembuskan napas. Ia tak mengerti pria itu. Belum lama mereka bertengkar. Ia tak mengira Leonard akan langsung mengirimkan sesuatu seperti ini. Apa maksudnya?Apa ini bentuk permintaan maaf? Atau hanya cara lain untuk mengontrol hidupnya?Ia menutup kotak perlah

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   29. Cahaya di Ujung Jalan

    Pagi itu, Ayla menatap bayangannya di cermin. Rambutnya ia ikat longgar, mengenakan kemeja putih dengan celana kain krem. Tidak ada yang berlebihan, tapi cukup nyaman untuk pergi ke taman dan melukis.Sejujurnya, ia tidak tahu kenapa ia setuju ikut. Mungkin karena ia memang butuh keluar dari rutinitas. Atau mungkin… karena ada bagian kecil dari dirinya yang ingin kembali menjadi Ayla yang dulu.Leonard—yang entah kenapa mulai tinggal di kamar lain apartemen Ayla—sudah berangkat ke kantor sebelum ia bangun, menyisakan pesan singkat di ponselnya.‘Jangan lupa sarapan.’Sesederhana itu. Tanpa tambahan kata-kata lain. Ayla menghela napas pendek. Pria itu memang selalu seperti itu—tidak pernah mengatakan lebih dari yang diperlukan.Namun, tetap saja… ada sesuatu dalam pesannya yang membuat Ayla merasa diperhatikan.Ia mengabaikan pikirannya sendiri dan meraih tasnya. Beberapa menit kemudian, ia sudah berada di dalam taksi menuju taman tempat Raka menunggunya.Begitu ia tiba, Raka sudah dud

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   28. Garis yang Mulai Samar

    Ayla duduk diam di sofa ruang tamu setelah Leonard pergi kembali ke kantornya. Apartemen itu kembali sepi, hanya menyisakan suara denting kecil dari sendok yang ia putar di dalam cangkir tehnya.Tatapannya jatuh ke meja, ke bungkusan permen jahe dan kompres panas sekali pakai yang dibawa Leonard. Seharusnya ia tidak terlalu memikirkan semua ini. Seharusnya, itu hanya bentuk tanggung jawab seperti yang Leonard katakan.Tapi… kenapa rasanya tidak seperti itu?‘Jangan berpikir macam-macam, Ayla.’Ia menggelengkan kepala, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang mengganggunya sejak tadi pagi. Tapi semakin ia menepis, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.Ketika Leonard mengatakan, "Kita bisa menikah," ia bisa merasakan bagaimana hatinya seakan mencelos ke dasar jurang. Bukan karena kalimat itu terdengar seperti harapan, tetapi justru karena tidak ada sedikit pun perasaan di dalamnya.Leonard ingin anak, bukan istri.Leonard ingin keturunan, bukan keluarga.Dan Ayla hanya bagian dari renc

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   27. Perhatian yang Berbeda

    Leonard mengangkat kepalanya, mata tajamnya kini menatap langsung ke dalam mata Ayla. “Kamu sudah bangun,” gumamnya pelan, tapi tetap dengan nada datarnya yang khas. “Kau menggeliat terus dalam tidur, aku pikir perutmu sakit sekali. Dokter bilang, dengan kondisimu, kemungkinan haidmu akan lebih parah daripada biasanya.”Ayla tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ketika membuka selimut dan mengambil alih bantal kompres dari tangan Leonard ia menyadari dirinya sudah mengenakan piyama bersih. Baru saja ia hendak bertanya, tapi Leonard sudah membaca pikirannya.“Tadi kamu tidur masih mengenakan baju kemarin karena kita tidak jadi membeli baju baru di jalan. Makanya aku menyuruh seorang staff wanita mengganti bajumu dengan piyama, agar tidurmu lebih nyenyak. Jangan berpikir macam-macam,” katanya dengan nada malas. “Aku tidak bertindak aneh-aneh.”Ayla ingin membantah, tapi kepalanya terlalu berat untuk berdebat. Alih-alih berbicara, ia justru menutup matanya lagi. Nyeri di perutnya masih

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   26. Pulang Bersama

    Ayla duduk diam di dalam mobil, membiarkan pemandangan di luar jendela berlalu tanpa benar-benar memerhatikannya. Hening menyelimuti mereka, dan hanya suara mesin mobil yang terdengar di antara mereka.Leonard di kursi pengemudi tampak fokus, tapi pikirannya tidak sepenuhnya pada jalan di depannya. Sesekali, tatapannya melirik ke arah Ayla yang duduk dengan kepala sedikit tertunduk.“Kamu ingin makan sesuatu?” tanya Leonard akhirnya, memecah keheningan yang terasa menyesakkan.Ayla menggeleng pelan tanpa menoleh. "Tidak, terima kasih."“Kamu harus makan, kamu belum makan apa pun sejak semalam," tekan Leonard, nada suaranya sedikit menurun, namun tetap tegas. "Tubuhmu butuh nutrisi setelah apa yang terjadi."Ayla tidak menjawab. Ia tahu Leonard benar, tapi perutnya terasa berat. Semua emosi yang ia tekan sejak kejadian di apartemen terasa menyesakkan di dada.Melihat Ayla yang diam saja membuat Leonard semakin gusar. Pria itu bukan seseorang yang biasa berhadapan dengan kebisuan yang p

  • Rahim untuk Putri Tuan Presdir   25. Warna yang Tersisa

    Cahaya matahari menyusup masuk dari sela-sela jendela, menyentuh wajah Ayla yang masih terlelap di sofa. Udara pagi terasa dingin, tapi entah kenapa dada Ayla terasa lebih hangat daripada biasanya. Perlahan, kelopak matanya terbuka. Pandangannya masih buram sesaat, sebelum akhirnya ia sadar berada di ruangan yang asing.Dia butuh beberapa detik untuk mengingat kembali kejadian semalam. Raka membawanya pergi. Mereka menghabiskan waktu berbicara, atau lebih tepatnya—Ayla yang berbicara, dan Raka yang mendengarkan. Setelah semua yang terjadi, akhirnya ia bisa menumpahkan segala beban yang selama ini ia pendam sendiri.Ayla mengangkat tubuhnya dari sofa. Rumah ini terasa kosong, dan memang seharusnya begitu. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Raka. Sebagai gantinya, di atas meja kecil di dekat sofa, ia menemukan sekotak nasi yang masih hangat, beberapa lembar uang kertas, dan sebuah ponsel sederhana yang sepertinya milik Raka.Ada secarik kertas di sampingnya. Tulisan tangan Raka tertulis r

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status