Share

Perkenalan Berkesan

"Roti hangat rotiiii ... Roti hangat rotiiii ... baru mateng dua ribuan. Huyyyyy!" Teriakan khas Mang Dana lewat pengeras suaranya membuat Anggi menghentikan sejenak kegiatannya menyiram bunga sore ini.

"Mang!" Anggi melambaikan tangan, Mang Dana melihatnya dan menganggukkan kepala. Anggi bergegas memakai sandalnya namun motor si penjual roti terus melaju melewatinya dan berhenti di seberang rumahnya. Terpaksa Anggi harus menyeberang.

"Mang, kenapa disini berhentinya."

"Panas, Neng, biar teduh hehe ...."

"Si Mang, mah. Sinar matahari pagi bagus, lho, Mang."

Anggi bersemangat memilih roti-roti hangat berbagai rasa yang murah meriah harganya. Roti-roti mungil berwarna coklat mengkilap dikemas cantik tak kalah dengan roti berharga mahal. Salah satu kenikmatan hidup di desa. Dengan harga dua puluh ribu saja bisa dapat sepuluh roti.

Tiba-tiba pintu gerbang di depan tempat mereka bertransaksi terbuka, seorang pemuda keluar dan langsung tersenyum pada Anggi dan Mang Dana. Sekilas Anggi bisa melihat dari balik pintu gerbang, berdiri sebuah rumah mewah dua lantai dengan desain modern seperti yang biasa ia lihat di kota. Rupanya suara pengeras suara si penjual roti yang tidak dimatikan memancing si penduduk baru ini keluar.

"Hai ... kenalin, aku Angga." Pemuda itu langsung menyodorkan tangan saat melihatnya.

"Eh ... aku Anggi."

Sontak mereka berdua tertawa bersama karena kemiripan nama.

"Kamu yang tinggal di rumah seberang itu, kan?"

"Iya, betul, sekali-kali main ke rumahnya, atuh." Malah Mang Dana yang menjawab. Anggi hanya tersenyum salah tingkah.

"Biar aku saja yang bayar rotinya, ya," Angga membuka dompetnya.

"Eh, jangan! Ga usah." Refleks Anggi menolak.

"Gapapa, tanda perkenalan kita. Mumpung ketemunya pas beli roti yang harganya murah." Lagi-lagi mereka tertawa bersama. Keakraban langsung terjalin, Anggi bisa merasakan ia langsung suka pada pemuda itu.

"Semuanya rotinya sisa berapa lagi, Mang?" Pemuda itu membuka wadah roti.

"Ada sekitar 80 biji lagi, masih lengkap semua rasa."

"Saya beli semua ya, Mang."

"Alhamdulillah, nuhun ... nuhun ... terima kasih." Mang Dana bersemangat memasukkan semua roti ke kantong kresek dan menyerahkannya pada Angga.

"Hatur nuhun, Aa, semoga semakin banyak rejekinya. Semoga selalu sehat, enteng jodoh." Mang Dana kegirangan dan berkali-kali membungkukkan badannya.

"Amin. Iya, makasih doanya, Mang."

Setelah Mang Dana berlalu, Angga memberikan dua kantong kresek berisi roti itu pada Anggi," Aku titip sama kamu ya, ikut nyumbang buat acara tahlilan Yuyun. Pak RT tadi pagi datang mengundang. Tapi aku ada urusan ga bisa datang kerumahnya, tolong ya."

Anggi menatap pemuda itu dengan kagum.

"Terima kasih, ini sangat berarti."

"Sampaikan pada keluarganya, aku ikut berbelasungkawa."

***

Sejak saat itu hampir setiap hari Anggi dan Angga bertemu. Setiap kali pemuda itu akan pergi bekerja, ia pasti menghentikan mobilnya sejenak bila melihat Anggi ada di depan rumahnya. Pertemuan demi pertemuan membuat Anggi merasakan ada debar tak biasa dalam hatinya. Ia dengan semangat akan menyiram tanaman di depan rumahnya setiap pagi dan sore. Kadang ibunya yang sedang menyapu halaman pun ia gantikan. Berharap Angga keluar dan menyapanya walau hanya sebentar.

Sikap pemuda itu santun, tak ada kesan sombong seperti yang diceritakan teman-temannya. Ia mau menyapa siapa saja yang ditemuinya di desa ini. Bahkan setelah tahu Anggi dan ibunya membuka usaha katering, ia memesan banyak masakan dan kue-kue selama beberapa hari untuk menyumbang acara tahlilan Yuyun. Kadang ia bertanya kue apa saja yang bisa dibuat oleh Anggi dan ibunya, lalu ia memesan untuk dikonsumsi di rumahnya. "Di rumah tak ada yang bisa membuat kue seenak ini," ujarnya membuat perasaan Anggi melambung.

Sebenarnya Anggi merasa penasaran dimana pemuda itu bekerja. Hampir setiap hari ia hanya melihat mobilnya berangkat setiap pagi dan kembali sore atau malam hari. Kadang hari libur pun Angga tetap berangkat. Lalu kenapa ia pindah ke desa ini bila tempat kerjanya jauh di kota? Anggi merasa segan untuk bertanya, ia menunggu saat Angga akan bercerita sendiri padanya.

***

Kue-kue basah tradisional berbagai rasa telah terkemas rapi dalam kardus putih. Anggi menyusunnya di meja ruang tamu dan menunggu suruhan pak Burhan datang mengambil pesanannya. Ibu dan para pegawainya masih sibuk di dapur membuat pesanan lainnya.

Pak Burhan adalah juragan tanah yang cukup disegani di desa ini, hampir 75 persen sawah yang terhampar di desa adalah miliknya. Belum lagi kebun pisang dan kebun singkong yang dikelola masyarakat sekitar. Beberapa rumah di desa ini pun adalah miliknya, orang-orang desa mengontrak padanya.

Terdengar suara mobil berhenti, tampaknya suruhan Pak Burhan sudah datang. Anggi bergegas menyambut.

"Punten."

"Mangga."

Anggi tertegun, yang berdiri di depannya adalah Pak Burhan.

"Kirain bapak nyuruh orang lain buat ngambil kuenya."

"Saya sengaja datang sendiri, biar bisa ketemu Neng Anggi yang baru pulang dari kota. Kok belum main ke rumah Bapak?"

Anggi memaksakan senyumnya, sungguh ia tak suka berbicara dengan orang ini.

"Makin cantik aja, Neng. Suka ke salon ya di kota? Sudah punya pacar belum di kota?"

"Kuenya udah siap Pak. Semuanya sepuluh dus ya, saya masukkan ke mobil Bapak?" Berjuang mengatur nada suaranya agar tak terdengar ketus, Anggi berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Iya, taro di kursi tengah ya, sembilan dus saja. Yang satu dus buat Neng Anggi. Saya sengaja pesan lebih."

"Tak usah, Pak. Terima kasih."

"Rezeki tak boleh ditolak, ini kue ucapan selamat datang kembali di desa."

Kesabaran Anggi hampir habis, cepat ia memindahkan semua dus kue ke mobil pak tua yang genit itu. Semua ia masukkan, tak peduli walaupun orang itu bilang satu dus dihadiahkan untuknya. Bersyukur orang itu sudah membayar lunas semua pesanan pada ibunya. Anggi tak sudi bila harus menunggu beberapa menit saja untuk menerima pembayaran orang itu. Ia bernapas lega saat mobil Pak Burhan meninggalkan rumahnya. Sejenak ia berdiri di teras memperhatikan rumah Angga. Tak ada aktivitas disana.

"Bu, nanti kalau Pak Burhan pesan kue lagi jangan aku yang ngasih ya, bu. Mbak Asmi aja. Genit pisan, aku tak suka." Anggi nyerocos mengadu pada ibunya di dapur.

"Genit gimana? Mungkin ia cuma mencoba ramah."

"Dia sering pesan kue ke kita Bu?"

"Iya, anaknya kan banyak. Tiap ada yang ulang tahun atau lulus sekolah pasti pesan kue untuk acara syukuran."

"Jelas saja anaknya banyak. Istrinya kan tiga."

"Sudah. Jangan ngomongin orang. Kita hormati saja dia sebagai pelanggan kita ya."

"Kalau di kota orang beli kue udah lewat aplikasi Bu. Tinggal pesan lewat ponsel. Kita gak perlu ketemu orang-orang seperti Pak Burhan itu. Kita cuma ketemu kurirnya saja."

"Sabar ya." Ibu tersenyum lembut menenangkan Anggi.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status