Share

Awal Duka di Desa

Hampir sejam melewati jalan tol, perjalanan dilanjutkan lagi menggunakan angkutan kota juga selama satu jam. Anggi menyiapkan selembar uang lima ribuan dan selembar dua ribuan. Sejak ia naik angkot dari depan sebuah Rumah Sakit tadi hanya ada dua penumpang yang menaiki angkot ini. Ia dan seorang perempuan berseragam hijau yang turun di depan sebuah pabrik.

"Sepi ya, Neng." Sopir angkot seolah dapat membaca pikirannya.

"Iya, Mang. Apa tiap hari seperti ini?"

"Betul, Neng. Semenjak ada mobil dan motor yang bisa dipesan lewat aplikasi itu angkot jadi ga laku. Anak-anak sekolah aja seneng naik mobil dari aplikasi itu, mereka bisa patungan. Dan enak pake AC katanya." Mang sopir tertawa miris.

"Rezeki Mang pasti ada. Semoga banyak penumpang ya Mang."

"Amin, Neng. Rezeki kan sudah diatur Allah ya, Neng."

Angkot ngetem di sebuah pabrik lainnya, sebentar lagi jam pulang para pegawai pabrik. Anggi tak protes, toh iya juga tak terburu-buru. Ia ikut senang saat beberapa pekerja pabrik menaiki angkot yang ditumpanginya.

Tiba di terminal, ia masih harus melanjutkan perjalanan menggunakan ojek. Masih setengah jam lagi menuju desanya. Perlahan ojek yang ditumpanginya meninggalkan keramaian kota, Anggi menikmati sejuknya suasana desa, hamparan sawah dan pegunungan terpampang sangat jelas menyegarkan matanya.

Sebentar lagi ia akan memasuki desanya yang didominasi kebun bambu. Desa Cirangka, desa yang masih kental sifat gotong royongnya. Yang sebagian besar penduduknya masih lugu. Desa yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani dan penjual bambu, disini masih bisa ditemukan orang-orang yang menukar hasil kebunnya dengan beras, ataupun menukar beras dengan lauk pauk. Sistem barter yang mulai jarang ditemukan.

Setahun lalu Anggi lulus SMA, selama empat tahun ia tinggal bersama adik dari ibunya di kota Bandung. Ia dititipkan ibunya disana karena desanya hanya memiliki fasilitas sekolah hingga SMP. Sebenarnya ia berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Namun dua kali ia gagal dalam ujian saringan masuk ke perguruan tinggi negeri, hingga ia memutuskan untuk pulang kampung membantu ibunya yang membuka usaha katering kecil-kecilan.

"Eh Neng Anggi, akhirnya pulang kampung, Neng?"

"Damang, Neng?"

"Euleuh meni geulis anu tos ti kota."

"Udah punya pacar, Neng?"

"Bawa oleh-oleh apa itu, Neng?"

Celetukan para ibu-ibu tetangga yang berkumpul di warung dekat rumahnya riuh saat melihat Anggi turun dari ojek. Mereka berkumpul menikmati bakso Cuanki. Suasana khas di desanya. Jarak warung dengan rumahnya sekitar 30 meter, para ibu-ibu itu berteriak-teriak menyambutnya. Anggi tersenyum ramah pada mereka.

"Alhamdulillah ibu-ibu. Saya masuk dulu, ya."

Anggi membuka pagar rumahnya yang terbuat dari bambu, deretan bunga mawar, anggrek dan bunga sepatu kesayangan ibunya langsung menyambutnya.

"Assalamualaikum." Anggi langsung menuju dapur, aroma masakan sang ibu langsung membuatnya lapar. Tampak sang ibu dibantu beberapa tetangga tengah memasak berbagai macam pesanan makanan.

"Waalaikumsalam, Alhamdulillah kamu sudah datang, Nak."

"Ada yang hajatan, Bu?"

"Acara selamatan rumah Ibu Tarsih."

"Ibu Tarsih yang jadi TKW ke Arab?"

"Iya, dia sudah pulang."

"Sekarang dia kaya banget Neng. Gelang emasnya juga banyak dan gede-gede." Tiba-tiba saja Mbak Asmi—pegawai katering ibu— ikut menimpali. Anggi tersenyum. Di desanya ini perhiasan emas seseorang memang masih menjadi salah satu tolak ukur kesuksesan seseorang. Banyak ibu-ibu yang berlomba memakai sebanyak mungkin perhiasan bagaikan toko emas berjalan, bahkan seorang tetangga yang menjual emas secara kredit sukses mendulang rupiah di desa ini.

***

Sore ini Anggi berjalan berkeliling kampungnya melepas kangen. Saat baru keluar dari rumahnya ia baru menyadari di seberang rumahnya telah dibangun rumah yang besar dengan tembok tinggi di sekelilingnya. Pintu gerbang rumah itu tampak kokoh terbuat dari besi. Sepertinya rumah itu satu-satunya yang sangat tertutup di desanya. Bahkan Anggi hanya bisa melihat sedikit saja dari lantai dua rumah itu.

"Neng, panci presto nya, kasur palembang juga ada. Kalau ada yang kosong di Mamang bisa pesen. Boleh dicicil 10 kali, 20 kali juga bisa, sok Neng pilih."

"Ngga, Mang. Saya belum butuh apa-apa."

Anggi berhenti sejenak melihat kumpulan orang yang mengerumuni seorang tukang kredit. Bertukar kabar dan menyalami mereka. Pemandangan yang jarang ditemukan di kota besar, berbagai macam barang kebutuhan rumah tangga mulai dari gayung plastik hingga kompor gas disusun rapi dalam gerobak.

Pembayaran sistem cicilan ringan harian, hanya dengan lima ribu rupiah atau bahkan dua ribu rupiah perhari siapa saja bisa mendapatkan barang yang diinginkannya. Si penjual asyik mencatat pesanan di sebuah buku kecil, tas pinggang nya masih terbuka memperlihatkan tumpukan uang berbagai pecahan.

Anggi melanjutkan perjalanannya, akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan orang-orang desa yang tengah menonton anak-anak bermain bola. Jangankan kaos tim, anak-anak itu bermain tanpa sepatu, bola yang digunakan pun hanya bola plastik. Tempat mereka bermain hanya lapangan tanah tanpa rumput yang bergelombang tidak rata, gawang dibuat dari dua buah bambu yang ditancapkan.

Namun, mereka tampak sangat senang dan para penonton bersorak meriah. Suasana yang sangat dirindukan Anggi. Dari kejauhan ia melihat Siska, Yuni dan Lia sahabat kecilnya sedang membeli es cendol gerobak, bergegas ia pun mendekati.

"Anggiii ... !"

"Halo semua."

"Ga akan balik lagi ke kota, kan, Gi?"

"Ngga. Aku akan menetap disini sekarang."

"Eh Gi, ada orang baru lho di desa kita. Ganteng!"

"Oh ya?"

"Pindahan dari kota. Itu lho rumahnya yang di seberang rumahmu. Rumah yang paling besar."

"Aku belum melihatnya."

"Memang rada sombong, Gi. Jarang keluar."

Gosip khas anak muda, mereka pun hanyut dalam obrolan nostalgia. Hingga kemudian mereka dikejutkan dengan seorang anak yang berteriak-teriak meminta tolong.

"Tolong! Tolong! Teh Yuyun pingsan! Teh Yuyun pingsan!"

"Dimana? " Perhatian orang-orang langsung teralih pada anak itu.

"Hayu kesana!"

Permainan bola dihentikan, semua orang berduyun-duyun menuju rumah Yuyun.

Tiba di rumah Yuyun. Beberapa orang langsung memeriksa keadaan gadis yang tergeletak di lantai. Anggi dan ketiga sahabatnya juga merasa penasaran namun mereka hanya berdiri di luar pagar. Anggi memilih bertanya pada adik Yuyun.

"Kenapa si Teteh ?"

"Ngga tau. Pas saya pulang main udah kaya gitu ada di lantai." Bocah itu mulai menangis.

"Tenang, ya. Pak RT udah manggil dokter Puskesmas."

Yuyun dan adiknya hanya tinggal berdua di rumahnya. Orangtua mereka sudah lama tiada. Sang ayah mengalami kecelakaan kerja di pabrik sedangkan ibunya sakit-sakitan sepeninggal suaminya hingga ia pun meninggal dunia.

"Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji'un ...."

Tiba-tiba saja puluhan orang melafalkan ucapan yang sama, disusul suara tangisan. Anggi tercekat, perlahan ia berjalan memasuki rumah Yuyun. Tampak tubuh Yuyun sudah dibaringkan di kamarnya, Pak RT dan petugas Puskesmas terlihat sangat serius membicarakan sesuatu. Anggi tak bisa berkata apa-apa melihat teman kecilnya terbujur kaku dalam pelukan adiknya yang menangis histeris. Sekilas ia melihat ada rona biru di leher Yuyun.

Seluruh warga desa langsung bahu membahu mengurus persiapan pemakaman Yuyun. Beberapa pemuda sudah ditugaskan memberitahu keluarganya di desa lain. Suasana duka langsung menyelimuti desa. Semua mengatakan sepertinya Yuyun jatuh dan terbentur keras. Ada keraguan di hati Anggi. Ingin ia mengusulkan otopsi. Namun semua perangkat desa mengatakan untuk segera menyelesaikan prosesi pemakaman dan lebih fokus membantu adik Yuyun.

***

Note :

Neng = panggilan untuk gadis (Sunda)

Damang = sehat

Geulis = cantik

Comments (1)
goodnovel comment avatar
lmirachma
"awal duka"? segini baru awal udah ada yang meninggla aja T_T
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status