Yui mendekap erat Yuan dalam pelukannya. Dia merasa akan hanyut terbawa air setiap kali matanya melihat lautan. Kilauan air yang terlihat tenang justru membuat pikiran Yui melanglang buana, dia memikirkan binatang buas di laut dalam, gelombang besar yang akan menerjang tiba-tiba dan segala sesuatu yang bisa saja terjadi. Bulu kuduk Yui meremang, bergidik memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi apalagi saat ini mereka tengah berada di lautan lepas.“Tidak perlu takut, Putri Yui.” Yoru yang sepertinya tahu ketakutan Yui yang kini berada di atas kereta luncur tampak memberikan senyuman untuk menenangkan. Dia ingin mengulurkan tangan atau sekadar memberikan belaian untuk menenangkan. Jika saja mereka hanya berdua, pria ini mungkin sudah memeluk sang putri. Namun, saat ini dia hanya bisa menjaga dari tempatnya menghela napas panjang karena sepasang mata menatapnya penuh kecurigaan. Xavier masih belum bisa memercayai dengan Yoru.“Apa esnya cukup aman? Tidak akan patah atau ret
Lixue mengetuk pintu sebuah rumah, lalu mereka menunggu pemilik rumah keluar. Rumah yang berada di antara kepungan hutan dan sebuah danau besar tak jauh dari tempat itu. Sebuah rumah sederhana yang terlihat tidak permanen dan satu-satunya hunian yang mereka temui selama berjalan di tengah gempuran hujan salju yang turun tak bersahabat.Mata Yui membulat dan muluttnya menganga saat pintu dibuka dan menampilkan sosok yang dia kenal. “Nenek Rachel!”Wanita dengan rambut hitam yang diikat sembarangan dan terlihat acak-acakan itu juga menatap Yui seakan tidak percaya dengan penglihatan matanya. Beberapa kali dia mengucek matanya memastikan yang dia lihat siungguh nyata.“Yui!” seru Rachel langsung menarik gadis itu untuk masuk. “Kalian juga, ayo masuk!” lanjut Rachel membuka lebar pintu rumahnya, mempersilakan tamunya untuk duduk di dekat perapian.“Pasti kalian melakukan perjalanan sulit, sudah satu minggu ini salju turun tanpa henti,” ucap Rachel terlihat sibuk ke arah dapur lalu kembali
“Xavier!” Rachel berlari ke arah pria yang terjatuh di lantai. Yoru membantu Rachel membawa pria itu dan meletakkannya di kursi panjang yang ada di ruang tamu. Sementara Lixue cepat-cepat menutup pintu yang terbuka. Angin dingin masuk ke dalam rumah dan mengakibatkan api di perapian mengecil. Lixue menambah kayu di perapian supaya udara lebih hangat.“Bisakah kau ambilkan baskom dan air?” pinta Rachel kepada Lixue setelah melihat anggukan dari Lixue, wanita itu berjalan dengan cepat lalu kembali dengan sebuah kotak di tangannya. Dia membuka kotak yang berisi peralatan dan juga beberapa botol kaca dan benda-benda kecil yang terlihat seperti obat.“Terima kasih Lixue,” ucap Rachel mengambil kain dan membersihkan luka-luka pria tersebut. Tangan dan kaki Xavier penuh luka, beberapa luka menganga mengeluarkan cairan merah kental yang sebagian sudah mengering.“Siapa yang mengejar kalian?” tanya Rachel tanpa menoleh sedikitpun ke arah Yoru maupun Lixue, dia fokus membersihkan luka-luka di t
Ergions, sebuah wilayah yang dihuni oleh Elf. Sebuah benua yang terpisah dari benua utama. Hanya ada dua bagian di wilayah ini, Ergions dan Woodclift. Tanah para elf berupa hutan lebat yang tidak terjamah oleh manusia termasuk orang-orang Woodclift meskipun berada di satu wilayah yang sama, satu benua yang sama.Seorang pangeran Elf tengah bernyanyi dan memainkan harpa. Sebuah harpa yang memiliki kekuatan ajaib yang mampu menumbuhkan berbagai macam tanaman dan memberikan kesuburan tanah, separah apa pun kondisinya.“Kenapa berhenti?” Moura Elwood, gadis yang menjadi jiwa dari pohon kehidupan menatap Lou Sherwood, sang Pangeran Elf.“Kau sudah cukup subur, satu hingga tiga abad pun pohon ini masih akan berdiri kokoh,” ucap Lou Sherwood. Dia terlihat bosan dan meletakkan harpanya serta berhenti bernyanyi.“Kita sudah membicarakan ini ribuan kali, Pangeran Lou,” ucap Moura.“Sekali saja, hanya sekali,” pinta sang pangeran menatap ke arah Elf terpilih.Moura Elwood, salah satu elf terpili
Rasa penasaran membuat Pangeran Lou terus mencari informasi tentang celah dimensi. Dia berkeliling kota Avari untuk mendapatkan informasi. Sesekali dia mengagumi arsitektor kota yang menyatu dengan alam, sangat indah. Pohon-pohon besar dengan rumah yang menempel di pohon tersebut, juga keindahan rumah pohon yang benar-benar rumah pohon dengan pohon yang masih hidup.“Aku benar-benar iri,” gumam Pangeran Lou melihat semua yang dia lihat di Kota Avari.“Apa yang membuatmu iri, Pangeran?” Seorang wanita dengan gaun sewarna daun mint berada di sebelahnya. Gaun indah dengan butiran kemilau intan membuat gaun itu terlihat mewah, begitu pula sebuah mahkota yang bertengger di atas kepalanya.“Ratu Esmeralda!” seru Pangeran Lou yang kemudian membungkuk memberi salam. “Maafkan atas kelancangan saya,” lanjut Pangeran Lou.“Ada yang ingin Pangeran tanyakan?” tanya Ratu Esmeralda, seakan bisa membaca pikiran sang ratu berjalan dengan anggun dan mempersilakan sang pangeran untuk duduk dalam jamuann
Lou Sherwood mulai membuka matanya. Hal pertama yang dia lihat sebuah langit-langit kamar yang tinggi. Ornamen serba putih yang terlihat elegant. Lalu hawa dingin yang menyentuh kulitnya terasa begitu nyata.“Aku masih hidup,” gumamnya.Dia menoleh ke samping, pemandangan yang tak kalah elok terlihat jelas. Seorang wanita dengan rambut putih sepih salju mengenakan gaun tebal dengan bulu-bulu binatang di bagian leher. Dia terlihat begitu anggun saat berjalan dengan rambut panjang yang terjalin begitu rapi dan indah. Mata biru sapphire menatap dirinya, kedua pasang mata itu terkunci dalam satu tatapan yang sama.“Kau sudah siuman, syukurlah,” ucap wanita itu mendekati Lou“Apa ini di surga?” tanya Lou yang hanya terpikir satu tempat indah dengan bidadari.“Ini Istana Es, Anda ditemukan terluka dan tabib sudah mengobati luka-luka Anda,” jawab wanita itu dengan suara lembut yang indah. Seakan sebuah lonceng berbunyi, berdentang begitu merdu mengalunkan nada-nada yang disebut cinta. Gelora
Lixue berdiri menghadap danau yang telah beku, jika saja dia tidak hafal tempat itu mungkin saja dirinya akan menginjak lapisan tipis es di permukaan danau dan berakhir tenggelam.“Bagaimana mengeluarkan Eirlys,” gumam Lixue. Dia teringat dengan percakapan yang dilakuannya dengan Yuan semalam.“Apa kau sudah baik-baik saja? Aku ingin bicara.” Lixue menatap Yuan secara langsung setelah mereka semua selesai makan malam. Semua mata memandang mereka.Yuan mengangguk, lalu mereka berdua berjalan menjauh dari yang lain. Rachel memanggil keduanya lalu memberikan sebuah tempat untuk mereka berdua berbicara, kamar yang terlihat seperti ruang kerja. Terdapat satu meja besar dengan tumpukan buku lalu beberapa kursi, rak yang dipenuhi buku-buku tersusun rapi. Beberapa benda-benda yang terlihat kuno tertata rapi di rak lain. Rachel membawakan minuman hangat lalu keluar dan mempersilakan mereka berdua berbincang di ruang itu.“Dia cukup baik,” ucap Lixue mengambil cangkir yang berisi minuman hangat
Yuan memandangi danau bersama dengan Xavier. Mereka berkeliling dan mencari sesuatu yang mungkin memiliki petunjuk. Apapun yang menarik dan terlihat aneh tidak luput dari perhatian mereka.“Bagaimana bisa Lixue tidak tahu caranya,” ucap Xavier sembari melempar kerikil yang dia temukan ke arah danau. Kerikil tersebut tidak tenggelam karena lapisan tipis es di atas permukaan danau.“Esnya tidak tebal, bukankah seharusnya es di danau cukup tepal selama waktu yang begitu lama?” gumam Yuan. dia merasa aneh dengan permukaan es yang tipis di atas danau.Bayangan yang muncul dari balik pohon menyita perhatian Xavier dan juga Yuan, seorang wanita dengan keranjang penuh tanaman tiba-tiba muncul dan bergabung dengan mereka.“Itu karena beberapa waktu lalu musim berganti, kau tahu meskipun selalu tertutup es ada kalanya tempat ini sedikit hangat dan air danau mencair. Kami bahkan pernah menyelam sampai ke dasar danau,” sahut Rachel menyambung pembicaraan mereka.“Tidak ada istana di bawah?” Yuan