“Apa kau ingin menipu kami?” Razen menatap Leiz, sudut bibirnya tertarik sedikit seakan dia sedang mendapatkan sesuatu yang menarik.
Sementara pria dengan jubah menjuntai dan rambut yang sudah mulai berubah warna tersenyum ramah menatap Razen penuh arti.
“Apa yang kau pikirkan, Jenderal Razen?” Leiz nampak santai dengan ucapan Razen.
“Bunga itu, yang kau lakukan bukan pemurnian!” ucap lantang Razen hingga terdengar ke jelas. Aula menjadi riuh oleh suara-suara bisikan para tamu undangan.
“Kalau begitu seperti apa pemurnian yang benar? Sudah 200 tahun dunia ini tidak tersentuh kekuatan raja,” balas Leiz.
Pria ini sengaja, dia sengaja ingin menjebak Yuan untuk menunjukkan kekuatannya. Dia tahu kontaminasi di sekitar istana tidak akan bisa dimurnikan dengan kekuatan Yuan saat ini. Pekatnya kontaminasi bahkan membuat udara di sekitar istana terasa berat.
Razen menatap Yuan, dia merasa salah langkah dan terlihat gugup dengan ucapan Leiz. Sorot matanya mengisyaratkan permintaan maaf dan dibalas anggukan oleh Yuan. Para tamu undangan pun tertarik melihat pemurnian yang dibicarakan.
Yuan menghela napas panjang, membalas setiap mata yang menatap lalu mulai berbicara, “Saya tidak bisa memurnikan kontaminasi di istana ini. Kekuatan pemurnian saya belum cukup kuat,” Suara Yuan terdengar bergetar, dia ragu sesaat sebelum melanjutkan. “Saya pernah mendengar cerita tentang sebuah harpa yang bisa mengembalikan kesuburan tanah, jika kekuatan harpa itu digabungkan dengan pemurnian saya, dunia ini bisa terselamatkan,” ucap Yuan dengan lantang. Dia begitu yakin cerita tentang harpa itu bukanlah dongeng belaka
Leiz menarik sudut bibirnya, “Bagus, dia pasti mendengarnya,” batin Leiz saat Yuan menyinggung soal harpa.
“Harpa?” Leiz berpura-pura tidak mengerti tentang apa yang dikatakan Yuan.
“Harpa peninggalan para elf, dengan kekuatannya, saya yakin bisa mengembalikan dunia ini!” balas Yuan dengan lantang penuh percaya diri.
Leiz tersenyum senang saat udara mulai berubah. Angin terasa lebih dingin, para tamu undangan mulai mengeratkan tangan mereka ke arah tubuh, sebagian menggosok kedua tangannya dan meniupnya untuk tetap mendapatkan kehangatan.
“Kenapa tiba-tiba terasa dingin?” Salah satu dari mereka melihat perubahan suhu yang begitu cepat, dia juga melihat ujung jendela mulai membeku. Perlahan orang-orang berhenti melakukan aktivitas, mereka terdiam bagai patung seakan waktu telah terhenti.
“Kau yang menginginkan harpaku,” gumam seorang pemuda yang bersembunyi di belakang kursi singgasana. Nanar matanya memburu, dia berdiri dan berjalan perlahan ke arah Yuan.
Yuan melihat sosok yang tak asing di matanya, sosok yang pernah dia dengar dalam sebuah kisah. Pemuda dengan rambut putih dan mata hitam sekelam malam. Pemuda itu terlihat sama persis seperti yang diceritakan Rafael.
“Kau menginginkan harpa?” Pemuda berambut putih itu berjalan mendekati Yuan melewati Leiz yang telah membeku begitu pula Razen dan orang-orang di dalam aula. Dia kini berada di depan Yuan. Mereka berhadapan. Angin dingin menerpa rambut dan kulit Yuan.
“Lixue?” ucap Yuan lirih.
"Jika dia Lixue, artinya harpa itu memang ada," batin Yuan mulai berjalan mundur seiring dengan langkah kaki Lixue yang berjalan ke arah Yuan.
“Apa kau yang mengirim orang-orang itu?” Lixue bertanya tentang kejadian yang menimpanya, dia tidak tahu kejadian itu sudah berlalu ratusan tahun yang lalu. Mata mereka berdua bertemu, kedua mata hitam yang berbeda bentuk itu saling menatap.
Yuan menggelengkan kepalanya.
"Apakah kau Lixue?" tanya Yuan. Pemuda dengan rambut putih seputih salju itu mengangguk.
"Rupanya kau memang mengincar harpaku," ucap lirih Lixue saat merespon pertanyaan Yuan.
“Di mana harpa itu?” tanya Yuan tanpa berpikir, dia hanya ingin secepatnya mengembalikan dunia ini.
Lixue yang menyimpan luka akibat perburuan harpa menganggap pemuda dengan pakaian bangsawan di depannya adalah dalang dari perburuan tersebut. Matanya menyipit, gemuruh dalam dadanya semakin memuncak.
"Karenamu aku kehilangan mereka!" teriak Lixue seiring dengan aliran angin yang menjadi lebih kencang. Tangan Lixue mengepal. Aliran energi terkumpul di tangan pemuda yang kemudian diarahkan untuk menyerang Yuan.
Mata Yuan terbelalak dengan serangan mendadak. Dia tidak siap dan mundur beberapa langkah, lantai yang licin akibat lapisan tipis es membuat langkah kakinya tidak seimbang sehingga dia terjatuh.
"Celaka," gumam Yuan memejamkan mata karena tahu tidak akan bisa menghindari serangan Lixue.
"Yuan!"
Suara nyaring seorang gadis membuat gerakan tangan Lixue terhenti. Sebuah kobaran api berwarna merah menyerang Lixue. Pemuda itu melompat ke belakang untuk menghindar.
Lixue memperhatikan gadis yang tiba-tiba menjadikan dirinya tameng dan melindungi Yuan. Gaun cantik serba hitam yang kontras dengan sayap merah membara di punggungnya. Wajahnya sama persis dengan Yuan. Saat melihat gadis ini bayangan Eirlys hadir.
"Eirlys," gumam Lixue mengingat kembali adiknya.
Kenangan pedih itu justru membuat kekuatan Lixue meningkat hingga sebuah badai muncul. Lixue yang masih terjebak dalam kenangan lama tidak memperhatikan sekitarnya.
"Yuan, kita harus menghentikannya!" Yui membantu Yuan berdiri dan pangeran muda itu memanggil Salamander serta Undine miliknya. Yui pun memanggil Rafael, tidak ada jawaban dari Rafael membuat gadis cantik ini menoleh dan mencari sosok Rafael. Matanya menatap pria jangkung yang kini telah membeku.
"Paman!" Yui mendekati Rafael, menyentuh tubuhnya yang sedingin es. Dia mengedarkan pandangan dan semua orang juga mengalami hal yang sama, hanya dia dan Yuan yang tidak membeku.
Lixue yang mengenang kembali saat kehilangan Eirlys dan ibunya menjadi lepas kendali, dia membuat badai salju memenuhi aula semakin kuat.
Sementara itu Salamander berusaha mencairkan orang-orang yang membeku, tetapi gagal. Begitu pun dengan Marina, undine yang memiliki kekuatan air.
"Pangeran Yuan, panggil Krisan," teriak Marina. Spirit air itu kesulitan menetralkan es yang bercampur angin kencang.
Yuan mengangguk dan menggerak tangannya, cahaya putih berkilau lalu Slyph muncul. Krisan segera meredam angin yang dibuat Lixue. Tabrakan kekuatan Slyph dengan Lixue membuat kekuatan es Lixue terpencar. Saat kekuatan Lixue mulai memudar waktu pun bergerak kembali. Pecahan-pecahan es yang berterbangan ke segala arah mengenai beberapa tamu undangan dan melukai mereka.
"Yui!" Rafael yang melihat pecahan es tajam di belakang Yui segera menarik gadis itu dan menggunakan badannya untuk melindungi Yui dari pecahan es. Serpihan es tajam tersebut menusuk bagian dada Rafael. Rasa dingin merasuk bagai jarum es menembus kulit. Rafael mengabaikan rasa sakit yang dia rasakan dan segera menarik Yui.
"Kita harus pergi dari sini," bisik Rafael.
Belum sempat mereka meninggalkan aula tiba-tiba terdengar suara lantang entah dari mana.
"Apa seperti ini pemurnian?!"
Tanpa tahu siapa yang bersuara, semua mata tertuju pada Yuan.
"Bukan aku!" seru Yuan mengelak atas tuduhan itu. "Ini bukan pemurnian, tadi ada Lixue …." Yuan terdiam saat menyadari Lixue sudah tidak ada di aula. Hanya ada dia dan Yui yang tengah mengendalikan makhluk panggilannya.
"Usir saja dia dari sini!"
"Benar, dia hanya merusak!"
"Tangkap dan masukkan ke penjara!"
Teriakan dari para tamu undangan satu demi satu terdengar memojokkan Yuan. Sementara Yuan masih mencari Lixue.
"Ke mana dia," gumam Yuan.
Rafael datang dan menarik Yuan bersamanya tanpa sempat bertanya pangeran muda itu mengikuti Rafael. "Kita pergi sekarang!" ajak Rafael.
Derap langkah kaki-kaki serta suara senjata bergesek terdengar. Pasukan yang ada di istana menutup pintu keluar. Melihat Rafael dan kedua anak kembar di hadang, Razen menggunakan kekuatannya untuk mendobrak pintu tersebut. "Pergi sekarang!" teriak Razen. Pasukan yang menghadang terjerat sulur-sulur yang dikendalikan Razen sehingga celah tersebut dimanfaatkan Rafael.
"Fury!"
Seekor naga hitam meluncur. Rafael bersama Yui dan Yuan menaiki naga tersebut dan melesat membumbung ke atas awan. Pasukan pemanah mengarahkan anak panah untuk menghentikan naga itu. Namun, ratusan anak panah hitam menjatuhkan anak-anak panah yang akan menyerang Rafael.
Leiz memukul angin dengan kesal saat melihat Rafael terbang bersama dengan kedua anak kembar tersebut. "Sial, mereka lolos."
Yui dan Yuan berdiri di luar dinding istana, hembusan angin lembut membelai rambut mereka. Jemari mereka dengan hati-hati menaburkan benih-benih ajaib dari dunia atas ke tanah yang dahulu gersang. Di bawah sentuhan mereka, dunia bawah yang dulunya kelam kini dipenuhi berbagai warna—hijau rumput yang merayap, kuning keemasan bunga-bunga liar, segala macam tanaman mulai mengular dari dalam tanah. Yui menoleh, alisnya berkerut melihat saudaranya. "Yuan, kau tidak apa-apa?" tanyanya, memperhatikan kembarannya yang tengah memainkan harpa keemasan—benda legendaris yang diperebutkan banyak makhluk.Yuan menggeleng pelan, jemarinya masih menari di atas senar harpa. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat, matanya tetap terfokus pada alat musik di tangannya.Kebangkitan Yuan beberapa waktu lalu sungguh menggemparkan seluruh kerajaan. Bukan hanya wujudnya yang telah berubah sempurna sebagai raja kegelapan, tetapi juga reaksi tidak biasa dari harpa ajaib tersebut. Harpa keemasan itu bersinar terang,
Cahaya keemasan menyusup di antara dedaunan saat Raja Arlen membimbing Yui menyusuri jalan setapak menuju area tidak jauh dari Pohon Kehidupan. Angin lembut menerbangkan helaian rambut Yui, sementara matanya menangkap sosok Rafael yang tengah berbincang serius dengan Moura di kejauhan, wajah keduanya tampak khidmat di bawah naungan cabang-cabang raksasa."Sebelah sini," ujar Raja Arlen sambil menunjuk dengan jemarinya yang panjang dan ramping. Jubah kerajaannya berdesir lembut menyapu rumput saat ia memimpin Yui menuju sebuah pondok mungil yang hampir tersembunyi di balik rimbunnya aneka bunga warna-warni. Aroma manis nektar merebak di udara, menggelitik indra penciuman.Pintu pondok terbuka dengan derit pelan. Seorang pria melangkah keluar, mengenakan tunik berwarna lumut khas kaum elf yang melekat sempurna di tubuhnya. Namun, tidak seperti para elf lainnya, telinga pria itu tidak meruncing dan wajahnya tidak memancarkan keanggunan abadi yang biasa dimiliki kaum elf."Yoru!" pekik Y
Yui mendarat dengan lincah setelah melompat dari punggung Fury, naga hitam milik Rafael. Rambut panjangnya melambai tertiup angin saat kakinya menyentuh tanah. Matanya berbinar melihat sosok yang telah menunggunya."Kakak!"Yui menghambur ke pelukan Yuasa, jemarinya mencengkeram erat jubah sang kakak sementara aroma khas dedaunan segar menguar dari tubuh Yuasa. Mata keduanya berkaca-kaca, pertemuan yang menggetarkan jiwa setelah sekian lama terpisah."Kau baik-baik saja, Yui? Bagaimana tubuhmu setelah bangkit kembali?" tanya Yuasa sambil meneliti setiap inci wajah adiknya. Jemarinya yang ramping menyentuh pipi Yui, memancarkan energi keemasan yang menelusuri setiap sel dalam tubuh sang adik. "Setelah semua ini selesai, biarkan kakak menyembuhkanmu."Dahi Yuasa berkerut dalam. Sensasi dingin menjalar dari tubuh Yui—sesuatu yang sangat janggal. Api Suzaku yang seharusnya berkobar hangat kini terasa beku seperti es abadi."Tentu, untuk saat ini kakak fokus saja dengan pernikahan. Urusan
Malam di Kota Naga. Bintang-bintang bertaburan seperti permata di langit malam Kota Naga. Rafael berdiri sendirian di balkon gedung tertinggi, kedua tangannya mencengkeram pagar besi yang dingin sementara matanya menelusuri konstelasi-konstelasi yang berkilauan. Hembusan angin malam meniup rambut gelapnya, mengirimkan sensasi dingin yang menusuk tulang, namun Rafael tak bergeming.Suara langkah kaki lembut terdengar di belakangnya. Rafael menoleh, alisnya terangkat saat mengenali sosok yang mendekat."Yuichi?"Sosok itu tersenyum. Wajahnya merupakan versi maskulin dari Yui, garis rahang yang sama, mata yang sama, tetapi dengan ketegasan yang hanya dimiliki seorang ayah."Sendirian?" tanya Yuichi, suaranya merdu membelah keheningan malam.Rafael mengangguk pelan, lalu menggerakkan tangannya ke arah kursi kosong di sampingnya. Yuichi melangkah maju dan duduk, jubah hitamnya melambai pelan tertiup angin."Malam ini indah meskipun tanpa bulan," ucap Rafael, matanya kembali menatap cakraw
Bunga putih mungil bertebaran di aula, mirip kepingan dandelion yang rapuh. Setiap tamu berjalan perlahan, meletakkan bunga kecil tanda penghormatan terakhir. Bunga-bunga itu mencerminkan ketangguhan luar biasa, seperti kehidupan yang bertahan di balik kerasnya dunia bawah, membisu namun tak terkalahkan. Mereka menyebutnya bunga bintang roh. Eirlys menatap Yuan yang terpejam, sosoknya tenang seakan tertidur lelap. Alunan harpa mengalir lembut memenuhi aula, melukiskan kesedihan yang mencekam setiap sudut ruang. Matanya menyipit saat menyadari bunga putih di dekat Yuan mulai membeku, embun es merangkak perlahan mengubah kelopak menjadi kristal dingin. Hawa sejuk mulai merambat, menusuk tulang."Mungkinkah?!"Dalam sekejap, Eirlys bangkit dari tempatnya. Langkahnya cepat mendekati peti kaca tempat Yuan dibaringkan. Jemarinya mendorong penutup tebal dengan tekad membara. Jantungnya berdebar dengan kencang, sebuah api harapan muncul. "Putri Eirlys, relakan Yang Mulia!" Xavier bergerak c
Senar harpa emas kaum elf bergetar lembut, berbeda dari instrumen biasa. Energi yang digunakan untuk menggerakkan senar ini sangat banyak. Eirlys membiarkan jemarinya terkulai di atas senar, tenaga terampas habis. Napasnya terengah-engah, seakan udara di sekitarnya menghisap oksigen dari paru-parunya."Eirlys!" Lixue melompat mendekati, gemetar mengambil harpa keemasan dari tangan sang adik. Dengan lembut, dia meletakkan instrumen berkilau itu di meja terdekat. "Istirahatlah sekarang." Lengannya melingkari pinggang Eirlys, memapah tubuh lemah itu menuju kursi panjang. Dengan hati-hati, dia mengangkat kaki adiknya dan membiarkan Eirlys setengah berbaring."Kak, bagaimana Yuan?" bisik Eirlys, kekhawatiran menembus kelelahan yang menyelimutinya.Lixue menggenggam tangan adiknya, mencoba menenangkan. "Dia akan baik-baik saja. Ingat, Tuan Xavier dan Tuan Ernest sedang menyiapkan ramuan untuknya." Dalam hati, dia berdoa agar takdir berkata lain. “Semoga Yuan bertahan, setidaknya biarkan Eir