Yuan menghentikan aktivitasnya setelah mendengar suara derap langkah kaki kuda. Dia mendongak untuk melihat siapa yang datang sepagi ini. Matanya tertuju pada panji-panji yang berkibar. Di bagian paling depan, dua pria berpakaian kontras hitam dan kehijauan. Yuan mengenali keduanya sebagai Jenderal Razen dan Xavier.“Siapa mereka?” Yui yang berada di samping Yuan ikut penasaran. Kereta kuda tersebut melaju dengan kecepatan sedang di kawal dengan pengawal yang mengenakan seragam senada dengan warna panji-panji mereka.“Bukankah itu lambang Pertanian Besar?” Yuan menunjuk salah satu panji yang dia kenal.Keduanya berlari menuju ke gerbang Kediaman Blackdragon. Mereka berdua berhenti dan bergabung dengan Rafael yang sudah berdiri di dekat gerbang. Mereka bertiga menyambut tamu yang datang terlalu pagi. Jenderal Razen dan Xavier turun dari kudanya kemudian memberi salam. Selanjutnya mereka yang berada di dalam kereta kuda turun kemudian memberi salam bersama dengan para pengikutnya. Pelay
“Kalian berdua suka membaca buku ‘kan, pergilah ke perpustakaan,” ucap Alden sembari mengulurkan sebuah token ke arah Yuan. Mereka membawa Rafael dan meninggalkan dua anak kembar yang tidak diperbolehkan ikut.“Lagi-lagi,” gerutu Yui setelah tidak melihat ketiganya di depan mata.“Yui, ayo ke perpustakaan,” ajak Yuan menarik lengan gadis manis di sebelahnya.“Untuk apa? Lihat mereka! Hanya karena kita belum dewasa lalu ....”Yuan menarik Yui dengan paksa dan sedikit menyeret gadis itu, dia tidak peduli dengan kembarannya yang meronta dan berusaha melepaskan pegangan tangannya. Seakan sudah dipersiapkan, seorang pelayan membukakan pintu kereta kuda. Dua orang pengawal berada di sisi kanan dan kiri kereta kuda tersebut.“Silakan, Pangeran dan Putri,” ucap ramah pelayan tersebut.Mata gadis manis itu menatap tajam kemudian memalingkan muka dan mendengkus.“Ke perpustakaan kota,” pinta Yuan dan kusir kereta tersebut menjalankan kereta.“Yuan!” teriak Yui dengan kesal.“Aku tahu kau ingin
Suasana hening, baik Yui maupun Yuan terdiam. Mereka mendengar langkah kaki mendekat dan penjaga perpustakaan mendekat. “Kalian masih punya waktu setengah jam lagi,” ucap penjaga perpustakaan yang langsung pergi kembali setelah memberikan peringatan tersebut. Yuan membuka lembar terakhir buku yang dia baca lalu menyobek kertasnya. “Apa yang kamu lakukan!” protes Yui melihat tindakan Yuan yang tidak bisa dibenarkan. “Aku tidak akan ingat, Yui ini penting,” balas Yuan melipat kertas tersebut lalu menyelipkannya di saku baju. “Yuan, kembalikan!” Yui mencoba mengambil kertas yang diambil Yuan, keduanya saling mempertahankan kehendaknya. “Kembalikan!” seru Yui meminta Yuan mengembalikan kertas tersebut. “Yui, disalin pun aku mungkin tidak bisa menulisnya dengan benar, akan kuceritakan nanti. Lagipula penjaga bilang jangan membawa keluar buku, bukan lembarannya,” ucap Yuan mencari pembenaran atas apa yang dia lakukan. “Yuan!” seru Yui geram. “Kita harus cari tahu tentang paman,” ba
Sebuah tangan kekar menyambut Yui saat menuruni kereta kuda. Gadis itu mengerjap beberapa kali memastikan yang ada di depannya bukanlah bayangan semata.“Paman, kau baik-baik saja?” Yui menatap pria dengan rambut hitam cepak di depannya. Tanpa perlu menjawab pria itu hanya tersenyum.“Kalian berdua pergilah duluan ke tempat latihan, tunggu paman di sana,” ucap Rafael saat salah satu pengawal mereka terlihat memberi kode.“Baik!” balas serempak kedua anak kembar yang langsung berlari ke tempat yang disebutkan Rafael.Tanah lapang dengan rumput hijau tipis, sebuah pohon besar dan aliran sungai kecil yang terlihat jernih. Tempat mereka berlatih merupakan bukit kecil yang berada di belakang kediaman Blackdragon. Kedua anak itu tertarik dengan aliran sungai dan bermain di sana karena bosan menunggu Rafael yang tidak kunjung datang.“Yuan, airnya jernih, apa kau menghilangkan kontaminasinya?” Yui memainkan air dengan kakinya, berjalan perlahan merasakan aliran air yang menggelitik ujung-uj
Angin kencang berhembus, menghempaskan segala yang diterjangnya. Lixue menyugar rambut putih saljunya untuk melihat pemandangan yang tak asing di depan mata. Danau yang dulu menemani hari-harinya kini tak lebih dari hamparan es tipis yang menandakan perairan beku.Pemuda itu menyentuh permukaan danau yang telah beku. Sekelabat bayangan kebersamaan bersama dengan Eirlys kembali muncul. Adik kesayangannya itu terus saja tersenyum dan mengikutinya hingga akhir, hingga dia terpaksa melepaskannya pada hari itu. Hari dimana semua berakhir tragis.“Eirlys,” gumam Lixue menyentuh air danau yang kini semakin tebal lapisan esnya akibat kekuatan es.Seorang pria mendekati pemuda yang kini terdiam mengamati danau beku di depannya. Dia memiliki rambut hitam yang kontras dengan rambut Lixue. Tanpa kata, dia hanya berdiri di sebelah pemuda itu.“Mau apa, kau Blackdragon?” tanya Lixue yang mengenali pria di sebelahnya. Wajahnya sama dengan Rafael, hanya berbeda pada kerutan tipis dan juga kumis tipis
Kedua anak tersebut duduk berdampingan sambil berbisik di ruang baca. Sebuah ruangan yang disediakan untuk membaca. Di sebelah ruangan tersebut terdapat sebuah perpustakaan keluarga Blackdragon. Yui dan Yuan sedang menunggu Rafael mengambil buku. “Liontinnya berpendar, aku melihat gambaran seorang gadis,” ucap Yui menunujukkan sebuah liontin yang terasa dingin seperti es. “Kau yakin seorang gadis, bukan Lixue?” tanya Yuan memastikan. Yui menggelengkan kepalanya. “Seorang gadis, rambutnya putih seperti Lixue mungkin dia Eirlys, adik Lixue,” tebak Yui. Dia hanya tahu ada tiga orang yang memiliki rambut putih seputih salju di dunia bawah, Lixue, Eirlys dan ibu mereka Fey Varsha. “Ngomong-ngomong kenapa paman lama sekali?” Yuan menatap pintu masuk beberapa kali dan tidak melihat sosok yang seharusnya menemani mereka malam ini. “Benar juga,” ucap Yui. Keduanya sepakat untuk mencari Rafael. Perpustakaan berjarak tidak jauh dari ruang baca dan mereka berjalan bersama menyusuri lorong an
Rafael menghela napas berat, dia menutup matanya seakan sedang berpikir sesuatu. Sesaat kemudian pria jangkung itu memijit pelipisnya dan mengerutkan kening. Dia juga sedikit membungkuk dari duduknya dan tampak kesakitan.“Paman!” Yui mendekati Rafael dan menyentuh pundaknya.“Tidak apa-apa,” jawab Rafael. Perlahan dia melepaskan tangannya dari pelipis dan menoleh ke arah Yui.“Sedang apa kau di sini?” tanya Rafael dengan alis terangkat dan nada ketus.“Eh?!” Yui tersentak dan mengangkat kedua tangannya yang berada di pundak Rafael.Rafael beranjak berdiri lalu mengambil buku-buku yang berserakan di lantai. “Ternyata sudah malam, apa aku tertidur tadi?” tanya Rafael sembari mengembalikan beberapa buku ke raknya dan menimbang-nimbang buku untuk di bawa.“Paman ... kurasa tidak tertidur, tetapi pingsan,” Yui kebingungan membedakan antara tertidur dan pingsan. Pasalnya, Rafael tidak mendengar suaranya seperti orang pingsan.“Pingsan? Kurasa tidak, hanya tertidur,” balas Rafael.“Paman,”
Rafael duduk termangu di kamarnya, setelah mengantarkan Yui yang tidak sadarkan diri akibat terlalu banyak tenaga meluap tiba-tiba. Dia masih bingung dengan hilangnya Yoru yang tiba-tiba.“Kemana dia pergi?” gumam Rafael.Pria jangkung dengan rambut hitam cepak itu berdiri di depan cermin. Pantulan dirinya terlihat jelas, tidak ada bayangan Yoru di dalam cermin.“Keluarlah!” teriak Rafael.Cermin itu bergeming, tidak ada bayangan lain selain dirinya.“Keluarlah!” teriak Rafael sekali lagi, tangannya terkepal, nanar matanya menatap cermin dan berharap ada bayangan lain di sana. Dia memukulkan tangannya ke tembok di sebelah cermin. “Yoru, keluarlah!”Rafael bingung, ke mana perginya Yoru dalam dirinya, dia tahu makhluk itu masih ada dan bisa merasakannya. Akan tetapi, jika dia tidak bersuara bagaimana bisa berdialog dengannya.Selang beberapa waktu dia terdiam tanpa ada tanda-tanda suara dari Yoru, Rafael bangkit dan berjalan keluar kamarnya. Anak tangga ke lantai dua menanti untuk di j