Menyadari hal itu, Davina langsung menghindar. "Apa yang kamu lakukan, Topan?!" Hal tersebut membuat Topan tersadar. Ia lalu tersenyum kecil yang membuat Davina menatapnya curiga. Sebelum ia sempat memperingati Topan, pria itu telah mendekat dan dengan sekali gerakan, mengangkat tubuhnya. Tanpa memberikan waktu banyak untuk protes, Topan membopong tubuh istrinya ke dalam pelukannya. "Topan! Turunkan aku!" seru Davina kaget, tangannya refleks menahan dada pria itu. "Apa yang akan kau lakukan padaku?!" Tapi Davina berkata dengan suara bergetar karena sedikit takut. Tanpa menjawab pertanyaan Davina, Topan tetap membawanya menuju ranjang, langkahnya mantap, meski ia tahu istrinya berusaha meronta. "Siapa suruh kamu menggodaku!" Mendengar itu, tubuh Davina menegang. Lantas apakah Topan akan... Kini, tubuh Davina direbahkan pelan di atas kasur dan begitu punggungnya menyentuh seprai, ia langsung berusaha bangkit. Tentu saja hendak kabur. "Kau yang mengatakan sendiri kalau tidak akan
Setelah gaun itu jatuh perlahan ke lantai, Davina buru-buru mengambil handuk yang sudah disiapkan, memeluknya erat ke tubuhnya seolah itu satu-satunya pelindung di dunia ini. Jangan sampai Topan melihatnya, ia tak rela! Dengan cepat, ia melangkah ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba ia berhenti di ambang pintu. Setelah terdiam sesaat, ia membalikan badan dan menatap Topan dengan tajam. "Jangan ngintip!" ancam Davina galak, jari telunjuknya terarah lurus kepada suaminya. Mendapati hal itu, Topan yang tengah berusaha mati-matian menahan gairahnya tergelak, lantas menganggukan kepalanya dengan memasang ekspresi wajah tak berdaya. "Untuk apa aku mengintipmu, sayang?" Akhirnya Topan angkat bicara setelah terdiam sebentar. Nada dalam dan putus asa terdengar dalam suaranya. Kemudian, sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman miring. "Aku sudah melihat setiap inci tubuhmu dengan jelas dan aku juga telah merasakanmu, sayang..." Mata Davina melebar mendengar kata-kata suaminya. Di saat ber
Bukannya menjawab, Davina yang malah mengangkat bokong menjauh, membuat Topan menatapnya bingung. "Kenapa kamu menghindar dariku?" Topan mengangkat sebelah alisnya. Dia kemudian menambahkan. "Memangnya aku menakutkan?" Tanpa menoleh ke arah seseorang yang sedang mengajaknya bicara, Davina berucap, "Ya, kau begitu menakutkan, Topan." Lipatan di kening Topan semakin bertambah, tapi detik berikutnya, ia hanya tersenyum kecil. Ia hanya bercanda barusan untuk mencairkan suasana. "Eh, aku menakutkan?" Topan malah balik bertanya dengan nada setengah tak percaya. Kemudian, ia menggeleng. "Aku tidak akan menggigitmu, sayang dan aku juga tidak akan menerkammu. Jadi, kamu tak perlu takut." Seketika Davina melemparkan tatapan mematikan kepada Topan. "Eits, katamu, kalau kita sudah resmi menikah, sudah menjadi pasangan suami istri, aku boleh memanggilmu dengan sebutan 'sayang'?" sela Topan cepat sebelum Davina sempat berbicara. Seakan ia bisa membaca pikiran Davina. Davina mendengus, tabiat
Sementara itu, di markas besar Naga Sakti, pimpinan organisasi bawah tanah yang tak lain adalah Armand Prakoso tengah menyaksikan siaran langsung prosesi pernikahan Topan di layar lebar. Di sofa satunya, duduk dua pria yang merupakan orang kepercayaannya–juga ikut menonton. Sesekali, mereka akan tersenyum lebar, tertawa dan menggelengkan kepala. Ada perasaan haru di mata mereka. Di saat ini, Armand menghembuskan napas berat seraya mengusap muka dan berkata, "Ah, sial sekali. Aku hanya bisa menonton pernikahan Topan melalui siaran langsung. Tak bisa menyaksikannya dengan kepala mataku sendiri. Seharusnya, aku ada di sana saat ini!" Ia berkata demikian sebab bagaimana pun, ia adalah orang yang paling ingin melihat Topan menikah! Seketika dua orang kepercayaannya menoleh ke arah pimpinan organisasi bawah tanah tersebut. Salah satu dari mereka tersenyum kecut dan berkata, "Keberadaan anda akan menarik perhatian di sana, Tuan Besar." Yang langsung dibenarkan oleh satunya. Perhatian
Di taman luas yang disulap bak negeri dongeng, ribuan lampu kecil menggantung di antara pohon-pohon, berkilauan seperti bintang yang turun dari langit. Aroma bunga segar–mawar putih, lili dan lavender–menyatu dengan udara, menebarkan keharuman lembut yang memabukan. Tenda megah berdiri anggun, didekorasi dengan tabir tipis putih yang menari pelan diterpa angin. Dekorasi acara terhampar di setiap titik-titik paling pasnya. Di tengah taman, altar pernikahan berdiri megah, dihiasi bunga melingkar seperti mahkota surga. Karpet putih membentang dari pintu utama hingga altar, mengantar sang pengantin wanita yang berjalan anggun dalam balutan gaun renda berkilau. Disambut kilatan kamera dari wartawan dan undangan yang tak henti memuji penampilannya. Sedangkan sang mempelai pria berdiri gagah dalam setelan tuxedo hitam, wajahnya tenang penuh wibawa. Musik klasik mengalun lembut, dimainkan oleh orkestra kecil yang tersembunyi di balik rangkaian bunga. Pelayan hilir mudik membawakan nam
Topan pun mengangkat panggilan itu. "Hallo Dimas. Ada apa?" ujar Topan begitu panggilan terhubung. "Saya hendak melaporkan informasi terbaru yang saya dapatkan, ini tentang keluarga Maheswara, Tuan Muda." Jawab Dimas di sebrang sana. Topan mengeryitkan kening. "Informasi terbaru tentang keluarga Maheswara?" ulang Topan hendak memastikan yang langsung dibenarkan oleh Dimas. Mendadak, ia tak sabar ingin segera mendengarnya. Akan tetapi, Topan mengedar pandangan ke sekeliling seraya mengusap muka, berusaha menenangkan diri. "Kau sedang berada di mana saat ini?" Akhirnya Topan angkat bicara setelah terdiam beberapa saat. "Kebetulan, saya sedang berada di markas, Tuan Muda." Jawab Dimas cepat. "Kalau begitu kita bicara di sana saja. Aku akan ke sana!" "Perlu kami jemput, Tuan Muda?" Topan menggeleng. "Tak perlu. Aku membawa mobil sendiri!" Setelah mengakhiri panggilan, Topan langsung tancap gas dan mobil pun meluncur ke tempat tujuan. *** Tiba di markas Naga Sakti, Topan langsu